Kiai Madja: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Sonjo 01 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Sonjo 01 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(3 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 36:
[[Berkas:Makam-kyai-modjo-1_Djoko_Sanudin.jpg|jmpl|300px|Makam Kiai Modjo di [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Kampung Jawa Tondano]]]]
 
Kiai Mojo berangkat lagi yang kedua kalinya ke Melangi pada 5-9 November 1928 dengan tujuan melakukan perundingan sendiri dan sepihak tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang pada negosiasi pertamanya pada 31 Okotober 1828 juga terjadi di Melangi, di sebuah ''pathok nagari'' (pusat untuk ulama ahli hukum [[fikih]]). Namun, perundingan tidak terjadi. Nyatanya, Pasukan Gerak Cepat Ketiga yang dikomandoi Letnan-Kolonel Joseph Le Bron de Vexela sudah ditugaskan untuk memastikan Kiai Mojo dan pasukannya tidak bisa lolos. Karenanya, ketika perundingan gagal pada 10 November dan diketahui bahwa bahwa sang Kiai sedang berusaha balik menuju ke [[Pajangan, Bantul|Pajang]] melalui jalan pintas di lereng-lereng [[Gunung Merapi]], dia dicegat di dekat bekas perkebunan Bawon Bouwens van der Boyen di [[Babadan, Ponorogo|Babadan]] pada 12 November. Dia diberi waktu 2 menit untuk memutuskan apakan menyerah tanpa syarat atau langsung bertempur dalam keadaan sulit (Le Bron sudah mengepung pasukan Mojo), Kiai Mojo memilih menyerah dengan 400 pasukannya.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Grameda|pages=56-57|url-status=live}}</ref> Belanda sangat tegas kepada Kiai Mojo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang membelot ke pihak Belanda, dikarenakan Belanda menggangap Kiai Mojo sangat berbahaya dan paling bertanggung jawab karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya.
 
Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Mojo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, [[Sleman]], dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke [[Salatiga]]. Dalam penahanannya, Kiai Madja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Madja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.<ref name="a" /> Belanda sangat tegas kepada Kiai Mojo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang menyerah dikarenakan Belanda menggangap Kiai Mojo yang sangat berbahaya karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya. Baru pada tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke [[Tondano]], [[Minahasa]], [[Sulawesi Utara]].<ref name="a" /><ref name="b">{{Cite news|url=https://historia.id/kuno/articles/si-bantheng-pengiring-diponegoro-yang-paling-setia-P7x4Q|title=Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia|last=A. Nugroho|first=Yudi|newspaper=historia.id|language=id-ID|access-date=2020-01-25}}</ref> Di tanah pembuangan, Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kiai Mojo dari pasukan Diponegoro.<ref name="a" />
Baris 54:
* ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855'' oleh Peter Carey, Kompas Gramedia, 2007 ({{ISBN|9789797097998}})
* ''Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830'' oleh Saleh As’ad Djamhari, Komunitas Bambu (Depok), 2014 ({{ISBN|9786029402421}})
* ''Percakapan Dengan Diponegoro'' oleh Peter Carey, KPG Kepustakaan Populer Gramedia (Jakarta), 2022 ({{ISBN|9786024819019}})
 
== Pranala luar ==