Aksara Makassar Kuno: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Sumatera
(39 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{untuk|aksara modern yang digunakan untuk menulis bahasa Makassar Modern|Aksara Lontara}}
{{Teks Makassar}}
{{Infobox writing system
|name=Aksara MakassarJangang-jangang
|altname={{Script|Maka|𑻪𑻢𑻪𑻢}}
|type = [[Abugida]]
|time = abad 1617 hingga abad 19
|languages = [[Bahasa Makassar]]
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}
Baris 17 ⟶ 16:
}}
 
'''Aksara Makassar''' juga dikenal({{aka}} sebagai Lontara Mangkasara' atau Lontara''''Ukiri' Jangang-jangang''''' dalam [[bahasa Makassar]]; {{small|arti harfiah: "tulisan burung"}}), atau singkatnya sebagai '''Aksara Makassar''', adalah salah satu [[aksara]] historis Indonesia yang pernah digunakan di [[Sulawesi Selatan]] untuk penulisan bahasa [[Bahasa Makassar|Makassar]] yangantar diciptakanabad oleh17 DaengM Pamattehingga padaabad tahun19 1538M atasketika perintahfungsinya rajatergantikan Gowaoleh ke-9aksara Karaeng[[aksara TumapakrisikLontara|Lontara Kallongna (1510-1546)Bugis]]. {{sfn|Jukes|2019|pp=49}}<ref name=":0">{{cite journal|url=http://www.unicode.org/L2/L2015/15233-makasar.pdf|first=Anshuman|last=Pandey|title=Proposal for encoding the Makassar script in Unicode|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=L2/15-233|date=02-11-2015|publisher=Unicode}}</ref>
 
Aksara Makassar adalah sistem tulisan [[abugida]] yang terdiri dari 18 aksara dasar. Seperti aksara [[Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dengan [[tanda baca]] yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Makassar, sehingga teks Makassar secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
 
== Sejarah Aksara Makassar==
Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Makassar telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh [[Islam]] yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara Makassar menggunakan dasar sistem [[abugida]] [[aksara Brahmi|Indik]] ketimbang [[huruf Arab]] yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.{{sfn|Macknight|2016|p=55}} Aksara ini berakar pada [[aksara Brahmi]] dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.{{sfn|Macknight|2016|p=57}}{{sfn|Tol|1996|p=214}}{{sfn|Jukes|2014|p=2}} Kesamaan grafis aksara-aksara Sumatera Selatan seperti [[aksara Rejang]] dengan aksara Makassar membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua aksara tersebut.{{sfn|Noorduyn|1993|pp=567–568}} Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara pararel dari purwarupa [[aksara Gujarat]], [[India]].<ref name="miller1">{{cite journal|url=http://journals.linguisticsociety.org/proceedings/index.php/BLS/article/view/3917|first=Christopher|last=Miller|title= A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines|journal=Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society|volume=36|issue=1|year=2010}}</ref>
Sesungguhnya Lontara Makassar ini sudah ada 483 tahun lamanya, dibaca dan ditulis di Sulawesi Selatan, namun masih sedikit sekali masyarakat di Sulawesi Selatan yang mengetahui sejarahnya, bahkan diantara para pengajar di masyarakat etnis suku Makassar itu sendiri. Sungguh sangat di sayangkan, pada masa ini masih ada yang belum mengetahui bahwa Lontara yang kita pakai sekarang ini adalah Lontara Makassar dengan generasi ketiga.
 
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Makassar, [[aksara Lontara|Lontara]], [[huruf Arab|Arab]], dan [[huruf Latin|Latin]]. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Makassar yang sering ditemukan bercampur dengan [[huruf jawi|Arab Melayu]].{{sfn|Tol|1996|pp=213–214}} Aksara Makassar pada awalnya diduga sebagai nenek moyang aksara aksara Lontara, namun keduanya kini dianggap sebagai cabang terpisah dari suatu purwarupa kuno yang tidak lagi tersisa.{{sfn|Jukes|2019|pp=46}}
1.Lontara Tua sering juga disebut Lontara Jangang-Jangang, sebuah Aksara yang mirip seperti burung yang di ciptakan oleh Daeng Pamatte pada tahun 1538 seorang Syahbandar Kerajaan Gowa atas perintah Raja Gowa ke-IX, Karaeng Tumapakrisik Kallongna yang berkuasa pada tahun (1510-1546).
 
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara [[aksara Lontara|Lontara]], Makassar, [[huruf Arab|Arab]], dan [[huruf Latin|Latin]]. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Makassar yang sering ditemukan bercampur dengan [[huruf jawi|Arab Melayu]].{{sfn|Tol|1996|pp=213–214}} Aksara Makassar pada awalnya diduga sebagai nenek moyang aksara aksara Lontara, namun keduanya kini dianggap sebagai cabang terpisah dari suatu purwarupa kuno yang tidak lagi tersisa.{{sfn|Jukes|2019|pp=46}} Beberapa penulis kadang menyebut [[Daeng Pamatte']], [[syahbandar]] [[Kerajaan Gowa]] di awal abad 16 M, sebagai pencipta aksara Makassar berdasarkan kutipan dalam [[Kronik Gowa]] yang berbunyi ''Daeng Pamatte' ampareki lontara' Mangkasaraka'', diterjemahkan sebagai "Daeng Pamatte' inilah yang menciptakan lontara Makassar" dalam terjemahan G.J. Wolhoff dan Abdurrahim yang terbit pada tahun 1959. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian besar sejarawan dan ahli bahasa kini, yang mengemukakan bahwa istilah ''ampareki'' dalam konteks tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai "menyusun" dalam artian penyusunan perpustakaan atau penyempurnaan pencatatan sejarah dan sistem menulis alih-alih penciptaan aksara dari nihil.{{sfn|Jukes|2019|pp=47}}<ref>{{cite book |author=Ahmad M. Sewang |year=2005 |title=Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII|url=https://books.google.com/books?id=HOcUtQAtl00C|publisher=Yayasan Obor Indonesia |isbn=9789794615300|page=37-38}}</ref><ref name="Cummings2">{{cite book |last=Cummings |first=William P. |year=2002 |title=Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar |url=https://books.google.com/?id=tANZd6c-8wUC |location=2840 Kolowalu St, Honolulu, HI 96822, USA|publisher=University of Hawaii Press |isbn=978-0824825133}}</ref><ref name="Cummings">{{cite book |last=Cummings |first=William P. |year=2007 |title=A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq |url=https://books.google.com/?id=0jDBXoKAq6UC&dq=empire%20of%20gowa |publisher=KITLV Press |isbn=978-9067182874 }}{{Pranala mati|date=Maret 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref><!--<ref>{{cite book |author=Fachruddin Ambo Enre |year=1999 |title=Ritumpanna Wélenrénngé: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo |url=https://books.google.com/books?id=u3jZXmdmv0oC |publisher=Yayasan Obor Indonesia |isbn=9789794613184}}</ref>--> Tulisan beraksara Makassar tertua yang masih bertahan hingga saat ini adalah tanda tangan para delegasi Kerajaan Gowa dalam [[Perjanjian Bungaya]] dari tahun 1667 yang kini disimpan di [[Arsip Nasional Republik Indonesia]]. Sementara itu, salah satu naskah beraksara Makassar paling awal dengan panjang signifikan yang masih bertahan adalah kronik Gowa-Tallo dari pertengahan abad 18 M yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), [[Amsterdam]] (no. koleksi KIT 668/216).{{sfn|Jukes|2014|pp=3-4}}
Patturioloang Gowa menyebutkan :
᨞ iapa anne karaeng mapareq rapang bicara timu-timu ri bunduka sabannaraqnami anne karaenga I Daeng Pamatteq ia sabannaraq ia tumailalang iami ampareki lontaraq Mangkasaraka ᨞
 
Tulisan beraksara Makassar tertua yang masih bertahan hingga saat ini adalah tanda tangan para delegasi Kerajaan Gowa dalam [[Perjanjian Bungaya]] dari tahun 1667 yang kini disimpan di [[Arsip Nasional Republik Indonesia]]. Sementara itu, salah satu naskah beraksara Makassar paling awal dengan panjang signifikan yang masih bertahan adalah kronik Gowa-Tallo dari pertengahan abad 18 M yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), [[Amsterdam]] (no. koleksi KIT 668/216).{{sfn|Jukes|2014|pp=3-4}}
Terjemannya kurang lebih seperti ini "Baru kali ini Raja membuat kebijakan yang ditulis sebagai hukum, deklarasi perang. Syahbandar raja Gowa ini adalah Daeng Pamatte, dia Syahbandar dia juga Menteri Dalam Negeri. Dialah yang membuat Lontara Makassar".
 
Menurut Dr. Kern, disebutkan dalam buku karangan Dr. H. Van Brink yang bernama Dr. Bonyamin Fredriks Matheus atau lebih dikenal dengan nama BF Matthes, zi jn Leven en Arboid In Dienst van het Nederlands Bijbelgenoot Schap. Dia pula yang memerintahkan penulisan ulang catatan harian raja-raja Gowa, Lontara Gowa Tallo "Dudste gesehiedeuis van Gowa, Tallo en andere van het Eiland Celebes 1883". Dikatakan bahwa Lontara Tua itu dari huruf seperti Jangang-Jangang (Burung). Abjad Lontara tua hanya 18 buah huruf (tanpa huruf H) di pakai hingga akhir abad ke-XVI.
 
2.Lontara Bilang Bilang
Lontara ini terpengaruh dengan masuknya pengaruh Islam di kerajaan Gowa Tallo yang sudah memakai penanggalan tahun Hijriah sesuai catatan harian Kerajaan Gowa ;"3 Muharram 1002 H (1590 M) nanijalloq Karaenga Tunijalloq umuruqna 45". Dikatakan Lontara Bilang karena sudah memakai penanggalan tanggal, bulan dan tahun.
 
Lontara Bilang ini mulai dipakai pada akhir abad ke-16, merupakan suatu perubahan yang sangat besar dari Lontara Tua sebelumnya. Bunyi dan susunan abjadnya masih tetap sama, tetapi bentuk hurufnya sudah berubah. Selain di rubah bentuknya, Lontara Tua ini telah di sempurnakan pula dengan menambahkan huruf H (dengan demikian sudah 19 buah abjad).
 
3.Lontara Baru adalah Lontara Makassar generasi ketiga, disebut Lontara Baru karena jenis inilah yang dipakai sebagaimana kita lihat saat ini. Bahwa Lontara Tua itu telah disempurnakan lagi sehingga rupanya sudah menjadi lain sekali. Huruf-huruf yang kemudian ini mempunyai dua sifat yang baik, sudah mudah dan sederhana.
 
Dengan penyempurnaan ini, maka jumlah abjad huruf Lontara berubah dari 18 +1, untuk keperluan penulisan dalam bahasa Bugis, maka ditambah 4 huruf baru yaitu NCA, NGKA, MPA dan NRA menjadi 23 huruf (19 untuk berbahasa Makassar dan 23 untuk berbahasa Bugis). Ada 6 buah huruf Lontara Tua masih tampak dalam barisan abjad dalam huruf Lontara sekarang ini. Adapun huruf Lontara yang sekarang ini tidaklah bersumber dari sesuatu bentuk huruf, tapi sumber bentuknya adalah sebuah segi empat belah ketupat. Dalam Lontara Makassar ada dinamai Anrong Hurupu (induk huruf), ada juga disebut anak huruf yaitu tanda bunyi
(a-i-u-e-o).
 
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara [[aksara Lontara|Lontara]], Makassar, [[huruf Arab|Arab]], dan [[huruf Latin|Latin]]. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Makassar yang sering ditemukan bercampur dengan [[huruf jawi|Arab Melayu]].{{sfn|Tol|1996|pp=213–214}} Aksara Makassar pada awalnya diduga sebagai nenek moyang aksara aksara Lontara, namun keduanya kini dianggap sebagai cabang terpisah dari suatu purwarupa kuno yang tidak lagi tersisa.{{sfn|Jukes|2019|pp=46}} Beberapa penulis kadang menyebut [[Daeng Pamatte']], [[syahbandar]] [[Kerajaan Gowa]] di awal abad 16 M, sebagai pencipta aksara Makassar berdasarkan kutipan dalam [[Kronik Gowa]] yang berbunyi ''Daeng Pamatte' ampareki lontara' Mangkasaraka'', diterjemahkan sebagai "Daeng Pamatte' inilah yang menciptakan lontara Makassar" dalam terjemahan G.J. Wolhoff dan Abdurrahim yang terbit pada tahun 1959. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian besar sejarawan dan ahli bahasa kini, yang mengemukakan bahwa istilah ''ampareki'' dalam konteks tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai "menyusun" dalam artian penyusunan perpustakaan atau penyempurnaan pencatatan sejarah dan sistem menulis alih-alih penciptaan aksara dari nihil.{{sfn|Jukes|2019|pp=47}}<ref>{{cite book |author=Ahmad M. Sewang |year=2005 |title=Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII|url=https://books.google.com/books?id=HOcUtQAtl00C|publisher=Yayasan Obor Indonesia |isbn=9789794615300|page=37-38}}</ref><ref name="Cummings2">{{cite book |last=Cummings |first=William P. |year=2002 |title=Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar |url=https://books.google.com/?id=tANZd6c-8wUC |location=2840 Kolowalu St, Honolulu, HI 96822, USA|publisher=University of Hawaii Press |isbn=978-0824825133}}</ref><ref name="Cummings">{{cite book |last=Cummings |first=William P. |year=2007 |title=A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq |url=https://books.google.com/?id=0jDBXoKAq6UC&dq=empire%20of%20gowa |publisher=KITLV Press|isbn=978-9067182874 }}</ref><!--<ref>{{cite book |author=Fachruddin Ambo Enre |year=1999 |title=Ritumpanna Wélenrénngé: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo |url=https://books.google.com/books?id=u3jZXmdmv0oC |publisher=Yayasan Obor Indonesia |isbn=9789794613184}}</ref>--> Tulisan beraksara Makassar tertua yang masih bertahan hingga saat ini adalah tanda tangan para delegasi Kerajaan Gowa dalam [[Perjanjian Bungaya]] dari tahun 1667 yang kini disimpan di [[Arsip Nasional Republik Indonesia]]. Sementara itu, salah satu naskah beraksara Makassar paling awal dengan panjang signifikan yang masih bertahan adalah kronik Gowa-Tallo dari pertengahan abad 18 M yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), [[Amsterdam]] (no. koleksi KIT 668/216).{{sfn|Jukes|2014|pp=3-4}}
 
Dalam perkembangannya, penggunaan aksara Makassar berangsur-angsur tergantikan dengan aksara [[aksara Lontara|Lontara Bugis]] yang bagi penulis Makassar kadang dirujuk sebagai "lontara baru". Pergantian ini kemungkinan dipengaruhi oleh surutnya prestise [[Kerajaan Gowa]] bersamaan dengan meningkatnya kekuatan [[suku Bugis|Bugis]]. Seiring menurunnya pengaruh Gowa, para juru tulis Makassar tidak lagi menggunakan aksara Makassar dalam pencatatan sejarah resmi atau dokumen sehari-hari, meski kadang masih digunakan untuk konteks-konteks tertentu sebagai upaya untuk membedakan identitas budaya Makassar dari pengaruh Bugis. Naskah beraksara Makassar paling baru yang sejauh ini diketahui adalah catatan harian seorang ''tumailalang'' (perdana menteri) Gowa dari abad 19 M yang bentuk aksaranya telah menerima pengaruh signifikan dari aksara Lontara Bugis.{{sfn|Jukes|2019|pp=47-49}} Hingga penghujung abad 19 M, penggunaan aksara Makassar telah tergantikan sepenuhnya dengan Lontara Bugis dan kini tidak ada lagi pembaca asli aksara Makassar.{{sfn|Jukes|2019|pp=49}}
Baris 53 ⟶ 37:
|-
|align=center; colspan=2|
<gallery mode="packed" heights="200px">
Berkas:Detil perjanjian bungaya.jpg|Detil tanda tangan beraksara Makassar dari [[Perjanjian Bungaya]] koleksi Arsip Nasional Indonesia
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gedeelte van het dagboek van de Vorsten van Gowa in oud Makassaarschrift TMnr 668-216.jpg| Buku harian Pangeran [[Gowa]] koleksi Tropenmuseum
Baris 62 ⟶ 46:
Sebagaimana [[aksara Lontara]] yang juga digunakan di lingkup budaya Sulawesi Selatan yang sama, aksara Makassar digunakan dalam sejumlah tradisi teks berkaitan yang sebagian besarnya ditulis dalam manuskrip atau naskah kertas. Istilah '''''lontara''''' (kadang dieja '''''lontaraq''''' atau '''''lontara'''''' untuk menandakan bunyi [[Konsonan letup celah-suara|hentian glotal]] di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat [[Suku Bugis|Bugis]] dan [[Suku Makassar|Makassar]]. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (''lontara' pangngoriseng''), catatan harian (''lontara' bilang''), dan catatan sejarah atau [[Kronik (sejarah)|kronik]] (''patturioloang''). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.{{sfn|Tol|1996|pp=223–226}} Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif sedikit muncul atau disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.{{sfn|Cummings|2007|p=8}}<ref>{{cite book |editor-last1=Macknight |editor-first1=Charles Campbell |editor-last2=Paeni |editor-first2=Mukhlis |editor-last3=Hadrawi |editor-first3=Muhlis |year=2020 |title=The Bugis Chronicle of Bone |url=https://press.anu.edu.au/publications/bugis-chronicle-bone |translator1=Campbell Macknight |translator2=Mukhlis Paeni |translator3=Muhlis Hadrawi |location=Canberra |publisher=Australian National University Press |isbn=9781760463588 |ref=harv|language=EN|page=xi-xii}}</ref> Meskipun begitu, catatan sejarah seperti ''patturiolong'' Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.{{sfn|Cummings|2007|p=11}} Salah satu ''patturiolong'' beraksara Makassar yang telah diteliti oleh para ahli ialah [[Kronik Gowa]] yang menguraikan riwayat raja-raja Gowa sejak berdirinya [[Kerajaan Gowa]] hingga masa pemerintahan [[Sultan Hasanuddin]] pada abad 17 M.
 
Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.{{sfn|Tol|1996|pp=226–228}} Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (''arung''), atau perdana menteri (''tumailalang''). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka sering kaliseringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman karena satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.{{sfn|Tol|1996|pp=226–228}}
 
== Kerancuan ==
Aksara Makassar tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata mati meskipun bahasa [[bahasa Makassar|Makassar]] memiliki banyak kata dengan suku kata mati.<!-- Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/ dan glotal /ʔ/ yang lumrah dalam bahasa Makassar sama sekali tidak ditulis dalam ejaan aksara Makassar, sehingga kata seperti ''ama'' (kutu ayam), ''ama''' (suka), dan ''amang'' (aman)<ref>{{Cite book|title=KAMUS MAKASSAR - INDONESIA|last=Arief|first=Drs. Abueraerah|date=1995|publisher=Yayasan Perguruan Islam Kapita DDI|isbn=|location=Makassar|pages=9|url-status=live}}</ref> semuanya akan ditulis sebagai ''ama'' {{Script|Maka|𑻱𑻥}} dalam aksara Makassar.--> Tulisan ''baba'' {{Script|Maka|𑻤𑻤}} dalam aksara Makassar dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: ''baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba,'' dan ''bambang''.{{sfn|Jukes|2014|p=6}} Mengingat bahwa penulisan aksara Makassar juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Makassar kerap memiliki banyak kerancuan kata yang sering kaliseringkali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks Makassar memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.{{sfn|Tol|1996|pp=216–217}}{{sfn|Jukes|2014|p=8}} Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga [[harakat|penanda vokal]] tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.
 
Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berikut untuk mengilustrasikan bagaimana penulisan aksara Makassar dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:
Baris 219 ⟶ 203:
|+ style="text-align: center;" | Tanda Baca
|-
! pallawapassimbang
! akhir bagian
|-
Baris 232 ⟶ 216:
 
=== Pengulangan suku kata ===
Suku kata berunut dengan konsonan awal yang sama sering kaliseringkali ditulis dalam bentuk singkatan menggunakan diakritik ganda atau tanda pengulang '''''angka''''' yang kemudian dapat dilekatkan lagi dengan diakritik. Penggunaannya dapat dilihat sebagaimana berikut:<ref name=":0" />
{| summary="syllable reduplication"
|-
Baris 244 ⟶ 228:
! rowspan=2|tanpa diakritik ganda
| [[Berkas:Mak_dudu.png|90px]]
|- style="text-align: center;"mood
| {{Script|Maka|𑻧𑻴𑻧𑻴}}
|-
Baris 671 ⟶ 655:
 
{{Tabel Unicode Makasar}}
 
=== Font ===
Font untuk aksara Makassar berdasarkan blok unicode pertama kali dibuat dengan nama ''Jangang-jangang'' pada awal 2020.<ref>{{Cite web|url=https://aksaradinusantara.com/|title=Aksara di Nusantara|website=Aksara di Nusantara|access-date=2020-04-07}}</ref> Font ini telah mendukung teknologi graphite SIL dan fitur pengulangan kata, baik menggunakan ''angka'' (''contoh:'' {{Script|Maka|𑻥𑻲𑻳
}} mami) maupun pengulangan vokal (''contoh:'' {{Script|Maka|𑻥𑻳𑻳}} mimi dan {{Script|Maka|𑻥𑻴𑻴}} mumu).
 
== Catatan ==
Baris 683 ⟶ 663:
=== Daftar Pustaka ===
* {{Cite journal|url=https://oxis.org/downloads/cense_1966.pdf|title=Old Buginese and Macassarese diaries|first=A|last=Cense|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=122|issue=4|page=416-428|place=Leiden|year=1966}}
* {{cite book |last=Cummings |first=William P. |date=January 1, 2007 |title=A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq |url=https://books.google.com/?id=0jDBXoKAq6UC&dq=empire%20of%20gowa |publisher=KITLV Press |isbn=978-9067182874 |ref={{harvid|Cummings|2007}} }}{{Pranala mati|date=Maret 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=qmzDDwAAQBAJ|title=A Grammar of Makasar: A Language of South Sulawesi, Indonesia|last=Jukes|first=Anthony|date=2019-12-02|publisher=Brill|isbn=978-90-04-41266-8|language=en}}
* {{cite journal|url=https://lingdy.aa-ken.jp/en/activities/research-events/140227-intl-symp-and-ws|first=Anthony|last=Jukes|title=Writing and Reading Makassarese|year=2014|publisher=LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies|journal=International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast Asia: Proceedings|language=EN |ref=harv}}