Aksara Makassar Kuno: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k Sumatera |
||
(39 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Teks Makassar}}
{{Infobox writing system
|name=
|altname={{Script|Maka|𑻪𑻢𑻪𑻢}}
|type = [[Abugida]]
|time = abad
|languages = [[Bahasa Makassar]]
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}
Baris 17 ⟶ 16:
}}
'''Aksara Makassar'''
Aksara Makassar adalah sistem tulisan [[abugida]] yang terdiri dari 18 aksara dasar. Seperti aksara [[Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dengan [[tanda baca]] yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Makassar, sehingga teks Makassar secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
== Sejarah
Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Makassar telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh [[Islam]] yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara Makassar menggunakan dasar sistem [[abugida]] [[aksara Brahmi|Indik]] ketimbang [[huruf Arab]] yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.{{sfn|Macknight|2016|p=55}} Aksara ini berakar pada [[aksara Brahmi]] dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.{{sfn|Macknight|2016|p=57}}{{sfn|Tol|1996|p=214}}{{sfn|Jukes|2014|p=2}} Kesamaan grafis aksara-aksara Sumatera Selatan seperti [[aksara Rejang]] dengan aksara Makassar membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua aksara tersebut.{{sfn|Noorduyn|1993|pp=567–568}} Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara pararel dari purwarupa [[aksara Gujarat]], [[India]].<ref name="miller1">{{cite journal|url=http://journals.linguisticsociety.org/proceedings/index.php/BLS/article/view/3917|first=Christopher|last=Miller|title= A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines|journal=Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society|volume=36|issue=1|year=2010}}</ref>
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Makassar, [[aksara Lontara|Lontara]], [[huruf Arab|Arab]], dan [[huruf Latin|Latin]]. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Makassar yang sering ditemukan bercampur dengan [[huruf jawi|Arab Melayu]].{{sfn|Tol|1996|pp=213–214}} Aksara Makassar pada awalnya diduga sebagai nenek moyang aksara aksara Lontara, namun keduanya kini dianggap sebagai cabang terpisah dari suatu purwarupa kuno yang tidak lagi tersisa.{{sfn|Jukes|2019|pp=46}}
Tulisan beraksara Makassar tertua yang masih bertahan hingga saat ini adalah tanda tangan para delegasi Kerajaan Gowa dalam [[Perjanjian Bungaya]] dari tahun 1667 yang kini disimpan di [[Arsip Nasional Republik Indonesia]]. Sementara itu, salah satu naskah beraksara Makassar paling awal dengan panjang signifikan yang masih bertahan adalah kronik Gowa-Tallo dari pertengahan abad 18 M yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), [[Amsterdam]] (no. koleksi KIT 668/216).{{sfn|Jukes|2014|pp=3-4}}
▲Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara [[aksara Lontara|Lontara]], Makassar, [[huruf Arab|Arab]], dan [[huruf Latin|Latin]]. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Makassar yang sering ditemukan bercampur dengan [[huruf jawi|Arab Melayu]].{{sfn|Tol|1996|pp=213–214}} Aksara Makassar pada awalnya diduga sebagai nenek moyang aksara aksara Lontara, namun keduanya kini dianggap sebagai cabang terpisah dari suatu purwarupa kuno yang tidak lagi tersisa.{{sfn|Jukes|2019|pp=46}} Beberapa penulis kadang menyebut [[Daeng Pamatte']], [[syahbandar]] [[Kerajaan Gowa]] di awal abad 16 M, sebagai pencipta aksara Makassar berdasarkan kutipan dalam [[Kronik Gowa]] yang berbunyi ''Daeng Pamatte' ampareki lontara' Mangkasaraka'', diterjemahkan sebagai "Daeng Pamatte' inilah yang menciptakan lontara Makassar" dalam terjemahan G.J. Wolhoff dan Abdurrahim yang terbit pada tahun 1959. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian besar sejarawan dan ahli bahasa kini, yang mengemukakan bahwa istilah ''ampareki'' dalam konteks tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai "menyusun" dalam artian penyusunan perpustakaan atau penyempurnaan pencatatan sejarah dan sistem menulis alih-alih penciptaan aksara dari nihil.{{sfn|Jukes|2019|pp=47}}<ref>{{cite book |author=Ahmad M. Sewang |year=2005 |title=Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII|url=https://books.google.com/books?id=HOcUtQAtl00C|publisher=Yayasan Obor Indonesia |isbn=9789794615300|page=37-38}}</ref><ref name="Cummings2">{{cite book |last=Cummings |first=William P. |year=2002 |title=Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar |url=https://books.google.com/?id=tANZd6c-8wUC |location=2840 Kolowalu St, Honolulu, HI 96822, USA|publisher=University of Hawaii Press |isbn=978-0824825133}}</ref><ref name="Cummings">{{cite book |last=Cummings |first=William P. |year=2007 |title=A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq |url=https://books.google.com/?id=0jDBXoKAq6UC&dq=empire%20of%20gowa |publisher=KITLV Press|isbn=978-9067182874 }}</ref><!--<ref>{{cite book |author=Fachruddin Ambo Enre |year=1999 |title=Ritumpanna Wélenrénngé: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo |url=https://books.google.com/books?id=u3jZXmdmv0oC |publisher=Yayasan Obor Indonesia |isbn=9789794613184}}</ref>--> Tulisan beraksara Makassar tertua yang masih bertahan hingga saat ini adalah tanda tangan para delegasi Kerajaan Gowa dalam [[Perjanjian Bungaya]] dari tahun 1667 yang kini disimpan di [[Arsip Nasional Republik Indonesia]]. Sementara itu, salah satu naskah beraksara Makassar paling awal dengan panjang signifikan yang masih bertahan adalah kronik Gowa-Tallo dari pertengahan abad 18 M yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), [[Amsterdam]] (no. koleksi KIT 668/216).{{sfn|Jukes|2014|pp=3-4}}
Dalam perkembangannya, penggunaan aksara Makassar berangsur-angsur tergantikan dengan aksara [[aksara Lontara|Lontara Bugis]] yang bagi penulis Makassar kadang dirujuk sebagai "lontara baru". Pergantian ini kemungkinan dipengaruhi oleh surutnya prestise [[Kerajaan Gowa]] bersamaan dengan meningkatnya kekuatan [[suku Bugis|Bugis]]. Seiring menurunnya pengaruh Gowa, para juru tulis Makassar tidak lagi menggunakan aksara Makassar dalam pencatatan sejarah resmi atau dokumen sehari-hari, meski kadang masih digunakan untuk konteks-konteks tertentu sebagai upaya untuk membedakan identitas budaya Makassar dari pengaruh Bugis. Naskah beraksara Makassar paling baru yang sejauh ini diketahui adalah catatan harian seorang ''tumailalang'' (perdana menteri) Gowa dari abad 19 M yang bentuk aksaranya telah menerima pengaruh signifikan dari aksara Lontara Bugis.{{sfn|Jukes|2019|pp=47-49}} Hingga penghujung abad 19 M, penggunaan aksara Makassar telah tergantikan sepenuhnya dengan Lontara Bugis dan kini tidak ada lagi pembaca asli aksara Makassar.{{sfn|Jukes|2019|pp=49}}
Baris 53 ⟶ 37:
|-
|align=center; colspan=2|
<gallery mode="packed" heights="200px">
Berkas:Detil perjanjian bungaya.jpg|Detil tanda tangan beraksara Makassar dari [[Perjanjian Bungaya]] koleksi Arsip Nasional Indonesia
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gedeelte van het dagboek van de Vorsten van Gowa in oud Makassaarschrift TMnr 668-216.jpg| Buku harian Pangeran [[Gowa]] koleksi Tropenmuseum
Baris 62 ⟶ 46:
Sebagaimana [[aksara Lontara]] yang juga digunakan di lingkup budaya Sulawesi Selatan yang sama, aksara Makassar digunakan dalam sejumlah tradisi teks berkaitan yang sebagian besarnya ditulis dalam manuskrip atau naskah kertas. Istilah '''''lontara''''' (kadang dieja '''''lontaraq''''' atau '''''lontara'''''' untuk menandakan bunyi [[Konsonan letup celah-suara|hentian glotal]] di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat [[Suku Bugis|Bugis]] dan [[Suku Makassar|Makassar]]. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (''lontara' pangngoriseng''), catatan harian (''lontara' bilang''), dan catatan sejarah atau [[Kronik (sejarah)|kronik]] (''patturioloang''). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.{{sfn|Tol|1996|pp=223–226}} Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif sedikit muncul atau disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.{{sfn|Cummings|2007|p=8}}<ref>{{cite book |editor-last1=Macknight |editor-first1=Charles Campbell |editor-last2=Paeni |editor-first2=Mukhlis |editor-last3=Hadrawi |editor-first3=Muhlis |year=2020 |title=The Bugis Chronicle of Bone |url=https://press.anu.edu.au/publications/bugis-chronicle-bone |translator1=Campbell Macknight |translator2=Mukhlis Paeni |translator3=Muhlis Hadrawi |location=Canberra |publisher=Australian National University Press |isbn=9781760463588 |ref=harv|language=EN|page=xi-xii}}</ref> Meskipun begitu, catatan sejarah seperti ''patturiolong'' Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.{{sfn|Cummings|2007|p=11}} Salah satu ''patturiolong'' beraksara Makassar yang telah diteliti oleh para ahli ialah [[Kronik Gowa]] yang menguraikan riwayat raja-raja Gowa sejak berdirinya [[Kerajaan Gowa]] hingga masa pemerintahan [[Sultan Hasanuddin]] pada abad 17 M.
Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.{{sfn|Tol|1996|pp=226–228}} Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (''arung''), atau perdana menteri (''tumailalang''). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka
== Kerancuan ==
Aksara Makassar tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata mati meskipun bahasa [[bahasa Makassar|Makassar]] memiliki banyak kata dengan suku kata mati.<!-- Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/ dan glotal /ʔ/ yang lumrah dalam bahasa Makassar sama sekali tidak ditulis dalam ejaan aksara Makassar, sehingga kata seperti ''ama'' (kutu ayam), ''ama''' (suka), dan ''amang'' (aman)<ref>{{Cite book|title=KAMUS MAKASSAR - INDONESIA|last=Arief|first=Drs. Abueraerah|date=1995|publisher=Yayasan Perguruan Islam Kapita DDI|isbn=|location=Makassar|pages=9|url-status=live}}</ref> semuanya akan ditulis sebagai ''ama'' {{Script|Maka|𑻱𑻥}} dalam aksara Makassar.--> Tulisan ''baba'' {{Script|Maka|𑻤𑻤}} dalam aksara Makassar dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: ''baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba,'' dan ''bambang''.{{sfn|Jukes|2014|p=6}} Mengingat bahwa penulisan aksara Makassar juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Makassar kerap memiliki banyak kerancuan kata yang
Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berikut untuk mengilustrasikan bagaimana penulisan aksara Makassar dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:
Baris 219 ⟶ 203:
|+ style="text-align: center;" | Tanda Baca
|-
!
! akhir bagian
|-
Baris 232 ⟶ 216:
=== Pengulangan suku kata ===
Suku kata berunut dengan konsonan awal yang sama
{| summary="syllable reduplication"
|-
Baris 244 ⟶ 228:
! rowspan=2|tanpa diakritik ganda
| [[Berkas:Mak_dudu.png|90px]]
|- style="text-align: center;"mood
| {{Script|Maka|𑻧𑻴𑻧𑻴}}
|-
Baris 671 ⟶ 655:
{{Tabel Unicode Makasar}}
== Catatan ==
Baris 683 ⟶ 663:
=== Daftar Pustaka ===
* {{Cite journal|url=https://oxis.org/downloads/cense_1966.pdf|title=Old Buginese and Macassarese diaries|first=A|last=Cense|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=122|issue=4|page=416-428|place=Leiden|year=1966}}
* {{cite book |last=Cummings |first=William P. |date=January 1, 2007 |title=A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq |url=https://books.google.com/?id=0jDBXoKAq6UC&dq=empire%20of%20gowa |publisher=KITLV Press |isbn=978-9067182874 |ref={{harvid|Cummings|2007}} }}{{Pranala mati|date=Maret 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=qmzDDwAAQBAJ|title=A Grammar of Makasar: A Language of South Sulawesi, Indonesia|last=Jukes|first=Anthony|date=2019-12-02|publisher=Brill|isbn=978-90-04-41266-8|language=en}}
* {{cite journal|url=https://lingdy.aa-ken.jp/en/activities/research-events/140227-intl-symp-and-ws|first=Anthony|last=Jukes|title=Writing and Reading Makassarese|year=2014|publisher=LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies|journal=International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast Asia: Proceedings|language=EN |ref=harv}}
|