Tenggelamnya Kapal Van der Wijck: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
typo
OrophinBot (bicara | kontrib)
 
(53 revisi perantara oleh 30 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{about|novel|film yang berdasarkan novel ini|Tenggelamnya Kapal van der Wijck (film)}}
{{Spoken Wikipedia|Wini_Silfiani_-_Tenggelamnya_Kapal_Van_Der_Wijck.ogg|date=17 Agustus 2022}}
{{Infobox book <!-- See Wikipedia:WikiProject Novels or Wikipedia:WikiProject Books -->
| name = Tenggelamnya Kapal Vanvan der Wijck
| title_orig =
| translator =
| image =
| image = [[Berkas:Tenggelamnya-vanderwijk.jpg|250px]]
| image_caption = Sampul depan cetakan ke-22
| author = [[Hamka]]
| cover_artist =
| country = [[Indonesia]]
| language = [[Bahasa Indonesia]], [[bahasa Melayu|Melayu]]
| series =
| genre = Novel
Baris 22 ⟶ 24:
| followed_by =
}}
'''''Tenggelamnja Kapal Vanvan der Wijck''''' ([[Ejaan Yang Disempurnakan|EYD]]: '''''Tenggelamnya Kapal Vanvan der Wijck''''') adalah [[sebuah novel]] sekaligus salah satu karya [[sastra Indonesia]] klasik yang ditulis oleh Hamka, nama pena [[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]]. Novelatau yanglebih pertamadikenal kalidengan diterbitkannama padaHamka. tahun 1938Novel ini berkisahmengisahkan tentangpersoalan kasih[[Adat takMinangkabau|adat sampaiyang antaraberlaku Zainuddin,di laki-laki berayah [[MinangMinangkabau]] beribudan [[Bugis]],perbedaan danlatar Hayati,belakang perempuansosial yang murnimenghalangi keturunanhubungan [[Orangcinta Minang|Minang]]sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.
 
Dalam novelNovel ini, Hamkapertama menyatakankali ketidaksetujuanditulis terhadapoleh beberapaHamka tradisisebagai dalamcerita [[Adatbersambung Minangkabau|adatdalam Minang]],sebuah terutama mengenai diskriminasi terhadap orang keturunan campuranmajalah yang dilakukandipimpinnya, oleh''Pedoman masyarakatMasyarakat'' pada saattahun itu1938. AwalnyaDalam ''Tenggelamnyanovel Kapalini, VanHamka dermengkritik Wijck''beberapa dirilis sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalahtradisi yang dipimpinnya,dilakukan kemudianoleh diterbitkanmasyarakat sebagaipada novelsaat setelahitu penerimaanterutama masyarakat yangmengenai sangatkawin baikpaksa. Kritikus sastra Indonesia, [[Bakri Siregar]] menyebutnyamenyebut ''Tenggelamnya Kapal van der Wijck'' sebagai karya terbaik Hamka, meskipun pada tahun 1962 novel ini dikecam sebagai plagiasidituding darimenjiplak karya [[Jean-Baptiste Alphonse Karr]] berjudul ''Sous les Tilleuls'' (1832).
 
Diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939, ''Tenggelamnya Kapal van der Wijck'' terus mengalami pencetakan ulang sampai sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam [[bahasa Melayu]] sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di [[Indonesia]] dan [[Malaysia]].
 
== Latar belakang ==
[[Berkas:Abdul Malik Karim Amrullah, Pekan Buku Indonesia 1954, p217.jpg|125px|ka|jmpl|[[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]], penulis novel]]
{{utama|Haji Abdul Malik Karim Amrullah}}
[[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]], atau lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah Muslimulama asal [[Minangkabau]] yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, [[Abdul Karim Amrullah]].{{sfn|Siregar|1964|p=60}}{{sfn|Teeuw|1980|p=104}} Setelah melakukan perjalanan ke [[Jawa]] dan [[Mekkah]] sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia mulai bekerja sebagai guru agama di [[Deli]], [[Sumatera Utara]] sekarang, lalu di [[Makassar]], [[Sulawesi Selatan]].{{sfn|Siregar|1964|p=61}} Dalam perjalanan ini, terutama saat di [[Timur Tengah]], Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti]]{{sfn|Jassin|1985|p=46}} hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam [[bahasa Arab]].{{sfn|Jassin|1985|p=46}}{{sfn|Jassin|1985|p=47}} Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk pergi ke [[Medan]], [[Sumatera Utara]]. Di Medankota itu, Hamkaia menerima permintaan untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Islam mingguan ''Pedoman Masjarakat'', yang dalam majalah tersebutini untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.{{sfn|Teeuw|1980|p=104}} Di Medansela-sela kesibukannya, Hamka juga menulis ''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck''; karya yang diilhami sebagian dari tenggelamnya suatu kapal pada tahun 1936.{{sfn|Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi}}
{{clear}}
 
== PlotAlur ==
Perdebatan mengenai harta warisan antara Pendekar Sutan dengan mamaknya berujung pada kematian. Pendekar Sutan diasingkan dari [[Batipuh, Tanah Datar|Batipuh]] ke [[Cilacap]] selama dua belas tahun karena membunuh mamaknya. Setelah bebas, Pendekar Sutan memilih menetap di [[Makassar]] dan menikah dengan Daeng Habibah. Akan tetapi, setelah memperoleh seorang anak bernama Zainuddin, Daeng Habibah meninggal dan, tak lama setelah itu, Zainuddin menjadi yatim piatu.
Zainuddin adalah anak yatim piatu. Ayahnya yang berasal dari kalangan Minang, meninggal dalam pengasingan di [[Makassar]] setelah membunuh kerabatnya karena masalah warisan; sedangkan ibunya yang bukan Minang meninggal sebelumnya. Zainuddin pada awalnya tinggal bersama teman ayahnya, Mak Base di Makassar sebelum pindah ke [[Batipuh, Tanah Datar|Batipuh]], [[Sumatera]]. Sebagai orang blasteran, banyak diskriminasi yang ditujukan kepadanya, baik di Makassar maupun di Minangkabau, mengingat konservatifnya masyarakat pada saat itu. Biarpun Zainuddin mencintai Hayati, putri dari bangsawan Minang, Zainuddin tidak diperbolehkan untuk bersamanya. Karena itu, Zainuddin kemudian memutuskan pindah ke [[Padang Panjang]], tetapi tetap melakukan surat-menyurat dengan Hayati.
 
Ketika beranjak remaja, Zainuddin meminta izin kepada pengasuhnya, Mak Base untuk berangkat ke [[Minangkabau]]; ia telah lama ingin menjumpai tanah asal ayahnya di Batipuh. Namun, kedatangan Zainuddin tidak mendapatkan sambutan baik di tengah-tengah masyarakat yang menarik struktur kekerabatan dari ibu. Ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau karena, meskipun berayah Minang, ibunya berasal dari [[Bugis]]. Akibatnya, ia merasa terasing dan melalui surat-surat ia kerap mencurahkan kesedihannya kepada Hayati, perempuan keturunan bangsawan Minang yang prihatin terhadapnya.
Suatu hari, Hayati berkunjung ke Padang Panjang untuk menjumpai Zainuddin. Hayati menginap dengan sahabatnya, Khadijah. Namun, kakak Khadijah, Aziz mulai jatuh cinta dengan Hayati, sehingga Aziz dan Zainuddin harus bersaing untuk memenangkan cinta Hayati. Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati; mereka meremehkan Zainuddin, yang blasteran dan miskin. Biarpun Zainuddin mendapatkan warisan yang cukup besar dari Mak Base, Zainuddin hanya bisa menyampaikan hal itu setelah Hayati menikah dengan Aziz.
 
Setelah Zainuddin dan Hayati sama-sama mulai jatuh cinta, Zainuddin memutuskan pindah ke [[Padang Panjang]] karena mamak Hayati memintanya untuk keluar dari Batipuh. Sebelum berpisah, Hayati sempat berjanji kepada Zainuddin untuk selalu setia. Sewaktu Hayati berkunjung ke Padang Panjang karena hendak menjumpai Zainuddin, Hayati menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Namun, sekembali dari Padang Panjang, Hayati dihadapkan oleh permintaan keluarganya yang telah sepakat untuk menerima pinangan Azis, kakak Khadijah. Keluarga Hayati lebih menyukai Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, ketimbang Zainuddin. Meskipun masih mencintai Zainuddin, Hayati akhirnya terpaksa menerima dinikahkan dengan Aziz.
Karena putus asa, Zainuddin dan temannya Muluk pergi ke [[Jawa]], tinggal pertama kali di [[Jakarta|Batavia]] sebelum akhirnya pindah ke [[Surabaya]]. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan. Namun, hubungan mereka tidak lagi berjalan dengan baik. Setelah Aziz dipecat, mereka terpaksa menginap di rumah Zainuddin. Ketika Aziz menyadari bahwa Zainuddin lebih pantas untuk Hayati, Aziz memutuskan untuk pergi ke [[Banyuwangi]]; dalam sepucuk surat, Aziz menyatakan telah mengikhlaskan Hayati untuk Zainuddin.
 
Mengetahui Hayati telah menikah dan mengkhianati janjinya, Zainuddin yang sempat berputus asa pergi ke [[Jawa]] bersama temannya, Muluk, tinggal pertama kali di [[Batavia]] sebelum akhirnya pindah ke [[Surabaya]]. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan, tetapi rumah tangga mereka akhirnya menjadi berantakan. Setelah Aziz dipecat, mereka menumpang ke rumah Zainuddin, tetapi Aziz lalu bunuh diri dan dalam sepucuk surat ia berpesan agar Zainuddin menjaga Hayati. Namun, Zainuddin tidak memaafkan kesalahan Hayati. Hayati akhirnya disuruh pulang ke Batipuh dengan menaiki kapal ''van der Wijck''. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam, dan setelah Zainuddin mendengar berita itu ia langsung menuju sebuah rumah sakit di [[Tuban]]. Sebelum kapal tenggelam, Muluk yang menyesali sikap Zainuddin memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya. Namun, tidak lama setelah Zainuddin datang, Hayati meninggal. Sepeninggal Hayati, Zainuddin menjadi sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal. Jasadnya dimakamkan di dekat pusara Hayati.
Zainuddin, yang merasa tersiksa karena kerinduannya akan Hayati, menolak perempuan itu untuk tetap di rumahnya dan menyuruhnya agar pulang ke Batipuh. Hari berikutnya, Hayati pergi dengan menaiki kapal ''Van der Wijck'', yang kemudian tenggelam di pesisir utara pulau Jawa. Setelah mendengar berita itu, Zainuddin dan Muluk pergi ke [[Tuban]] untuk mencari Hayati, yang ternyata telah berada di rumah sakit. Di rumah sakit itu, Hayati meninggal setelah berbaikan dengan Zainuddin. Zainuddin pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Mereka kemudian dikebumikan secara bersebelahan.
 
== Tema ==
Seperti novel Hamka sebelumnya, ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'', ''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck'' ditulis untuk mengkritik beberapa tradisi dalam adat Minang yang berlaku saat itu, seperti perlakuan terhadap orang berketurunan blasteran dan peran perempuan dalam masyarakat;. halHal initersebut dimunculkan dengan usaha Hayati menjadi istri yang sempurna biarpun Aziz tidak menghargainya.{{sfn|Jassin|1985|p=63}}{{sfn|Mahayana|2007|p=169}} Hamka beranggapan bahwa beberapa tradisi adat tersebut tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.{{sfn|Jassin|1985|p=63}} DalamMelalui karyanya''Tenggelamnya yangKapal lainvan der Wijck'', Hamka terusmengobarkan mengkritiksemangat adatpersatuan dan kesatuan bangsa demi tercapainya kemerdekaan dengan tidak melebarkan perbedaan antar suku dan budaya.{{sfn|Jassin|1985|p=64}}
 
Hamka melalui simbol Zainuddin mempertanyakan ketimpangan adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Meskipun seorang anak berayah orang Minangkabau, jika suku ibunya bukan Minangkabau, maka ia adalah orang lain. Selain itu, Hamka mengkritik adat Minangkabau yang tidak memberikan tempat pada laki-laki dalam struktur keluarga. Adat Minangkabau yang menempatkan perempuan sebagai pewaris harta dalam keturunannya membuat laki-laki termarginalkan. Hamka menulis, sangatlah malang bagi seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan karena membuat harta warisan kedua orangtuanya akan diurus oleh ''mamak'', saudara laki-laki dari keluarga ibu.{{fact}}
 
Hayati mewakili potret perempuan Minangkabau yang harus tunduk pada struktur adat, meskipun harus berjuang keras melawan keinginannya sendiri. Aziz adalah simbol kewibawaan tetapi berperilaku buruk. Keluarga Hayati menerima lamaran Aziz untuk meminang Hayati dan menolak lamaran Zainuddin karena Zainuddin dianggap tidak punya adat dan suku, meskipun memiliki perilaku yang baik.{{fact}}
 
== Rilis dan penerimaan ==
''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck'' pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam majalah Islam mingguan Hamka di [[Medan]], ''Pedoman Masjarakat'' pada tahun 1938.{{sfn|Mahayana|2007|p=168}} Menurut Yunan Nasution, salah satu karyawan majalah tersebut, ketika majalah itu dikirimkan ke [[Banda Aceh|Kutaraja]], [[Aceh]] (kini Banda Aceh), banyak pembaca yang telah menunggu di stasiun kereta api agar bisa membaca bab berikutnya secepat mungkin. Hamka juga menerima surat dari beberapa pembaca, yang beranggapan bahwa novel itu mencerminkan kehidupan mereka. Namun, beberapa orang Muslim konservatif menolak ''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck''; mereka menyatakan bahwa seorang [[ulama]] harusnya tidak mengarang cerita tentang percintaan.{{sfn|Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi}}
 
Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan ''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck'' sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit swasta Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di [[Balai Pustaka]]. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di [[Jakarta]]; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang.{{sfn|Mahayana|2007|p=168}}{{sfn|Siregar|1964|p=123}} Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di [[Malaysia]] beberapa kali.{{sfn|Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi}}
 
Kritikus sastra Indonesia beraliran sosialis, [[Bakri Siregar]] menyebut ''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck'' sebagai karya terbaik Hamka.{{sfn|Siregar|1964|p=61}} Kritikus lain, [[Maman S. Mahayana]], berpendapat bahwa novel ini mempunyai karakterisasi yang baik dan penuh ketegangan; Maman beranggapan bahwa ini mungkin karena novel ini awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambugbersambung.{{sfn|Mahayana|2007|p=170}}
 
=== Tuduhan plagiasipenjiplakan ===
Pada bulan September 1962, Abdullan S.P.—nama yangsamaran dari [[Pramoedya Ananta Toer]]—yang memuat tulisannya ke dalam koran ''Bintang Timur'' menyebutkan bahwa novel ''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck'' diplagiasidijiplak dari ''Sous les Tilleuls'' (1832) karya [[Jean-Baptiste Alphonse Karr]], melalui terjemahan ber[[bahasa Arab]] oleh Mustafa Lutfi al-Manfaluti; sebenarnya desas-desus plagiasipenjiplakan sudah lama ada.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|pp=78–79}}{{sfn|Teeuw|1980|p=105}} Hal ini menjadi polemik luas dalam [[pers Indonesia]].{{sfn|Kompas 2012, Palagan Hamka}} Sebagian besar orang yang menuduh Hamka berasal dari [[Lekra]], sebuah organisasi sastra sayap kiri yang berafiliasi dengan [[Partai Komunis Indonesia|PKI]].{{efn|Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka, yang merupakan ulama, dianggap sebagai salah satu target penting.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|pp=78–79}}}} Sementara itu, penulis di luar sayap kiri melindungi Hamka.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|pp=78–79}}{{sfn|Jassin|1985|p=59}} Beberapa kritikus menemukakan beberapa kesamaan antara dua buku tersebut, baik dari segi alur maupun teknik penceritaaanpenceritaan.{{sfn|Jassin|1985|pp=65-66}}
 
Ahli dokumentasi sastra [[H.B. Jassin]], yang membandingkan kedua karya itu dengan menggunakan terjemahan ''Sous les Tilleuls'' berbahasa Indonesia yang diberi judul ''Magdalena'', menulis bahwa novel ini tidaklah mungkin hasil plagiasipenjiplakan, sebab cara Hamka mendeskripsikan tempat itu sangat mendalam dan sesuai dengan gaya bahasanya dalam tulisan sebelumnya.{{sfn|Jassin|1985|p=61}} Jassin juga menegaskan bahwa novel ''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck'' membahas masalah [[Adat Minangkabau|adat Minang]], yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar.{{sfn|Jassin|1985|p=63}} Akan tetapi, Bakri Siregar beranggapan bahwa terdapat banyak kesamaan antara Zainuddin dan Steve, serta Hayati dan Magdalena, yang menandai adanya plagiasipenjiplakan.{{sfn|Siregar|1964|p=61}} Kritikus sastra asal Belanda, [[A. Teeuw]] menyatakan bahwa tanpa berpendapat kalau kesamaan yang terkandung dalam novel itu dilakukan secara sadar, memang terdapat banyak hal yang mirip di antara kedua karya itu, tetapi ''VanTenggelamnya Kapal van der Wijck'' sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.{{sfn|Teeuw|1980|p=105}}
 
== Keterangan ==
Baris 63 ⟶ 73:
;Daftar pustaka
{{refbegin|colwidth=30em}}
* {{cite news
|url=http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/05/19/LU/mbm.20080519.LU127217.id.html
|date=19 Mei 2008
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/68APgwaID?url=http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/05/19/LU/mbm.20080519.LU127217.id.html
|archivedate=4 Juni 2012-06-04
|accessdate=4 Juni 2012
|title=Hamka Menggebrak Tradisi
|work=[[Tempo (majalah)|Tempo]]
|location=Jakarta
|ref={{SfnRef|Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
| last = Jassin
| first = H.B.
| author-link = H.B. Jassin
| year = 1985
| title = Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I
| chapter = Apakah Tenggelamnya Kapal van der Wijck Plagiat?
| pages = 59-69
| location = Jakarta
| publisher = Gramedia
| oclc = 36434233
| ref = harv
}}
* {{cite book
|title=Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia
|last=Mahayana
|first=Maman S.
|publisher=RajaGrafindo Persada
|location=Jakarta
|ref=harv
|isbn=978-979-769-115-8
|year=2007
}}
* {{cite book
| last = Mahayana
| first = Maman S.
| last2 = Sofyan
| first2 = Oyon
| last3 = Dian
| first3 = Achmad
| year = 1995
| title = Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern
| location = Jakarta
| publisher = Grasindo
| isbn = 978-979-553-123-4
| url = http://books.google.com/?id=Bq8caP8yvqwC
| ref = harv
}}
* {{cite book
| last = Siregar
| first = Bakri
| year = 1964
| title = Sedjarah Sastera Indonesia
| volume = 1
| series =
| publisher = Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli"
| location = Jakarta
| oclc = 63841626
| ref = harv
}}
* {{cite book
| last = Teeuw
| first = A.
| author-link = A. Teeuw
| year = 1980
| title = Sastra Baru Indonesia
| volume = 1
| publisher = Nusa Indah
| location = Ende
| oclc = 222168801
| ref = harv
}}
* {{cite news
|url=http://oase.kompas.com/read/2012/03/20/21431130/Palagan.Hamka.dan.Lentera.Pram
|date=20 Maret 2012
|accessdate=12 Juni 2012
|title=Palagan Hamka dan Lentera "Pram"
|work=[[Kompas (surat kabar)|Kompas]]
|location=Jakarta
|ref={{SfnRef|Kompas 2012, Palagan Hamka}}
|archive-date=2012-03-24
|archive-url=https://web.archive.org/web/20120324172348/http://oase.kompas.com/read/2012/03/20/21431130/Palagan.Hamka.dan.Lentera.Pram
|dead-url=yes
}}
{{refend}}
{{Hamka}}
 
[[Kategori:Novel tahun 1938]]
[[Kategori:Novel oleh Hamka]]
[[Kategori:SastraNovel Indonesia]]
[[Kategori:Novel Balai Pustaka‎Pustaka]]
 
{{featured article}}
 
[[en:Tenggelamnya Kapal van der Wijck]]
[[ms:Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]