Jawanisasi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Mimihitam memindahkan halaman Penjawaan ke Jawanisasi menimpa pengalihan lama |
OrophinBot (bicara | kontrib) |
||
(33 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{More citations needed|date=Januari 2022}}
[[Berkas:TMII Sasono Utomo.JPG|jmpl|ka|340px|''
'''Jawanisasi''' atau '''penjawaan''' adalah proses
Dalam pengertian modern, dalam perspektif sosial, budaya dan politik Indonesia, Jawanisasi bisa berarti hanya sebagai penyebaran penduduk [[suku Jawa]] dari pedesaan Jawa yang berpenduduk padat ke bagian yang kurang penduduknya di pulau lainnya di [[Nusantara]].<ref>Lihat Program [[Transmigrasi]] Indonesia, di mana kebijakan pemerintah untuk memukimkan orang Jawa yang miskin pindah ke pulau lain di Indonesia. Dalam beberapa kasus hal ini tidak disambut baik oleh penduduk asli, terutama apabila para pendatang baru itu alih-alih malah menjadi mayoritas di sana.</ref> Sedangkan untuk pihak lain, itu juga bisa berarti penerapan — sadar atau tidak sadar — pola pikir dan perilaku Jawa di berbagai tempat di Indonesia, dalam arti penjajahan budaya, hal ini lebih terfokus pada cara pemikiran dan praktik kelompok yang berkuasa.<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=i4RKmz2aJiEC&pg=PA51&lpg=PA51&dq#v=onepage&q&f=false|title=Chapter 3. Javanization, Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java|last=Mulder|first=Niels|authorlink=Niels Mulder|date=2005|publisher=Kanisius|page=51|access-date=2020-07-02|archive-date=2020-07-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20200703011753/https://books.google.co.id/books?id=i4RKmz2aJiEC&pg=PA51&lpg=PA51&dq#v=onepage&q&f=false|dead-url=yes}}</ref>
}}▼
Akan tetapi, istilah "Penjawaan" tidak semata digunakan untuk menggambarkan proses ke luar, tetapi juga proses ke dalam. Istilah ini dapat pula menggambarkan adopsi dan asimilasi pengaruh sosial-budaya asing ke dalam unsur-unsur budaya Jawa. Berbagai pengaruh asing ini "dijawakan", yaitu ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan kerangka acuan, gaya, kebutuhan, dan kondisi sosial-budaya Jawa. Penerapan
Penggalakan dan penyebaran unsur-unsur budaya Jawa, seperti [[bahasa Jawa]], arsitektur, [[Masakan Jawa|seni kuliner]], [[kebaya]], [[batik]], [[wayang]], [[gamelan]] dan [[keris]] juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari proses Jawanisasi. Migrasi orang Jawa untuk menetap di luar tanah air tradisional mereka di [[Jawa Tengah]], [[Yogyakarta]], dan [[Jawa Timur]] ke daerah-daerah lain di Indonesia ([[Sumatra]], [[Kalimantan]], [[Papua Barat|Papua]],
== Perwujudan ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Wajangfiguur van karbouwenhuid voorstellende een pauzeteken TMnr 4551-27.jpg|jmpl|ka|Ekspresi budaya Jawa, seperti [[wayang]] dan [[gamelan]] sering kali dipergunakan untuk mempromosikan keunggulan budaya Jawa.]]
Hegemoni atau dominasi budaya Jawa ini bisa terwujud dalam berbagai aspek. Seperti fisik melalui penyebaran permukiman diaspora Jawa di luar tanah air tradisional mereka di Jawa. Dalam aspek spiritual dan perilaku, proses Jawanisasi meliputi penerapan budaya dan nilai-nilai Jawa; seperti obsesi akan kehalusan dan keanggunan (Jawa: ''alus''), sopan santun, ketidaklangsungan, enggan berterus terang, pengendalian emosional, dan perhatian akan status sosial seseorang. Nilai-nilai Jawa menjunjung tinggi keselarasan dan keteraturan tatanan sosial, mereka membenci konflik langsung dan perselisihan. Nilai-nilai Jawa ini sering disebarkan melalui ekspresi budaya Jawa, seperti [[tari Jawa]], [[gamelan]], [[wayang]], [[Keris]] dan [[batik]] sebagai kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini juga yang diperkuat melalui kepatuhan terhadap
Dalam aspek bahasa, seperti penggunaan [[Bahasa Jawa|bahasa]], istilah, idiom, dan kosakata Jawa di luar wilayah bahasa tradisional Jawa. Misalnya, kini lazim bagi warga Indonesia menggunakan istilah Jawa untuk menyapa orang lain, seperti ''Mas'' (terhadap laki-laki sebaya atau yang sedikit lebih tua), ''Kang'' atau Kakang (terhadap laki-laki yang lebih tua) dan ''
Dalam sosial dan politik, contoh Jawanisasi dirasakan seperti [[Presiden Indonesia]] yang selalu berasal dari [[
== Sejarah awal ==
[[Berkas:Majapahit Empire id.svg|jmpl|ka|Penyebaran pengaruh kekuasaan [[Majapahit]] pada abad ke-14.]]
Pulau [[Jawa]] telah menjadi panggung [[sejarah Indonesia]] selama berabad-abad, dan [[orang Jawa]] sebagai [[Suku bangsa di Indonesia|kelompok etnis]] terbesar telah mendominasi lanskap sosial dan politik [[Indonesia]] pada masa lampau maupun masa kini.
Pada tahap awal, budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh peradaban [[Hindu]]-[[Buddha]] dari India. Contoh dari proses ini adalah sejumlah besar kata serapan dari [[bahasa
Contoh-contoh awal Jawanisasi adalah perluasan kesenian Jawa [[Sailendra]] — dikembangkan dalam abad ke-8
Pada periode klasik awal, selama [[Kerajaan Medang]] periode Jawa Timur pada abad ke-10, terjadi perluasan pengaruh Jawa ke [[Bali]]. Putri dari Jawa Timur, [[Mahendradatta]], menjadi permaisuri Raja [[Udayana]] Warmadewa dari Bali.
Perluasan
Diikuti oleh ekspansi
Juga selama periode terakhir dari Majapahit pada abad ke-15, unsur gaya asli [[Austronesia]] pra-Hindu Jawa dihidupkan kembali, seperti yang ditunjukkan dalam bentuk
== Sejarah zaman madya ==
[[Berkas:Tropenmuseum Royal Tropical Institute Objectnumber 60006336 Portret van een Javaanse vrouw met ee.jpg|jmpl|lurus|Diaspora orang Jawa seperti ke [[Suriname]] pada masa kolonial Hindia Belanda turut menyebarkan kebudayaan Jawa.]]
Setelah jatuhnya Majapahit, [[Kesultanan Demak]] menggantikan hegemoninya di
[[Kesultanan Mataram]] pada masa pemerintahan [[Sultan Agung]] yang ambisius, di paruh pertama abad ke-17, budaya Jawa semakin diperluas. Sebagian besar ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ekspedisi militer Mataram di kerajaan Jawa Timur seperti Surabaya dan Pasuruan, memperluas pengaruh budaya Jawa Mataraman. Ekspansi Mataram meliputi wilayah [[orang Sunda|Sunda]] di dataran tinggi [[Priangan]], dari Galuh Ciamis, Sumedang, Bandung, dan Cianjur. Selama periode inilah, orang-orang Sunda mulai terpapar dan menyerap lebih lanjut budaya Jawa ''[[Kejawen|Kejawèn]]''. [[Wayang
Pengaruh dan ide-ide asing seperti agama dan kepercayaan, kadang-kadang secara sadar dan sengaja mengalami perubahan dan adaptasi, menjadi "dijawakan" agar dapat diterima oleh khalayak Jawa. Contoh-contoh seperti proses yang terjadi pada abad ke-15 dijuluki sebagai "[[Islamisasi]] Jawa dan Jawanisasi Islam". [[Wali Songo]] seperti [[Sunan Kalijaga]] diketahui menggunakan ekspresi seni budaya Jawa seperti [[gamelan]] dan wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. [[Wayang#Wayang sadat|Wayang sadat]] adalah varian dari wayang yang digunakan dalam tabligh dan [[dakwah]] untuk menyebarkan pesan-pesan Islam. Contoh lain Jawanisasi Islam di Jawa adalah pembangunan atap tumpang bertingkat pada masjid Jawa. Pada masjid Jawa awalnya tidak terdapat kubah, menara, melainkan mengadopsi pertukangan kayu bangunan [[pendopo]] dan atap meru — seperti yang berasal dari seni arsitektur Jawa pra-Islam sebelumnya. Contoh dari masjid jenis ini adalah [[Masjid Agung Demak]] dan Masjid Agung Kauman Yogyakarta.▼
▲Pengaruh dan ide-ide asing seperti agama dan kepercayaan, kadang-kadang secara sadar dan sengaja mengalami perubahan dan adaptasi, menjadi "dijawakan" agar dapat diterima oleh khalayak Jawa. Contoh-contoh seperti proses yang terjadi pada abad ke-15 dijuluki sebagai "[[Islamisasi]] Jawa dan Jawanisasi Islam". [[Wali Songo]] seperti [[Sunan Kalijaga]] diketahui menggunakan ekspresi seni budaya Jawa seperti [[gamelan]] dan wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. [[
▲[[Kesultanan Mataram]] pada masa pemerintahan [[Sultan Agung]] yang ambisius, di paruh pertama abad ke-17, budaya Jawa semakin diperluas. Sebagian besar ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ekspedisi militer Mataram di kerajaan Jawa Timur seperti Surabaya dan Pasuruan, memperluas pengaruh budaya Jawa Mataraman. Ekspansi Mataram meliputi wilayah [[orang Sunda|Sunda]] di dataran tinggi [[Priangan]], dari Galuh Ciamis, Sumedang, Bandung, dan Cianjur. Selama periode inilah, orang-orang Sunda mulai terpapar dan menyerap lebih lanjut budaya Jawa ''[[Kejawen]]''. [[Wayang Golek]] adalah kesenian wayang versi Sunda yang banyak menyerap pengaruh budaya Wayang Kulit Jawa. Budaya yang dimiliki bersama seperti [[gamelan]] dan [[batik]] juga berkembang. Mungkin pada saat itulah [[bahasa Sunda]] mulai mengadopsi tingkat unggah-ungguh kehalusan istilah dan kosakata untuk menunjukkan kesopanan, sebagaimana tercermin dalam [[bahasa Jawa]]. Selain itu, [[aksara Jawa]] juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai ''cacarakan''.
{| class="wikitable" align="center" style="margin: 0 auto; font-size: 80%; width: 100%;"
|-
|align="center"|
<gallery mode="packed">
Berkas:DSC00253 Java Bromo Temple Indou Laotian Pasir (6226529310).jpg|[[Pura Luhur Ponten]], dekat Kawah [[Gunung Bromo|Bromo]].
Berkas:Candi Mendut 1.jpg|Wihara Mendut, biara Buddha dekat [[Candi Mendut]], [[Magelang]].
Berkas:Masjid Agung Demak.jpg|[[Masjid Agung Demak]] yang beratapkan meru bertingkat.
Berkas:Ganjuran Church, exterior 01.jpg|[[Gereja Ganjuran]] di [[Bantul]], dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa.
Berkas:Kelenteng Sam Poo Kong.jpg|[[Kelenteng Sam Poo Kong]] di [[Semarang]] yang beratapkan joglo.
</gallery>
Iman [[Katolik]] sebagai contoh, juga menggunakan kosakata dan kerangka acuan Jawa dengan menggunakan istilah ''"Romo"'' (Jawa: ''bapak'') untuk merujuk [[Pastor]] Katolik. Penyebaran ajaran Katolik juga menggunakan seni wayang tradisional untuk menyebarkan pesan mereka, seperti [[wayang wahyu]], digunakan untuk menceritakan kisah Injil. Dalam arsitektur, gereja Katolik juga mengadopsi gaya arsitektur Jawa dan untuk gereja mereka, seperti [[Gereja Ganjuran]] di Bantul, Yogyakarta, yang membangun candi untuk Yesus dalam gaya [[candi]] Jawa kuno. Contoh lain termasuk [[Gereja Pohsarang]] di Kediri yang dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa.
Selama periode kolonial [[Hindia Belanda]], terdapat sejumlah orang Jawa yang bermigrasi ke [[Suriname]] sebagai pekerja perkebunan. Di Nusantara, orang Jawa juga bermigrasi ke beberapa tempat seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Johor di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah seperti [[DKI Jakarta]], [[Jawa Barat]] utara dan [[Lampung]] juga diketahui dihuni sejumlah besar pendatang Jawa. Bahkan beberapa tempat di luar Jawa memiliki nama Jawa atau "Kampung Jawa", misalnya [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Kampung Jawa]] di Tondano, Sulawesi Utara, dan [[Tanah Jawa, Simalungun|Tanah Jawa]] di Simalungun, == Sejarah modern ==
[[Berkas:Masjid Suharto di dekat Museum Imam Bonjol.jpg|al=|jmpl|Sebuah masjid di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]], [[Sumatera Barat]]. Rezim Orde Baru Soeharto menyeponsori pembangunan ratusan [[masjid di Indonesia]] dengan gaya atap tumpang bertingkat Jawa.|ka]]
Setelah [[revolusi Indonesia]] (
Selama rezim Orde Baru [[Soeharto]] (
Setelah masa kemerdekaan, Indonesia lazim menerapkan [[neologisme]] untuk penamaan baru, dengan menggunakan kata serapan dari bahasa [[
▲Selama rezim Orde Baru [[Soeharto]] (1966-1998), budaya politik Indonesia agak dianggap telah "dijawakan". Tingkat administrasi juga diatur dalam gaya dan idiom Jawa, seperti ''[[Kabupaten]]'' dan ''desa'', istilah yang awalnya tidak akrab di beberapa provinsi di Indonesia, seperti [[Sumatra Barat]] (menggunakan istilah "nagari") dan [[Papua]] (menggunakan istilah "distrik"). Dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kemerdekaan, istilah "Jawanisasi" digunakan untuk menggambarkan proses dimana [[orang Jawa|etnis Jawa]] dan individu yang dijawakan, secara bertahap menjadi mayoritas dan tidak proporsional dari elit pemerintahan di era pasca-kemerdekaan Indonesia.<ref>{{cite web
Ibu kota Indonesia yang baru yang berlokasi di Kalimantan Timur, diberi nama [[Nusantara]], sebuah frase yang berasal dari bahasa Jawa Kuno.<ref>{{cite news |title=Sejarawan UGM Kritik Nusantara Jadi Nama Ibu Kota Negara |url=https://yogya.inews.id/berita/sejarawan-ugm-kritik-nusantara-jadi-nama-ibu-kota-negara. |website=Inews.id |date=22 Januari 2022 |accessdate=27 Januari 2022 }}{{Pranala mati|date=Januari 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref><ref>{{cite news |title = Sejarawan Kritik Nama Ibu Kota Baru, Bisa Mereduksi Makna Nusantara |url=https://katadata.co.id/ameidyonasution/berita/61e57cfee3518/sejarawan-kritik-nama-ibu-kota-baru-bisa-mereduksi-makna-nusantara |author=Rizky Alika |editor=Ameidyo Daud Nasution |date=17 Januari 2022 |accessdate=27 Januari 2022}}</ref>
▲Setelah masa kemerdekaan, Indonesia lazim menerapkan [[neologisme]] untuk penamaan baru, dengan menggunakan kata serapan dari bahasa [[Sansekerta]] melalui perantara bahasa Jawa Kuno ([[Bahasa Kawi]]). Maka dinamailah kota [[Jayapura]] untuk menggantikan nama "Sukarnapura" (yang digunakan [[Demokrasi Terpimpin]] untuk nama baru kota "Hollandia") karena kebijakan anti-Soekarno Orde Baru. Demikian pula dengan nama seperti [[Pegunungan Jayawijaya]], [[Penghargaan Kalpataru]], [[Bintang Mahaputra]], Piala [[Adipura]], serta istilah yang memiliki asal Sansekerta-Jawa seperti adibusana, lokakarya, dasawarsa, pranala, unggah, unduh, dan lain-lain.
== Kritik ==
{{Original research}}
[[Berkas:Suharto and wife in Javanese attire.jpg|jmpl|lurus|[[
Isu Jawanisasi telah menjadi isu sensitif yang penting dalam persatuan nasional [[Indonesia]]. [[Buya Hamka]] pernah menyatakan dengan resah bahwa Jawanisasi adalah ancaman persatuan nasional Indonesia.<ref>{{Cite book|last=Rush|first=James R.|date=2020-05-28|url=https://books.google.com/books?id=K9bnDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA155&dq=PRRI+%22jawanisasi%22&hl=id|title=Adicerita Hamka|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=978-602-06-4406-6|language=id}}</ref> Dominasi Jawa dianggap tidak hanya pada ranah budaya, tetapi juga sosial, politik dan ekonomi. Rezim [[Orde Baru]] [[
Program [[
Namun, kini di era otonomi daerah tidak relevan untuk menghubungkan program transmigrasi terhadap isu-isu Jawanisasi, karena proses migrasi juga dilakukan secara internal di Jawa, atau dalam provinsi tertentu.<ref>{{cite web|url=http://bto.depnakertrans.go.id/trans_update/artikel.php?aid=247|title=Transmigrasi Enyahkan Paradigma Jawanisasi|date=23 Desember 2005|website=Bursa Transmigrasi|publisher=Ministry of Work Force and Transmigration|language=Indonesian|access-date=6 November 2013|archive-date=2013-11-06|archive-url=https://archive.today/20131106170012/http://bto.depnakertrans.go.id/trans_update/artikel.php?aid=247|dead-url=yes}}</ref> Misalnya di Indonesia Timur seperti di [[Maluku]] dan Papua, sebagian besar kaum pendatang berasal dari Sulawesi ([[Bugis]]-Makassar dan [[Buton]]) dan Maluku itu sendiri, dan bukan dari Jawa. Program transmigrasi harus secara hati-hati mencermati potensi ekonomi, serta dampak sosial dan budaya di daerah tersebut. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa provinsi yang membuka diri untuk [[pluralisme]] dan menerima pemukim
▲</ref> Misalnya di Indonesia Timur seperti di [[Maluku]] dan Papua, sebagian besar kaum pendatang berasal dari Sulawesi ([[Bugis]]-Makassar dan [[Buton]]) dan Maluku itu sendiri, dan bukan dari Jawa. Program transmigrasi harus secara hati-hati mencermati potensi ekonomi, serta dampak sosial dan budaya di daerah tersebut. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa provinsi yang membuka diri untuk [[pluralisme]] dan menerima pemukim antar-provinsi biasanya berkembang lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang mengisolasi diri. Hal yang juga penting untuk dicatat, bahwa Jawa itu sendiri telah menarik kaum perantau dan pekerja dari seluruh nusantara, maka dengan demikian demografi Jawa tidaklah homogen.
== Lihat
* [[Kebangkitan Nasional Indonesia|Indonesianisasi]]
* [[Melayuisasi]]
|