Masjid Lawang Kidul: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Arisdp (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
OrophinBot (bicara | kontrib)
 
(9 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox religious building
{{Infobox religious building|image=|caption=|building_name=Masjid Lawang Kidul|location=Lorong Masjid Lawang Kidul, Lawang Kidul, [[Ilir Timur II, Palembang|Kec. Ilir Timur II]], [[Kota Palembang|Palembang]], [[Sumatra Selatan]]|religious_affiliation=[[Islam]]|website=|architect=|architecture_type=Masjid|architecture_style=|groundbreaking=1878|year_completed=|construction_cost=|capacity=300<ref>{{Cite web|url=http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/73536/|title=Masjid Lawang Kidul|last=|first=|date=|website=SIMAS - SISTEM INFORMASI MASJID|access-date=}}</ref>|dome_quantity=|dome_height_outer=|dome_dia_outer=|minaret_quantity=|minaret_height=}}'''Masjid Lawang Kidul''' termasuk salah satu masjid tertua di [[Kota Palembang|Palembang]], [[Sumatra Selatan]]. Masjid ini berdiri pada tahun 1881 dan memegang peran penting baik sebagai pusat penyebaran Islam maupun dijadikan markas para pejuang setempat pada masanya. Material Masjid ini terbuat dari campuran batu kapur dengan putih telur dan pasir, sehingga membuat masjid ini dapat bertahan dengan lama. Menurut informasi dari situs [https://sumsel.antaranews.com/berita/303904/masjid-lawang-kidul-saksi-sejarah-syiar-islam-di-palembang Antara Sumsel] bangunan induk masjid ini sebagian besar tetap terjaga keasliannya dan hampir 99 persen masih merupakan bangunan asli dan belum ada yang diganti.<ref>{{Cite web|url=https://sumsel.antaranews.com/berita/303904/masjid-lawang-kidul-saksi-sejarah-syiar-islam-di-palembang|title=Masjid Lawang Kidul saksi sejarah syiar Islam di Palembang|last=Ervani|first=Evan|date=17 Juni 2016|website=Antara Sumsel|publisher=|access-date=5 September 2018}}</ref>
|image=
|caption=
|building_name=Masjid Lawang Kidul
|location=Lorong Masjid Lawang Kidul, Lawang Kidul, [[Ilir Timur II, Palembang|Kec. Ilir Timur II]], [[Kota Palembang|Palembang]], [[Sumatera Selatan]]
|coordinates={{coord|-2.980935|104.775539|display=inline,title}}
|religious_affiliation=[[Islam]]
|website=
|architect=
|architecture_type=Masjid
|architecture_style=
|groundbreaking=1878
|year_completed=
|construction_cost=
|interior_area = 400 m<sup>2</sup>
|site_area = 2.104 m<sup>2</sup>
|capacity=300<ref>{{Cite web|url=http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/73536/|title=Masjid Lawang Kidul|last=|first=|date=|website=SIMAS - SISTEM INFORMASI MASJID|access-date=}}</ref>
|dome_quantity=
|dome_height_outer=
|dome_dia_outer=
|minaret_quantity=
|minaret_height=}}
{{Infobox religious building|image=|caption=|building_name=Masjid Lawang Kidul|location=Lorong Masjid Lawang Kidul, Lawang Kidul, [[Ilir Timur II, Palembang|Kec. Ilir Timur II]], [[Kota Palembang|Palembang]], [[Sumatra Selatan]]|religious_affiliation=[[Islam]]|website=|architect=|architecture_type=Masjid|architecture_style=|groundbreaking=1878|year_completed=|construction_cost=|capacity=300<ref>{{Cite web|url=http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/73536/|title=Masjid Lawang Kidul|last=|first=|date=|website=SIMAS - SISTEM INFORMASI MASJID|access-date=}}</ref>|dome_quantity=|dome_height_outer=|dome_dia_outer=|minaret_quantity=|minaret_height=}}'''Masjid Lawang Kidul''' termasuk salah satu masjid tertua di [[Kota Palembang|Palembang]], [[SumatraSumatera Selatan]]. Masjid ini berdiri pada tahun 1881 dan memegang peran penting baik sebagai pusat penyebaran Islam maupun dijadikan markas para pejuang setempat pada masanya. Material Masjid ini terbuat dari campuran batu kapur dengan putih telur dan pasir, sehingga membuat masjid ini dapat bertahan dengan lama. Menurut informasi dari situs [https://sumsel.antaranews.com/berita/303904/masjid-lawang-kidul-saksi-sejarah-syiar-islam-di-palembang Antara Sumsel] bangunanBangunan induk masjid ini sebagian besar tetap terjaga keasliannya dan hampir 99 persen masih merupakan bangunan asli dan belum ada yang diganti.<ref>{{Cite web|url=https://sumsel.antaranews.com/berita/303904/masjid-lawang-kidul-saksi-sejarah-syiar-islam-di-palembang|title=Masjid Lawang Kidul saksi sejarah syiar Islam di Palembang|last=Ervani|first=Evan|date=17 Juni 2016|website=Antara Sumsel|publisher=|access-date=5 September 2018}}</ref>
 
== Sejarah ==
Pesatnya pertumbuhan ummat muslim kota Palembang pada waktu itu tidak diiringi dengan tumbuhnya sarana peribadatan (masjid). [[Masjid Agung Palembang]] merupakan satu-satunya masjid jami’ di kota Palembang pada waktu itu, yang berarti hanya masjid Agung yang boleh dijadikan tempat pelaksanaan [[Salat Jumat|shalat jumat]] di kota Palembang. Mengingat jumlah umat muslim dikota Palembang yang semakin meningkat, maka Mgs. H. Abdul Hamid (Ki Marogan) sebagai seorang ulama dan usahawan yang sukses memiliki rencana untuk membangun masjid baru di kota Palembang. Rencana ini terealisasi pada tahun 1871 dan 1881 dimana Ki Marogan membangun dua masjid.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Nanda Julian Utama|first=dan Alian Sair|year=2014|title=Peranan Masagus Haji Abdul Hamid (Ki Marogan) terhadap Perkembangan Masjid Lawang Kidul di Kampung 5 Ilir Palembang (1881-1914)|url=https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/criksetra/article/view/4763|journal=Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah|volume=3|issue=2|pages=|doi=}}</ref>
 
Masjid pertama dibangun di Kampung Karang Berahi atau muara Sungai Ogan yaitu [[Masjid Kiai Muara Ogan|Masjid Muara Ogan]] atau yang dikenal luas dengan Masjid Ki Marogan. Masjid ini bisa menampung jamaah umat muslim dari kampung 1, 2, 3, 4, 5 ulu serta kampung Karang Berahi. Masjid kedua yang dibangun pada tahun 1881 adalah masjid Lawang Kidul. Masjid ini terletak di Kampung Lawang kidul (5 Ilir) yang dapat menampung jamaah umat muslim dari kampung 1, 2, 3, 4, 5 Ilir dan Kampung Tuan Kapar 14 Ulu. Semua masjid yang beliau bangun di lengkapi dengan alat-alat seperti lampu-lampu stolop, lampu kandil, lampu satron dan peralatan lainnya yang berkenaan dengan masjid.<ref name=":1">{{Cite book|title=Masjid Lawang Kidul|last=Gadjahnata|first=Dr. K.H.O.|publisher=Majelis Ulama Tingkat I Sumsel|year=1984|isbn=|location=Palembang|pages=|url-status=live}}</ref>
 
Sepuluh tahun setelah pembangunan masjid Lawang Kidul, kedua masjid yang dibangun dengan biaya sendiri tersebut akhirnya beliau wakafkan menjadi milik umat muslim di kota Palembang.
Baris 11 ⟶ 33:
Bentuk masjid Lawang Kidul ini hampir sama dengan bentuk Masjid Agung Palembang namun dengan ukuran yang lebih kecil. Keunikannya terdapat dari menara Masjid Lawang Kidul yang hingga sekarang masih dipertahankan bentuk uniknya. Bentuk atapnya berupa bentuk limas segi 4 yang bertumpang dua tingkat. Pada bagian atapnya memiliki tanduk-tanduk hampir sama pada atap Masjid Agung Palembang yang mengadosi bentuk bangunan masjid Hunan di [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]]. Kemudian untuk bagian menara masjid Lawang Kidul dibuat sangat unik dan menarik.
 
Bagian dalam masjid Lawang kidul, ditopang oleh 4 soko guru utama yang berupa tiang kayu yang cukup besar. Kemudian ditopang oleh 12 tiang lain yang bentuknya lebih kurus atau ramping.
 
Keunikan lain dalam interior masjid Lawang Kidul adalah terlihat dari bentuk mimbar masjid tersebut. Mimbar Masjid Lawang Kidul terdapat 4 buah bendera hijau bertuliskan lafaz-lafaz Islam seperti kalimat syahadat dan beberapa kata [[asma'ul husna]]. Mimbar masjid Lawang Kidul juga dihiasi dengan ukiran khas Palembang, keunikan dari ukiran ini adalah di sudut bawah sebelah kiri ukiran ini terdapat tanggal yaitu 26 shofar 1310 Hijriyah atau tanggal 17 september 1892 masehi, diperkirakan merupakan tanggal wakaf.
 
== Konflik dengan Masjid Agung Palembang<ref name=":0" /> ==
Setelah tahap pembangunan masjid ini selesai dan memulai fungsinya sebagai masjid jami’, Masjid Lawang Kidul mulai mendapat berbagai hambatan, khususnya pada pelaksanaan shalat jumat. Masalah ini hingga melibatkan pengurus masjid Agung Palembang dan dua ulama besar yaitu Sayyid Usman (mufti Betawi dan ulama penasehatpenasihat bagi pemerintahan [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]]) dan Syekh Akhmad Khatib Minangkabau (ulama Indonesia yang bermukim di [[Mekkah]] dan menjadi [[Imam]] [[Masjidil Haram]]). Selain itu masalah ini juga diramaikan oleh pendapat-pendapat [[Christiaan Snouck Hurgronje|Snouck Hurgronje]] yang memihak pemerintahan kolonial Belanda dan Sayyid Usman. Perlu diketahui bahwa pada masa Kolonial ada kebijakan yang membatasi jumlah masjid baru. Hal ini dilakukan karena ada ketakutan dari pihak pemerintah Kolonial bahwa jika masjid semakin banyak akan menambah persatuan ummat muslim, hal ini pasti cenderung kearah pemberontakan. Disamping itu pemerintah kolonial menganggap secara ekonomis bahwa pembangunan masjid baru yang menggunakan tanah wakaf akan merugikan karena akan sulit dimanfaatkan oleh pemerintah jika telah dibangun. Pemikiran yang sifatnya defensif ini rupanya datang dari Snouck Hurgronje yang memberi nasehatnasihat pada kepala pemerintahan dalam negeri.(Rahim, 1998 : 219-220).<ref name=":2">{{Cite book|title=Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang|last=Rahim|first=Dr. Husni|publisher=PT LOGOS|year=1998|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>
 
Masalah ini bermula dari dikeluarkannya surat Nazar Munjaz Wakaf Lillahitaala yang dikeluarkan oleh Rad Agama Palembang tanggal 6 syawal 1310 H (23 april 1893). Surat ini berisi bahwa Mgs. H. Abdul Hamid atau Ki Marogan mewakafkan 2 masjid miliknya beserta seluruh peralatan yang ada didalamnya untuk tempat umat muslim beribadah selama-lamanya dan tidak boleh dijual ataupun diwarisi oleh ahli waris beliau (Gajahnata, 1984 : 2).<ref name=":1" />
Baris 24 ⟶ 46:
Namun keputusan ini mendapat penolakan dari salah satu pengurus Masjid Agung yaitu Pangeran Suria Nindito. Beliau mengajukan keberatan dengan mengajukan karangan Sayid Usman yang berjudul Fawaid Jumuah, yang isinya hanya boleh dilaksanakan bila ada salah satu sebab dari tiga hal, yaitu : pertama, jika dua pihak penduduk satu negeri saling berseteru dan apabila berkumpul akan terjadi pembunuhan ; kedua, masjid pertama tidak bisa menampung seluruh jamaah yang ada ; ketiga, sukar berhimpun karena jarak yang jauh dan suara azan yang tidak terdengar. Namun pendapat-pendapat dari Sayyid Usman hanya berpihak pada masjid Agung saja (Rahim, 1998 : 221).<ref name=":2" />
 
Berdasarkan [[Mazhab Syafi'i|mahzab Imam Syafi’i]] yang dianut oleh sebagian besar penduduk kota Palembang, mensahkan adanya Ta’adud Jumat di masjid lain dengan syarat : jarak tempuh yang jauh, jika suara azan tidak terdengar lagi, dibatasi oleh dusun, sungai, atau lapangan yang luas sehingga mendapat kesulitan untuk menuju masjid itu, dan apabila masjid sudah tidak bisa menampung lagi jamaah yang ada. Maka berdasarkan pendapat dari Mahzab ini pengurus Masjid Lawang Kidul mengemukakan alasannya antara lain : pertama, ruang masjid Agung tidak mampu lagi menampung jumlah jamaah ummat muslim kota Palembang yang ingin beribadah shalat jumat, sehingga harus berada di lapangan dengan resikorisiko terkena sinar matahari dan air hujan; kedua, jarak antara kedua masjid berjauhan; dan ketiga, suara azan tidak terdengar sehingga jamaah sering terlambat shalat jumat di masjid Agung (Darmiati, 2002:10).<ref name=":3" />
 
Pengadilan Raad Agama Palembang yang sebelumnya mengesahkan Taadud Jumat di masjid Lawang Kidul akhirnya mencabut surat itu dan melarang pelaksanaan Taadud Jumat. Hal ini disebabkan oleh perombakan susunan Raad agama oleh Residen, dimana H. Akil dicopot dari jabatannya sebagai Pangeran Penghulu Nata Agama digantikan oleh Haji Abdurohman (Gadjahnata, 1984:5).<ref name=":1" /> Kepengurusan Dewan Raad Agama yang baru ini mendapat dukungan dari pemerintah Kolonial khususnya dari Snouck Hurgronje yang merupakan sahabat dari Sayyid Usman, faktor ini tentu lebih memihak pada pengurus masjid Agung.
Baris 41 ⟶ 63:
{{Reflist}}
 
{{DEFAULTSORT:Lawang_Kidul}}
[[Kategori:Masjid di Sumatra Selatan]]
[[Kategori:Masjid di IndonesiaSumatera Selatan]]