Masjid Lawang Kidul: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
OrophinBot (bicara | kontrib) |
||
(5 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 3:
|caption=
|building_name=Masjid Lawang Kidul
|location=Lorong Masjid Lawang Kidul, Lawang Kidul, [[Ilir Timur II, Palembang|Kec. Ilir Timur II]], [[Kota Palembang|Palembang]], [[
|coordinates={{coord|-2.980935|104.775539|display=inline,title}}
|religious_affiliation=[[Islam]]
Baris 21:
|minaret_quantity=
|minaret_height=}}
'''Masjid Lawang Kidul''' termasuk salah satu masjid tertua di [[Kota Palembang|Palembang]], [[
== Sejarah ==
Baris 38:
== Konflik dengan Masjid Agung Palembang<ref name=":0" /> ==
Setelah tahap pembangunan masjid ini selesai dan memulai fungsinya sebagai masjid jami’, Masjid Lawang Kidul mulai mendapat berbagai hambatan, khususnya pada pelaksanaan shalat jumat. Masalah ini hingga melibatkan pengurus masjid Agung Palembang dan dua ulama besar yaitu Sayyid Usman (mufti Betawi dan ulama
Masalah ini bermula dari dikeluarkannya surat Nazar Munjaz Wakaf Lillahitaala yang dikeluarkan oleh Rad Agama Palembang tanggal 6 syawal 1310 H (23 april 1893). Surat ini berisi bahwa Mgs. H. Abdul Hamid atau Ki Marogan mewakafkan 2 masjid miliknya beserta seluruh peralatan yang ada didalamnya untuk tempat umat muslim beribadah selama-lamanya dan tidak boleh dijual ataupun diwarisi oleh ahli waris beliau (Gajahnata, 1984 : 2).<ref name=":1" />
Baris 46:
Namun keputusan ini mendapat penolakan dari salah satu pengurus Masjid Agung yaitu Pangeran Suria Nindito. Beliau mengajukan keberatan dengan mengajukan karangan Sayid Usman yang berjudul Fawaid Jumuah, yang isinya hanya boleh dilaksanakan bila ada salah satu sebab dari tiga hal, yaitu : pertama, jika dua pihak penduduk satu negeri saling berseteru dan apabila berkumpul akan terjadi pembunuhan ; kedua, masjid pertama tidak bisa menampung seluruh jamaah yang ada ; ketiga, sukar berhimpun karena jarak yang jauh dan suara azan yang tidak terdengar. Namun pendapat-pendapat dari Sayyid Usman hanya berpihak pada masjid Agung saja (Rahim, 1998 : 221).<ref name=":2" />
Berdasarkan [[Mazhab Syafi'i|mahzab Imam Syafi’i]] yang dianut oleh sebagian besar penduduk kota Palembang, mensahkan adanya Ta’adud Jumat di masjid lain dengan syarat : jarak tempuh yang jauh, jika suara azan tidak terdengar lagi, dibatasi oleh dusun, sungai, atau lapangan yang luas sehingga mendapat kesulitan untuk menuju masjid itu, dan apabila masjid sudah tidak bisa menampung lagi jamaah yang ada. Maka berdasarkan pendapat dari Mahzab ini pengurus Masjid Lawang Kidul mengemukakan alasannya antara lain : pertama, ruang masjid Agung tidak mampu lagi menampung jumlah jamaah ummat muslim kota Palembang yang ingin beribadah shalat jumat, sehingga harus berada di lapangan dengan
Pengadilan Raad Agama Palembang yang sebelumnya mengesahkan Taadud Jumat di masjid Lawang Kidul akhirnya mencabut surat itu dan melarang pelaksanaan Taadud Jumat. Hal ini disebabkan oleh perombakan susunan Raad agama oleh Residen, dimana H. Akil dicopot dari jabatannya sebagai Pangeran Penghulu Nata Agama digantikan oleh Haji Abdurohman (Gadjahnata, 1984:5).<ref name=":1" /> Kepengurusan Dewan Raad Agama yang baru ini mendapat dukungan dari pemerintah Kolonial khususnya dari Snouck Hurgronje yang merupakan sahabat dari Sayyid Usman, faktor ini tentu lebih memihak pada pengurus masjid Agung.
Baris 62:
== Referensi ==
{{Reflist}}
{{DEFAULTSORT:Lawang_Kidul}}
[[Kategori:Masjid di
|