Masjid Lawang Kidul: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
OrophinBot (bicara | kontrib)
 
(5 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 3:
|caption=
|building_name=Masjid Lawang Kidul
|location=Lorong Masjid Lawang Kidul, Lawang Kidul, [[Ilir Timur II, Palembang|Kec. Ilir Timur II]], [[Kota Palembang|Palembang]], [[SumatraSumatera Selatan]]
|coordinates={{coord|-2.980935|104.775539|display=inline,title}}
|religious_affiliation=[[Islam]]
Baris 21:
|minaret_quantity=
|minaret_height=}}
'''Masjid Lawang Kidul''' termasuk salah satu masjid tertua di [[Kota Palembang|Palembang]], [[SumatraSumatera Selatan]]. Masjid ini berdiri pada tahun 1881 dan memegang peran penting baik sebagai pusat penyebaran Islam maupun dijadikan markas para pejuang setempat pada masanya. Material Masjid ini terbuat dari campuran batu kapur dengan putih telur dan pasir, sehingga membuat masjid ini dapat bertahan dengan lama. Bangunan induk masjid ini sebagian besar tetap terjaga keasliannya dan hampir 99 persen masih merupakan bangunan asli dan belum ada yang diganti.<ref>{{Cite web|url=https://sumsel.antaranews.com/berita/303904/masjid-lawang-kidul-saksi-sejarah-syiar-islam-di-palembang|title=Masjid Lawang Kidul saksi sejarah syiar Islam di Palembang|last=Ervani|first=Evan|date=17 Juni 2016|website=Antara Sumsel|publisher=|access-date=5 September 2018}}</ref>
 
== Sejarah ==
Baris 38:
 
== Konflik dengan Masjid Agung Palembang<ref name=":0" /> ==
Setelah tahap pembangunan masjid ini selesai dan memulai fungsinya sebagai masjid jami’, Masjid Lawang Kidul mulai mendapat berbagai hambatan, khususnya pada pelaksanaan shalat jumat. Masalah ini hingga melibatkan pengurus masjid Agung Palembang dan dua ulama besar yaitu Sayyid Usman (mufti Betawi dan ulama penasehatpenasihat bagi pemerintahan [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]]) dan Syekh Akhmad Khatib Minangkabau (ulama Indonesia yang bermukim di [[Mekkah]] dan menjadi [[Imam]] [[Masjidil Haram]]). Selain itu masalah ini juga diramaikan oleh pendapat-pendapat [[Christiaan Snouck Hurgronje|Snouck Hurgronje]] yang memihak pemerintahan kolonial Belanda dan Sayyid Usman. Perlu diketahui bahwa pada masa Kolonial ada kebijakan yang membatasi jumlah masjid baru. Hal ini dilakukan karena ada ketakutan dari pihak pemerintah Kolonial bahwa jika masjid semakin banyak akan menambah persatuan ummat muslim, hal ini pasti cenderung kearah pemberontakan. Disamping itu pemerintah kolonial menganggap secara ekonomis bahwa pembangunan masjid baru yang menggunakan tanah wakaf akan merugikan karena akan sulit dimanfaatkan oleh pemerintah jika telah dibangun. Pemikiran yang sifatnya defensif ini rupanya datang dari Snouck Hurgronje yang memberi nasehatnasihat pada kepala pemerintahan dalam negeri.(Rahim, 1998 : 219-220).<ref name=":2">{{Cite book|title=Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang|last=Rahim|first=Dr. Husni|publisher=PT LOGOS|year=1998|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>
 
Masalah ini bermula dari dikeluarkannya surat Nazar Munjaz Wakaf Lillahitaala yang dikeluarkan oleh Rad Agama Palembang tanggal 6 syawal 1310 H (23 april 1893). Surat ini berisi bahwa Mgs. H. Abdul Hamid atau Ki Marogan mewakafkan 2 masjid miliknya beserta seluruh peralatan yang ada didalamnya untuk tempat umat muslim beribadah selama-lamanya dan tidak boleh dijual ataupun diwarisi oleh ahli waris beliau (Gajahnata, 1984 : 2).<ref name=":1" />
Baris 46:
Namun keputusan ini mendapat penolakan dari salah satu pengurus Masjid Agung yaitu Pangeran Suria Nindito. Beliau mengajukan keberatan dengan mengajukan karangan Sayid Usman yang berjudul Fawaid Jumuah, yang isinya hanya boleh dilaksanakan bila ada salah satu sebab dari tiga hal, yaitu : pertama, jika dua pihak penduduk satu negeri saling berseteru dan apabila berkumpul akan terjadi pembunuhan ; kedua, masjid pertama tidak bisa menampung seluruh jamaah yang ada ; ketiga, sukar berhimpun karena jarak yang jauh dan suara azan yang tidak terdengar. Namun pendapat-pendapat dari Sayyid Usman hanya berpihak pada masjid Agung saja (Rahim, 1998 : 221).<ref name=":2" />
 
Berdasarkan [[Mazhab Syafi'i|mahzab Imam Syafi’i]] yang dianut oleh sebagian besar penduduk kota Palembang, mensahkan adanya Ta’adud Jumat di masjid lain dengan syarat : jarak tempuh yang jauh, jika suara azan tidak terdengar lagi, dibatasi oleh dusun, sungai, atau lapangan yang luas sehingga mendapat kesulitan untuk menuju masjid itu, dan apabila masjid sudah tidak bisa menampung lagi jamaah yang ada. Maka berdasarkan pendapat dari Mahzab ini pengurus Masjid Lawang Kidul mengemukakan alasannya antara lain : pertama, ruang masjid Agung tidak mampu lagi menampung jumlah jamaah ummat muslim kota Palembang yang ingin beribadah shalat jumat, sehingga harus berada di lapangan dengan resikorisiko terkena sinar matahari dan air hujan; kedua, jarak antara kedua masjid berjauhan; dan ketiga, suara azan tidak terdengar sehingga jamaah sering terlambat shalat jumat di masjid Agung (Darmiati, 2002:10).<ref name=":3" />
 
Pengadilan Raad Agama Palembang yang sebelumnya mengesahkan Taadud Jumat di masjid Lawang Kidul akhirnya mencabut surat itu dan melarang pelaksanaan Taadud Jumat. Hal ini disebabkan oleh perombakan susunan Raad agama oleh Residen, dimana H. Akil dicopot dari jabatannya sebagai Pangeran Penghulu Nata Agama digantikan oleh Haji Abdurohman (Gadjahnata, 1984:5).<ref name=":1" /> Kepengurusan Dewan Raad Agama yang baru ini mendapat dukungan dari pemerintah Kolonial khususnya dari Snouck Hurgronje yang merupakan sahabat dari Sayyid Usman, faktor ini tentu lebih memihak pada pengurus masjid Agung.
Baris 62:
== Referensi ==
{{Reflist}}
 
{{DEFAULTSORT:Lawang_Kidul}}
[[Kategori:Masjid di SumatraSumatera Selatan]]
[[Kategori:Masjid bersejarah]]