Pembantaian Rawagede: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Mengganti singkatan KNPMBI menjadi KNPMB
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(3 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 53:
Di Jawa Barat, sebelum [[Perjanjian Renville]] ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai [[Eerste_Divisie_7_December|Divisi 7 Desember]] melancarkan pembersihan unit pasukan [[TNI]] dan laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (''1e para compagnie'') dan ''12 Genie veld compagnie'', yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (''Depot Speciaale Troepen'').
 
Sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang [[Indonesia]]. Dalam operasinya di daerah [[Karawang]], tentara Belanda memburu Kapten [[Lukas Kustaryo]], komandan kompi Siliwangi - kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II [[Divisi Siliwangi]] - yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
 
Pada [[9 Desember]] 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Baris 62:
 
Seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari desa [[Wamel]], sebuah desa di provinsi Gerderland, Belanda Timur mengirim surat kepada korban perang sebagai berikut:
Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain. Saat malam hari, Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa [[bunyi]] (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll). Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh telah menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh pasukan yang dinamai Angkatan Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak mati, padahal [[Belanda]] negara demokratis. Semua anak ditembak mati.
 
Desa Wamel pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas dibunuh secara keji oleh tentara Jerman.
Baris 72:
Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak berdosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
 
Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.
 
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.
Baris 80:
Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima 17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis –de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005.
 
Tuntutan kepada pemerintah Belanda pertama kali disampaikan oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia [KNPMBI].(KNPMB) [petisiyang . KNPMBI didirkandidirikan pada 9 Maret 2002.
 
Karena lingkup kegiatan KNPMBIKNPMB sangat luas, maka khusus untuk menangani hal-hal yang sehubungan dengan Belanda, Ketua Umum KNPMBI,KNPMB Batara R. Hutagalug bersama aktivis KNPMBIKNPMB pada 5 Mei 2005 bertempat di gedung Joang '45, mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda [(KUKB]).<ref>{{Cite web|url=http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/11/rawagede-perjuangan-knpmbi-dan-kukb.html|title=Gagasan Nusantara: RAWAGEDE, PERJUANGAN KNPMBI DAN KUKB|last=Batarahutagalung|date=2011-11-26|website=Gagasan Nusantara|access-date=2019-04-26}}</ref> Pada
15 Desember 2005, Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB bersama aktivis KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.