→Peninggalan: Perbaikan beberapa kalimat. Saran : tetap netral dalam menyampaikan sudut pandang
Tag: Suntingan perangkat selulerSuntingan peramban seluler
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 2:
[[Berkas:Divinatory_Skulls;_1Dyke_Bay_and_2Nias_Island_Wellcome_M0012302.jpg|al=|jmpl|Tengkorak dari Nias (kanan) yang diberi hiasan janggut dari serabut tumbuhan]]
'''''Manga'i binu''''' atau '''''mangai binu''''' adalah tradisi [[Pemburuan kepala|berburu kepala]] oleh ''emali'' di [[Pulau Nias]], [[SumatraSumatera Utara|Sumatera Utara]]. Tradisi ini awalnya merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur tetapi pada kemudian hari berkembang sebagai penanda [[status sosial]].{{Sfn|Afif|2018|p=175|ps=: "(...), di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala."}} Istilah lain seperti ''möi ba danö, mofanö ba danö, mangai hög''ö'', ''dan ''möi emali'' juga digunakan selain ''mangai binu''. Orang yang menjalankan tradisi ini disebut ''emali.'' Tradisi ini telah ditinggalkan oleh masyarakat Nias seiring dengan masuknya pengaruh [[Kekristenan]] ke daerah Nias.
== Etimologi ==
Baris 55:
== Peninggalan ==
[[Fangesa Sebua|Masuknya Kekristenan di Nias]] membuat masyarakat enggan melanjutkan tradisi ini, terlebih ketika Belanda akhirnya mampu memaksakanmemegang kekuasaannyakendali diatas Nias. Para ''emali'' tidak melanjutkan perburuan karena takut berbuat ''horö'' '[[Dosa (Kristen)|dosa]]' dan hukumanadanya upaya pelarangan dari pihak kolonialBelanda.{{Sfn|Beatty|2019|p=77|ps=: "Translation preempted the present by rewriting the past. (...) Horö "war," "enmity," "crime," becomes "sin." "}}{{Sfn|Suzuki|1959|p=3|ps=: "The usual reasons for sending apunitive force to Nias was in order to put down skirmishes which arose out of headhunting parties or slave raids."}} Kasus ''mangai binu'' terakhir dicatat oleh Puccioni pada tahun 1998.{{Sfn|Puccioni|2016|p=346|ps=: "Kasus terakhir yang saya dengar terjadi tahun 1998 (...)."}} Namun, pemenggalan kepala dengan motif perebutan [[harga diri]] masih terjadi.{{Sfn|Afif|2018|p=183c|ps=: "(...), pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri."}} Sonjaya dalam bukunya ''Melacak batu menguak mitos'' menceritakan bahwa dia masih mendengar berita pembunuhan dengan pemenggalan kepala korban di Gomo hingga tahun 2008.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=71|ps=: "Dalam minggu pertama di Börönadu, saya mendengar ada pemenggalan kepala di desa tetangga hanya gara-gara memperebutkan pohon rambutan. Setelah mencoba menggali informasi mengenai kejadian itu, ternyata pembunuhan itu lebih berlatar belakang harga diri ketimbang pohon rambutan itu sendiri."}} Ketakutan akan ''emali'' di zaman dulu juga menyisakan kebiasaan pada beberapa penduduk. Beberapa keluarga melarang anak-anak kecil bermain di luar rumah dan beberapa pemuda Nias selalu membawa senjata tajam ketika keluar rumah pada malam hari sebagai bentuk kewaspadaan.{{Sfn|Afif|2018|p=183b|ps=: "Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian di malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri."}}{{Sfn|Laiya|2017|p=}}