Tiwah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Hausofjagad (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
Busu Neneng (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(52 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox recurring event
| name = '''Tiwah'''
| native_name =
| genre = Upacara kematian dalam agama [[Kaharingan]]
| logo =
| logo_caption =
| image = {{multiple image|border= infobox|total_width = 300|image_style = border:1;
|perrow = 1/2/2/2
|image1=Tiwah suku dayak, gambar 1.jpeg
|image2=COLLECTIE TROPENMUSEUM Model van een geestenhuisje of zielenschip TMnr A-1548.jpg}}
| caption = Salah satu bentuk "Sandung" dalam upacara Tiwah.<br><br>
| date =
| frequency =
| location = '''Kalimantan Tengah :'''<br>{{hlist|Suku Dayak Ngaju|Suku Dayak Siang|Suku Dayak Lawangan|Suku Dayak Oot Danum|(serta sub-suku Dayak Kalimantan Tengah lainnya)}}<br>'''Kalimantan Barat :'''<br>{{hlist|Suku Dayak Pesaguan}}
| years_active = Dulu - Sekarang
| first =
| last =
| participants = Umat beragama Kaharingan
| people = {{hlist|Pisor/Kandong|Basir/Basie|Mantir|Balian}}
| budget = • 50 - 100 juta Rupiah '''(Tiwah per-satu orang/makam)'''<br>• 5 - 10 juta Rupiah per-keluarga '''(Tiwah massal)'''</br>
| patron = {{hlist|Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI)|Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan (MDA-HK)|Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBA-HK)}}
| organised =
| website =
| footnotes =
}}
'''Tiwah''', atau '''Tiwah Lale''', dikenal juga '''''magah salumpuk liau uluh matei''''' adalah upacara kematian dalam '''agama [[Kaharingan]]''' yang dilakukan oleh [[suku Dayak Ngaju]] dan juga sub-suku Dayak lainnya di Kalimantan yang masih menganut agama [[Kaharingan]], khususnya di [[Kalimantan Tengah]]. Upacara Tiwah diberlakukan kepada orang atau anggota keluarga yang telah lama meninggal dan sudah lama dikubur dengan usia makam bisa 7 - 10 tahun lamanya karena yang diperlukan dalam ritual Tiwah adalah tulang-belulang orang yang telah meninggal. Setelah menunggu untuk waktu yang lama, barulah makam-nya bisa digali, kemudian dilakukan berbagai ritual, dan terakhir tulang-belulang tersebut akan diletakkan ke dalam '''"''[[Sandung]]''"''' atau '''"''Pambak''"'''.
[[Berkas:Sandung 101014-7588 mp.JPG|jmpl|'''
== Konsep kematian ==
Bagi masyarakat Dayak Ngaju yang umumnya memeluk kepercayaan lokal yakni [[Kaharingan]], kematian merupakan hal akhir yang dijalani manusia di bumi, dan juga awal untuk mencapai dunia keabadian yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi tersebut adalah dunia roh tempat manusia mencapai titik kesempurnaanya. Dalam mitos suku Dayak Ngaju, awalnya manusia tidak mengenal kematian. Hal tersebut dikarenakan kehidupan duniawi adalah sesuatu yang kekal. Namun, suatu ketika manusia berbuat kesalahan dan akhirnya kekekalan hidup duniawinya dicabut oleh dewata. Manusia yang meninggal akan melanjutkan perjalanannya ke dunia para arwah. Manusia yang telah berganti wujud menjadi arwah ini disebut dengan '''Lio'''/'''Liau'''/'''Liaw. Liau''' oleh masyarakat Dayak Ngaju wajib diantar ke dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut '''''Lewu Liaw''''' atau '''''Lewu Tatau'''''. Proses pengantaran ini melalui serangkaian upacara kematian, yakni upacara Tiwah. Liaw sendiri menurut masyarakat Dayak Ngaju terbagi atas tiga jenis yakni:
# ''Salumpuk liaw haring kaharingan'', yakni roh rohani dan jasmani,
# ''Salumpuk liaw balawang panjang'', yakni roh tubuh/badan,
# ''Salumpuk liaw karahang tulang'', yaitu roh tulang belulang.<ref name=":0">{{Cite book|title=Tiwah upacara kematian pada masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah|url=http://worldcat.org/oclc/13896021|publisher=Proyek Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|date=|oclc=13896021|last=Dyson, L.|first=|year=1981|isbn=|location=Jakarta|page=|last2=Asharini}}</ref>
Penyelenggaran upacara Tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju dianggap sesuatu yang wajib secara moral dan sosial. Pihak keluarga yang ditinggalkan merasa memilki kewajiban untuk mengantar arwah sanak saudara yang meninggal ke dunia roh. Selain itu, dalam kepercayaan Dayak Ngaju, arwah orang yang belum diantar melalui upacara Tiwah akan selalu berada di sekitar lingkungan manusia yang masih hidup. Keberadaan mereka dianggap membawa gangguan berupa munculnya peristiwa gagal panen, penyakit, dan bahaya-bahaya lainnya.<ref name=":0" />
== Biaya ==
Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.<ref>{{Cite news|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/11000061/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-1-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (1)|last=Tarigan|first=Kurnia|date=|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Ika|editor-first=Aprillia}}</ref> Karena biaya yang besar tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status sosial seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri dan dilakukan dengan waktu yang relatif lebih cepat misalkan sekitar 7 tahun setelah kematian sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya tidak melimpah, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan '''''handep''' .''Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian menyelenggarakan upacara Tiwah.<ref name=":0" /> Beberapa upacara Tiwah yang melibatkan banyak keluarga tercatat dalam sejumlah tulisan. Pada tahun 1996, antropolog Anne Schiller mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 89 kerangka jenazah di wilayah Petah Putih yang terletak di tepi Sungai Katingan.<ref name=":1">Schiller, A. (2002). How to hold a tiwah: the potency of the dead and deathways among Ngaju Dayaks. ''The Potent Dead: Ancestors, Saints, and Heroes in Contemporary Indonesia'', 17-31.</ref> Pada tahun 2002, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Banjarmasin Vida Pervaya Rusianti Kusmantoro mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 35 keluarga di desa Pandahara yang juga berada di tepi Sungai Katingan.<ref>Kusmartono, V. P. R. (2007). [https://naditirawidya.kemdikbud.go.id/index.php/nw/article/view/344 Tiwah: The Art of Death in Southern Kalimantan.] ''Naditira Widya'', ''1''(1), 206-213. doi:https://doi.org/10.24832/nw.v1i1.344</ref> Pada 1 April 2016 tercatat pula penyelenggaraan upacara Tiwah yang melibatkan 77 kerangka jenazah nenek moyang dari 46 keluarga. Mereka berasal dari beberapa desa di Kabupaten [[Katingan]], Kalimantan Tengah.<ref>{{Cite news|url=https://travel.kompas.com/read/2016/06/21/142013727/tiwah.rukun.kematian.penuh.kebahagiaan|title=Tiwah, Rukun Kematian Penuh Kebahagiaan|last=|first=|date=|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Asdhiana|editor-first=I Made}}</ref>
== Durasi dan waktu pelaksanaan ==
Upacara Tiwah umumnya memiliki durasi selama tujuh hingga empat puluh hari. Sebagai upacara sakral terbesar bagi masyarakat Dayak Ngaju, penyelenggaran upacara Tiwah harus berjalan secara sempurna. Penyelenggara harus cermat terhadap segala persiapan dan pelaksanaannya. Bila dalam pelaksanaan upacara Tiwah terjadi kekeliruan atau pelaksanaanya tidak sempurna, maka keluarga yang ditinggalkan dipercaya akan menanggung beban berat seperti rejekinya tidak lancar dan kesehatannya terganggu.<ref name=":3">{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkalbar/tiwah-mengantar-salumpuk-liau-ke-lewu-liau/|title=Upacara Tiwah yang merupakan upacara sakral terbesar di kalangan pemeluk Kaharingan|last=tutupkuncoro|date=2018-02-15|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat|language=en-US|access-date=2019-04-09}}</ref>
Waktu penyelenggaran upacara Tiwah biasanya dilangsungkan pada saat setelah musim panen padi yakni sekitar bulan Mei, Juni dan Juli. Pemilihan waktu setelah panen dikarenakan pada waktu tersebut orang-orang memilki cadangan pangan yang cukup bagi anggota keluarga yang akan menyelanggarakan upacara Tiwah. Selain itu, masa pascapanen bersamaan dengan masa liburan anak sekolah.<ref name=":1" /> Masyarakat dianggap memiliki waktu yang luang dengan tidak menyibukkan diri dalam kegiatan pertanian. Dengan begitu, diharapkan dapat melangsungkan upacara Tiwah tanpa harus terganggu dengan kekurangan pangan, kegiatan bertani dan hal lainnya.<ref name=":0" />
== Tahapan Upacara ==
Secara garis besar, upacara kematian dalam kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi dua yakni pertama, upacara-upacara yang dilakukan setelah kematian seseorang hingga saat penguburan sementara dan kedua, upacara Tiwah itu sendiri. Kedua upacara tersebut biasanya memiliki jeda. Umumnya jeda ini berlangsung selama satu tahun hingga beberapa tahun. Jeda ini diakibatkan permasalahan biaya upacara Tiwah yang mahal sehingga pihak keluarga menunda pelaksanaannya untuk mengumpulkan dana terlebih dahulu.<ref name=":0" />
Dalam masa jeda atau masa antara upacara kematian setelah meninggal dan penguburan pertama dengan berlangsungnya upacara Tiwah, diadakan sejumlah upacara yang bertujuan memberi makan dan sesaji kepada arwah. Adapun upacara-upacara tersebut adalah<ref name=":0" />
# Meniti
# Mahanjur
# Minih
# Manampa raung
# Manatun
# Memalas
# Tantulak matey
=== Pra Upacara Tiwah ===
Upacara selanjutnya pasca penguburan sementara adalah upacara Tiwah itu sendiri. Hal pertama yang dilakukan adalah mengumpulan tulang belulang orang yang sudah meninggal. Bagi kelompok masyakarat yang membutuh waktu beberapa tahun untuk melangsungkan upacara Tiwah, jenazah yang sudah habis jasadnya, tinggal diambil saja tulang-tulangnya. Sedangkan bagi keluarga kaya yang melangsungkan upacara Tiwah segera setelah anggota keluarganya meninggal, proses pengambilan tulang sedikit berbeda. Jenazah yang masih memiliki jasad utuh harus dipisahkan dulu tulang belulangnya. Cara memisahkannya adalah dengan mengoyak-ngoyak jasad tersebut hingga daging dan tulang dapat terpisah.<ref name=":0" />
Setelah prosesi di atas, dana untuk melangsungkan upacara Tiwah yang telah terkumpul atau disebut dengan '''''laloh''''', diberikan kepada pimpinan penyelenggara atau '''''bakas Tiwah'''''. Pimpinan penyelanggara ini bertugas untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang berhubungan dengan upacara Tiwah. Bakas Tiwah nantinya akan dibantu oleh peserta lain yang disebut '''''anak-anak Tiwah'''''.<ref name=":0" />
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Model van een geestenhuisje of zielenschip TMnr A-1548.jpg|jmpl|Salah satu bentuk Sandung.|247x247px]]
Adapun tahapan persiapan awal dari upacara Tiwah adalah<ref name=":0" />
# Memilih dan menentukan orang yang akan menjadi pemimpin upacara. Para pemimpin ini biasanya terdiri dari tujuh atau sembilan orang. Salah satu dari mereka akan bertindak sebagai pemimpin utama atau '''''Upo'''''. Sisanya akan menjadi anggota yang disebut dengan '''''Basir'''''. Tugas orang-orang ini adalah mengantarkan arwah (Liaw) ke dunia akhirat (Lewu Tetu).
# Mempersiapkan peralatan upacara yakni:
#* '''''Balay Tiwah''''' atau '''''Balai Nyahu''''' merupakan rumah kecil yang memiliki ukuran sekitar 9 x 12 meter. Tempat ini terbuat dibangun dari bahan-bahan yang terbuat dari kayu-kayu yang masih utuh (bulat). Digunakan untuk menyimpan gong.
#* '''''Sangkaraya''''' merupakan sejumlah batang bambu yang tersusun rapi dengan ukurang 2-4 meter. Biasanya dijadikan tempat tarian dalam pelaksanaan upacara.<ref name=":2">{{Cite book|title=Small sacrifices : religious change and cultural identity among the Ngaju of Indonesia|url=https://www.worldcat.org/oclc/45727329|publisher=Oxford University Press|date=1997|location=New York|isbn=0585238235|oclc=45727329|last=Schiller, Anne (Anne Louise)}}</ref> Sankaraya didirikan di depan balay Tiwah dan setelah upacara Tiwah selesai akan dipindah ke dekat ''sandung''.
#* '''''[[Sandung|Sandong/Sandung]]''''' merupakan tempat penyimpanan tulang-tulang manusia setelah upacara Tiwah berakhir. Biasanya terbuat dari [[Merbau|kayu besi]] (ulin) yang dapat bertahan hingga 100 tahun. Pada dinding Sandong terdapat ukiran dengan motif tertentu. Sandong memiliki ukuran lebar sekitar 0,5 - 1,5 meter dan tinggi sekitar 0,5 meter.
#* '''''Sapundu''''' merupakan tiang kayu yang dipahat hingga berbentuk patung manusia atau sejenis hewan tertentu seperti kera. Tiang ini memilki tinggi sekitar 1,5 - 3 meter dengan diameter antara 15 – 25 cm. Sapundu berfungsi sebagai tiang untuk mengikat hewan yang akan dikurbankan yakni kerbau. Jumlahnya tergantung jumlah hewan yang dikurbankan.
#* '''''Pantar''''' merupakan tiang yang terbuat dari kayu besi. Tiang ini memiliki tinggi 10 meter dengan diamter sekitar 20- 30 meter. Pada bagian bawah Pantar terdapat ukiran dengan motif tertentu. Sedangkan pada bagian atas terdapat pahatan berbentuk burung enggang (tingang). Di bagian atas juga biasanya akan ditusukkan sebuah belanga/guci atau sebuah gong. Tiang ini dibuat tidak jauh dari sandung yang menandakan selesainya upacara Tiwah.
#* '''''Bara-bara''''' atau '''''hantar bajang''''' yakni sejenis pagar yang terbuat dari bambu dihiasi sejumlah bendera yang mewakili arwah yang akan melaksanakan upacara Tiwah.<ref name=":2" /> Bara-bara merupakan pintu gerbang yang letaknya di tepi sungai. Hal ini dikarenakan rumah masyarakat Dayak Ngaju umumnya terletak di tepi sungai. Tiang-tiang yang menjadi pagar tersebut saling terhubung dengan daun-daunan yang disebut dengan daun biru.
#* '''''Pasah pali''''' merupakan rumah-rumahan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian. Pasah pali memiliki bentuk persegi empat dengan ukuran sekitar 1 x 1 meter. Selain itu, pasah pali dilengkapi dengan beberapa tiang dengan tinggi rata-rata dua meter.
#* '''''Garantung''''' (gong) dan '''''kakandin''''' (kain merah). Gong dalam upacara Twiah tidak hanya berfungsi sebagai alat musik, juga sebagai tempat membawa tulang-tulang. Sedangkan kain merah digunakan sebagai pembungkus tulang belulang sebelum dimasukkan ke dalam sandung.
#* '''''Pemahay''''' merupakan wadah yang digunakan untuk membakar jenazah.
#* Hewan kurban yang biasa disediakan dalam upacara Tiwah adalah ayam, babi, dan kerbau.
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een koppensneller met aan zijn gordel een schedel die bij feesten gebruikt wordt om uit te drinken een vrouw met een grote 'blangai' pot en achter hen palen voor het dodenfeest 'Tiwah' Borneo TMnr 10002945.jpg|jmpl|366x366px|Seorang pria Dayak bersama seorang wanita Dayak yang memegang tempayan atau guci yang digunakan untuk menyimpan tulang belulang. Di belakang mereka berdiri '''''Sapundu'''''.]]
=== Puncak Upacara Tiwah ===
Pelaksanaan upacara Tiwah pada memiliki sejumlah perbedaan di masing-masing daerah. Penyebabnya adalah tidak adanya pedoman penyelenggaran yang secara resmi ditulis. Sehingga masing-masing kelompok masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai sub-suku menafsirkannya berbeda-beda. Namun, pada dasarnya pelaksanaan upacara Tiwah memiliki tujuan yang sama yakni mengantarkan arwah ke negeri yang kekal.<ref name=":3" /> Adapun pelaksanaan inti dari Upacara Tiwah adalah sebagai berikut
'''Hari Pertama'''
Pada hari pertama upacara Tiwah, bangunan berbentuk rumah yang disebut ''Balai Pangun Jandau'' mulai dibuat. Dalam proses pembuatannya, terdapat syarat yang harus dipenuhi yakni kurban seekor babi yang disembelih oleh Bakas Tiwah.<ref name=":3" />
'''Hari Kedua'''
Pada hari kedua, dilakukan prosesi pembuatan ''sangkaraya sandung rahung'' yang diletakkan di depan rumah bakas Tiwah. Bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan tulang belulang salumpuk liaw. Selanjut, darah babi diambil sebagai syarat untuk melakukan mamalas sangkaraya sandung rahung. Selain itu, pada hari ini berbagai macam alat musik seperti gandang, garatung, kangkanung, katambung, toroi, dan tarai mulai dibunyikan. Sebelumnya, semua alat musik tersebut harus di-palas atau di-saki dengan darah hewan kurban terlebih duhulu.<ref name=":3" />
'''Hari Ketiga'''
Pada hari ketiga, hewan kurban seperti sapi atau kerbau akan diikat di sangkaraya. Tiga orang memiliki tugas untuk melakukan mangajan, yakni sejenis tarian sakral. Saat melakukan mengajan akan diiringi dengan tabuhan alat musi dan sorakan kegembiran. Selain itu, dilakukan juga kegiatan melempar beras merah dan beras kuning ke angkasa. Setelah prosesi ''mangajan'' selesai, hewan kurban akan dibunuh dan darahnya akan dikumpulkan dalam sebuah wadah bernama sangku. Darah ini akan digunakan untuk menyaki dan memalas semua orang dan peralatan yang digunakan selama upacara Tiwah. Tujuannya adalah membersihkan segala kotoran sehingga menjadi suci.<ref name=":3" />
'''Hari Keempat'''
Pada hari keempat, tidak jauh dari Sangkaraya didirikan tiang panjang yang disebut Tihang Mandera. Tiang tersebut menjadi tanda bahwa kampung tersebut tertutup karena sedang berlangsung upacara Tiwah. Penduduk yang belum di-saki atau di-palas, dilarang masuk ke dalam kampung. Pada hari ini, ahli waris arwah atau salumpuk liaw mulai melaksanakan sejumlah pantangan.<ref name=":3" />
'''Hari Kelima'''
Pada hari kelima, hewan-hewan yang akan dikurbankan diikat di sapundu. Para tamu yang hadir biasanya akan mengelilingi hewan kurban tersebut. Selain itu, pada hari ini sandung mulai dibangun.<ref name=":3" />
'''Hari Keenam'''
Pada hari ini, dilaksanakan puncak upacara Tiwah. Para tamu akan hadir dengan menaiki rakit atau kapal yang berisi sesaji atau persembahan. Kapal tersebut dinamakan ''lanting laluhan'' atau ''kapal laluhan.''<ref name=":3" />
'''Hari Ketujuh'''
Pada hari ketujuh yang merupakan hari terakhir pelaksanaan inti upacara Tiwah, arwah anggota keluarga atau salumpuk liaw akan melakukan perjalanan menuju Lewu Liaw. Proses ini diawali dengan proses pengurbanan hewan yang diaikat di sapundu dengan cara ditombak. Selanjutnya, ada prosesi tarian kanjan. Terakhir, tulang belulang yang telah dibersihkan akan dibungkus menggunakan kain merah dan dimasukkan ke dalam sandung.<ref name=":3" />
== Pengaruh budaya luar ==
Seiring berkembangnya zaman dan interaksi suku Dayak dengan dunia luar, upacara Tiwah juga mengalami banyak perubahan. Adapun beberapa perubahan dalam upacara Tiwah dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti munculnya negara dan masuknya teknologi baru.
=== Keberadaan negara bangsa ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het slachten van runderen tijdens de grote verzoening in de Dajak kampong Toembanganoi onder leiding van de controleurs A.C. de Heer en J.P.J. Barth, Midden-Borneo. TMnr 60046395.jpg|kiri|jmpl|289x289px|Pertemuan kepala suku dari seluruh Pulau Kalimantan pada 1894 yang menghasilkan perjanjian Tumbang Anoi.]]
Hadirnya negara yang kemudian mengadministrasi dan mengatur kehidupan penduduknya melalui peraturan, turut mempengaruhi sejumlah perubahan dalam penyelenggaran upacara Tiwah. Munculnya misionaris Kristen yang juga bersamaan dengan hadirnya [[Hindia Belanda|negara kolonial Belanda]] berpengaruh terhadap tradisi kurban upacara Tiwah, upacara [[Kwangkey]], maupun upacara kematian suku Dayak lainnya. Dalam masyarakat Dayak, ketika seorang yang memiliki status sosial tinggi seperti bangasawan meninggal dunia, maka ada kepercayaan bahwa arwahnya perlu ditemani. Dalam mencari teman tersebut, orang Dayak akan melakukan '''''mangayau''''', yakni sebuah tradisi perburuan kepala manusia yang nantinya akan menjadi kurban dalam upacara Tiwah. Dalam melaksanakan orang Dayak biasanya akan mencari kepala manusia yang berasal dari suku lain. Semakin banyak kepala manusia yang didapat maka akan semakin baik bagi arwah. Dalam kepercayaan suku Dayak, arwah kepala manusia hasil buruan tersebut dipercaya akan menjadi pelayan.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://mmc.gunungmaskab.go.id/?p=373|title=Sejarah Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi Tahun 1894|last=edu|date=2018-04-10|website=MULTI MEDIA CENTER|language=id-ID|access-date=2019-04-11}}</ref> Bagi sang pemburu pyang berhasil mendapatkan kepala manusia akan mendapat kenaikan status sosial dalam masyarakat. Jika ''mangayau'' gagal dan tidak mendapatkan kepala, maka yang akan menjadi penggantinya adalah para budak. Kepala manusia yang sudah dikumpulkan itu nantinya akan ditanam di bawah ''sapundu''.<ref name=":0" />
Kehadiran Belanda sebagai negara kolonial yang kemudian mengatur kehidupan masyarakat Dayak kemudian melakukan pelarangan terhadap tradisi mengayau. Pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894 Belanda mengumpulkan seluruh kepala suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan. Pertemuan ini kemudian melahirkan Perjanjian [[Tumbang Anoi, Damang Batu, Gunung Mas|Tumbang Anoi]] yang bertujuan untuk mengakhiri rasa saling bermusuhan dan sekaligus mempertegas pemberlakuan larangan ''mangayau''. Selain itu, sistim perbudakan yang ada dalam masyarakat Dayak juga dihapuskan.<ref name=":4" /> Dalam upacara Tiwah, kurban kepala manusia akhirnya diganti dengan kurban kepala hewan terutama kerbau.
Selain pelarangan tradisi mengayau, keberadaan negara Indonesia yang hadir pasca kemerdekaan juga turut mempengaruhi berlangsungnya upacara Tiwah. Waktu pelaksanaan upacara Tiwah akan menjadi lama karena menunggu perizinan dari banyak instansi seperti camat, polisi, dan majelis adat. Lama dikeluarkannya izin bahkan bisa mencapai 12 bulan. Penyelenggara upacara Tiwah wajib mengisi sejumlah dokumen dan harus memberikan detil kegiatan yang nantinya akan dilangsungkan.<ref name=":1" />
=== Teknologi baru ===
Dalam upacara Tiwah penggunaan kayu berupa kayu besi dan bambu banyak digunakan untuk membuat sejumlah keperluan upacara. Seiring perkembangan zaman dan interaksi orang Dayak dengan masyarakat pendatang, membuat penggunaan kayu untuk keperluan upacara Tiwah sedikit berkurang. Pada tahun 1960-an ketersediaan semen mulai melimpah. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap pembuat sandung terutama sandung yang dletakkan di tanah atau sandung munduk.<ref name=":2" /> [[Sandung]] yang biasanya terbuat dari kayu besi atau kayu ulin, kini semakin banyak yang membuatnya dari semen yang dicampur batu dan pasir. Sandung yang terbuat dari semen memiliki bentuk serupa dengan kubus, polos dan tidak memilki ukiran.<ref name=":0" /><ref>Harysakti, A., & Mulyadi, L. (2017). [http://ejournal.itn.ac.id/index.php/spectra/article/view/569 Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20190401144042/http://ejournal.itn.ac.id/index.php/spectra/article/view/569 |date=2019-04-01 }} ''Jurnal Spectra'', ''12''(24), 72-86.</ref><ref>{{Cite news|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/12000031/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-2-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (2)|last=Tarigan|first=Kurnia|date=|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Ika|editor-first=Aprillia}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Schiller|first=Anne L.|date=1993-01-01|title=Journalistic Imputation and Ritual Decapitation: Human Sacrifice and Media Controversy in Central Kalimantan|url=http://dx.doi.org/10.1163/030382493x00134|journal=Asian Journal of Social Science|volume=21|issue=2|pages=97–110|doi=10.1163/030382493x00134|issn=1568-4849}}</ref>
== Referensi ==
{{reflist}}
*
[[Kategori:Kaharingan]]
[[Kategori:Dayak]]
[[Kategori:Ritual]]
|