Tiwah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k replaced: pasca panen → pascapanen
Busu Neneng (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(38 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox recurring event
'''Tiwah''' atau '''Tiwah Lale''' atau '''Magah Salumpuk Liau Uluh Matei''' ialah upacara kematian yang dilakukan oleh [[suku Dayak Ngaju]] di [[Kalimantan Tengah]]. Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam Suku Dayak. Hal ini dikarenakan upacara Tiwah melibatkan sumber daya yang banyak dan waktu yang cukup lama. Upacara ini dilakukan bertujuan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.<ref>[http://www.gunungmaskab.go.id/pariwisata/wisata-budaya/tiwah-2.html Tiwah]. Pemkab Gunung Mas. Diakses pada 18 September 2012</ref> Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan ke dalam penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang dilakukan oleh [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan]].<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/penetapan-warisan-budaya-takbenda-indonesia-2014/|title=PENETAPAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA 2014|date=2015-01-19|website=Direktorat Jendral Kebudayaan|language=id-ID|access-date=2019-04-09}}</ref>
| name = '''Tiwah'''
| native_name =
| genre = Upacara kematian dalam agama [[Kaharingan]]
| logo =
| logo_caption =
| image = {{multiple image|border= infobox|total_width = 300|image_style = border:1;
|perrow = 1/2/2/2
|image1=Tiwah suku dayak, gambar 1.jpeg
|image2=COLLECTIE TROPENMUSEUM Model van een geestenhuisje of zielenschip TMnr A-1548.jpg}}
| caption = Salah satu bentuk "Sandung" dalam upacara Tiwah.<br><br>
| date =
| frequency =
| location = '''Kalimantan Tengah :'''<br>{{hlist|Suku Dayak Ngaju|Suku Dayak Siang|Suku Dayak Lawangan|Suku Dayak Oot Danum|(serta sub-suku Dayak Kalimantan Tengah lainnya)}}<br>'''Kalimantan Barat :'''<br>{{hlist|Suku Dayak Pesaguan}}
| years_active = Dulu - Sekarang
| first =
| last =
| participants = Umat beragama Kaharingan
| people = {{hlist|Pisor/Kandong|Basir/Basie|Mantir|Balian}}
| budget = • 50 - 100 juta Rupiah '''(Tiwah per-satu orang/makam)'''<br>• 5 - 10 juta Rupiah per-keluarga '''(Tiwah massal)'''</br>
| patron = {{hlist|Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI)|Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan (MDA-HK)|Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBA-HK)}}
| organised =
| website =
| footnotes =
}}
'''Tiwah''', atau '''Tiwah Lale''', dikenal juga '''''magah salumpuk liau uluh matei''''' adalah upacara kematian dalam '''agama [[Kaharingan]]''' yang dilakukan oleh [[suku Dayak Ngaju]] dan juga sub-suku Dayak lainnya di Kalimantan yang masih menganut agama [[Kaharingan]], khususnya di [[Kalimantan Tengah]]. Upacara Tiwah diberlakukan kepada orang atau anggota keluarga yang telah lama meninggal dan sudah lama dikubur dengan usia makam bisa 7 - 10 tahun lamanya karena yang diperlukan dalam ritual Tiwah adalah tulang-belulang orang yang telah meninggal. Setelah menunggu untuk waktu yang lama, barulah makam-nya bisa digali, kemudian dilakukan berbagai ritual, dan terakhir tulang-belulang tersebut akan diletakkan ke dalam '''"''[[Sandung]]''"''' atau '''"''Pambak''"'''.
 
'''Tiwah'''[[Berkas:Sandung atau101014-7588 mp.JPG|jmpl|'''Tiwah Lale"Sandung"''' atausuku '''MagahDayak SalumpukPesaguan Liaudi UluhDesa Matei'''[[Tanjung ialahMaloy, upacaraTumbang kematianTiti, yangKetapang|Tanjung dilakukan olehMaloy]], [[sukuTumbang DayakTiti, Ketapang|Tumbang NgajuTiti]], di[[Kabupaten Ketapang|Ketapang]], [[Kalimantan TengahBarat]]. ]]Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam Sukuagama DayakKaharingan, sama halnya dengan upacara Dallok, [[Miya]], Ijambe, Wara, dan [[Kwangkey]]. Hal ini dikarenakan upacara Tiwah melibatkan sumber daya yang banyak dan waktu yang cukup lama. Upacara ini dilakukan bertujuan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang ditujukekal abadi yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.<ref>[http://www.gunungmaskab.go.id/pariwisata/wisata-budaya/tiwah-2.html Tiwah] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20120723025229/http://www.gunungmaskab.go.id/pariwisata/wisata-budaya/tiwah-2.html |date=2012-07-23 }}. Pemkab Gunung Mas. Diakses pada 18 September 2012</ref> Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan ke dalam penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang dilakukan oleh [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan]].<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/penetapan-warisan-budaya-takbenda-indonesia-2014/|title=PENETAPAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA 2014|date=2015-01-19|website=Direktorat Jendral Kebudayaan|language=id-ID|access-date=2019-04-09}}</ref>
 
== Konsep kematian ==
Bagi masyarakat Dayak Ngaju yang umumnya memeluk kepercayaan lokal yakni [[Kaharingan]], kematian merupakan hal akhir yang dijalani manusia. Bagidi merekabumi, kematiandan hanyalahjuga awal untuk mencapai dunia kekal abadikeabadian yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi tersebut adalah dunia roh tempat manusia mencapai titik kesempurnaanya. Dalam mitos suku Dayak Ngaju, awalnya manusia tidak mengenal kematian. Hal tersebut dikarenakan kehidupan duniawi adalah sesuatu yang kekal. Namun, suatu ketika manusia berbuat kesalahan dan akhirnya kekekalan hidup duniawinya dicabut oleh dewata. Manusia yang meninggal akan melanjutkan perjalanannya ke dunia para arwah. Manusia yang telah berganti wujud menjadi arwah ini disebut dengan '''Lio'''/'''Liau'''/'''Liaw. Liau''' oleh masyarakat Dayak Ngaju wajib diantar ke dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut '''''Lewu Liaw''''' atau '''''Lewu Tatau'''''. Proses pengantaran ini melalui serangkaian upacara kematian, yakni upacara Tiwah. Liaw sendiri menurut masyarakat Dayak Ngaju terbagi atas tiga jenis yakni:
 
# ''Salumpuk liaw haring kaharingan'', yakni roh rohani dan jasmani,
Baris 11 ⟶ 38:
 
== Biaya ==
Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.<ref>{{Cite webnews|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/11000061/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-1-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (1)|last=Tarigan|first=Kurnia|date=|websitework=KOMPAS[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Ika|editor-first=Aprillia}}</ref> Karena biaya yang besar tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status sosial seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri dan dilakukan sesegeradengan mungkinwaktu yang relatif lebih cepat misalkan sekitar 7 tahun setelah kematian sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya tidak melimpah, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan '''''handep''' .''Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian menyelenggarakan upacara Tiwah.<ref name=":0" /> Beberapa upacara Tiwah yang melibatkan banyak keluarga tercatat dalam sejumlah tulisan. Pada tahun 1996, antropolog Anne Schiller mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 89 kerangka jenazah di wilayah Petah Putih yang terletak di tepi Sungai Katingan.<ref name=":1">Schiller, A. (2002). How to hold a tiwah: the potency of the dead and deathways among Ngaju Dayaks. ''The Potent Dead: Ancestors, Saints, and Heroes in Contemporary Indonesia'', 17-31.</ref> Pada tahun 2002, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Banjarmasin Vida Pervaya Rusianti Kusmantoro mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 35 keluarga di desa Pandahara yang juga berada di tepi Sungai Katingan.<ref>Kusmartono, V. P. R. (2007). [https://naditirawidya.kemdikbud.go.id/index.php/nw/article/view/344 Tiwah: The Art of Death in Southern Kalimantan.] ''Naditira Widya'', ''1''(1), 206-213. doi:https://doi.org/10.24832/nw.v1i1.344</ref> Pada 1 April 2016 tercatat pula penyelenggaraan upacara Tiwah yang melibatkan 77 kerangka jenazah nenek moyang dari 46 keluarga. Mereka berasal dari beberapa desa di Kabupaten [[Katingan]], Kalimantan Tengah.<ref>{{Cite webnews|url=https://travel.kompas.com/read/2016/06/21/142013727/tiwah.rukun.kematian.penuh.kebahagiaan|title=Tiwah, Rukun Kematian Penuh Kebahagiaan Halaman all|last=|first=|date=|websitework=KOMPAS[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Asdhiana|editor-first=I Made}}</ref>
 
== Durasi dan waktu pelaksanaan ==
Baris 38 ⟶ 65:
Adapun tahapan persiapan awal dari upacara Tiwah adalah<ref name=":0" />
 
# Memilih dan menentukan orang yang akan menjadi pemimpin upacara. Para pemimpin ini biasanya terdiri dari tujuh atau sembilan orang. Salah satu dari mereka akan bertindahbertindak sebagai pemimpin utama atau '''''upoUpo'''''. Sisanya akan menjadi anggota yang disebut dengan '''''basirBasir'''''. Tugas orang-orang ini adalah mengantarkan arwah (Liaw) ke dunia akhirat (Lewu Tetu).
# Mempersiapkan peralatan upacara yakni:
#* '''''Balay Tiwah''''' atau '''''Balai Nyahu''''' merupakan rumah kecil yang memiliki ukuran sekitar 9 x 12 meter. Tempat ini terbuat dibangun dari bahan-bahan yang terbuat dari kayu-kayu yang masih utuh (bulat). Digunakan untuk menyimpan gong.
Baris 52 ⟶ 79:
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een koppensneller met aan zijn gordel een schedel die bij feesten gebruikt wordt om uit te drinken een vrouw met een grote 'blangai' pot en achter hen palen voor het dodenfeest 'Tiwah' Borneo TMnr 10002945.jpg|jmpl|366x366px|Seorang pria Dayak bersama seorang wanita Dayak yang memegang tempayan atau guci yang digunakan untuk menyimpan tulang belulang. Di belakang mereka berdiri '''''Sapundu'''''.]]
 
=== Puncak Upacara Tiwah ===
Pelaksanaan upacara Tiwah pada memiliki sejumlah perbedaan di masing-masing daerah. Penyebabnya adalah tidak adanya pedoman penyelenggaran yang secara resmi ditulis. Sehingga masing-masing kelompok masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai sub-suku menafsirkannya berbeda-beda. Namun, pada dasarnya pelaksanaan upacara Tiwah memiliki tujuan yang sama yakni mengantarkan arwah ke negeri yang kekal.<ref name=":3" /> Adapun pelaksanaan inti dari Upacara Tiwah adalah sebagai berikut
Baris 83 ⟶ 111:
Pada hari ketujuh yang merupakan hari terakhir pelaksanaan inti upacara Tiwah, arwah anggota keluarga atau salumpuk liaw akan melakukan perjalanan menuju Lewu Liaw. Proses ini diawali dengan proses pengurbanan hewan yang diaikat di sapundu dengan cara ditombak. Selanjutnya, ada prosesi tarian kanjan. Terakhir, tulang belulang yang telah dibersihkan akan dibungkus menggunakan kain merah dan dimasukkan ke dalam sandung.<ref name=":3" />
== Pengaruh budaya luar ==
Seiring berkembangnya zaman dan interaksi suku Dayak dengan dunia luar, upacara Tiwah juga mengalami banyak perubahan. Adapun beberapa perubahan dalam upacara Tiwah dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti munculnya negara, agama pendatang, dan masuknya teknologi baru.
 
==== Keberadaan negara bangsa ====
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het slachten van runderen tijdens de grote verzoening in de Dajak kampong Toembanganoi onder leiding van de controleurs A.C. de Heer en J.P.J. Barth, Midden-Borneo. TMnr 60046395.jpg|kiri|jmpl|289x289px|Pertemuan kepala suku dari seluruh Pulau Kalimantan pada 1894 yang menghasilkan perjanjian Tumbang Anoi.]]
Hadirnya negara yang kemudian mengadministrasi dan mengatur kehidupan penduduknya melalui peraturan, turut mempengaruhi sejumlah perubahan dalam penyelenggaran upacara Tiwah. Munculnya misionaris Kristen yang juga bersamaan dengan hadirnya [[Hindia Belanda|negara kolonial Belanda]] berpengaruh terhadap tradisi kurban upacara Tiwah, upacara [[Kwangkey]], maupun upacara kematian suku Dayak lainnya. Dalam masyarakat Dayak, ketika seorang yang memiliki status sosial tinggi seperti bangasawan meninggal dunia, maka ada kepercayaan bahwa arwahnya perlu ditemani. Dalam mencari teman tersebut, orang Dayak akan melakukan '''''mangayau''''', yakni sebuah tradisi perburuan kepala manusia yang nantinya akan menjadi kurban dalam upacara Tiwah. Dalam melaksanakan orang Dayak biasanya akan mencari kepala manusia yang berasal dari suku lain. Semakin banyak kepala manusia yang didapat maka akan semakin baik bagi arwah. Dalam kepercayaan suku Dayak, arwah kepala manusia hasil buruan tersebut dipercaya akan menjadi pelayan atau jipen.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://mmc.gunungmaskab.go.id/?p=373|title=Sejarah Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi Tahun 1894|last=edu|date=2018-04-10|website=MULTI MEDIA CENTER|language=id-ID|access-date=2019-04-11}}</ref> Bagi sang pemburu pyang berhasil mendapatkan kepala manusia akan mendapat kenaikan status sosial dalam masyarakat. Jika ''mangayau'' gagal dan tidak mendapatkan kepala, maka yang akan menjadi penggantinya adalah para budak. Kepala manusia yang sudah dikumpulkan itu nantinya akan ditanam di bawah ''sapundu''.<ref name=":0" />
 
Kehadiran Belanda sebagai negara kolonial yang kemudian mengatur kehidupan masyarakat Dayak kemudian melakukan pelarangan terhadap tradisi mengayau. Pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894 Belanda mengumpulkan seluruh kepala suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan. Pertemuan ini kemudian melahirkan Perjanjian [[Tumbang Anoi, Damang Batu, Gunung Mas|Tumbang Anoi]] yang bertujuan untuk mengakhiri rasa saling bermusuhan dan sekaligus mempertegas pemberlakuan larangan ''mangayau''. Selain itu, sistim perbudakan yang ada dalam masyarakat Dayak juga dihapuskan.<ref name=":4" /> Dalam upacara Tiwah, kurban kepala manusia akhirnya diganti dengan kurban kepala hewan terutama kerbau.
Baris 93 ⟶ 121:
Selain pelarangan tradisi mengayau, keberadaan negara Indonesia yang hadir pasca kemerdekaan juga turut mempengaruhi berlangsungnya upacara Tiwah. Waktu pelaksanaan upacara Tiwah akan menjadi lama karena menunggu perizinan dari banyak instansi seperti camat, polisi, dan majelis adat. Lama dikeluarkannya izin bahkan bisa mencapai 12 bulan. Penyelenggara upacara Tiwah wajib mengisi sejumlah dokumen dan harus memberikan detil kegiatan yang nantinya akan dilangsungkan.<ref name=":1" />
 
==== AgamaTeknologi pendatangbaru ====
Dalam upacara Tiwah penggunaan kayu berupa kayu besi dan bambu banyak digunakan untuk membuat sejumlah keperluan upacara. Seiring perkembangan zaman dan interaksi orang Dayak dengan masyarakat pendatang, membuat penggunaan kayu untuk keperluan upacara Tiwah sedikit berkurang. Pada tahun 1960-an ketersediaan semen mulai melimpah. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap pembuat sandung terutama sandung yang dletakkan di tanah atau sandung munduk.<ref name=":2" />. [[Sandung]] yang biasanya terbuat dari kayu besi atau kayu ulin, kini semakin banyak yang membuatnya dari semen yang dicampur batu dan pasir. Sandung yang terbuat dari semen memiliki bentuk serupa dengan kubus, polos dan tidak memilki ukiran.<ref name=":0" /><ref>Harysakti, A., & Mulyadi, L. (2017). [http://ejournal.itn.ac.id/index.php/spectra/article/view/569 Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20190401144042/http://ejournal.itn.ac.id/index.php/spectra/article/view/569 |date=2019-04-01 }} ''Jurnal Spectra'', ''12''(24), 72-86.</ref><ref>{{Cite webnews|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/12000031/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-2-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (2)|last=Tarigan|first=Kurnia|date=|websitework=KOMPAS[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Ika|editor-first=Aprillia}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Schiller|first=Anne L.|date=1993-01-01|title=Journalistic Imputation and Ritual Decapitation: Human Sacrifice and Media Controversy in Central Kalimantan|url=http://dx.doi.org/10.1163/030382493x00134|journal=Asian Journal of Social Science|volume=21|issue=2|pages=97–110|doi=10.1163/030382493x00134|issn=1568-4849}}</ref>
Agama dari luar yang masuk ke masyarakat Dayak seperti Kristen dan Islam turut mempengaruhi penyelenggaraan upacara Tiwah. Pengaruh agama Kristen yang dibawah para misionaris yang datang bersamaan dengan hadirnya negara kolonial Belanda lebih kepada pelarangan tradisi mangayau yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan, agama Islam memiliki pengaruh terhadap tata cara pengurbanan hewan dalam upacara Tiwah. Pada akhir upacara Tiwah, diadakan upacara pengurbanan hewan dengan cara ditombak atau yang disebut dengan tubah. Jika sebelumnya, penombakan hewan kurban seperti kerbau dilakukan secara berkali-kali hingga hewan tersebut tersunggkur dan akhirnya mati. Dalam kepercayaan [[Islam]], hewan yang dikurbankan harus disembelih terlebih dahulu. Hewan yang mati dalam keadaan ditombak seperti yang ada dalam upacara Tiwah, nantinya daging tersebut tidak boleh dimakan karena statusnya haram. Oleh sebab itu, dalam upacara Tiwah yang mendapat pengaruh Islam, setelah hewan ditombak dan sebelum hewan yang dikurbankan mati, hewan tersebut harus disembelih dibagain leher terlebih dahulu agar dagingnya boleh atau halal untuk dikonsumsi.<ref name=":0" />
 
==== Teknologi baru ====
Dalam upacara Tiwah penggunaan kayu berupa kayu besi dan bambu banyak digunakan untuk membuat sejumlah keperluan upacara. Seiring perkembangan zaman dan interaksi orang Dayak dengan masyarakat pendatang, membuat penggunaan kayu untuk keperluan upacara Tiwah sedikit berkurang. Pada tahun 1960-an ketersediaan semen mulai melimpah. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap pembuat sandung terutama sandung yang dletakkan di tanah atau sandung munduk<ref name=":2" />. [[Sandung]] yang biasanya terbuat dari kayu besi atau kayu ulin, kini semakin banyak yang membuatnya dari semen yang dicampur batu dan pasir. Sandung yang terbuat dari semen memiliki bentuk serupa dengan kubus, polos dan tidak memilki ukiran.<ref name=":0" /><ref>Harysakti, A., & Mulyadi, L. (2017). [http://ejournal.itn.ac.id/index.php/spectra/article/view/569 Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.] ''Jurnal Spectra'', ''12''(24), 72-86.</ref><ref>{{Cite web|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/12000031/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-2-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (2)|last=|first=|date=|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2019-04-09}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Schiller|first=Anne L.|date=1993-01-01|title=Journalistic Imputation and Ritual Decapitation: Human Sacrifice and Media Controversy in Central Kalimantan|url=http://dx.doi.org/10.1163/030382493x00134|journal=Asian Journal of Social Science|volume=21|issue=2|pages=97–110|doi=10.1163/030382493x00134|issn=1568-4849}}</ref>
 
== Referensi ==
Baris 104 ⟶ 129:
*
 
[[Kategori:Kaharingan]]
[[Kategori:Dayak]]
[[Kategori:Ritual]]