Anis bin Alwi al-Habsyi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis kemungkinan perlu dirapikan kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh 110.138.85.92 (bicara) ke revisi terakhir oleh Arya-Bot
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(26 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Refimprove|date=Juli 2022}}
{{Infobox Ulama Muslim
|notability =
Baris 20 ⟶ 21:
|nama_ayah = Habib Alwi
|nama_ibu = Syarifah Khadijah
|nama_lahir =Muhammad Anies
|hari_lahir =
<!-- --------- -->
Baris 37 ⟶ 38:
<!-- --------- -->
|kunya =
|name = Muhammad AniesAnis bin Alwi
|nama_arabic =
|nisbah =
Baris 68 ⟶ 69:
|negara_makam =
<!-- --------- -->
}}
|keturunan=Husein bin Muhammad Anies Al Habsyi
'''Habib Anis bin Alwi al-Habsyi''' ({{lahirmati|[[Garut]], [[Jawa Barat]]|5|5|1928|[[Surakarta]], [[Jawa Tengah]]|6|11|2006}}) adalah seorang [[ulama]] [[Indonesia]] yang dikenal di kalangan masyarakat kota [[Solo]].
Ali bin Muhammad Anies Al Habsyi
Achmad bin Muhammad Anies Al Habsyi
Alwi bin Muhammad Anies Al Habsyi
Hasan bin Muhammad Anies Al Habsyi (Khalifah Solo)
Ubaidillah bin Muhammad Anies Al Habsyi|putra=Sayyid Husein bin Muhammad Anies Al Habsyi
Sayyid Ali bin Muhammad Anies Al Habsyi
Sayyid Achmad bin Muhammad Anies Al Habsyi
Sayyid Alwi bin Muhammad Anies Al Habsyi
Sayyid Hasan bin Muhammad Anies Al Habsyi
Sayyid Abdillah bin Muhammad Anies Al Habsyi}}
'''Habib Anis bin Alwi al-Habsyi''' ({{lahirmati|[[Garut]], [[Jawa Barat]]|5|5|1928|[[Surakarta]], [[Jawa Tengah]]|6|11|2006}}) adalah seorang [[ulama]] [[Indonesia]] keturunan Ulama besar Asal [[Hadramaut]] yaitu Al Imam Al Arifbillah Al Allamah Al Qutb Al Habib [[Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi]], pengarang Maulid Habsyi. Sehingga beliau dikenal di kalangan masyarakat kota [[Solo]] maupun [[Indonesia]].
 
== Biografi ==
Habib Anis lahir dari pasangan Habib Alwi dan Syarifah Khadijah. Ketika berumur 9 tahun, keluarganya pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, mereka menetap di Kampung Gurawan, [[Pasar Kliwon, Surakarta]].
Habib Anis bin Alwi al Habsyi Peneguh Thariqah Alawiyin di Surakarta ABSTRAKSI Kiprah Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam dakwah Islam di tengah gempuran pembaharuan Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Permasalahan utama penelitian ini adalah ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam melestarikan ajaran Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Pertanyaan pokok studi ini adalah bagaimana ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi, serta peran dan pengaruhnya terhadap masyarakat luas, khususnya masyarakat Surakarta. Jawaban atas pertanyaan dikaji dari sumber primer dan skunder seperti sumber lisan, surat kabar, dan beberapa referensi yang relevan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kegiatan Habib Anis selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid Simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan Sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di Zawiyah pada tengah hari. Wasiat Habib Anis adalah empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW. Gerakan menghidupkan tradisi salaf dengan kitab-kitab standart seperti Shahih Bukhari, Ihya Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf dll yang berpusat di masjid Riyadh bersambut luas tidak hanya jamaah masjid, namun klan (fam) serta jaringan ulama akhirnya berkembang. Lewat keistiqomahan Habib Anis, jaringan ulama lokal Solo Raya terbentuk, bahkan pada era 96 an ada forum remaja masjid militan (Forsmil) yang bergerak dari kalangan remaja masjid. Adanya kontinuitas, istoqomah gerakan yang kukuh dengan tradisi salaf serta penguatan jaringan, tidak hanya lokal (Solo Raya), namun muhibbin (pencinta) habaib yang tersebar luas seluruh Indonesia berdatangan menjadi koneksitas lokal dan menasional, bahkan menyebar luas tidak saja konteks lokal, nasional namun juga go internasional Kata Kunci : Habib, Islam Tradisional, Tradisi Salaf, Maulid, Muhibbin, Pasar Kliwon Solo, Solo Raya
A. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Penelitian Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.1)
Ayah Habib Anis yakni Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad Ash-Shoghir bin Alwy bin Abu Bakar Al-Habsy bin Ali-Al-Faqih bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqadam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As-Sibthi bin Amirul mukminin Ali Abi Thalib ibin Sayidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.2)
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali. 3)
Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang (Bulan Rabi'ul awal 1373 H / 27 November 1953). Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Bagian di atas, berisi uraian ringkas tentang masa kecil sampai masa muda Habib Anis secara lengkap.
Tujuan (purposes) penelitian yang dilakukan (research purpose) dengan jenis studinya fenomenologis dan studi historis, dengan menggali bahan-bahan pustaka, survey internet, dan referensi yang ada.
Manfaat hasil penelitian ini adalah: 1. Mampu memotret secara gamblang dari semua data yang ada. 2. Memilah dan memilih data untuk memastikan keakuratan data. 3. Meneropong secara runut dan runtut tiap episode dari bagian awal biografi. 4. Mencari angle berbeda dari penelitian yang sudah ada. 5. Memotret secara utuh sebagai bahan yang sistemik sehingga memudahkan dalam menyajikan dari awal sampai akhir kehidupan Habib Anis al Habsyi.
1.2. Rumusan Masalah atau Identifikasi Masalah
Rumuskan masalah penelitian (research problem) dalam penelitian ini adalah : 1. Membatasi penelitian hanya pada masa muda Habib Anis (1928-1953) 2. Meneliti alur nasab /silsilah jalur keturanan baik dari pihak bapak dan ibu. 3. Mengungkap masa pendidikan dan aktivitas dari Habib Anis sejak kecil hingga masa muda. Problem masalah (problem statement) dari penelitian ini adalah karena menulis orang yang sudah wafat atau dari sumber primer yang bersangkutan. Namun lewat kesaksian kerabat, murid dan orang terdekat almarhum, sosok habib Anis sebagai tokoh penggerak alawiyin, khususnya Solo Raya, problem itu mudah teratasi. Maka fokus Penelitian ini adalah sebagaimana menulis manakib, mencari data dari awal lahir, masa muda, awal berkiprah sampai peran-peran strategis dan akhir hayat dari Habib Anis al Habsyi.
Ada banyak pertanyaan siapa sesungguhnya Habib Anis al Habsyi, Guru Spiritualnya? Jaringan relasi keagamaan tingkat lokal, nasional dan internasional yang dibangun?
Pernyataan Masalah, jika peneliti ingin mengungkapkan suatu kalimat pernyataan untuk menunjukkan bahwa penelitian mengarah pada persoalan menemukan suatu solusi. Pada pernyataan masalah ini, peneliti dapat melanjutkan penjelasannya melalui Identifikasi Masalah untuk menguraikan lebih spesifik atas persoalan yang dikemukakan, atau Hipotesis Kerja (dugaan sementara) untuk memandu langkah-langkah penelitian dalam menemukan solusi.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan: 1. Memotret secara gamblang dari semua data yang ada. 2. Memilih data untuk memastikan keakuratan data. 3. Menulis secara runut dan runtut tiap episode dari bagian awal biografi. 4. Memilih sudut pandang berbeda dari penelitian yang sudah ada. 5. Menyusun kerangka tulisan secara utuh sebagai bahan yang utuh sehingga memudahkan dalam penelitian dan penulisan selanjutnya.
Pada penelitian deduktif–hipotetikal, tujuan penelitian lazimnya adalah untuk menjelaskan/mengukur hubungan (asosiasi atau kausalitas) antarvariabel yang menjadi perhatian dalam studi.
1.4. Kegunaan Penelitian atau Manfaat Penelitian
Kegunanaan penelitian ini secara spesifik adalah mencoba menyajikan merode penulisan manakib dari awal (lahir) sampai wafat secara menyeluruh dari sumber pustaka, majalah, skripsi, tesis dan disertasi yang sudah ada sekaligus menyajikan secara berbeda analisis peran dan kiprah Habib Anis al Habsyi yang belum muncul dan tersebar secara luas.
Aspek teoretis (keilmuan) dengan menyebutkan kegunaan teoretis apa yang dapat dicapai dari masalah yang diteliti.
Aspek praktis (guna laksana) dengan menyebutkan kegunaan apa yang dapat dicapai dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan penelitian ini.
BAB II: Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Pada Sewaktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama dan Habib Anis adalah Peneguh Tarekat Alawiyyin di Solo Raya.
Kemunculan Tharīqah di dalam dunia Islam, tidak bisa dilepaskan dari kemunculan terminologi-terminologi tasawuf dan kaum sufi itu sendiri. Jika memakai tipologi fikih, maka Tharīqah adalah mazhab-mazhab dari ajaran tasawuf yang merupakan pengejawantahan dari salah satu rukun agama yaitu Ihsan. Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, sebenarnya tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bashri, Sofyan al-Tsauri, Junaedi al-Baghdadi, Abu Yazid al-Busthami dan sebagainya. Meski dalam perjaalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para ulama ahli fikih, hadis dan sebagainya. Menurut Alwi Shihab, setidaknya periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tasawuf terbagi ke dalam beberapa tahap:Pertama, tahap Zuhud (Abad ke 1-2 H), kedua, tahap kodifikasi ilmu tasawuf dimana istilah tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran teori dan praktik sufistik mulai diperkenalkan (Abad ke 3-4 H), ketiga, tahap tasawuf falsafi (Abad ke 6 H), dan keempat tahap moderasi tasawuf akhlaki yang pondasinya dimulai dari al-Ghazali yang dengan rumusan konsep tasawuf moderatnya menjadikan tasawuf dianggap selaras dengan syariat. Pada tahap inilah kemudian melahirkan tipologi tasawuf menjadi tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi; Tasawuf Sunni merupakan kepanjangan aliran tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H yang disusul al-Ghazali dan para pengikutnya dari guru-guru tarekat dan berwawasan moral praktis dan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Adapaun tasawuf falsafi lebih kepada menggabungkan tasawuf dengan berbagi aliran mistik dari dari lingkugnan di luar Islam, seperti Hinduisme, kependetaan Kristen ataupun teosofi dan neo-Platonisme.
Tarekat atau tharīqah sendiri yang merupakan mazhab-mazhab dalam tasawuf adalah sebuah metode yang dikembangkan oleh para ulama dalam menempuh jalan spiritualitas menuju Allah Swt. Kata tarekat dan tharīqahberasal dari Bahasa Arab al-Tharīq yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik teruji maupun tercela. Sebagai sebuah metode spiritualitas, biasanya tarekat memiliki amalam zikir dan wirid yang dilazimkan serta hubungan khusus antara guru dan murid (Shuhbah) yang kesemuanya merupakan proses perjalanan untuk melalui tahap-tahap mencapai tujuan. Setiap tarekat memiliki karakter wirid dan zikirnya masing-masing yang dianggap dapat membantu seorang salik dalam mengasah daya ruhaninya. Dalam tarekat mu’tabarah (tarekat yang terverifikasi), biasanya wirid dan zikir ini memiliki jalur transmisi periwayatan yang terus bersambung kepada tokoh-tokoh sentral di generasi sebelumnya yang terus bersambung kepada pendiri sebuah taraket. Proses kegiatan tarekat biasanya dimulai dengan pengambilan baiat atau sumpah dari seorang murid dihadapan guru setelah sebelumnya melakukan tobat, puasa atau ritual-ritual lain yang diperintahkan sang guru (mursyid) tersebut. Ritual baiat seperti ini hampir ditemukan di dalam semua institusi tarekat yang mu’tabar kecuali Tharīqah ‘Alawiyyah yang tidak mengharuskan adanya mursyid dan juga baiat.
Akibat lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan spiritual, tarekat juga seringkali menjadi kambing hitam dari kemunduran dialektika sosial di kalangan umat Islam. Para pengamal sufi, seringkali lebih asik bercengkrama dengan amalan-amalan seperti sujud, zikir, hidup di kesunyian dan jauh dari hingar bingar matrealistik sehingga tidak jarang malah meniadakan dialektika serta peran sosial disekitarnya. Tentu kita pahami bahwa adanya distorsi dalam pelaksanaan tarekat ini bukanlah hakikat dari ajaran tarekat, sebab ajaran tarekat merupakan ajaran spiritualitas yang menempatkan moralitas, etika, sopan santun pada posisi yang utama, sehingga sangat tidak masuk akal jika seseorang yang mengaku sebagai pengamal tarekat malah meniadakan peran sosialnya di tengah-tengah masyarakat sebab substansi dari moralitas terletak pada keberhadirannya di ruang sosial.
Seorang muslim wajib menempuh jalan spiritualitas, namun bukan berarti dia harus masuk ke dalam sebuah institusi tarekat. Tarekat hanyalah sebuah metode dalam bertasawuf, itu berarti bahwa seseorang bisa saja sudah dikatakan mengamalkan tasawuf walaupun tanpa mengamalkan tarekat tertentu. Dari hal inilah kemudian para sarjana ada yang membedakan antara istilah tharīqah dan tarekat; Tharīqah merupakan metode spiritualitas, . tarekat lebih kepada pelembagaan secara rigid dari metode itu sendiri.
Dalam penelitian ini, secara operasional, penulis merasa perlu membedakan antara istilah tarekat dan tharīqah saat menjelaskan ‘Alawiyyah.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan karakter antara Tharīqah ‘Alawiyyah yang berbeda dengan tarekat kebanyakan. Beberapa karakter yang menonjol dari tharīqah ini adalah: Pertama, tharīqah ini tidak mengharuskan talqin atau baiat bagi murid baru, sehingga siapa pun dapat langsung mengamalkan tarekat ini tanpa harus berguru kepada mursyid. Kedua, selain berintikan keharusan menghiasi diri dengan akhlak mulia, tarekat ini menekankan amalan yang tergolong cukup ringan, yakni berupa himpunan wirid dan dzikir yang dikenal dengan wirdu al-Latfhīf dan ratib al-Haddad.
Ada yang berpendapat bahwa sementara tarekat lain biasanya cendrung melibatkan riyādhah-riyādhah (latihan-latihan) fisik dan kezuhudan yang ketat, Tharīqah ‘Alawiyyah hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak.
Ketiga, posisinya yang unik berhadapan dengan kontroversi tasawuf falsafi, yakni menjaga jarak dan tidak mau berurusan dengannya seraya menjaga sikap simpati terhadapnya.
Kebanyakan para Habaib ini , termasuk Habib Anis bin Alwi al Habsyi menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/k. 1178 M, dan wafat 653 H/k. 1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya.
Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW. Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka. Habib Anis bin Alwi al Habsyi berguru kepada Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Husein al Habsyi (ayanda).a, yang terpaut 20 tahun, merasakan kesedihan adiknya yang telah diasuhnya sejak kecil. Daripada hidup resah dan gelisah, oleh putrid Habib Ali Al-Habsyi, Habib Alwi disarankan untuk berwisata hati ke Jawa, menemui kakaknya yang lain, Habib Ahmad bin Ali Al-Habsyi di Betawi.
Habib Alwi pergi ke Jawa ditemani Salmin Douman, antri senior Habib Ali Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal. Beliau meninggalkan istri yang masih mengandung di Seiyun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi.Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya ( Habib Ali Al-Habsyi ) di Jawa menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.
Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan. Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah dan Fathimah.
Selanjutnya beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita setempat. Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Di antaranya adalah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi serta Habib Fadhil bin Alwi yang meninggal pada akhir Agustus 2006.
Akhirnya, Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah. Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta. Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus ( kakek Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpim Majlis Dzikir Ratib Syamsisy Syumus ), seorang juragan tenun dari kota Solo, di Kampung Gurawan.
Wakaf itu dengan ketentuan : didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara masjid dan rumah. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M. Habib Ja'far Syaikhan Assegaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan sebuah ayat 14 surah Shaf ( 61 ) di dalam al-Qur'an, yang huruf-hurufnya berjumlah 1354. ayat tyersebut, menurut Habib Ja'far yang meninggal di Pasuruan 1374 H / 1954 M ini, sebagai pertanda bahwa Habib Alwi akan terkenal dan menjadi khalifah pengganti ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sementara rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah ( pesantren ) dan sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di dinia, yaitu ruang antara kamar Nabi saw dan masjid Nabawi. Sekarang bangunan bertambah dengan bangunan empat lantai yang menghdap ke Jln. Kapten Mulyadi 228, yang oleh sementara kalangan disebut Gedung Al-Habsyi.
Tentang rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja', seorang giru di Gresik, pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka'bah, yang dikinjungi banyak orang dari berbagai daerah. Ucapan ulama ini benar. Sekarang, setiap hari rumah dan masjidnya dikinjungi para habib dan muhibbin dari berbagai kota untuk tabarukan atau mengaji.
Habib Alwi telah memantapkan kemaqamannya di Solo. Masjid Riyadh dan Zawiyahnya semakin ramai dikunjungi orang. Beliau tidak saja mengajar dan menyelemggarakan kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiyun, Hadramaut. Namun beliau juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.
Ketika di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit ayahnya dan minta doa' dari Habib Alwi. Beliau mendoa'kan dan menganjurkannya untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah. "Insya Allah. Penyakitmu akan sembuh." Katanya waktu itu.
Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela ( ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib tayfiq Assegaf, Pasuruan ), yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.
Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( 1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja'far bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.
Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo. Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus mengikuti amanah ayahnya.
Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul awal 1373 H / 27 November 1953. pihak keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke Palembang. Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat, seperti kain mori, wangi-wangian, abun dan lainnya. Agaknya Habib Alwi telah diberi tanda oleh Allah swt bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.
Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo.Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006.
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim.
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.Jaringan Santri.
Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.
Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad ilm’) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba’Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi’iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy’ariyyah.
Pengajaran keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba’alawi ialah mengajarkan berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma’had dan rubath tarekat ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah).
Tarekat Alawiyyah adalah suatu tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW.
Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).
Selain itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai saat ini.
Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah SWT.
Membahas serta menganalisa Tharīqah ‘Alawiyyah ini khususnya menentukan masyarakat Betawi sebagai wilayah kajian tesis ini adalah karena masyarakat muslim Betawi memiliki kesejarahan yang identik dengan komunitas ‘Alawiyyīn. Hal itu dapat dibuktikan dengan begitu besarnya pengaruh pemikiran Abdullah al-Haddad dalam banyak kehidupan masyarakat Islam Jakarta baik dari sisi akidah, dakwah dan tasawuf dengan Tharīqah ‘Alawiyyah -nya. Hal ini terlihat dari adanya amalan-amalan yang dipraktikkan oleh kalangan yang berafiliasi kepada para Habāib, baik secara individu, maupun berjamaah. Pun pengaruh Tharīqah ‘Alawiyyah ini terlihat dari majelis-majelis taklim yang saat ini berkembang di Solo Raya yang kesemuanya merupakan kepanjangan dari majelis taklim pertama di Surakarta yaitu Majelis Taklim Habib Alwi bin AlI bin Muhammad Husein al-Habsyi yang merupakan tokoh ulama Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta.
Setelah terjadinya gelombang pelajar Indonesia yang melanjutkan belajar agama di Tarim, Yaman seperti di Darul Mushtofa dibawah asuhan Habib Umar bin Hafidz dan Rubat dibawah asuhan Habib Salim Syatiri pada kisaran awal tahun 90-an, menjadikan proses identifikasi Tharīqah ‘Alawiyyah kembali menguat. Hadirnya majelis-majelis taklim di Surakarta dan sekitarnya yang diasuh oleh para Habāib yang notabene merupakan pengamal Tharīqah ‘Alawiyyah yang juga merupakan lulusan dari Yaman, lebih menguatkan proses transmisi jaringan keulamaan Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta dan Indonesia, walaupun sejak jauh hari sebelum adanya gelombang pelajar yang massif ke Hadramaut tersebut, majelis-majelis Habāib yang juga mengamalkan Tharīqah ‘Alawiyyah sudah banyak bermunculan, seperti Majlis Taklim al Hidayah, pimpinan Habib Alwi bin Ali al Habsyi (alwi Kuadrat), Habib Novel Alaydrus, Habib Soleh al Jufry (Karang Pandam,Karanganyar), Habib Syech Assegaf ( Ahbabul Musthofa) dll.
Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdullah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa Jawa halus kepada orang Jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib. Berdakwah dengan akhlak baik berpakaian, berkata-kata mapun berperilaku sehari-hari adalah gambaran bagaimana meniru Rasulullah SAW.
Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.
 
=== Menjadi ustadz ===
2.1. Kajian Pustaka
Saat kecil, selain mendapatkan didikan dari sang ayah, Habib Anis juga pernah belajar di Madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahnya. Pada usia 22 tahun, dia menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf. Namun, tidak lama kemudian sang ayah meninggal dunia di Palembang sehingga peranannya sebagai ulama pun digantikan Habib Anis. Karena peran inilah, Habib Anis sempat dianggap sebagai "anak muda yang berpakaian tua". Usianya masih muda, tapi sudah memerankan vital sebagai seorang ustadz/kyai, yang sepantasnya dilakukan oleh orang tua. Dia dijuluki "The Smiling Habib" dikarenakan senyum selalu menghiasi wajah dia. Penghormatan terhadap tamu juga merupakan ciri khas dia. Habib Anis selalu menjamu tamu dengan keikhlasan dia.
Bagian "Kajian Pustaka" atau "Kajian Literatur" ini berisi uraian tentang:
1. Melakukan kajian kepustakaan yang relevan dengan masalah penelitian dari majalah, orang terdekat, laporan hasil penelitian.
Pada bagian ini dilakukan kajian/diskusi mengenai konsep dan teori yang digunakan berdasarkan literatur yang tersedia, terutama dari artikel-artikel yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah.
Kajian pustaka berfungsi membangun konsep atau teori yang menjadi dasar studi.
Kajian literatur (literature review) tentang teori/konsep hasil-hasil penelitian terdahulu/yang telah ada, yang relevan dengan studi/penelitian yang akan dilakukan. Kajian ini menjadi rancangan bagi peneliti dalam mengusulkan penelitian.
Kajian literatur bukan semata-mata untuk meninjau sejumlah literatur, melainkan untuk menunjukkan keterkaitan studi yang diusulkan dengan literatur yang dikaji tersebut.
Uraian kajian literatur yang memberikan kontribusi terhadap pemahaman para pembaca tentang topik penelitian yang akan diteliti dan untuk menerangkan kerangka teori yang digunakan dalam studi. Ajaran pokok yang digerakan oleh Habib Anis adalah ajaran gerakan ulama yang berusaha menjaga, memperbaiki, memberikan pelayanan kepada umat. Gerakan tersebut dengan menyebut sebagai gerakan memperkuat dan melindungi akidah warga alawiyin dengan cara dan praktik Ahlussunah wal Jama’ah.
Cara berpikirnya adalah dinamisasi agar gerakan alawiyin tidak jumud, statis pada teks-teks saja, tidak statis pada ibarat-ibarat saja, tapi berpikir dinamis dan kontekstual, tapi tidak liberal. Gerakan yang kedua adalah amaliyah, yaitu menghidupkan amaliyah-amaliyah thoriqoh alawiyin. Amaliyah tersebut adalah praktik yang bersumber dari ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.
Istilah Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah – ahl as-sunnah wa al-jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Di sini, paling kurang istilah Aswaja dipahami pada dua pemahaman (verstehen).
Pertama, dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah· di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abû Hasan al-‘Asy’âri (260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abû Manshûr al-Maturidi di Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996: 189).
Dari kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream (arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang kemudian populer disebut Aswaja.
 
Selain sebagai ustadz, Habib Anis muda pun pernah berdagang batik dan memiliki kios di [[Pasar Klewer]], Solo, yang dijaga adiknya, Habib Ali. Namun, karena kegiatan di Masjid Ar-Riyadh (masjid tempat Habib Anis menggelar pengajian) semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis lebih fokus pada usaha pengembangan ajaran Islam sebagai seorang ulama.
2.2. Kerangka Pemikiran
 
Pada dasarnya kerangka pemikiran diturunkan dari (beberapa) konsep/teori yang relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga bisa memunculkan asumsi-asumsi dan/atau proposisi, yang dapat ditampilkan dalam bentuk bagan alur pemikiran, yang kemudian kalau mungkin dapat dirumuskan ke dalam hipotesis operasional atau hipotesis yang dapat diuji.
=== Meninggal dunia ===
Istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam, terutama didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya”. Dalam pandangan As-Syihâb Al-Khafâjî dalam Nasâm ar-Riyâdh, bahwa satu golongan yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Pendapat ini dipertegas oleh Al-Hâsyiah Asy-Syanwâni, bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah adalah pengikut Imam kelompok Abûl Hasan Asy’ari dan para ulama madhab (Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Maliki dan Imam Hanbali). (Syekh Hasyim Asy’ari, Risâlah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, 1418: 23).
Habib Anis meninggal pada tanggal 6 November 2006 (14 Syawal 1427 H) pukul 12.55 WIB di RS. Dr. Oen dalam usia 78 tahun karena [[penyakit jantung]] yang dideritanya.<ref>Majalah Hidayah edisi 115, Maret 2011 hal.64-68</ref>
Dengan demikian, istilah Aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab, sekalipun yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan lain kata, yang dimaksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam. Tak pelak, gerakan menghidupkan tradisi salaf dengan kitab-kitab standart seperti Al Qur'an, Shahih Bukhari, Ihya Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf dll yang berpusat di masjid Riyadh bersambut luas tidak hanya jamaah masjid, namun klan (fam) serta jaringan ulama akhirnya berkembang. Lewat keistiqomahan Habib Anis, jaringan ulama lokal Solo Raya terbentuk, bahkan pada era 96 an ada forum remaja masjid militan (Forsmil) yang bergerak dari kalangan remaja masjid.
2.3. Hipotesis Adanya kontinuitas, istoqomah gerakan yang kukuh dengan tradisi salaf serta penguatan jaringan, tidak hanya lokal (Solo Raya), namun muhibbin (pencinta) habaib yang tersebar luas seluruh Indonesia berdatangan menjadi koneksitas lokal dan menasional, bahkan menyebar luas sejak Habib Anis bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jedah) dimana, Habib Anis mendapat referensi agar mendatangkan Habib Umar al Hafidz pada 1992 dan Habib Zain Ibrahim bin Smith (Madinah). Melalui jejaring ulama kaliber Internasional ini memperkuat benteng akidah Ahlusunnah wal Jamaah di Solo Raya semakin kuat. Terutama sekali dalam mengkader ulama baik kalangan habaib maupun muhibbin (ada banyak murid Habib Anis) yang setelah belajar demgan Habib Anis kemudin dikirim ke Yaman atau Timur Tengah.
BAB III: Metodologi
Menguraikan paradigma/pendekatan/metode yang dipergunakan dalam penelitian. Uraian mencakup, tetapi tidak terbatas pada lingkup masjid saja. Habib Anis juga peduli dengan sekitar masjid.Bahkan untuk menopang ekonomi, berdagang batik dan membuka toko.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.
Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara cuma-cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.
Habib Anis sewaktu hayatnya sentiasa mengabdikan dirinya untuk berdakwah menyebarkan ilmu dan menyeru umat kepada mencintai Junjungan Nabi s.a.w. Beliau menjalankan dakwahnya berdasarkan kepada ilmu dan amal taqwa, dengan menganjurkan dan mengadakan majlis-majlis ta’lim dan juga majlis-majlis mawlid, dalam rangka menumbuhkan mahabbah umat kepada Junjungan Nabi s.a.w. Selain berdakwah keliling kota, sehingga muridnya menjangkau puluhan ribu orang di merata-rata tempat. beliau memusatkan kegiatan dakwah dan ta’limnya di masjid yang didirikan oleh ayahanda beliau, al-Habib Alwi bin ‘Ali al-Habsyi, yang dikenali sebagai Masjid ar-Riyadh, Gurawan, Pasar Kliwon, Solo (Surakarta), Jawa Tengah.
Dalam majlis-majlis ilmu yang lebih dikenali sebagai rohah, dibacakan kitab-kitab ulama salafus sholeh terdahulu termasuklah kitab-kitab hadits seperti “Jami`ush Shohih” karya Imam al-Bukhari, bahkan pengajian kitab Imam al-Bukhari dijadikan sebagai wiridan di mana setiap tahun dalam bulan Rajab diadakan Khatmil Bukhari, iaitu khatam pengajian kitab “Jami` ash-Shohih” tersebut. Setiap malam Jumat pula diadakan majlis mawlid dengan pembacaan kitab mawlid “Simthuth Durar” karya Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi. Manakala setiap malam Jumaat Legi diadakan satu majlis taklim dan mawlid dalam skala besar dengan dihadiri ramai masyarakat awam dari pelbagai tempat yang terkenal dengan Pengajian Legian, di mana mawlid diperdengarkan dan tausyiah-tausyiah disampaikan kepada umat.
Peringatan Maulid tahunan di bulan Rabi`ul Awwal dan haul Imam Ali al-Habsyi disambut secara besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai acara ilmu dan amal taqwa. Sesungguhnya majlis para habaib tidak pernah sunyi dari ilmu dan tadzkirah yang membawa umat kepada ingatkan Allah, ingatkan Rasulullah dan ingatkan akhirat, yang disampaikan dengan penuh ramah – tamah dan bukannya marah-marah. Habib Anis terkenal bukan sahaja kerana ilmu dan amalnya, tetapi juga kerana akhlaknya yang tinggi, lemah lembut dan mulia. Air mukanya jernih, wajahnya berseri-seri dan sentiasa kelihatan ceria. Kebanyakan yang menghadiri majlis-majlis beliau adalah kalangan massa yang dhoif, dan kepada mereka-mereka ini Habib Anis memberikan perhatian yang khusus dan istimewa. Menurut Habib Muhammad bin Husein, semasa hidupnya, Habib Anis mengabdikan untuk berdakwah dan bergelut dalam majelis ilmu. “Beliau punya pengajian setiap harinya saat ba'da dzuhur, kecuali Jumat dan Ahad, di kediaman beliau. Pernah, ketika istri beliau meninggal masyarakat datang untuk berta'ziyah. Namun begitu tiba waktunya pengajian, langsung beliau membuka kitabnya dan mulai membaca serta mengajar. Didalam rumah jenazah istrinya sedang dimandikan tapi beliau tetap istiqomah mengajar dan membimbing ummat,” terang Habib Muhammad bin Husein.
Untuk mengungkap pribadi sosok Habib Anis, Habib Anis sendiri pernah menyampaikan bahwa ada empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW.
BAB IV: Hasil dan Pembahasan
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan. Pada praktiknya, hasil dan pembahasan dapat disajikan dalam beberapa bab sesuai kebutuhan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sanad thoriqah dan keilmuan , Kitab Simthud Durar, Peran Habib Anis dan 4.1.Jejaring Keilmuan dan Thoriqah Alawiyin Habib Anis bin Alwi bin Ali Al Habsyi adalah salah satu pelestari dan penjaga ajaran salafus sholih, baik secara keilmuan maupun thariqah Alawiyin pada zamannya (1953-2006) sejak ia ditinggal sang Ayah, yakni Habib Alwi bin Ali Al Habsyi. Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Ada yang sering keliru memaknai Haul Solo, atau Haul Shahibul Maulid Simthud Durar, yakni Haul dan Maulid Habib Ali bin Muhammad Husein Al Habsyi pada setiap minggu ketiga bulan Rabiul Awwal.Sekalipun yang di peringati Haul dan Maulid tidak hanya digelar di Seiwun (Hadramut), Haul dan Maulid Solo adalah puncak kemeriahan dari semua aktivitas kegiatan keagamaan Masjid Riyadh. Menjadi magnet ratusan ribu muhibbin dari berbagai belahan dunia. Awal sejarah maulid Simthud Durar masuk ke Indonesia sendiri sebenarnya justru digelar di Jatiwangi, kemudian di Bogor dan baru di Jakarta.Haul dan maulid Solo digelar oleh Habib Alwi sejak tinggal di Solo dan bersambung ke shohibul Maulid, Habib Anis al Habsyi yakni Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi.
Habib Ali bin Muhammad bin Husein al Habsyi itu seorang keturunan Rasulullah SAW yang dilahirkan pada 24 syawal 1259 H atau 1839 M di desa Qosam, Hadramaut.
Beliau seorang anak dari pernikahan al Imam al Arif Billah Habib Muhammad bin Husein AHabsyi dan Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri. Beliau diberi nama Ali oleh Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir karena dikaitkan dengan Sayyidina Ali Khali Qasam, untuk mengambil berkah darinya. Ketika berusia 7 tahun ia ditinggal oleh ayahnya untuk hijrah ke Mekkah Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir dan habib ali pun diasuh oleh ibunya yang tetap tinggal di Qasam.
Saat Habib Ali al Habsyi mulai dewasa, dan sudah menguasai berbagai disiplin ilmu, guru-guru beliau mengizinkan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya. Beliau mulai menjadi pendakwah dan mengisi pengajian di depan umum, sehingga dengan cepat Habib Ali menjadi pusat perhatian dan dikagumi orang-orang, serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan kepimpinan tiap majelis ilmu, lembaga pendidikan, serta pertemuan-pertemuan besar yang digelar pada masa itu.
4.2. Simthud Durar Kitab Maulid Melegenda Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi mengarang kitab yang menceritakan bagaimana perjalanan hidup nabi yang di kenal dengan nama Simtud Durar. Kitab ini ditulis setelah kitab-kitab maulid yang telah terkenal sebelumya seperti Barzanji, ad-DibaI, Burdah al Madih dan kitab maulid lainnya. Habib Ali menulis kitab ini sebagai perwujudan dari cintanya beliau kepada Rasulullah SAW dan juga kitab ini ditulis ketika umur beliau menginjak 68 tahun.
Kitab Maulid Simthud durar ini pertama kali dibacakan di rumah Habib Ali sendiri. Kemudian pada 12 Rabiul Awwal beliau membacakan maulid simthud durar di rumah Habib Umar bin Hamid Murid beliau. Kemudian pada tanggal 27 Sya’ban 1327 H, Habib Umar membawa naskah Simthud Durar untuk dibacakan dihadapan nabi Muhammad SAW di Madinah. Dengan untaian gaya bahasa yang indah kitab Habib Ali ini cepat tersebar ke penjuru dunia termasuk Indonesia. Simthud Durar itu sendiri terdiri dari 13 pasal yang setiap pasalnya menerangkan tentang nabi Muhammad SAW secara berurutan. Maulid Simthud Durar ditulis dua tahun sebelum Habib Ali wafat. Tepatnya pada tahun 1330 H (1912 M). Kitab ini sudah bahas secara khusus oleh Dr. DR Ma'san Hamid,"Tradisi Pembaruan Simthud Dhurar Dalam Masyarakat Keturunan Arab di Kawasan Ampel, Surabaya, 2006 (Majalah Mafahim, 2007).
Namun secara langsung, Habib Ali Al-Habsyi mengungkap niatnya yang lurus dan meyakini hadirnya Rasulullah di tempa yang dibacakan maulid ini. Beliau mengatakan: “Maulid Simthud Durar yang saya susun ini atas dasar niat yang benar, media yang baru, dan tidak diragukan kembali bahwa sungguh ruh Rasulullah akan hadir saat membacanya". Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid Simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan Sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di Zawiyah pada tengah hari.
4.3. Empat wasiat Habib Anis Wasiat Habib Anis adalah empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW.
Ulama asal Pasuruan itu menambahkan, meskipun tidak pernah masuk dalam struktur NU di Solo, namun peranan Habib Anis atas kemajuan NU di wilayah Soloraya sangatlah besar. Beberapa muridnya bahkan kini menjadi Rais Syuriyah KH A. Baidlowi dan KH Abdul Aziz (Wonogiri), Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf (Mutasyar PWNU Jawa Tengah 2014-2019.Sekarang A'wan Syuriah PBNU 2022-2027), Habib Alwi bin Ali al Habsyi (MT al Hidayah), Habib Novel Alaydrus, Habib Soleh al Jufri (Karangpandan,Karanganyar) dll.
4.4. Jaringan ulama dan Habib tidak hanya lokal, namun menasional dan internasional Sebagai penerus kekhalifahan (imam) di Masjid Riyadh, Habib Anis meneruskan beerbagai kegiatan yang telah dirintis oleh para pendahulunya. Kegiatan seperti Haul Habib Ali Al-Habsyi, yang awalnya digelar oleh Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Husein al Habsyi (ayah Habib Anis) dan kebanyakan tamunya datang dari Pasuruan (Jawa Timur). Selain maulid, acara Khatmul Bukhari, dan Maulid yang terselenggara setiap malam Jumat selalu dihadiri oleh ratusan bahkan puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah. Para ulama terkemuka, seperti TG Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul), Habib Salim bin Ahmad Jindan, KH Abdul Hamid (Pasuruan), Abuya Dimyati, Kiai Siraj dan lainnya, bahkan pernah hadir di Masjid Riyadh untuk mengikuti majelis ilmu yang dipimpin Habib Anis. Relasi ulama kaliber lnternasional yang dibangun Habib Anis semasa hidup seperti Habib Abdul Qadir Ahmad Assegaf (Jedah), Habib Zein bin Smith (Madinah), Habib Umar al Hafidz (Darul Musthofa) dll.
Sebagai seorang ulama, Habib Anis juga pernah berkeinginan untuk menulis kitab. Namun, hingga akhir hayat beliau belum berkesempatan untuk merealisasikannya. “Belum sempat menulis kitab, hanya berencana. tapi kedahuluan dijemput oleh Allah,” tutur Habib Muhammad.
BAB V. PENUTUP Dua minggu pasca-Lebaran tahun 2006, tepatnya 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6 November 2006, Habib Anis Al-Habsyi wafat (68 Tahun). Sontak, kabar tersebut membuat para murid dan pecinta beliau yang tersebar di penjuru dunia, bergegas untuk ikut memberikan penghormatan terakhir kepada sang guru. Kota Solo di hari wafat Habib Anis diserbu puluhan ribu pentakziah. Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”
Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.
Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin Abdurrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.
Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”
Kemurahan hatinya kepada golongan ini sukar ditandingi menjadikan beliau dihormati dan disegani ramai. Sungguh tangan beliau sentiasa di atas dengan memberi, tidak sekali-kali beliau jadikan tangannya di bawah meminta-minta. Inilah antara ketinggian akhlak Habib Anis al-Habsyi. Habib Anis di makamkan di Qurbah Gurawan, Pasar Kliwon.Ada tiga makam para keturunan Habib Ali, yakni makam Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, dan diapit dua makam lainnya; Habib Anis bin Alwi al-Habsyi dan Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi.
Nama pertama yang disebut merupakan putera kandung Habib Ali. Habib Alwi hijrah ke Indonesia untuk berdakwah, dan pada akhirnya pada tahun 1355 H ia mendirikan sebuah masjid di Surakarta. Masjid tersebut diberi nama sama dengan masjid yang didirikan oleh ayahnya di Hadhramaut, yakni Masjid Riyadh.
Sedangkan dua nama berikutnya, merupakan putera Habib Alwi atau cucu dari Habib Ali Al-Habsyi. Habib Ahmad lahir ketika ayahnya masih di Hadramaut, lain halnya dengan adiknya, Habib Anis yang lahir di Indonesia. Keduanya meneruskan perjuangan para leluhurnya, sebagai dai.
Selain pada acara haul, ketiga makam tersebut setiap harinya hampir tidak pernah sepi dari peziarah. Bahkan, terkadang datang rombongan bus dari luar daerah. Hal yang tidak jauh berbeda dengan makam para Walisongo.(***)
DAFTAR PUSTAKA: 1. Ajie Najmudin, Kamis, 27 Mei 2021 Empat Konsep Dakwah Habib Anis. www.nu.or.id
2. Manakib Salaf, Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006 3. Habib Anis bin Alwi al Habsyi dan Masyarakat Islam di Surakarta Tahun 1953-2006
4.IRMA AYU KARTIKA DEWI, Dr. Sri Margana, M.Phil. Habib Anis bin Alwi al Habsyi dan Masyarakat Islam di Surakarta Tahun 1953-2006.Tesis , S2 Ilmu Sejarah , Universitas Gajah Mada Yogyakarta.5. Ajie Najmuddin, “Tiga Makam Keturunan Pengarang Simtuddurar”, dalam NU Online, www.nu.or.id, diakses tanggal 7 Mei 2017, www.nu.or.id 6. DR Ma'san Hamid,"Tradisi Pembaruan Simthud Dhurar Dalam Masyarakat Keturunan Arab di Kawasan Ampel, Surabaya, 2006. 7. Eickelman, D.F. dan James Piscatory (ed), Muslim Travellers: Pilgrimage, Migration, and Religious Imagination, London:Routledge, 1990.
8. Jonge, Huub de, “Pilgrimages and Local Islam on Java”, dalam Studia Islamika, Vol. 5, No. 2, 1998:1-25.
9. Majalah Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006 10. Muhajir Madad Salim, “Dua Menara al-Habsyi Solo”, dalam Ensiklopedi Dunia Pesantren dan Literatur Klasik Ulama Nusantara, www.pesantrenmedia.htm, diakses pada 7 Mei 2017.
11. Rosyid, Nur, “Shalawatan With Habib: A New Transformation of the Relation among the NU Moslem Audience in Indonesia”, dalam Jantra Vol. VII, No. 2, Desember 2012:135-144.
12. Sholihah, Nurus, “ Tradisi Haul Habib Ali al-Habsyi Masyarakat Muslim Muhibbin di Pasar Kliwon Surakarta Tahun 1980-2006”, Skripsi, Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009:9-10.
13. Pedoman Kegiatan Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, UII Yogyakarta, 2001. 14. Zainul Milal Bizawie, Buku Jejaring Ulama Diponegoro, Compass, 2019.
 
== Referensi ==
Baris 214 ⟶ 87:
 
{{lifetime|1928|2006|Anis, Habib}}
{{Ulama-Nusantara-bio-stub}}
 
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Garut]]
[[Kategori:Tokoh dari Surakarta]]
 
 
{{Ulama-Nusantara-bio-stub}}