Paham konstituionalisme sendiri sebenarnya telah ada jauh sebelum para ahli konstitusi di atas merumuskan konstitusi itu sendiri. Konstitusionalisme lahir dari keinginan rakyat yang tepatnya pada [[Abad Pertengahan]] atau ([[Middle Ages]]) di [[Eropa]], dimana saat itu kekuasaan [[feodalisme]] dan [[monarkisme]] masih berjaya.<ref name="ReferenceB">Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 173</ref> Kemudain ada tuntutan untuk adanya perlindungan atas hak-hak warga negara, yang kemudian tertuang dalam piagam hak asasi pertama di dunia, yaitu [[Magna Carta]]. Meskipun belum sempurna tetapi [[Magna Charta]] dianggap sebagai awal gagasan tentang konstitusionalisme paling awal dalam sejarah peradaban manusia.<ref name="ReferenceB"/>
Di [[Inggris]], ada sebuah perjanjian yang dibuat oleh kalangan bangsawan dengan [[Raja John|Kerajaan]] di [[Inggris]] itu kemudian diberinamadiberi nama [[Charter of English Liberties]], yang kemudian diproklamirkan oleh Raja [[Henry I dari Inggris|Henry I]]. Piagam ini dibuat sebagai bentuk konsekuensi seorang Raja Henry I dalam melindungi hak-hak yang dimiliki rakyatnya, tanpa terkecuali. Piagam ini kemudian menjadi salah satu tonggak sejarah berdirinya [[monarki konstitusional]] di [[Britania Raya]].
Khusus di [[Inggris]] pada tahun 1215, muncul lagidesakanlagi desakan dalam perlindungan hak-hak sipil, saat itu [[Raja John]] dipaksa oleh beberapa golongan [[bangsawan]] untuk mengakui beberapa hak mereka – antara lain [[Raja John]] harus menjamin bahwa pemungutan [[pajak]] tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan (wajib [[pajak]]). Pada waktu yang sama, juga disetujui bahwa penangkapan atas seseorang yang dituduh bersalah harus melalui proses [[pengadilan]] sebagaimana yang telah tercantum dalam [[Magna Charta]] (Piagam Besar).<ref name="ReferenceB"/>
== Implementasi dalam Negara ==
Dalam hal aktualisasi nilai-nilinilai konstitusionalisme dalam sistem politik yang [[demokratis]], maka konstitusi memberikan kejelasan dalam konsep [[Trias politica]] atau pembagian kekuasaan antara [[eksekutif]], [[legislatif]], dan [[yudikatif]] dari [[John Locke]]. Keberadaan ketiga lembaga negara itu memastikan bahwa tidak ada kekuasaan yang saling tumpang tindih ataupun kekuaaan yang lebih kuat, karena itu ketiga lembaga itu kemudian melakukan ''power sharing'' ataupun ''distribution of power,'' selain itu pula ketiga lembaga negara bertugas saling mengawasi. Seperti yang ditulis dalam buku ''Introduction to Political Science'' yang dituilis oleh Carlton Clymer Rodee: <blockquote>"memerintah berarti mengawasi, dan mengawasi dalam pengertian politik di dalam suatu negara memerlukan prinsip-prinsip tingkah laku yang lekat dengan prinsip-prinsip hukum, ukuran-ukuran, dan aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi, baik perdata maupun pidana."<ref>Carlton Clymer Rodee, dkk. ''Pengantar Ilmu Politik,'' diterjemahkan dari judul asli, ''Introduction to Political Science,'' (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 75</ref></blockquote>Artinya bahwa sudah jelas, konstitusi atau undang-undang memberikan acuan bagi penyelenggaraan negara agar pada pejabat ataupun aparatur negara tidak bisa berlaku sewenang-wenang karena mereka diawasi oleh lembaga-lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum sebagai prinsip dasarnya yang kuat dan kokoh. Dengan prinsip [[Trias politica]], maka diantara tiga lembaga kekuasaan itu - eksekutif, legislatif, dan yudikatif - bersifat saling mengawasi (prinsip [[check and balances]]), tujuannya nanti adalah terciptanya sebuah tatanan pemerintahan yang baik ([[good governance]]) dimana nilai-nilai [[demokrasi]] yang menjadi indikatornya.<ref name="Administrator"/>
Cara kerjanya adalah, [[legislatif]] membuat undang-undangnya karena legislatif adalah representasi atau perwakilan daripada rakyat, kemudian undang-undang itu dijalankan oleh [[eksekutif]] dalam bentuk [[kebijakan publik]] dalam melayani kebutuhan rakyat, dan [[yudikatif]] yang bertugas untuk mempertahankan dan menjaga undang-undang itu agar sesuai dengan koridornya dan tak ada yang menyalahinya, dan juga memebrikan sanksi jika ada yang melanggar undang-undang itu. Namun, kekurangan dari sistem ini adalah, terkadang konflik dapat terjadi antar-lembaga, terutama yang sering berkonflik adalah eksekutif dengan legislatif, jika penguasa ekeskutif dan legislatif berasal dari dua kekuatan politik yang bertentangan, maka sangat memungkinkan terjadinya selisih paham, yang membuat iklim politik menjadi tidak stabil.
== Referensi ==
{{reflist}}
|