Orang Tionghoa di Lasem: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) k Menghapus Kategori:Sejarah; Menambah Kategori:Lasem, Rembang menggunakan HotCat Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
|||
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 7:
Perekonomian mereka di [[Indonesia]] justru menjadi semakin maju ketimbang ketika berada di Tiongkok yang sarat dengan kekangan dari kerajaan. Dalam mengembangkan perekonomiannya, orang Tionghoa memegang teguh nilai-nilai seperti ketekunan, berhemat, mengandalkan diri sendiri, semangat dalam berusaha dan keterampilan, ditambah dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah ditemukan dan dikendalikan.
Dalam perkembangannya, eksistensi orang [[Tionghoa]] juga harus berhadapan dengan keberadaan pemerintah kolonial [[Belanda]]. Semakin kuatnya eksistensi kolonial [[Belanda]] tidak serta merta membuat eksistensi orang Tionghoa di Lasem menyurut. Orang Tionghoa bahkan diberikan peranan atau posisi khusus untuk mengelola perekonomian sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan serta finansial yang menyeluruh; membentang dari pelabuhan-pelabuhan besar hingga ke pasar-pasar desa. Keberadaan orang [[Tionghoa]] di Lasem dalam perkembangannya tidak hanya dalam rangka berdagang. Mereka membaur dengan unsur dan budaya lokal sehingga beberapa peneliti kesulitan untuk mengenali jejak-jejak budaya [[Tionghoa]] generasi pertama yang muncul di Lasem. Mereka juga tidak hanya menjadi kelompok yang identik dengan perdagangan, mereka juga mempunyai minat menjadi petani, pengurus usaha pertanian bangsawan [[Jawa]] atau ''pachter'' (pengusaha tanah) pemerintah Belanda.<ref name=":1">Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Tionghoa di Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995)
== Perubahan Pemukiman Tionghoa di Lasem ==
Baris 22:
Batik Tulis di Lasem memiliki perjalanan sejarah yang amat panjang, terlebih apabila dikaitkan dengan keberadaan orang [[Tionghoa]] di Lasem. Dalam sejarahnya, Lasem dikenal sebagai kerajaan kecil dibawah kekuasaan [[Kerajaan Majapahit]]. Ketika itu, Lasem dipimpin oleh seorang Raja bernama Bhre Lasem I atau Rajasaduhitendudewi atau Dewi Indu (1350-1375). Keberadaan batik sendiri sudah dikenal sebagai pakaian para bangsawan Kerajaan Majapahit. Motif dan corak yang ada di Lasem juga disamakan dengan motif dan corak yang dikenakan oleh bangsawan Majapahit, mengingat pakaian batik mereka banyak diambil dari Kerajaan Majapahit. Motif kain batik tersebut diduga juga sama dengan motif batik Mataram [[Yogyakarta]] dan [[Surakarta]] (batik ''vorstenlanden'') saat ini, yaitu motif gringsing dan kawung yang berwarna soga serta biru. Kesimpulan ini berangkat dari keberadaan motif gringsing dan kawung pada ukiran pakaian dari arca-arca candi peninggalan kerajaan Majapahit atau masa sebelumnya.<ref name=":2">Anonim. "Batik Lasem". Suara Baru. INTI. Edis 19, Januari - Februari 2008.</ref>
Dalam perkembangannya, pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi), Kadipaten Lasem kedatangan seorang nakhoda kapal dari Armada Laut laksamana Chengho bernama Bi Nan Un dari negeri [[Champa]] (Vietnam). Kapal dari Champa tersebut tepatnya berlabuh ke Pantai Regol yang saat ini bernama Pantai Binangun. Rombongan orang Champa yang beragama [[Budha]] itu dikenal piawai di bidang kesenian, termasuk membatik, menari, membuat perhiasan emas, membuat peralatan kuningan, dan lain sebagainya. Lambat laun, Bi Nan Un dkenal ahli membatik dan menari. Ia kemudian menikah dengan Adipati Badranala dan memiliki dua anak, yaitu Wirabajra dan Santibadra. Kitab “Serat Badrasanti” jelas memaparkan data tentang sejarah batik Lasem
Seiring berjalannya waktu, datanglah seorang penjual arak (''ciu'') pada tahun 1700-an di Lasem. Perantau tersebut juga berasal dari negeri [[Tiongkok]] yang tiba bertepatan dengan masa penjajahan [[Belanda]] berlangsung. Sang pendatang sangat terkejud ketika menyaksikan penduduk Tiongkok di Lasem mengalami penderitaan dan kesulitan ekonomi. Dengan rasa iba, ia akhirnya bertekad untuk menetap di Lasem dan membantu meningkatkan derajat perekonomian orang Tionghoa di sana. Ia kemudian memberikan pengetahuan kepada orang Tionghoa tentang cara membuat batik tulis. Mula-mula, ia yang mendirikan usaha batik tulis dengan memperkerjakan orang [[Tionghoa]] sebagai pekerjanya. Hal itu ia lakukan sembari mengajarkan kepada mereka keterampilan dalam membuat batik tulis. Lambat laun, orang Tionghoa berpikir untuk tidak selamanya menjadi pekerja atau buruh batik tulis. Mereka bertekad untuk memiliki usaha batik tulis sendiri. Dalam perkembangannya, usaha batik tulis tersebut rupanya lebih dari mampu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Bahkan, industry batik tulis di Lasem menjadi berkembang lebih cepat berkat sentuhan tangan dingin orang [[Tionghoa]]. Mereka pun dikenal sebagai pengusaha batik tulis yang mahir di Lasem.
Baris 43:
Dalam bidang ekonomi juga terjadi hal demikian. Bidang ekonomi menengah tengah sampai atas dikuasai oleh warga keturunan Tionghoa. Pertokoan di sepanjang jalan utama Lasem adalah bukti nyata bahwa orang [[Tionghoa]] banyak mengambil peran dominan. Hal itu terlihat jelas sebelum masa orde baru berakhir. Setelah masa orde baru selesai, orang [[Tionghoa]] banyak memidahkan bisnisnya ke kota-kota besar seperti [[Jakarta]], [[Semarang]], dan [[Surabaya]]. Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di Lasem mulai mengembangkan bisnisnya di berbagai macam sektor, terutama pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Dalam perkembangannya, saat ini orang-orang Jawa justru lebih banyak mendominasi roda perekonomian di Lasem, terutama di sekitar masjid Lasem, dan mengambil alihnya dari tangan orang [[Tionghoa]]. Toko-toko pakaian dan rumah tangga yang berdiri di sekitar Taman Lasem hampir seluruhnya dikuasai oleh warga Jawa Lasem. Bahkan, hampir seluruh mall kecil di Lasem juga dimiliki oleh orang Jawa Lasem.<ref name=":3" />
Dalam bidang kebudayaan dan praktik keagamaan pun terjadi hal serupa. Ketika keturunan [[Tionghoa]] akan menggelar ritual budaya seperti perayaan Imlek, ''Cap Go Meh'', maupun acara kirap budaya perayaan ''Mak Co'' di Klenteng, mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada para kiayi di Lasem yang dinilai sebagai tokoh masyarakat. Komunikasi kultural tersebut bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketertiban selama kegiatan mereka berlangsung.<ref name=":0">http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150219_lasem_toleransi</ref> Meskipun beberapa kiayi ada yang tidak sepakat, kegiatan mereka terbukti mampu berjalan dengan lancar. Karnaval yang mereka gelar juga bahkan melintasi Masjid Jami’ Lasem dan jalan-jalan di sekitar [[pesantren]]. Warga sekitar pun menyambut baik perayaan tersebut sebagai hiburan dan tontonan yang menyenangkan.<ref name=":4">Atabik, Ahmad. 2016. Percampuran Budaya Jawa China: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem. Sabda, Volume 11, Tahun 2016
== Referensi ==
{{Reflist}}
{{Tionghoa Indonesia}}
[[Kategori:Tionghoa-Indonesia]]
[[Kategori:
|