Konflik kepentingan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kepadalisna (bicara | kontrib) |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(37 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{untuk|kebijakan Wikipedia mengenai konflik kepentingan|Wikipedia:Konflik kepentingan}}
[[Berkas:Regulasi Konflik Kepentingan.jpg|jmpl|325x325px|Salah satu aturan untuk menghindari konflik kepentingan, pejabat publik dilarang untuk menyalahgunakan wewenang serta mengambil keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara menjadi penyambung kepentingan. Larangan tersebut dimuat dalam PP No. 53 Tahun 2010.<ref>{{Cite web|last=Presiden Republik Indonesia|date=2010-01-01|title=Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil|url=https://ptun-palangkaraya.go.id/files/567694PP%20NOMOR%2053%20TAHUN%202010%20TENTANG%20DISIPLIN%20PEGAWAI.pdf|website=PTUN Palangkaraya|page=11|access-date=2021-12-11}}</ref> Konflik kepentingan harus dihindari oleh pejabat publik dikarenakan mampu mempengaruhi netralitas dan kualitas dalam penentuan kebijakan yang akan dibuat. Sebagai bentuk pengendalian, di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 [[masyarakat]] memiliki [[hak]] untuk membuat laporan apabila terjadi konflik kepentingan yang dilakukan oleh pejabat publik, dengan memberikan [[fakta]] dan [[keterangan]].<ref>{{Cite web|last=Pemerintah Pusat|date=2014-10-17|title=
'''Konflik kepentingan''' adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang memerlukan [[kepercayaan]], seperti [[pengacara]], [[politikus]], [[eksekutif]] atau [[direktur]] suatu [[perusahaan]], memiliki kepentingan [[profesional]] dan [[pribadi]] yang bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak [[etika|etis]] atau tidak pantas. Suatu konflik kepentingan dapat mengurangi kepercayaan terhadap seseorang atau suatu profesi.<ref name=":2">{{Cite web|last=Komisi Pemberantasan Korupsi|first=Komisi Pemberantasan Korupsi|date=2009-01-10|title=Konflik Kepentingan|url=https://www.iaknambon.ac.id/media/file/20-01-21-07-52-06-Panduan_Penang_nan_konflik_kepentingan-KPK.pdf|website=IAKN Ambon|page=2|access-date=2021-05-12}}</ref> Tercampurnya kepentingan pribadi dan kepentingan publik merupakan akar timbulnya konflik kepentingan. Dampak besar dari praktik konflik kepentingan yaitu penyalahgunaan kekuasaan hingga melupakan tugas utama pejabat publik yaitu untuk melayani kebutuhan masyarakat.<ref>{{Cite web|last=Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia|date=2015-12-01|title=Etika Publik: Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III|url=http://puskan.lan.go.id/files/Modul%2011%20Etika%20Publik.pdf|website=Lembaga Administrasi Negara|page=27|access-date=2021-12-11}}</ref> Meskipun dalam pengendalian konflik kepentingan sudah diatur dalam rambu-rambu [[hukum]] dan [[etika]], namun di dalam [[Lembaga Pemerintah Nonkementerian|lembaga pemerintahan]], [[Lembaga legislatif|legislatif]], [[Kehakiman|yudikatif]], [[Institusi|institusi profesi]], dan kegiatan [[bisnis]] konflik kepentingan masih sering terjadi. Tujuannya, untuk mencari keuntungan [[pribadi]] melalui kewenangan dan pembuatan [[kebijakan]] yang berpihak kepada pribadi atau yang berkepentingan.<ref>{{Cite web|last=Marzuki|first=Suparman|date=2017-08-06|title=Konflik Kepentingan {{!}} ICW|url=https://antikorupsi.org/id/article/konflik-kepentingan|website=antikorupsi.org|access-date=2021-12-05}}</ref> Konflik kepentingan merupakan salah satu faktor penyebab [[
Apabila melihat [[sejarah]], [[isu]] mengenai konflik kepentingan sudah ada sejak [[Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|zaman kerajaan]] di Indonesia. Adanya konflik kepentingan di zaman kerajaan dipengaruhi oleh [[Pemerintah|sistem pemerintahan]] yaitu [[Monarki|monarki klasik]]. Sistem pemerintahan tersebut memungkinkan seorang [[raja]] memegang kendali penuh terhadap pemerintahan, termasuk dalam pembuatan dan pengambilan kebijakan. Namun, sistem tersebut sudah berubah, dari monarki ke sistem [[Demokrasi|demokrasi modern]], dengan konsep seluruh kebijakan yang akan dibuat diprioritaskan untuk [[rakyat]]. Sehingga, para pejabat publik harus terhindar dari konflik kepentingan.<ref>{{Cite web|last=Rezha|first=Yuris|date=2020-04-29|title=Konflik Kepentingan, Korupsi, dan Integritas Pelayanan Publik|url=https://bunghattaaward.org/konflik-kepentingan-korupsi-dan-integritas-pelayanan-publik/|website=Bung Hatta Anti-Corruption Award|language=en-US|access-date=2021-12-11}}</ref>
== Bentuk ==
[[Berkas:Sanksi Kepentingan Konflik.jpg|jmpl|326x326px|Salah satu larangan bagi pejabat publik yaitu rangkap jabatan. Contoh pejabat publik yang dilarang untuk rangkap jabatan yaitu: jabatan hakim dan hakim agung. Sanksi berat apabila terjadi rangkap jabatan yaitu: pembebasan jabatan hingga pemberhentian tidak hormat.<ref>{{Cite web|last=Sagala|first=Parluhutan|date=2015-03-19|title=Implementasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bagi Hakim Militer|url=https://www.dilmiltama.go.id/home/e-journal/HakimMiliterKEPPHMA_ps.pdf|website=Dilmiltama|page=12|access-date=2021-12-11}}</ref>]]
Bentuk konflik kepentingan yang sering terjadi di Indonesia, di antaranya dikarenakan keadaan yang mengakibatkan seseorang melakukan tindakan [[gratifikasi]], baik memberi atau menerima hadiah. Selain itu, pemenuhan kepentingan pribadi dan kelompok dengan cara Jabatan yang menduduki [[Eksekutif|lembaga eksekutif]] yaitu, [[presiden]], [[wakil presiden]], dan para [[menteri]]. Presiden memiliki peran sebagai
* Pemberian gratifikasi kepada pihak tertentu dengan cara membuat [[kebijakan]] yang menguntungkan golongan tertentu.<ref name=":2" />
* Memberikan izin secara sepihak dan sering [[Pelanggaran hukum|melanggar hukum]].<ref name=":2" />
* Pemberian [[Jabatan politik|jabatan]] dan [[Promosi jabatan|promosi]] dipengaruhi oleh unsur balas [[
* Tidak [[profesional]] dalam pemilihan rekan kerja dalam menjalankan pemerintahan.<ref name=":2" />
* Tejadinya [[
* Menggunakan [[informasi]] dan [[Aset|aset negara]] untuk kepentingan pribadi.<ref name=":2" />
[[Lembaga legislatif]] merupakan lembaga yang memiliki peran untuk membuat dan merumuskan [[Konstitusi|Undang-Undang Dasar]] yang ada di suatu [[negara]]. Lembaga yang ada dalam bidang legislatif yaitu, [[DPD]], [[DPR]], dan [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia|MPR]].<ref>{{Cite
* Adanya pengaruh hubungan atau [[afiliasi]] dalam pembuatan [[Peraturan perundang-undangan Indonesia|peraturan perundang-undangan]], membuat [[Keputusan kebijakan|keputusan]] hingga penyusunan [[anggaran]] yang berpihak pada suatu golongan.<ref name=":2" />
Baris 25 ⟶ 26:
* Memiliki [[saham]] perusahaan, dan memiliki [[profesi]] lain ketika menjabat sebagai anggota legislatif.<ref name=":2" />
[[Kehakiman|Lembaga yudikatif]] adalah lembaga pemerintahan yang memiliki tugas untuk mengawasi pelaksanaan UUD dan [[hukum]] yang ada di suatu negara.<ref>{{Cite web|last=
* Adanya pengaruh terhadap pengambilan [[Keputusan Presiden (Indonesia)|keputusan]] dan pemeriksaan dalam [[Pengadilan Tinggi|pengandilan]].<ref name=":2" />
Baris 33 ⟶ 34:
* Terjadinya rangkap jabatan dalam suatu [[Perusahaan|perusahan]], atau memiliki profesi lain.<ref name=":2" />
Bentuk konflik kepentingan yang terjadi di dalam struktur organisasi [[Badan usaha milik negara|BUMN]] di antaranya dalam pengadaan [[barang]] dan [[jasa]].<ref>{{Cite web|last=Suseno|first=Sigit Imam|date=2021-03-01|title=Konflik Kepentingan Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah {{!}} Warta Konstruksi {{!}} Terkini - Berimbang - Konstruktif|url=https://wartakonstruksi.com/Konflik-Kepentingan-Dalam-Pengadaan-Barang-Dan-Jasa|website=wartakonstruksi.com|language=en|access-date=2021-12-11}}</ref> Selain itu, dalam pemilihan rekan kerja dalam perusahaan BUMN sering dipilih sesuai dengan kedekatan pejabat bukan dari kebutuhan perusahaan. Kegiatan promosi dan mutasi juga sering dinodai oleh praktik konflik kepentingan, karena rekomendasi didasarkan oleh faktor pejabat terkait kedekatan, bukan dilihat dari penilaian kinerja yang [[profesional]].<ref name=":2" /> Peneliti ''Transparency International Indonesia'' mengungkapkan bahwa praktik konflik kepentingan sering terjadi dalam jabatan komisaris. Hal yang menjadi latar belakang yaitu kedudukan komisaris sering diisi oleh pejabat kementerian dan lembaga. Konflik kepentingan yang terjadi, bisa dalam hal pemberian gaji dan dalam pengawasan perusahaan.<ref>{{Cite news|last=Supriyatna|first=Iwan|date=2021-06-16|title=Jabatan Komisaris Jadi Sumber Konflik Kepentingan di BUMN|url=https://www.suara.com/bisnis/2021/06/16/123834/jabatan-komisaris-jadi-sumber-konflik-kepentingan-di-bumn|work=Suara.com|access-date=2021-12-11}}</ref>
== Faktor
[[Berkas:SISTEMATIKA PELAPORAN GRATIFIKASI.jpg|jmpl|383x383px|Salah satu cara untuk mengendalikan gratifikasi yaitu dengan cara melakukan [[Pelaporan keuangan|pelaporan]] kepada KPK dengan sistematika yang diatur oleh [[Undang-undang|Undang-Undang]].<ref>{{Cite web|last=Sulistiyaningsih|date=2019-01-08|title=Strategi Komunikasi Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Mensosialisasikan Pengendalian Korupsi|url=https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44168/1/SULISTIYANINGSIH-FDK.pdf|website=Repository UIN Jakarta|page=36-37|access-date=2021--12-07}}</ref> Sistematika pelaporan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berisi tentang Tindak Pidana [[Korupsi]]. Pelapor yang datang untuk membuat laporan penerimaan gratifikasi wajib memberikan penjelasan bahwa telah menolak gratifikasi yang dibuktikan dengan pelaporan sesuai degan barang bukti dan [[fakta]].<ref>{{Cite web|last=Iyoeng|date=2020-06-08|title=Mekanisme Pelaporan Gratifikasi|url=https://bpsdm.kemendagri.go.id/berita/page/321|website=BPSDM Kemdagri|access-date=2021-12-07}}</ref>]]
[[Gratifikasi]] adalah pemberian [[hadiah]] kepada pejabat publik dengan imbalan untuk memperlancar kepentingan pribadi atau kelompoknya.<ref name=":0" />
Kelemahan sistem merupakan permasalahan dalam kegiatan untuk mencapai tujuan kewenangan yang diakibatkan oleh [[aturan]], [[struktur]], dan [[budaya organisasi]] yang ada.<ref name=":0" /> Dalam melaksanakan tugas akan menjadi tidak efisien apabila tata kelola [[organisasi]] tidak memiliki sistem yang baik. Sistem yang buruk juga akan mengakibatkan penyimpangan praktik [[kolusi]], [[korupsi]], dan [[nepotisme]] dalam pelaksanaan tugas. Agar mengurangi konflik kepentingan, oleh karena itu harus dibuat sistem kelola yang [[terbuka]] serta memiliki nilai [[etika]] yang tinggi.<ref name=":3">{{Cite web|last=
Rangkap jabatan adalah keadaan seseorang yang memiliki dua jabatan atau lebih, yang mengakibatkan kinerja pejabat tersebut tidak maksimal dan tidak [[profesional]].<ref name=":0" /> Hal ini [[Undang-Undang]] No. 25 tahun 2008 tentang pelayanan publik, disebutkan bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang untuk rangkap jabatan.<ref>{{Cite
Penyalahgunaan wewenang merupakan membuat [[Keputusan kebijakan|keputusan]] yang tidak sesuai dengan wewenang dan [[aturan]] yang diberikan.<ref name=":0" /> Pengendalian yang harus dilakukan yaitu dengan membangun [[Organisasi|sistem organisasi]] dengan meningkatkan [[pengawasan]] fungsi wewenang di setiap jabatan. Dampaknya keputusan yang dibuat harus terbuka secara [[Akuntabilitas|akuntabel]].<ref>{{Cite web|last=Sumarna|first=Febtoryan Ardama|date=2021-03-22|title=Apa itu Konflik Kepentingan?|url=https://itjen.pu.go.id/single_kolom/81|website=ITJEN PU|access-date=2021-05-12|archive-date=2021-12-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20211205054637/https://itjen.pu.go.id/single_kolom/81|dead-url=yes}}</ref> Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan adalah penyimpangan asas dalam hal [[Manajemen|administrasi]]. Seharusnya [[organisasi]] dalam memutuskan suatu [[kebijakan]] harus tetap sesuai dengan tujuan, dan tidak boleh menyimpang
Kepentingan [[pribadi]] adalah rasa yang timbul untuk memenuhi [[kebutuhan]] pribadinya dengan cara menggunakan kebijakan yang ada dalam kebutuhan [[publik]].<ref name=":0" /> Selain kepentingan pribadi, konflik kepentingan juga bisa tumbuh dari konflik [[kepribadian]] dengan orang lain atau [[Teman|rekan kerja]]. Hal ini muncul karena perbedaan kepribadian, baik dari [[sikap]] dan [[Keyakinan dan kepercayaan|keyakinan]]. Hal tersebut bisa dikendalikan dengan cara meningkatkan [[motivasi]] [[Kerja sama|kerja]] dengan cara sadar akan [[Tanggung Jawab Sosial Dan Etika Manajemen|tanggung jawab]] atas [[pekerjaan]], mengedepankan [[Kejujuran Hati|kejujuran]], dan meningkatkan [[Daya cipta|kreativitas]].<ref>{{Cite web|last=Wahyudi|first=Andri|date=2015-01-01|title=
== Pengendalian ==
=== Mengutamakan kepentingan publik ===
[[Pemerintah]] wajib memberikan [[pelayanan publik]] yang [[Maksima dan minima|maksimal]] terhadap [[masyarakat]]. Contoh nyatanya, mampu memberikan [[kebijakan]] yang menguntungkan bagi masyarakat, bukan untuk kepentingan [[pribadi]] atau golongan. Apablia kebijakan tersebut didasarkan kepada kepentingan [[pribadi]], maka hasil putusannya tidak menjadi [[objektif]].<ref name=":0" /> Lembaga pemerintahan yang membuat [[kebijakan publik]] di antaranya lembaga [[eksekutif]], [[Lembaga legislatif|legislatif]], dan [[Kehakiman|yudikatif]]. [[Kebijakan]] yang dikeluarkan oleh [[Lembaga Pemerintah Nonkementerian|lembaga pemerintahan]] tersebut sudah melalui proses pengkajian dan dapat dipertanggungjawabkan secara [[hukum]], oleh karena itu sifatnya mengikat. Nilai-nilai [[Pancasila]] yang ada dalam masyarakat Indonesia sangat mementingkan kepentingan publik, dibandingkan dengan kepentingan [[individu]] yang sempit.<ref>{{Cite web|last=Warella|date=2004-09-01|title=
=== Pengawasan secara terbuka ===
Pemerintah harus menjalankan tugasnya secara [[terbuka]], dengan [[Makna|arti]] selama memberikan pelayanan publik tidak boleh berpihak terhadap suatu kepentingan. Terbuka dalam melaksanakan tugas mencerminkan sikap [[integritas]] suatu lembaga pemerintahan. Pengendalian lembaga pemerintah agar tidak melakukan [[konflik]] kepentingan dalam melaksanakan pelayanan publik bisa dilakukan dengan cara pengaduan. Oleh karena itu lembaga pemerintah harus menyiapkan [[prosedur]] mengenai pengaduan [[masyarakat]] apabila terjadi konflik kepentingan.<ref name=":0" /> Pengaduan yang diberikan oleh masyarakat merupakan bagian dari usaha dalam pemberantasan [[kolusi]], [[korupsi]], dan [[nepotisme]] dalam penyelenggaraan kebijakan publik. Pengaduan masyarakat harus disampaikan dengan penuh rasa [[Tanggung Jawab Sosial Dan Etika Manajemen|tanggung jawab]], dan bertujuan untuk memberikan masukan atau saran bukan untuk menjatuhkan satu [[Pemerintah|instansi]] dengan asas konflik kepentingan.<ref>{{Cite web|last=
Pemerintah harus memberikan contoh teladan bagi masyarakat dengan cara [[Bekerja Mengikuti Peraturan|bekerja]] secara [[jujur]] dan penuh dengan integritas. Pengendalian agar tidak terjadi koflik kepentingan bisa diwujudkan dengan cara memisahkan antar [[Kepentingan umum|kepentingan]] dalam bekerja. Apabila terjadi konflik kepentingan, pemerintah harus menyelesaikannya secara [[profesional]], dan menjungjung tinggi prinsip [[pelayanan publik]] yang [[Optimisasi|optimal]].<ref name=":0" />▼
▲Pemerintah harus memberikan contoh teladan bagi masyarakat dengan cara [[Bekerja Mengikuti Peraturan|bekerja]] secara [[jujur]] dan penuh dengan integritas. Pengendalian agar tidak terjadi koflik kepentingan bisa diwujudkan dengan cara memisahkan antar [[Kepentingan umum|kepentingan]] dalam bekerja. Apabila terjadi konflik kepentingan, pemerintah harus menyelesaikannya secara [[profesional]], dan menjungjung tinggi prinsip pelayanan publik yang [[Optimisasi|optimal]].<ref name=":0" />
Budaya kerja yang baik akan menjauhkan proses terciptanya konflik kepentingan di [[Lingkungan|lingkungan kerja]]. Budaya [[organisasi]] yang baik akan terus mengungkap konflik kepentingan yang terjadi dan menyelesaikannya secara profesional. Contohnya dalam hal [[komunikasi]], terus menciptakan [[dialog]] tentang rasa tanggung jawab dan integritas di setiap saat. Serta, sebagai wujud pengedalian dari konflik kepentingan membuat pengarahan dan [[pelatihan]] dengan tujuan agar memahami [[aturan]] dan [[Kode etik profesi|kode etik]] dalam melaksanakan tugas.<ref name=":0" />▼
▲===== Pembinaan terhadap Budaya Organisasi =====
▲Budaya kerja yang baik akan menjauhkan proses terciptanya konflik kepentingan di [[Lingkungan|lingkungan kerja]]. Budaya [[organisasi]] yang baik akan terus mengungkap konflik kepentingan yang terjadi dan menyelesaikannya secara profesional. Contohnya dalam hal komunikasi, terus menciptakan dialog tentang rasa tanggung jawab dan integritas di setiap saat. Serta, sebagai wujud pengedalian dari konflik kepentingan membuat pengarahan dan pelatihan dengan tujuan agar memahami [[aturan]] dan [[Kode etik profesi|kode etik]] dalam melaksanakan tugas.<ref name=":0" />
== Keterkaitan ==
Pembuat kebijakan harus dipisah disesuaikan dengan tingkatan jabatan yang [[Program linear|linier]]. Pemisahan tersebut bertujuan untuk mengendalikan dan mengawasi penggunaan pembuatan kebijakan di setiap jabatan. Tugas pokok dan fungsi yang melekat disetiap jabatan harus mampu diawasi dan dikendalikan, agar
Penyelenggara Negara harus melaksanakan tugas sesuai jabatannya. Hal yang menjadikan [[penilaian]] [[kinerja]] di antaranya [[profesional]], [[kemampuan]], [[kewenangan]], dan [[Tanggung Jawab Sosial Dan Etika Manajemen|tanggung jawab]] terhadap jabatannya. Pejabat publik yang profesional dapat dilihat dari bidang keahliannya yang sesuai dengan jabatan yang diampu serta, keahlian dalam mengelola tugas pokok dan fungsi yang
''Good corporate governance'' atau dalam [[bahasa Indonesia]] dikenal dengan istilah ''[[Tata kelola perusahaan yang baik|Tata Kelola Perusahaan yang Baik]]'' merupakan usaha untuk meningkatkan kinerja [[perusahaan]] dengan cara melaksanakan pengawasan dan memantau seluruh aktivitas kinerja berdasarkan aturan yang berlaku.<ref>{{Cite web|last=Kaihatu|first=Thomas S|date=2006-03-01|title=Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia|url=https://jurnalmanajemen.petra.ac.id/index.php/man/article/view/16505/16497|website=Jurnal Manajemen Petra|page=2|access-date=2021-12-07}}</ref> ''Good corporate governance'' diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang [[Perseroan terbatas|Perseroan Terbatas]]. Selain itu, sistem pelaksanaan ''Good corporate governance'' juga diatur dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor 117/M-MBU/2002 tentang Praktik ''Good Corporate Governance''.<ref>{{Cite web|last=Hairul|first=Maksum|date=2015-01-01|title=Penerapan Prinsip Good Corporate Governance oleh Pelaku Usaha dalam Meningkatkan Persaingan Usaha yang Sehat: Studi Di PT. Narmada Awet Muda|url=https://jurnal.ugr.ac.id/index.php/jir/article/download/107/75|website=Jurnal UGR|page=139|access-date=2021-12-11}}</ref> Hal yang memicu kepentingan konflik dalam penyelenggaraan pemerintah di antaranya adalah permasalahan [[Birokrasi di Indonesia|birokrasi.]] Oleh karena itu perlu pengelolaan yang baik di instansi pemerintah. ''Good corporate governance'' sangat menjungjung tinggi penerapan [[etika]] dalam bekerja, agar menghidari konflik kepentingan dan bekerja sesuai dengan aturan.<ref name=":3" />
== Referensi ==
{{Reflist}}
[[Kategori:Etika]]
[[Kategori:Korupsi politik]]
[[Kategori:Etika hukum]]
[[Kategori:Filsafat ilmu]]
|