Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ferryhidayat (bicara | kontrib)
belbagai: berbagai
 
(112 revisi perantara oleh 42 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{rapikanrefimprove}}
{{gaya penulisan}}'''Filsafat Indonesia''' adalah filsafatsebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang diproduksidilakukan oleh semua orangpenduduk yang menetap dimendiami wilayah Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam berbagai bahasa yang dinamakanhidup belakangandan sebagaimasih dituturkan di Indonesia, yang(sekitar menggunakan587 bahasa-) dan 'bahasa dipersatuan' ''Bahasa Indonesia'', sebagaimeliputi mediumnya,aneka danmazhab pemikiran yang isinyamenerima kurang-lebihpengaruh memilikiTimur segidan distingtifBarat, biladisamping dibandingkantema-tema denganfilosofisnya filsafat sejagatyang lainnyaasli.
 
==Penjelasan Istilah Filsafatdan Definisi Indonesia==
[[Berkas:Bukunasroen.jpg|jmpl|Buku{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }} M. Nasroen berjudul ''Falsafah Indonesia'' (1967), yang darinya kajian filsafat Indonesia berasal mula.]]
Pernyataan bahwa ‘[[Filsafat]] Indonesia’ adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah Indonesia berimplikasi, bahwa semua orang yang berasal dari kelompok etnis, kelompok ras, kelompok gender, atau kelompok religius yang berbeda, asalkan semuanya menetap di Indonesia, maka semuanya '[[filsuf]] Indonesia’.
 
Istilah ''Filsafat Indonesia'' berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh [[M. Nasroen]], seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di [[Universitas Indonesia]], yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti [[Sunoto]], [[R. Parmono]], [[Jakob Sumardjo]], dan [[Ferry Hidayat]]. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas [[Filsafat]] di [[Universitas Gajah Mada]] (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama ''Jurusan Filsafat Indonesia''.
Pernyataan bahwa ‘Filsafat Indonesia’ adalah filsafat yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa semua orang yang menetap di Indonesia, asalkan menggunakan bahasa-bahasa yang hidup di Indonesia sebagai mediumnya, maka semuanya adalah ‘[[filsuf]] Indonesia’. Disebut ‘bahasa-bahasa di Indonesia’, karena Indonesia memiliki 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia.
 
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktik-praktik asli dari ''mupakat'', ''pantun-pantun'', ''Pancasila'', ''hukum adat'', ''gotong-royong'', dan ''kekeluargaan''.<ref>{{Cite book|title=Falsafah Indoensia|last=Nasroen|first=M.|date=1967|publisher=Penerbit Bulan Bintang|isbn=|location=Jakarta|pages=14, 24, 25, 33, 38|url-status=live}}</ref> Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri'',<ref>{{Cite book|title=Menuju Filsafat Indonesia|last=|first=Sunoto|date=1987|publisher=Hanindita Offset|isbn=|location=Yogyakarta|pages=ii|url-status=live}}</ref> sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ''...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah''.<ref>{{Cite book|title=Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia|last=|first=Parmono|date=1985|publisher=Andi Offset|isbn=|location=Yogyakarta|pages=iii|url-status=live}}</ref> Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...pemikiran primordial...'' atau ''pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya...''.<ref>{{Cite book|title=Mencari Sukma Indonesia|last=Sumardjo|first=Jakob|date=2003|publisher=AK Group|isbn=|location=Yogyakarta|pages=22-23, 25, 53, 58|url-status=live}}</ref> Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan [[kajian-kajian budaya]] dan [[antropologi]]. Secara kebetulan, ''Bahasa Indonesia'' sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari [[teologi]], [[seni]], dan [[sains]]. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, ''budaya'' atau ''kebudayaan'', yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata ''budaya'' tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan ''budayawan''.<ref>{{Cite book|title=Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Ditinjau dari Jurusan Nilai-Nilai|last=Alisjahbana|first=S. Takdir|date=1977|publisher=Yayasan Idayu|isbn=|location=Jakarta|pages=6-7|url-status=live}}</ref> Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.
Untuk sifat ketiga, bahwa ‘Filsafat Indonesia’ adalah filsafat yang sekurang-kurangnya memiliki segi distingtif dari filsafat sejagat lainnya, harus diberi penjelasan tambahan. Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam ‘Filsafat Indonesia’, sebab, harus diakui, bahwa segi distingtif dalam isi ‘Filsafat Indonesia’ amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih banyak segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli dalam ‘Filsafat Indonesia’ hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yang pinjaman cukup banyak, meliputi pinjaman dari ‘Filsafat [[China]]’, ‘Filsafat [[India]]’, ‘Filsafat [[Arab]]’, ‘Filsafat [[Persia]]’, hingga ‘Filsafat [[Barat]]’, walaupun pinjaman-pinjaman itu, pada saatnya, dipulangkannya lagi setelah ia berhasil membangun suatu corak lain, apakah dalam bentuk sintesa dialektis, sinkretisme, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi.
 
===1. Mazhab Etnik.=Pemikiran ==
==Pelopor dan Pengembang Kajian Filsafat Indonesia==
Ada 6 (enam) mazhab pemikiran yang berkembang di Indonesia. Kategorisasi mazhab didasarkan pada tiga hal: ''pertama'', didasarkan pada segi keaslian yang dikandung suatu mazhab filsafat tertentu (seperti pada 'mazhab etnik'); ''kedua'', pada segi pengaruh yang diterima oleh suatu mazhab filsafat tertentu (seperti 'mazhab Tiongkok', 'mazhab India', 'mazhab Islam', 'mazhab Kristiani', dan 'mazhab Barat'), dan ''ketiga'', didasarkan pada kronologi historis (seperti 'mazhab paska-Soeharto'). Berikut ini adalah sketsa mazhab-mazhab pemikiran dalam Filsafat Indonesia dan filsuf-filsuf mereka yang utama.
 
===2. Mazhab [[Timur]].Etnik ===
Kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan untuk orang Indonesia sendiri. Namun, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia sudah dikaji di negeri sendiri, oleh segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti [[Sunoto]], [[R. Pramono]], [[M. Nasroen]], S.A. Kodhi, dan [[Jakob Sumardjo]]. Sunoto dan R. Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen adalah Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan Jakob Sumardjo dari ITB Bandung. Semua upaya pelopor tadi diteruskan oleh [[Ferry Hidayat]], seorang dosen Bahasa Inggris di UPN 'Veteran' Jakarta dan di LBPP-LIA Ciputat, yang mengembangkan Filsafat Indonesia sebagai suatu 'center of discourse' yang baru di era 2005-an. Bukunya yang berjudul 'Pengantar menuju Filsafat Indonesia' akan segera terbit tahun ini.
 
Mazhab ini mengambil filsafat etnis Indonesia sebagai sumber inspirasinya. Asumsi utamanya ialah mitologi, legenda, cerita rakyat, cara suatu kelompok etnis membangun rumahnya dan menyelenggarakan upacara-upacaranya, sastra yang mereka hasilkan, epik-epik yang mereka tulis, semuanya melandasi bangunan filsafat etnis tersebut. ‘Filsafat’ ini tidak dapat berubah; ia senantiasa sama, dari awal-mula hingga akhir dunia, dan ia senantiasa merupakan ‘Yang Baik’. ‘Filsafat’ ini mengajarkan setiap anggota kelompok etnis tersebut tentang asal-mula lahirnya kelompok etnis itu ke dunia (bahasa Jawa, ''sangkan'') dan tentang tujuan (''telos'') hidup yang akan dicapai kelompok etnis itu (bahasa Jawa, ''paran''), sehingga anggotanya tidak akan sesat dalam hidup.
==Mazhab dan Tokoh Filsafat Indonesia==
 
Mazhab ini melestarikan filsafat-filsafat etnis Indonesia yang asli, karena filsafat-filsafat itu telah dianut erat oleh anggota etnis sebelum mereka berhubungan dengan tradisi-tradisi filosofis asing yang datang kemudian.
‘Filsafat [[Indonesia]]’ dibagi ke dalam enam mazhab besar: Filsafat Etnik, Filsafat [[Timur]], Filsafat [[Barat]], Filsafat [[Islam]], Filsafat [[Kristen]], dan Filsafat Pasca-[[Soeharto]].
 
Kebanyakan tokoh mazhab ini berasumsi bahwa orang Indonesia kontemporer berada pada posisi ‘buta’ terhadap nilai-nilai asli mereka. Jakob Sumardjo, misalnya, berpandangan bahwa banyak orang Indonesia sekarang yang ''…lupa melestarikan nilai-nilai asli mereka…'' dan ''…lupa masa-lalu, lupa asal-mula, mereka seperti orang hilang-ingatan…'' yang ''…mengabaikan sejarah nasional mereka sendiri…'' (Sumardjo 2003:23, 25). Akibatnya, mereka ‘terasingkan’; teralienasi dari ‘budaya-budaya ibu mereka’ (Sumardjo 2003:53). Gagalnya kebijakan pendidikan Indonesia, bagi Jakob, disebabkan oleh ‘kebutaan’ terhadap budaya asli Indonesia ini (Sumardjo 2003:58). Karena itu, misi penting dari mazhab filsafat ini ialah menggali, mengingat, dan menghidupkan-kembali nilai-nilai etnis yang asli, karena nilai-nilai merupakan ‘ibu’ (''lokalitas adalah ibu manusia''), sedangkan manusia ialah ‘bapak’ keberadaan (''balita ialah bapak manusia'') (Sumardjo 2003:22).
===1. Mazhab Etnik.===
‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat orisinil dari [[Indonesia]], yang diproduksi oleh ''local genius'' primitif sebelum kedatangan pengaruh filsafat asing. Di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia asli telah membentuk komunitas berupa desa-desa kecil yang telah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu, sistem pelayaran sederhana, dan seni bertenun. Mereka juga sudah mulai berspekulasi mengenai segala yang mereka perhatikan dari alam, sehingga merekapun sudah memproduksi [[filsafat]], sekalipun dalam bentuk yang sangat sederhana. [[Mitologi]]-mitologi filosofis yang diproduksi suku-suku etnis Indonesia kini sudah banyak yang dibukukan, sehingga para peneliti Filsafat Indonesia kini dapat membacanya, baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul ''Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak'' (Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997).
Kajian ‘Filsafat Etnik’ telah banyak dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dasawarsa [[1960-an]], lalu Sunoto, yang melakukan kajian serius tentang Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono mengkaji Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya ''Arkeologi Budaya Indonesia'' dan ''Mencari Sukma Indonesia'', membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno juga mengkaji Filsafat Etnik Jawa, seperti karya-karyanya yang berjudul ''Kita dan Wayang'' (Jakarta, 1984), ''Etika Jawa dalam Tantangan'', dan ''Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa''. [[P.J. Zoetmulder]] mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku ''Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang'' dan ''Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa''. Nian S. Djoemena mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi luriknya dalam buku ''Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes)''. Soewardi Endraswara mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi peribahasanya dalam buku ''Mutiara Wicara Jawa''. Purwadi mengkaji Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa dalam karyanya ''Semar: Jagad Mistik Jawa'' dan Woro Aryandini mengkaji kearifan tokoh Bima dalam karyanya ''Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa''. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami khas orang Jawa dalam karyanya ''Filsafat Hidup Jawa'', dan masih banyak lagi filosof Indonesia yang mengkaji Filsafat Etnik, bahkan hingga detik ini.
 
Berikut ini adalah beberapa pandangan filsosofis yang dianut mazhab ini:
===2. Mazhab [[Timur]].===
Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan oleh orang-orang ‘Timur’, sebagai kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan oleh bangsa Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, tidak semua bangsa Timur filsafatnya dikenal baik oleh bangsa Barat. Yang tradisi filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat [[Cina]]’, ‘Filsafat [[Jepang]]’, dan ‘Filsafat [[India]]’.
 
* [[Adat]]
‘Filsafat Cina’ baru-baru ini saja dipelajari dengan serius oleh filsuf Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina sudah menetap di Indonesia lebih dari 30 abad yang lalu! ‘Filsafat Cina Klasik’, seperti Filsafat [[Lao Tzu]] ([[605 SM|605]]-[[531 SM]]), [[Konfusius]] ([[551 SM|551]]-[[479 SM]]), dan Chuang Tzu (w.360 SM), kini dengan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya ''Filsafat Perang Sun Tzu'', sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu untuk dipahami secara modern dalam karyanya ''Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern''. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Cina dalam karyanya yang pionir ''Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok''.
* [[Mitos asal-mula]]
* [[Pantun]]
* [[Pepatah]]
* [[Struktur sosial adat]]
 
===3. Mazhab [[Barat]].Tiongkok ===
‘Filsafat China Modern’ sudah mulai dikaji oleh filsuf Indonesia sejak [[abad ke-19]]. Sun Yat-Senisme telah dikaji oleh [[Kwee Kek Beng]] ([[1900]]-[[1974]]) lewat terjemahan karya [[Sun Yat Sen]] ''Djalan Ke Kemerdekaan'' dari bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji oleh Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji oleh Oey Gee Hoat dan Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Namun, karya Leo Suryadinata yang berjudul ''Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien'' (Jakarta: LP3ES, 1990) dan ''Politik Tionghoa Peranakan di Jawa'' (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat dengan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filsuf Indonesia dari [[Tionghoa-Indonesia|etnik China]].
‘Filsafat [[India]]’ juga masih sedikit yang mengkaji. Dari survei, hanya ada satu karya saja yang ditemukan dan mengkaji ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, seperti karya Harun Hadiwidjono yang berjudul ''Sari Filsafat India''. Sedangkan yang mengkaji ‘Filsafat India Modern’ sudah cukup banyak, di antaranya ialah R. Wahana Wegig yang mengkaji Filsafat Etika dari Mahatma Gandhi dalam karyanya ''Dimensi Etis Ajaran Gandhi''.
 
Para filsuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan migran-migran Tiongkok antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan memperkenalkan [[Taoisme]] dan [[Konfusianisme]] kepada mereka.<ref>{{Cite book|title=IPS Sejarah|last=Larope|first=J.|date=1986|publisher=Penerbit Palapa|isbn=|location=Surabaya|pages=4|url-status=live}}</ref> Dua filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur; begitu tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tak dapat lagi dicerai-beraikan.<ref>{{Cite book|title=Southeast Asia: Past & Present|last=SarDesai|first=D.R.|date=1989|publisher=Westview Press|isbn=|location=San Fransisco|pages=9-13|url-status=live}}</ref> Salah satu dari sisa baurnya filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktikkan oleh semua orang Indonesia, adalah ajaran ''hsiao'' dari [[Konghucu]] (bahasa Indonesia, ''menghormati orang tua''). Ajaran itu menegaskan bahwa seseorang harus menghormati orangtuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orangtuanya sebelum ia mengutamakan orang lain.
Yang cukup menarik dipelajari ialah karya orisinal hasil dari pembauran antara Filsafat Etnik Indonesia dengan Filsafat India atau hasil dari paduan antara Buddhisme dan Hinduisme, yang dinamakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini adalah hasil eksperimen filosofis dari beberapa filsuf kreatif dari Indonesia, yang menghasilkan corak filosofis yang menarik dan orisinil. Sambhara Suryawarana, seorang penulis kitab suci Buddhisme yang hidup di kerajaan Medang Hindu di sekitar tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yang Hindu di dalam kitab suci Buddha yang dikarangnya, ''Sang Hyang Kamahayanikan''. Mpu Prapañca ([[1335]]-[[1380]]) menulis buku ''[[Negarakertagama]]'' dan ''[[Kakawin Ramayana]]''. ''Kakawin Ramayana'' ialah terjemahan [[wiracarita|epik]] Hindu-India yang disesuaikan dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara ''Negarakertagama'' ialah karya puisi epik berbahasa Jawa Kuna yang menjelaskan filsafat yang dianut Kertanagara ([[1268]]-[[1292]]), seorang raja terbesar dari Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan [[Buddhisme]]. Sedangkan [[Mpu Tantular]], seorang pengarang yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis buku ''[[Kakawin Sutasoma]]'', yang memadukan filsafat Buddhisme dengan Siwaisme-Hindu.
 
Mazhab Tiongkok kelihatan eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat penting. [[Sun Yat-senisme]], [[Maoisme]], dan [[Neo-maoisme]] merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI).<ref>{{Cite book|title=Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien|last=Suryadinata|first=Leo|date=1990|publisher=LP3ES|isbn=|location=Jakarta|pages=15|url-status=live}}</ref>
Raja [[Dharmawangsa]] ([[991]]-[[1006]]) pernah memerintahkan penerjemahan ''[[Mahabharata]]'' ke bahasa Jawa Kuno—tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam wiracarita Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya ([[1130]]-[[1160]]), yang memerintahkan penyaduran ''[[Kakawin Bharatayudha]]'' versi India menjadi versi Jawa, untuk menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (sebagai [[Pandawa]]) dengan sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) dari Sailendra membangun Candi [[Borobudur]] yang bertingkat 9, untuk memuja arwah 9 keluarga moyangnya dalam perjalanan mereka menuju Nirvana.
‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Hanya dua karya ditemukan yang ditulis filsuf Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yang berjudul ''Busido'', dan kedua, karya Irmansyah Effendi yang berjudul ''Rei Ki: Teknik Efektif untuk Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika''.
 
Filsuf-filsuf utama dari mazhab ini, di antara yang lainnya, adalah: [[Tjoe Bou San]], [[Kwee Hing Tjiat]], [[Liem Koen Hian]], [[Kwee Kek Beng]], dan [[Tan Ling Djie]].
===3. Mazhab [[Barat]].===
‘[[Filsafat Barat]]’ ialah tradisi filsafat yang dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik (abad ke-5 SM-5 M), [[Abad Pertengahan]] ([[abad ke-6]] sampai [[abad ke-14]]), dan masa modern ([[abad ke-15 M]]-sekarang), yang diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Filsafat Barat dipecah-pecah menjadi banyak cabang, seperti [[filsafat analitik]], [[filsafat Eropa]], [[filsafat Jerman]], dan lain-lain.
 
=== Mazhab India ===
‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat banyak itu telah banyak dikaji oleh filsuf Indonesia, bahkan bisa dikatakan sebagai [[filsafat]] yang paling banyak dikaji dan yang paling dikuasai oleh mereka. Sejak [[abad ke-19]], saat kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’ dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat dan gereja-gereja Protestan yang mengajarkan peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ sering dijadikan tandingan terhadap ‘Filsafat Etnik’ oleh para filsuf Indonesia yang telah terpengaruh [[Dunia Barat|Budaya Barat]].
 
Pembauran atau difusi filsafat-filsafat terus berlanjut bersamaan dengan kedatangan kaum [[Brahmana]] [[Hindu]] dan penganut [[Buddhisme]] dari India antara tahun 322 SM-700 M. Mereka memperkenalkan kultur Hindu dan kultur Buddhis kepada penduduk asli, sementara penduduk asli meresponinya dengan menyintesa dua filsafat India itu menjadi satu versi baru, yang terkenal dengan sebutan [[Tantrayana]]. Ini jelas tercermin pada bangunan [[Candi Borobudur]] oleh Dinasti Sailendra pada tahun 800-850 M. (SarDesai, 1989:44-47). [[Rabindranath Tagore]], seorang filsuf India yang mengunjungi Borobudur pertama kalinya, mengakui candi itu sebagai candi yang ''tidak''-India, karena relik-relik yang dipahatkan padanya merepresentasikan pekerja-pekerja lokal yang berbusana gaya Jawa asli. Ia juga mengakui bahwa tarian-tarian asli Jawa yang terilhami dari epik-epik India tidak menyerupai tarian-tarian India, meskipun tarian-tarian dua negeri tersebut bersumber dari sumber yang sama.
‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat [[abad ke-20]], telah dikaji oleh K. Bertens dalam karyanya ''Filsafat Barat Abad XX'' dan ''Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman''. ‘Filsafat Barat Klasik`, seperti Filsafat Yunani-Kuno sejak [[Thales]] hingga [[Plotinus]], telah dikaji oleh [[Mohammad Hatta]] (salah satu pendiri Republik Indonesia) dalam bukunya ''Alam Pikiran Yunani''. ‘Filsafat Skolastik’, sejak [[Santo Anselmus]] hingga [[Santo Thomas Aquinas]], telah dikaji oleh A. Hanafi dalam bukunya ''Filsafat Skolastik''.
 
[[Konghucu]] dan [[Buddhisme]]—dua filsafat yang saling berlawanan di India—bersama-sama dengan filsafat Jawa asli dapat didamaikan di Indonesia oleh kejeniusan [[Sambhara Suryawarana]], [[Mpu Prapanca]], dan [[Mpu Tantular]].
‘Filsafat Barat Modern’ adalah cabang yang paling banyak dikaji, karena hampir semua lembaga sosial-politik Indonesia banyak yang terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik, konstitusi negara modern, lembaga perwakilan rakyat, distribusi kekuasaan yang sejalan dengan <i>Trias Politica</i>, partai politik, dan ideologi partai tersebut sungguh-sungguh cerminan pengaruh alam pikiran Barat.
 
=== Mazhab Islam ===
Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji oleh [[Tan Malaka]] dalam bukunya ''Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika'' dan [[D.N. Aidit]] dalam bukunya ''Tentang Marxisme'', ''Problems of The Indonesian Revolution'', dan ''Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!''. Semaoen mengkaji organisasi buruh komunis dalam bukunya ''Toentoenan Kaoem Boeroeh''. Filsafat Sosialisme-Demokrat pernah dikaji oleh Sutan Syahrir dalam tulisannya ''Sosialisme di Eropah Barat'' dan ''Masa Depan Sosialisme Kerakyatan''. Filsafat Politik Republik pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam buku ''Naar de ‘Republiek Indonesia’'' dan perkembangan Kapitalisme di Indonesia juga dibahas dalam bukunya ''Massa Actie''. Soekarno, ‘si penyambung lidah rakyat’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya ''Mencapai Indonesia Merdeka''. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan dan Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh wacana sosial-politik di era [[Orde Baru]] [[Soeharto]].
 
10-abad proses Indianisasi ditantang oleh kedatangan [[Sufisme]] Persia, dan Sufisme mulai mengakar dalam perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya. Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya [[kerajaan]]-kerajaan dan [[kesultanan]]-kesultanan Islam yang masif di Indonesia.<ref name=":0">{{Cite book|title=Islamic Spirituality II: Manifestations|last=Nasr|first=Syed Hossein|date=1991|publisher=Crossroad|isbn=|location=New York|pages=262, 282-287|url-status=live}}</ref> [[Monarki|Raja]]-raja dan [[sultan]]-sultan seperti [[Sunan Giri]], [[Sunan Gunungjati]], [[Sunan Kudus]], [[Sultan Trenggono]], [[Pakubuwana II]], [[Pakubuwana IV]], [[Sultan Ageng Tirtayasa]], [[Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah]], [[Engku Haji Muda Raja Abdullah Riau]] hingga [[Raja Muhammad Yusuf]] adalah ''raja-sufi''; mereka mempelajari Sufisme dari guru-guru [[Sufi]] terkemuka.<ref>{{Cite book|title=Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa dan Sebaliknya: Seri Kliping Perpustakaan Nasional dalam Berita Vol.II No.1|first=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|date=2001|publisher=Sub Bagian Humas Perpustakaan Nasional RI|isbn=|location=Jakarta|pages=12-39|url-status=live}}</ref>
Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, banyak sekali cabang filsafat Barat yang dikaji oleh filsuf Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh [[Jakob Soemardjo]] dalam bukunya ''Filsafat Seni''. Juga oleh Wajid Anwar L. dalam kedua bukunya ''Filsafat Estetika'' dan ''Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar)''. Filsafat Etika dikaji oleh K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti ''Keprihatinan Moral'', ''Telaah atas Masalah Etika'', ''Perspektif Etika'', ''Kajian atas Masalah-Masalah Aktual'', dan ''Aborsi sebagai Masalah Etika''. Juga dikaji oleh W. Poespoprodjo dalam bukunya ''Filsafat Moral'', dan [[I.R. Poedjawijatna]] dalam bukunya ''Etika Filsafat Tingkah Laku''. Rosady Ruslan mengkaji Filsafat Etika yang diterapkan pada bidang Kehumasan dalam karyanya ''Etika Kehumasan'', sedangkan [[M. Dawam Rahardjo]] mengkaji Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Ekonomi dan Manajemen dalam bukunya ''Etika Ekonomi dan Manajemen''.
 
Sufisme di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok: [[Ghazalisme]] dan [[Ibn Arabisme]]. Ghazalisme utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran [[Al-Ghazali]], sedangkan Ibn Arabisme dari doktrin-doktrin [[Ibn Arabi]]. Sufi-sufi dari jalur Al-Ghazali adalah seperti [[Nuruddin Al-Raniri]], [[Abdurrauf Al-Singkeli]], [[Abd al-Shamad Al-Palimbangi]], dan [[Syekh Yusuf Makassar]], sementara yang dari jalur Ibn Arabi adalah [[Hamzah Al-Fansuri]], [[Al-Sumatrani]], [[Syekh Siti Jenar]], dan lain-lain.<ref name=":0" />
Filsafat Epistemologi Barat dikaji [[SJ. Sudarminta]] dalam bukunya ''Epistemologi Dasar'', ''Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan'' dan M. Ghozi Badrie dalam karyanya ''Filsafat Umum: Aspek Epistemologi''. Sedangkan Widoyo Alfandi mengkaji Filsafat Epistemologi yang diterapkan dalam bidang Geografi dalam karyanya ''Epistemologi Geografi''. Filsafat Logika dikaji oleh I.R. Poedjawijatna dalam karyanya ''Logika: Filsafat Berpikir'' dan Burhanuddin Salam dalam bukunya ''Logika Formal''. Filsafat Kosmologi dikaji oleh Moertono dalam karyanya ''Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi Filsafat''.
 
[[Wahhabisme]]-Arab juga pernah diadopsi oleh Raja [[Pakubuwana IV]] dan [[Tuanku Imam Bonjol]], yang misi utamanya ialah menghapus Sufisme dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran Quranik.<ref>{{Cite book|title=Perkembangan Kebatinan di Indonesia|first=Hamka|date=1971|publisher=Penerbit Bulan Bintang|location=Jakarta|pages=62-64|url-status=live}}</ref>
Filsafat Semiotika dalam perspektif Roland Barthes dikaji oleh Kurniawan dalam bukunya ''Semiologi Roland Barthes'', sedangkan Filsafat Hukum dikaji oleh Soetikno dalam bukunya ''Filsafat Hukum'', Suhadi dalam bukunya ''Filsafat Hukum'', Lili Rasjidi dalam kedua karyanya ''Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu?'' dan ''Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya''. Juga oleh Moertono dalam bukunya ''Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi''. Filsafat Politik dikaji oleh J.H. Rapar dalam beberapa karyanya seperti ''Filsafat Pemikiran Politik'', ''Filsafat Politik Aristoteles'', ''Filsafat Politik Agustinus'', ''Filsafat Politik Machiavelli'', dan ''Filsafat Politik Plato''. Franz Magnis-Suseno juga punya concern dalam Filsafat Politik, sebagaimana terlihat dalam bukunya ''Filsafat Kebudayaan Politik''.
 
Di saat [[Modernisme Islamik]], yang memiliki program yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam dengan [[filsafat Pencerahan]] Barat, dimulai oleh [[Muhammad Abduh]] dan [[Jamaluddin Al-Afghani]] di Mesir tahun 1800-an, maka [[muslim]]-muslim di Indonesia juga mengadopsi dan mengadaptasinya. Ini tampak jelas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh [[Syaikh Ahmad Khatib]], [[Syaikh Thaher Djalaluddin]], [[Haji Abdul Karim Amrullah]], [[Kyai Ahmad Dahlan]], [[Mohammad Natsir]], [[Oemar Said Tjokroaminoto]], [[Haji Agus Salim]], [[Haji Misbach]], dan lain-lain.<ref>{{Cite book|title=Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942|last=Noor|first=Deliar|date=1996|publisher=LP3ES|location=Jakarta|url-status=live}}</ref>
Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filsuf, seperti H.R.E Tamburaka dalam bukunya ''Pengantar Ilmu Sejarah'', ''Teori Filsafat Sejarah'', [[Kunto Wijoyo]] dalam bukunya ''Metodologi Sejarah'', dan Purwo Husodo dalam karyanya ''Filsafat Sejarah Oswald Spengler''. Filsafat Agama dikaji oleh Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya ''Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi menurut Louis Bouyer'', Tom Jacobs, SJ dalam bukunya ''Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi'', St. Darmawijaya dalam bukunya ''Perempuan dalam Perjanjian Lama'', Hamzah Ya’qub dalam karyanya ''Filsafat Agama'', [[Hamka]] dalam bukunya ''Filsafat Ketuhanan'', [[H.M. Rasjidi]] dalam karya terjemahannya ''Filsafat Agama'', dan [[Louis Leahy]] dalam bukunya ''Filsafat Ketuhanan Kontemporer''.
 
=== Mazhab Barat ===
Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah dalam bukunya ''Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu'', [[Jujun Suriasumantri]] dalam dua buku masterpiece-nya ''Ilmu dalam Perspektif'' dan ''Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer'', Burhanuddin Salam dalam dua karyanya ''Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan'' dan ''Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi'', Hartono Kasmadi dalam bukunya ''Filsafat Ilmu'', M. Solly Lubis dalam bukunya ''Filsafat Ilmu dan Penelitian'', Hidanul I Harun dalam bukunya ''Filsafat Ilmu Pengetahuan'', dan Chairul Arifin dalam karyanya ''Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar''. Filsafat Pendidikan dikaji oleh Redja Mudyahardjo dalam karyanya ''Filsafat Ilmu Pendidikan'', Imam Barnadib dalam bukunya ''Filsafat Pendidikan'', dan Paul Suparno dalam bukunya ''Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan''.
 
Sejak pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menerapkan ‘Politik Hati Nurani’ (''Politik Etis'') pada awal tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda menjamur dimana-mana dan terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas feudal, yang hendak bekerja di lembaga-lembaga kolonial. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda itu mengajarkan [[Filsafat Barat]] sebagai mata-pelajarannya. Misalnya, [[Filsafat Pencerahan]]—filsafat yang diajarkan secara amat terlambat di Indonesia, setelah 5 abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986:236-238). Banyak alumni sekolah tersebut yang melanjutkan studi mereka di universitas-universitas Eropa. Mereka lantas muncul sebagai kelompok elit baru di Indonesia yang merupakan generasi pertama ''intelligentsia'' bergaya Eropa, yang kelak menganut [[Filsafat Barat]] untuk menggantikan filsafat etnik mereka yang asli.
Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin dalam bukunya ''Filsafat Manusia'', Burhanuddin Salam dalam bukunya ''Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika'', Kasmiran Wuryo Sanadji dalam bukunya ''Filsafat Manusia'', [[N. Drijarkara]] dalam karyanya ''Filsafat Manusia'', dan Moertono dalam karyanya ''Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah''. Filsafat Kebebasan dikaji oleh satu-satunya filsuf [[Nico Syukur Dister]] dalam karyanya ''Filsafat Kebebasan''. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji oleh dua orang filsuf, yakni Rizal Mustansyir dalam karyanya ''Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya'' dan Kaelan dalam karyanya ''Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein''. Filsafat Sastra dan Budaya juga dikaji satu-satunya oleh [[FX. Mudji Sutrisno]] dalam karyanya ''Filsafat Sastra dan Budaya''. Juga Filsafat Matematika yang cuma dikaji oleh [[The Liang Gie]] dalam karyanya ''Filsafat Matematika''. Filsafat Ekonomi juga dikaji satu-satunya oleh Save M. Dagun dalam karyanya ''Pengantar Filsafat Ekonomi'', sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji oleh Ir. Hamid Shahab dalam bukunya ''Filosofi Desain & Supervisi''. Demikian pula Filsafat Administrasi yang dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian dalam buku ''Filsafat Administrasi''.
 
Filsafat Barat mengilhami banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan [[republik]] Indonesia, [[konstitusi]]nya serta distribusi kekuasaan (''distribution of power''), [[partai politik]] dan perencanaan ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model Barat. Bahkan [[ideologi]]nya ``[[Pancasila]]’’ (Yang telah diciptakan oleh [[Soekarno]] atau yang kemudian disalahgunakan oleh [[Soeharto]]), terinspirasi dari ideal-ideal Barat tentang [[humanisme]], [[demokrasi-sosial]], dan [[sosialisme nasional]] Nazi Jerman, seperti yang tampak dalam pidato-pidato anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 (Risalah Sidang 1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan, bahwa ‘Indonesia Modern’ dibangun di atas cetak-biru Barat.
Filsafat Barat Paska-modern juga sempat mampir di Indonesia, yang dikaji oleh Budi Hardiman F. dalam karyanya ''Melampaui Positivisme dan Modernitas'', Onno W. Purbo dalam karyanya ''Filsafat Naif Dunia Cyber'', dan Ridwan Makassary dalam karyanya ''Kematian Manusia Modern''.
 
Sangat menarik untuk diamati, bahwa meskipun elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh hati, mereka masih merasa perlu mengadaptasikan filsafat itu kepada kegunaan dan situasi Indonesia yang kontemporer dan konkret. Misalnya, Soekarno, yang mengadaptasi [[demokrasi]] Barat dengan situasi rakyat Indonesia yang masih berjiwa feudalistik, sehingga ia menciptakan apa yang kemudian disebut ''Demokrasi Terpimpin''.<ref>{{Cite book|title=Di Bawah Bendera Revolusi|first=Soekarno|date=1963|publisher=Panitya Penerbitan|location=Jakarta|pages=376|url-status=live}}</ref> [[D.N. Aidit]] dan [[Tan Malaka]] mengadaptasikan [[Marxisme-Leninisme]] dengan situasi Indonesia<ref>{{Cite book|title=The Indonesian Revolution and The Immediate Tasks of Communist Party of Indonesia|last=Aidit|first=D. N.|date=1964|publisher=Foreign Languages Press|location=Beijing|pages=i-iv|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|title=Aksi Massa|last=Tan|first=Malaka|date=2000|publisher=CEDI & Aliansi Press|isbn=|location=Jakarta|pages=45-46|url-status=live}}</ref> dan [[Sutan Syahrir]] yang mengadaptasikan [[Demokrasi-Sosial]] dengan konteks Indonesia.<ref>{{Cite journal|last=Rae|first=Lindsay|year=1993|editor-last=McIntyre|editor-first=Angus|title=Sutan Syahrir and the Failure of Indonesian Socialism|url=|journal=Indonesian Political Biography: In Search of Cross-Cultural Understanding|publisher=Monash University|volume=|issue=|pages=46|doi=}}</ref>
Yang cukup menarik untuk dibahas disini ialah Filsafat Barat yang diadaptasikan dengan situasi kongkrit Indonesia, yang dinamakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini merupakan genre filosofis yang corak Baratnya telah sejauh mungkin dirubah, untuk disesuaikan dengan situasi historis kongkrit di Indonesia. Tokoh-tokoh dari cabang filsafat ini antara lain ialah Tan Malaka, [[Soekarno]], [[Toety Heraty]], [[Mohammad Hatta]], M. Dawam Rahardjo, [[Sri-Edi Swasono]], Kris Budiman, dan S.C. Utami Munandar. Tan Malaka mengkaji ‘teori gerilya’ dari Filsafat Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya ''Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi)''. Soekarno mengkaji komunitas Proletar dari Filsafat Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul ''Bung Karno tentang Marhaen''. Adaptasionisme juga dilakukan Moh. Hatta, ketika ia berbicara tentang demokrasi Barat modern untuk diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia dalam bukunya ''Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran'' dan dalam kumpulan tulisannya yang diterbitkan Tim LP3ES dengan judul ''Karya Lengkap Bung Hatta''. Juga pengkajian demokrasi Barat yang diterapkan [[Sjahrir]] dalam situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya ''Pemikiran Politik Sjahrir''. Filsafat [[Feminisme]] yang diterapkan dalam mengkaji kaum wanita Indonesia dilakukan oleh Soekarno dalam bukunya ''Sarinah: Keajaiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia'', Kris Budiman dalam bukunya ''Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender'', S.C. Utami Munandar dalam bukunya ''Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia'' dan Toety Heraty dalam bukunya ''Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki''. M. Dawam Rahardjo mengkaji ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ untuk diterapkan dalam mengkaji Ekonomi Indonesia dalam bukunya ''Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja''. Sedangkan Sri-Edi Swasono mengkaji pemikiran adaptasionisme Hatta dalam bukunya ''Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi vs Konsentrasi Ekonomi'' dan ''Satu Abad Bung Hatta''.
 
===4. Mazhab [[Islam]].Kristiani ===
‘Filsafat Islam’ adalah [[filsafat]] yang lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas religius Islam yang menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ dan ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ juga merupakan salah satu cabang yang sering dikaji dan yang paling dikuasai oleh filsuf Indonesia, apalagi saat ini komunitas Islam di Indonesia menempati posisi sebagai mayoritas. ‘Filsafat Islam’ kini dapat dipecah ke dalam banyak cabang, seperti Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam dalam kategori regional juga cukup menarik, seperti ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, karena kedua cabang itu, walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ tapi keduanya memiliki corak yang berbeda. Bahkan, kini juga dapat dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, karena problem filosofis yang dihadapi dalam situasi historis kongkrit oleh [[filsuf]] Islam di Indonesia berbeda dengan yang dihadapi oleh filsuf Islam di Arab atau di Persia.
 
Bersama-sama dengan pencarian [[kapitalis]] Barat akan koloni-koloni di Timur, ajaran [[Kristen]] mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad 15.<ref name=":1">{{Cite book|title=Indonesia: Land Under the Rainbow|last=Lubis|first=Mochtar|date=1990|publisher=Oxford University Press|isbn=|location=Singapore City|pages=78, 85, 99|url-status=live}}</ref> Pertama-tama yang datang ialah pedagang-pedagang Portugis, lalu kapitalis-kapitalis [[Belanda]] yang berturut-turut menyebarkan ajaran [[Katolik]] dan ajaran [[Yohanes Calvin|Calvin]]. [[Fransiskus Xaverius]], pewarta Katolik pertama dari [[Spanyol]] yang menumpang kapal [[Portugis]], menerjemahkan ''Credo'', ''Confession Generalis'', ''Pater Noster'', ''Ave Maria'', ''Salve Regina'', dan ''Sepuluh Perintah Tuhan'' ke [[bahasa Melayu]] antara tahun [[1546]]-[[1547]], yang melaluinya ajaran Katolik dapat disebar-luaskan kepada penduduk Hindia Belanda.<ref name=":1" /> Gereja-gereja Katolik pun didirikan dan penganut Katolik Indonesia berjejalan, namun tak lama kemudian para pastor Katolik diusir dan umatnya dipaksa untuk pindah ke Kalvinisme oleh penganut-penganut Kalvin Belanda yang datang ke Indonesia pada sekitar tahun [[1596]]. [[Gereja Reformasi Belanda]] (Nederlandse Hervormde Kerk) didirikan sebagai gantinya. [[Jan Pieterszoon Coen]], salah seorang [[Gubernur-Jenderal]] VOC tahun 1618, adalah contoh dari penganut Kalvinis yang saleh. Ia mendudukkan semua pewarta Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut ''Ziekentroosters'') di bawah kendalinya.<ref name=":1" />
Filsafat Sufisme dikaji oleh [[Alwi Shihab]] dalam karyanya ''Islam Sufistik'', K. Permadi dalam bukunya ''Pengantar Ilmu Tasawwuf'', M. Solichin dalam karyanya ''Kamus Tasawuf'', Sukardi Kd. dalam bukunya ''Salat dalam Perspektif Sufi'', Meison Amir Siregar dalam karyanya ''Rumi: Cinta dan Tasawuf'' dan oleh Asep Salahuddin dalam karyanya ''Ziarah Sufistik''.
 
Sekolah-sekolah Katolik bergaya Portugis-Hispanik dan lembaga-lembaga pendidikan Kalvinis bergaya Belanda terbuka untuk penduduk Hindia Belanda. Tidak hanya diajarkan [[teologi]] di dalamnya, tapi juga [[Filsafat Kristen]] (''Christian Philosophy''). Satu sekolah lalu menjadi beribu-ribu jumlahnya. Hingga kini masih ada (dan terus ada) universitas-universitas swasta Katolik dan [[Protestan]] yang mengajarkan Filsafat Kristen di dalamnya. Misioner-misioner dan pewarta-pewarta Injil dari Barat yang telah bertitel ''Master'' dalam bidang filsafat dari universitas Eropa, berdatangan untuk memberikan kuliah pada universitas Kristen Indonesia.<ref>{{Cite book|title=Philosophers in Indonesia: Southeast Asian Monograph Series No.12|last=Hiorth|first=Finngeir|date=1983|publisher=James Cook University of North Queensland|isbn=0-86443-083-3|location=Townsville|pages=4|url-status=live}}</ref> Dari universitas-universitas tersebut keluarlah banyak lulusan yang menguasai Filsafat Kristen, seperti [[Leo Kleden]], [[Nico Syukur Dister]], [[J.B. Banawiratma]], [[Franz Magnis-Suseno]], [[Paulus Budi Kleden]], [[Ignaz Kleden]], [[Kondrat Kebung]], [[Robert J. Hardawiryana]], [[Y.B. Mangunwijaya]], [[TH. Sumartana]], [[Martin Sinaga]], dan lain-lain. Di Sumatera Utara, Sekolah Katolik yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru besar di sekolah tersebut, dan dikenal sebagai filsuf metafisika. Ungkapan yang terkenal dari dia adalah: "Seluas Segala Kenyataan'.
Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan dalam karyanya ''Filsafat Pendidikan Islam'', Abdurrahman S. Abdullah dalam bukunya ''Teori Pendidikan menurut Al-Quran'', H.M. Arifin dalam ''Filsafat Pendidikan Islam'', Zuhairini dalam ''Filsafat Pendidikan Islam'', Jalaluddin & Usman Said dalam ''Filsafat Pendidikan Islam'', dan oleh Imam Barnadib dalam karyanya ''Filsafat Pendidikan Islam''. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji oleh satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie dalam bukunya ''Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan''.
 
Di Indonesia timur, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Filsafat sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan di wilayah tersebut. Di wilayah ini filsafat berkembang setelah masuknya misionaris eropa SVD di wilayah itu dan mendirikan salah satu sekolah Tinggi filsafat di Maumere flores, NTT. Sekolah Tinggi itu adalah [[Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero]] / STFK Ledalero. Di sekolah ini keilmuan dalam bidang filsafat dikembangkan dengan berbagai pendekatan sosial. Dari sekolah ini banyak terlahir pemikir dan pengajar serta relawan kemanusiaan yang tersebar di hampir 300 negara di dunia. Di sekolah ini terdapat berbagai grup diskusi filsafat yang kemudian memberikan warna tersendiri bagi khasanah filsafat sebagai ilmu. Beberapa nama yang menjadi pelopor perkembangan filsafat di Ledalero adalah Fritz Braun, Joseph Pianezek, Leo Kleden, [[Paulus Budi Kleden]], Kondrad Kebung dan Lain sebagainya.
Filsafat Hukum Islam dikaji oleh Zaini Dahlan dalam karyanya ''Filsafat Hukum Islam'', Ishak Farid dalam ''Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam'', [[T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy]] dalam ''Falsafah Hukum Islam'', dan oleh Ismail Muhammad Syah dalam karyanya ''Filsafat Hukum Islam''. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji oleh [[A. Munawwir Sadzali]] dalam karyanya yang monumental ''Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran'' dan Kamaruzzaman dalam buku ''Relasi Islam dan Negara''.
 
=== Mazhab Pasca''Soeharto'' ===
Teori pengetahuan dari mazhab Islam dikaji oleh Imam Syafi’i dalam karyanya ''Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran'' dan oleh Mohammad Miska Amien dalam bukunya ''Epistemologi Islam''. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji oleh Muh. Hanif Dhakiri dalam dua bukunya ''Islam dan Pembebasan'' dan ''Paulo Freire, Islam dan Pembebasan''. Juga oleh Fachrizal A. Halim dalam karyanya ''Beragama dalam Belenggu Kapitalisme''.
 
Mazhab ini terutama mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Perhatian utama mereka ialah [[Filsafat Politik]], yang misi utamanya ialah mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filsuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto pada era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai ''Peristiwa ITB Bandung 1973'' dan ''Peristiwa Malari 1974''. Sejak praktik kekerasan itu, filsafat hanya dapat dipraktikkan dalam [[utopia]]; [[praksis]] dan [[inteleksi]] dipisahkan dari filsafat. Praksis dilarang, dan hanya [[penalaran]] yang mungkin bisa bertahan. Era Soeharto, dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’, dimana segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat dipraktikkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan ditundukkan. [[Pancasila]] menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat pada era itu (tentunya, Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945).<ref>{{Cite book|title=Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia|last=Hidayat|first=Ferry|date=1971|publisher=|isbn=|location=|pages=62-64|url-status=live}}</ref>
Karya-karya pengantar Filsafat Islam juga banyak ditulis oleh filsuf Islam Indonesia seperti oleh Abdul Aziz Dahlan dengan judul ''Pemikiran Falsafi dalam Islam'', Soedarsono dalam karyanya ''Filsafat Islam'', [[Oemar Amin Hoesin]] dalam dua bukunya yang amat klasik ''Filsafat Islam'' dan ''Filsafat Islam: Sedjarah dan Perkembangannya dalam Dunia Internasional'', H. Musa Asya’arie dalam karyanya ''Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif'', dan oleh [[J.W.M. Bakker]] dalam karyanya yang klasik ''Pengantar Filsafat Islam''.
 
Dalam ‘lingkaran setan’ rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang kelak memutuskan mata-rantai lingkaran itu, dan mereka disebut disini sebagai ‘filsuf paska-Soeharto’, di antaranya seperti: [[Sri-Bintang Pamungkas]], [[Budiman Sudjatmiko]], [[Muchtar Pakpahan]], [[Sri-Edi Swasono]], dan [[Pius Lustrilanang]].
Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, misalnya, dikaji oleh [[Harun Nasution]] dalam karyanya ''Teologi Islam'', Hasan Asari dalam bukunya ''Nukilan Pemikiran Islam Klasik'', dan oleh Ilhamuddin dalam buku ''Pemikiran Kalam Baqillani''. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya, oleh [[H.A. Mukti Ali]] dalam bukunya ''Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah'', A. Munir dalam bukunya ''Aliran Modern dalam Islam'', H.A. Mukti Ali dalam buku ''Islam dan Sekularisme di Turki Modern'' dan oleh Harun Nasution dalam karyanya ''Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah''. ‘Filsafat Islam Persia’ juga banyak yang mengkaji, terutama setelah Syi’isme disebarluas oleh cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti [[Jalaluddin Rachmat]] dan [[Haidar Bagir]]. Amroeni Drajat mengkaji Filsafat Yahya Al-Suhrawardi dalam karyanya ''Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi''.
 
== Referensi ==
Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, seperti ‘Filsafat Islam Indonesia’, sudah banyak yang membahas, terutama mengenai mazhab-mazhab seperti ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, dan ‘Perenialisme’, sehingga tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, ada kecenderungan baru saat ini yang dinamakan ‘sesatisme', yang mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka dalam buku-buku tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas oleh masyarakat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka pada terjemahan [[Al-Quran]] berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri dari mereka, yang sekaligus juga merupakan bukti ketololan mereka akan tata-bahasa Arab—cukup membuktikan bahwa mereka memiliki sandaran filosofis yang jelas. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, tapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah sejenis filsafat. [[Hartono Ahmad Jaiz]] dapat dimasukkan dalam mazhab ini. Dalam bukunya ''Aliran dan Paham Sesat di Indonesia'', Jaiz mengritik sebagai ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yang pernah ada sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ dan ‘Neo-modernisme’. Bukunya yang lain ''Ada Pemurtadan di IAIN'', mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yang bercorak liberal, modern, dan neo-modern.
{{reflist|30em}}
 
==Lihat pulaPranala luar ==
{{wikiquote-id}}
*[[Filsafat]]
* [http://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home Ensiklopedi Filsafat Indonesia Online] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20201015150247/https://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home |date=2020-10-15 }}
* [http://indonesianphilosophy.blogspot.com/ Blog Filsafat Indonesia: Artikel Serius dengan Bahasa Santai] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230205065347/https://indonesianphilosophy.blogspot.com/ |date=2023-02-05 }}
 
== Lihat pula ==
[[category:Ilmu Sosial & Filsafat]]
* [[Daftar Filsuf Indonesia]]
[[category:Filsafat]]
 
{{Authority control}}
[[en:Indonesian_philosophy]]
 
==Mazhab dan Tokoh [[Kategori:Filsafat Indonesia==| ]]
[[categoryKategori:Filsafat|Indonesia]]