Sawerigading: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Raksasabonga (bicara | kontrib)
 
(5 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
 
[[Berkas:Sawerigading.jpg|jmpl|Illustrasi gambar Sawerigading]]
[[Berkas:Naskah Lagaligo.jpg|jmpl|[[Manuskrip]] ''[[Sureq Galigo]]'' dari [[abad ke-19]]]]
'''Sawerigading''' adalah nama seorang putera raja [[Luwu]] dari ''Kerajaan Luwu Purba'', [[Sulawesi Selatan]], [[Indonesia]]. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu ''sawe'' yang berarti menetas (lahir), dan ''ri gading'' yang berarti di atas bambu betung. Jadi nama Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung.<ref name="ceritarakyatnusantara">{{cite web
|url =http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/147-sawerigading#
|title =ceritarakyatnusantara.com
|author =
|date =4 april 20012009
 
|work =
Baris 60 ⟶ 59:
 
== Pandangan tentang cerita Sawerigading ==
[[Berkas:Opera Sawerigading.jpg|jmpl|Opera Sawerigading oleh Robert Wilson, sutradara asal [[Amerika Serikat]] tahun [[2004]]]]
[[Berkas:Gong nekara selayar.jpg|jmpl|''[[Gong Nekara]]'' di [[Pulau Selayar]]]]
Dipandang dari berbagai sudut, beberapa ahli telah mengemukakan pendapatnya tentang cerita Sawerigading. Fachruddin Ambo Enre, dalam disertasinya berjudul Rintumpanna Welenrennge ([[1993]]), mengemukakan tiga jenis pandangan tentang naskah [[Sureq Galigo]] yaitu sebagai naskah ''[[mitos]] dan [[legenda]]'', sebagai ''naskah [[sejarah]]'' dan sebagai ''karya [[sastra]]''.
 
Baris 86 ⟶ 83:
 
== Nilai-nilai budaya dalam cerita Sawerigading ==
[[Berkas:Unsa Makassar.jpg|jmpl|Universitas Sawerigading di [[Kota Makassar]]]]
[[Berkas:RSUD Sawerigading Palopo.jpg|jmpl|RSUD Sawerigading di [[Kota Palopo]]]]
Dalam cerita Sawerigading dapat diungkap beberapa nilai budaya antara lain nilai religius, sistem kepercayaan pra-Islam yang
menggambarkan dunia gaib dan konsep kejadian manusia. Dalam cerita ini digambarkan bahwa dunia gaib adalah dunia dewa-dewa di langit, di bumi (mulatau) yang keturunan dewa-dewa. Seiring dengan perkembangan Islam dan agama lain di Luwu, maka nilai religius dari cerita ini lambat laun akan mengalami kepunahan, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.