Sitiarjo, Sumbermanjing Wetan, Malang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
{{rapikan}} |
Wagino Bot (bicara | kontrib) |
||
(19 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Tone|date=Desember 2021}}
{{rapikan}}
{{Desa
|peta =
|nama =
|provinsi =Jawa Timur
|dati2 =Kabupaten
Baris 7 ⟶ 10:
|kecamatan =Sumbermanjing Wetan
|nama pemimpin =Lispijanto Daud
|luas =
|penduduk =
|kepadatan =
}}
'''Sitiarjo''' adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan [[Sumbermanjing Wetan, Malang
Pengasilan pertanian yang utama adalah padi, kelapa, dan pisang.
Namun
Selain bermata pencaharian sebagai petani penduduk desa Sitiarjo juga berprofesi sebagai pegawai negeri, pedagang, nelayan, dan TNI Polri. sekitar 95% penduduknya beragama Kristen dengan dominasi warga Greja Kristen Jawi Wetan. Berikutnya beberapa aliran gereja yang lain seperti Gereja GPdI, Gereja Bethel, dan beberapa aliran Kharismatik lain. Pemeluk agama Islam juga ada di desa ini. Mereka berdomisili di sekitar pasar desa Sitiarjo, dan sebelah Timur desa yang berbatasan dengan desa Kedungbanteng. Kerukunan antar umat beragama sangat dijunjung tinggi di desa Sitiarjo. Tidak pernah sekalipun terjadi konflik horisontal antar umat terjadi di desa ini.
Desa Sitiarjo memiliki tempat pariwisata yakni pantai Goa Cina di laut Selatan. Tempat wisata ini ada di jalur utama Lintas Selatan yang mudah diakses dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Selain itu juga punya wisata religi yang diadakan setiap
Desa Sitiarjo juga memiliki sarana dan prasarana penunjang kehidupan yang memadai untuk sebuah desa berupa pasar desa yang besar dan lengkap, sarana peribadatan Kristen dan Islam, Puskesmas desa, lembaga Pembiayaan non-pemerintah dan bank serta beberapa jenis koperasi yang bisa dimanfaatkan oleh warga desa, juga tersedianya layanan pendidikan dari TK sampai SMA.
SEJARAH DESA
Sejarah pembukaan lahan (bedah krawang) Desa Sitiarjo tidak lepas dari perkembangan umat Kristiani di wilayah Jawa Timur khususnya Kabupaten Malang.
A. Cikal-bakal
Tersebutlah seorang tua bernama Kyai Truna Semita yang tinggal di Wonorejo – Bantur Kabupaten Malang. Ia adalah putra kedua dari tokoh “bedhah krawang” komunitas Wonorejo yaitu Ki Ibrahim Tunggul Wulung asal Juwana – pesisir Utara Jawa Tengah yang sempat bertapa di lereng Gunung Kelud, dan memeluk agama Kristen sejak dibaptiskan pada tanggal 6 Juli 1857 di bawah asuhan Pdt J.E Jellesma (pasamuwan Mojowarno – Jombang).
Kyai Truna Semita berperan penting dalam meramaikan pembukaan lahan Swaru – Gondanglegi. Di situ ia bersahabat dg para pendatang, antara lain dengan para keturunan Raden Mas Sandiya Suramenggala, yaitu kakak beradik Sarna Krama Setja, Garta Ngastawa, Kasminah (istri Sarub), Astama, Kasiman & Sarta (suami Tramisih) yang tadinya boyong dari desa Karungan – Sidoarjo, Pasamuwan Sidokare. Suatu ketika ia melontarkan ide kepada para sahabatnya untuk membuka sebuah dataran di Lembah Sungai Panguluran yang masih berupa “alas gung liwang-liwung jalma mara jalma mati”. Setelah beberapa kali rembugan, Ia dan guru Krama Setja sepakat meminta Garta Ngastawa melakukan survey ke tempat tersebut. Untuk itu mereka juga mohon doa restu kepada Pdt D. Louwerier selaku pemimpin Pasamuwan Swaru.
Survey ke dataran di hutan Panguluran dilakukan dua kali. Survey pertama dilaksanakan Garta Ngastawa bersama dua orang sahabatnya, yaitu Tapa dan Mangun. Mereka tiba di perbukitan sisi Utara dan mendirikan sebuah pondok sederhana. Dari situ mereka memandang ke seluruh lembah subur yang tampak seperti pinggan (Jawa: Dulang), sehingga menyebut tempat mereka saat itu sebagai “Pondok Dulang”. Selanjutnya, pondok itu dijadikan pos tinggal selama pelaksanaan survey ke seantero ngarai. Hasil survey berminggu-minggu itu kemudian dilaporkan kepada Pdt. D. Louwerier.
Survey kedua dilakukan lebih jauh sampai ke dataran di balik perbukitan sisi Timur, yg di kemudian hari dikenal dengan nama Tambakrejo. Kali ini surveyornya ada empat orang, yaitu dg tambahan Kastam. Setelah survey kedua selesai dilakukan, maka segera digelar persiapan bersama untuk pembabatan hutan tahap pertama. Sementara itu, Pdt Louwerier menyiapkan berkas permohonan ijin pembukaan hutan kepada pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Ada lima belas keluarga yang siap membuka pemukiman dan persawahan di sekitar Pondok Dulang tersebut. Sembari menunggu penerbitan surat ijin dari Batavia, pada tahun 1893 mereka mulai membuka lahan dengan lebih dulu mendaraskan bersama “Donga Rama Kawula”.
B. Surat Ijin Resmi dan Pendirian Pasamuwan Sitiarjo
Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya pada tanggal 11 Februari 1897 mereka menerima surat ijin resmi berlogo singa atas nama Pemerintah Hindia Belanda dengan tanggal penerbitan 25 Juni 1895, maka resmi sudah upaya pembukaan lahan yg mereka lakukan selama ini. Selanjutnya tanggal tersebut dilestarikan sebagai hari ulang tahun Pasamuwan Sitiarjo, yang kemudian beralih nama menjadi GKJW Jemaat Sitiarjo dg penegasan SK Dirjen Bimas Kristen Depag RI bernomor F/Kep/38/3685/79 tertanggal 10 Oktober 1979. Dengan demikian, pembukaan pemukiman baru itu juga berarti dimulainya perkumpulan orang-orang Kristen di wilayah tersebut. Pembukaan pertama itu dilakukan pada sisi Utara sungai Panguluran dg sebutan Sitiarjo
Proses pembukaan lahan baru itu bukannya tanpa hambatan sama sekali. Suatu ketika sempat terjadi penyerbuan orang-orang dari dusun Gombloh – Druju yang ingin dapat bagian dari pembukaan hutan tersebut. Tetapi usaha ini bisa digagalkan karena nenek moyang kita memiliki surat ijin berkekuatan hukum dari pemerintah, sehingga mempunyai alasan kuat untuk meminta para penyerbu itu pergi dari lingkungan lahan. Hambatan lainnya adalah kurangnya pembinaan rohani warga, maka atas usulan Garta Ngastawa lalu Pdt Louwerier menugasi Guru Injil Akimas melayani persekutuan umat Tuhan di situ. Ini menunjukkan nenek moyang kita berkeyakinan bahwa pembukaan lahan baru haruslah diimbangi dengan pengembangan kualitas mental dan iman yang baik pula.
Surat resmi kedua diturunkan bertanggal 18 Agustus 1898 sebagai ijin membuka lahan pada sisi Selatan sungai Panguluran yang kemudian disebut dengan nama Pulungrejo. Pembabatan hutan di area ini selesai pada tanggal 17 Agustus 1901 di bawah pimpinan Saliman (ngKik Jasminah), seorang sahabat Garta Ngastawa dari keturunan Raden Tumenggung Suradita. Saliman juga dibantu oleh keponakannya bernama Gadri dari Mojowarno yang setelah dibaptis namanya ditambah dengan Domikus. Setelah Garta Ngastawa dan Saliman memasuki usia senja, maka pengembangan Sitiarjo dilanjutkan oleh Wardja dan pengembangan Pulungrejo diserahkan kepada Inswiadi (cucu Saliman).
Segera setelah selesainya pembukaan lahan Pulungrejo, pada tahun 1901 itu pula mulai dibangun sebuah gereja kecil yang juga difungsikan sebagai sekolah di lahan Pasamuwan Sitiarjo, yang sekarang merupakan area SMP YBPK Sitiarjo. Pemeliharaan rohani warga jemaat tetap diemban oleh Guru Injil Akimas, sedangkan proses pendidikan sekolah mula-mula hanya diemban oleh guru Ernes dan Pak Sasminah. Oleh karena jumlah siswa semakin bertambah, maka dibangunlah sebuah sekolah yang lebih luas di lahan sebelah Barat milik Pasamuwan Sitiarjo, yang sekarang menjadi area SDN Sitiarjo I. Sedangkan gedung gereja hanya dipakai untuk beribadah. Kawasan baru itu bertambah ramai sampai akhirnya disadari bahwa gedung gereja lama tidak lagi memadai, maka mulai tahun 1918 dibangunlah gedung gereja baru yang lebih luas dan besar di sisi Utara sungai, tepat di lereng lembah Panguluran. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pdt De Vries, selaku pendeta baku di pasamuwan Swaru. Tahun 1921 pembangunan gedung gereja berhasil diselesaikan dan diresmikan sebagai rumah ibadah Pasamuwan Sitiarjo.
C. Dusun Pondok Dulang Menjadi Desa Sitiarjo
Pemukiman baru tersebut, baik Sitiarjo di Utara maupun Pulungrejo di Selatan waktu itu semakin terkenal dg nama Dusun Pondok Dulang. Namun kedua wilayah itu tergabung kepada dua desa yang berbeda. Sitiarjo menjadi bagian dari Desa Gedhog – Turen, sedangkan Pulungrejo menjadi bagian dari Desa Pamotan – Druju. Kebutuhan warganya juga semakin banyak, seiring dengan semakin banyaknya pertambahan penduduk di situ. Untuk mencukupi kebutuhan kewarga-negaraan umat, maka sejak tahun 1906 mulai dilakukan persiapan penyatuan Sitiarjo dan Pulungrejo menjadi sebuah desa mandiri. Setelah seluruh persiapan dianggap cukup, maka dimulailah proses pembentukan desa dengan didahului pemilihan kepala desa secara demokratis. Ada empat orang calon kepala desa, yaitu Wariyo, Sampunah, Lesinar dan Rema Surareja. Akhirnya terpilihlah Rema Surareja (menantu Sarub) sebagai kepala desa pertama dan sejak itu desa tersebut dinamai Desa Sitiarjo.
Sumber: http://gkjw.org/2014/08/17/7-sitiarjo-saktleraman/#comment-126
SISTEM PEMERINTAHAN
Baris 30 ⟶ 63:
Profile Pemimpin Desa
Yang menjadi kepala desa Sitiarjo saat ini adalah Lispijanto Daud. Terpilih dalam pilkades pada 6 Desember 2008. Lispijanto Daud adalah Putra sitiarjo asli lahir dan hidup di desa Sitiarjo. Dilahirkan di Sitiarjo pada 2 Juli 1950. Seumur hidupnya mengabdikan diri di dunia pendidikan dengan menjadi guru SD sampai dipilih menjadi Kades menggantikan pendahulunya Bartolomeus Diaz. Lispijanto daud Memiliki seorang istri dan 3 orang anak. Tinggal di kampung Pulungrejo RT 13. Selain mengabdikan diri di dunia pendidikan juga, mencurahkan waktu untuk hidup bergereja dan aktif mengambil bagian di dalamnya.
{{Sumbermanjing Wetan, Malang}}
{{Authority control}}
|