Sinosentrisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.9.3
Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan.
 
Baris 43:
Semenanjung Korea sangat dipengaruhi oleh kedekatan geografis dan sejarahnya dengan Tiongkok.
 
Hingga era [[Tiga Kerajaan Korea]], negara-negara Korea Selatan telah dilindungi dari invasi Tiongkok oleh negara-negara [[Korea Utara]] yang sangat kuat seperti Goguryeo yang memerintah wilayah utara semenanjung Korea dan [[Suku Manchu|Manchu]]. Goguryeo menganggap dirinya sebagai negara tertinggi yang sama seperti Tiongkok dan mengadopsi sistem sentrisnya sendiri ke negara-negara yang berdekatan. Menolak untuk membayar upeti dan terus menaklukkan wilayah timur Tiongkok sama sekali menyebabkan serangkaian invasi besar-besaran Tiongkok terhadap Goguryeo dari tahun 598 hingga tahun 614, yang berakhir dengan bencana dan mereka terutama berkontribusi pada jatuhnya Dinasti Sui Tiongkok pada tahun 618. Kekalahan yang begitu banyak dari Orang Tionghoa membangkitkan rasa superioritas etnis di Goguryeo dan ekspansi lebih lanjut ke wilayah Tiongkok terus.
 
Setelah Goguryeo akhirnya runtuh oleh pasukan sekutu [[Silla]], salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, dan [[Dinasti Tang]] pada tahun 668, Silla, yang sekarang menjadi penguasa tunggal semenanjung Korea, lebih siap memulai sistem penghormatan antara Silla dan Tang. Namun, hubungan antara kedua negara sangat melemah setelah pengajuan Silla ke [[Dinasti Goryeo|Goryeo]] yang mengaku sebagai penerus Goguryeo.
 
Hubungan Goryeo dengan [[dinasti Song]] Tiongkok tetap sama tetapi perdagangan bilateral yang dekat dan sangat menguntungkan dibangun tanpa sistem penghargaan karena ginseng dan porselen Goryeo sangat dihargai di Tiongkok sedangkan sutra agak populer di Goryeo. Hubungan damai ini berakhir ketika [[invasi Mongol ke Korea]], sebagai bagian dari kampanye umum untuk menaklukkan Tiongkok dan wilayah Asia lainnya, terjadi pada tahun 1231. Setelah 30 tahun perlawanan sengit, baik Goryeo dan Mongol akhirnya menggugat perdamaian dan menjadi ketergantungan Dinasti Mongol Yuan di bawah pengaruh Mongol dari istana kerajaan Goryeo. Segera setelah melemahnya dinasti Yuan, Goryeo merebut kembali wilayah mereka yang hilang dari [[Kekaisaran Mongol]] dengan kampanye militer dan mendapatkan kembali hak kedaulatannya.
 
Selama era Dinasti [[Dinasti Joseon|Joseon]] (1392-1910), mereka mendorong peninggalan cita-cita dan doktrin [[Konfusianisme Korea]] dalam masyarakat Korea dan secara sukarela memasuki sistem Sinosentrik. Setelah [[dinasti Ming]], yang menganggap dirinya sebagai huá (華), peradaban yang berbudaya dianggap telah runtuh di bawah invasi [[Dinasti Qing|Qing]] dari Manchu, yang dianggap barbar (夷) pada tahun 1644. Ming dianggap sebagai budaya Sino sejati yang terakhir (中華).<ref>{{citation|first=Young-woo|last=Han|year=1992|title=The Establishment and Development of Nationalist History|journal=Seoul Journal of Korean Studies|volume=5|pages=62–64}}</ref>
Baris 59:
[[Vietnam]] (Annam) memiliki hubungan yang erat tetapi tidak selalu damai dengan [[Republik Rakyat Tiongkok|Tiongkok]]. Vietnam adalah bagian dari berbagai dinasti dan kerajaan Tiongkok selama kurang lebih 900 tahun sebelum memperoleh kemerdekaan pada abad ke-10. Pada abad-abad berikutnya, Vietnam mengusir penjajah Tiongkok dalam beberapa kesempatan, sampai-sampai konflik dengan Tiongkok dapat dilihat sebagai salah satu tema utama dalam [[sejarah Vietnam]].
 
Namun, Vietnam juga sangat [[sinifikasi]], menggunakan [[Bahasa Tionghoa Klasik]] sebagai bahasa sastra resmi dan mengadopsi sebagian besar aspek [[budaya Tionghoa]], termasuk sistem administrasi, arsitektur, filsafat, agama, sastra, dan bahkan pandangan budaya umum. Vietnam terus-menerus mengidentifikasi diri dalam hubungannya dengan Tiongkok, menganggap dirinya sebagai kerajaan di selatan seperti melawan Tiongkok di utara, seperti yang terlihat dalam baris ini dari sebuah puisi (dalam bahasa Tionghoa) oleh Jenderal Li Thường Kiệt (李常傑) (1019-1105): ''Nam Quốc sơn ha Nam Đế cư''. (南國山河南帝居), yang berarti "Di atas gunung dan sungai di Selatan memerintah Kaisar Selatan".
 
Dalam mengadopsi adat istiadat Tionghoa, istana Vietnam juga mulai mengadopsi pandangan dunia Sinosentris selama perluasan dinasti Le dan Nguyen. "Trung Quốc" 中國 digunakan sebagai nama untuk Vietnam oleh Kaisar [[Gia Long]] pada tahun 1805.<ref name="Woodside1971">{{cite book|author=Alexander Woodside|title=Vietnam and the Chinese Model: A Comparative Study of Vietnamese and Chinese Government in the First Half of the Nineteenth Century|url=https://books.google.com/books?id=0LgSI9UQNpwC&pg=PA18#v=onepage&q&f=false|year=1971|publisher=Harvard Univ Asia Center|isbn=978-0-674-93721-5|pages=18–}}</ref> Dikatakan "Hán di hữu hạn" 漢夷有限 ("orang-orang Vietnam dan orang-orang barbar harus memiliki batas yang jelas") oleh Kaisar Gia Long (Nguyễn Phúc Ánh) ketika membedakan antara Khmer dan Vietnam.<ref name="Wook2004">{{cite book|author=Choi Byung Wook |title=Southern Vietnam Under the Reign of Minh Mạng (1820-1841): Central Policies and Local Response |url=https://books.google.com/books?id=foZAdRgB-nwC&pg=PA34#v=onepage&q&f=false |year=2004 |publisher=SEAP Publications |isbn=978-0-87727-138-3 |pages=34–}}</ref> Minh Mang menerapkan kebijakan integrasi akulturasi yang diarahkan pada minoritas masyarakat non-Vietnam. Thanh nhân 清人 ini digunakan untuk merujuk pada etnis Tionghoa oleh Vietnam sementara Vietnam menyebut diri mereka sebagai Hán nhân 漢人 di Vietnam pada tahun 1800-an di bawah kekuasaan Nguyễn. [[Kamboja]] secara teratur disebut ''Cao Man Quốc'' (高蠻國), negara "barbar atas". Pada 1815, Gia Long mengklaim 13 negara sebagai pengikut Vietnam, termasuk [[Kerajaan Luang Phrabang|Luang Prabang, laos]], Vientiane, Burma, Tran Ninh di Laos timur, dan dua negara yang disebut "Thủy Xá Quốc" dan "Hỏa Xá Quốc", yang sebenarnya adalah suku [[Suku Jarai|Jarai]] Malayo-Polinesia hidup di antara Vietnam dan Kamboja. Mencerminkan model Tionghoa, istana Vietnam berusaha mengatur penyajian penghormatan kepada istana Vietnam, partisipasi dalam perayaan Tahun Baru dan ulang tahun kaisar, serta rute perjalanan dan ukuran misi negara bagian.<ref>''Vietnam and the Chinese Model'', Alexander Barton Woodside, Council on East Asian Studies Harvard, Cambridge (Massachusetts) and London 1988: P236-237</ref>