Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
sejarah |
Wagino Bot (bicara | kontrib) k →Demografi: Bot: Menambah referensi, removed stub tag |
||
(21 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{desa
|nama=Tumaluntung
|provinsi=Sulawesi Utara
Baris 7 ⟶ 6:
|kecamatan=Kauditan
|kode pos =95372
|luas=24 km²
|kepala desa=Richard S. Kamagi, S.H.|koordinat=1°24'18.35" N dan 124°59'41.34" E}}
'''Tumaluntung''' merupakan salah satu [[desa]] yang berada di kecamatan [[Kauditan, Minahasa Utara|Kauditan]],
== Batas wilayah ==
Berikut merupakan batas wilayah Desa Tumaluntung:
{{Batas_USBT
|utara = [[Gunung Klabat]]
|selatan = [[Marawas, Tondano Utara, Minahasa|Kelurahan Marawas]]
|barat = [[Airmadidi Bawah, Airmadidi, Minahasa Utara|Kelurahan Airmadidi Bawah]], [[Airmadidi Atas, Airmadidi, Minahasa Utara|Kelurahan Airmadidi Atas]], [[Sawangan, Airmadidi, Minahasa Utara|Desa Sawangan]], [[Tanggari, Airmadidi, Minahasa Utara|Desa Tanggari]]
|timur = [[Paslaten, Kauditan, Minahasa Utara|Desa Paslaten]], [[Lembean, Kauditan, Minahasa Utara|Desa Lembean]]
}}
▲'''Tumaluntung''' merupakan salah satu [[desa]] yang berada di kecamatan [[Kauditan, Minahasa Utara|Kauditan]], Kabupaten [[Kabupaten Minahasa Utara|Minahasa Utara]], provinsi [[Sulawesi Utara]], [[Indonesia]]
== Waruga ==
{{utama|Waruga}}
Tumaluntung memiliki kekayaan peninggalan budaya khas Sulawesi Utara
== Sejarah ==
▲Tumaluntung memiliki kekayaan peninggalan budaya khas Sulawesi Utara, yaitu "Waruga". Waruga adalah makam kuno orang terdahulu di Minahasa. Waruga berbentuk seperti rumah kecil yang terbuat dari pahatan batu, terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian persegi sebagai badan rumah dan bagian atap yang memiliki pahatan sesuai jenis pekerjaan dan keahlian orang yang dikubur di dalamnya. Ukuran waruga bermacam-macam, semakin besar waruga maka semakin tinggi pula derajat orang yang dikubur di dalamnya.
{{unreferenced|date=Agustus 2018}}
▲Pada sekitar tahun 1665, datang dari negeri Kembuan (''Tonsea Lama'') 37 orang Dotu bersama dengan pengikut-pengikut mereka, yang terdiri dari keluarga masing-masing. Rombongan dipimpin oleh seorang ''Tunduan'', ''Tonaas'', ''Wadian'', ''Teterusan'', ''Kumekooko'', ''Kumekomba'' bernama Dotu Rotti didampingi isterinya yang bernama Karagian.
Setelah beberapa tahun menetap di Kadimbatu, Dotu Wagiu, adik Dotu Rotti, meminta diri untuk memboyong keluarga dan kawulanya berpindah ke sebelah selatan Kadimbatu. Dalam perjalanan, rombongan ini berpapasan dengan dua ekor burung yang sedang bertarung. Karena dianggap sebagai suatu pertanda dari alam gaib, rombonganpun menghentikan perjalanan (''dumena''). Setelah memohon petunjuk dari ''Opo Empung Waidan'' (atau ''Yang Maha Mulia''), Dotu Wagiu memberitahukan kepada kawulanya bahwa pertarungan kedua ekor burung itu adalah tanda bahwa mereka harus menunda perjalanan agar terhindar dari mara bahaya. Tiga hari kemudian, mereka didatangi seekor burung [[Celepuk Sulawesi|Celepuk]] (''Manguni Rondor''). Kedatangan dan gerak-gerik burung celepuk itu ditafsirkan sebagai petunjuk untuk melanjutkan perjalanan, bukan ke sebelah selatan melainkan ke sebelah utara Kadimbatu. Rombongan akhirnya turun ke Sungai Dinamunen, melanjutkan perjalanan ke arah utara, dan akhirnya menemukan sebuah mata air setelah menempuh jarak sejauh kurang lebih 150 km. Dotu Wagiu memutuskan untuk berhenti dan mendirikan pemukiman. Mata air yang mereka temukan itu kini disebut ''Doud Tumetenden''.
Sepeninggal Dotu Wagiu, Dotu Makalew tergerak untuk berpindah ke arah utara dari Kadimbatu. Setelah mengetahui bahwa alih-alih berpindah ke selatan, rombongan Dotu Wagiu ternyata telah menetap di sebelah utara Kadimbatu, Dotu Makalew memimpin keluarga dan kawulanya berpindah jauh lebih ke utara, menelusuri kali besar Tondano. Dalam perjalanan, seekor ular hitam (''Teken ni Opo'') tiba-tiba keluar dan berbaring melintang di jalan yang akan mereka lalui. Perilaku ular ini ditafsirkan sebagai peringatan dari alam gaib agar tidak melanjutkan perjalanan. Setelah memohon petunjuk dari roh-roh leluhur, Dotu Makalew mengumumkan kepada para pengikutnya, "sudah jauh kita berjalan, sampai di sini kita berhenti". Tempat itu mereka jadikan sebuah pemukiman dengan nama Kinaengkoan (sekarang desa Kawangkoan, Kelawat Bawah).
Selama mereka menetap di sana, selalu ada saja hal-hal yang terjadi mengganggu ketentraman mereka, maka rombongan sepakat untuk pindah lagi ke sebelah utara yang jaraknya kurang lebih 500 meter.
Setelah beberapa lama mereka di Matalenteng, Dotu Umboh, Dotu Koloay dan Dotu Runtukahu beserta rombongan masing-masing pergi meninggalkan Matalenteng, menuju ke timur, melewati tempat bernama ''Wua' kendis'' dan terus menuju ke Sawangen. Dotu Rotti dan
▲Setelah Dotu Wagiu beserta rombongannya dan Dotu Makalew beserta rombongannya menemukan tempat untuk menetap, yang tertinggal di Kadimbatu masih tetap dipimpin oleh Dotu Rotti. Mereka sepakat turun dari Kadimbatu ke kanan dengan petunjuk arah terbitnya Matahari, semuanya turun. Setelah menempuh perjalanan sehari mereka tiba di suatu tempat dataran yang dikelilingi pegunungan. Mereka berhenti dan membuat tempat berteduh untuk menetap. Suatu waktu, setelah kira-kira 30 meter mereka berada di tempat tersebut, pada saat mereka sedang makan bersama di tempat terbuka, dimana semua makanan dicurah pada satu tempat yang dialas dengan daun pisang, seekor burung besar terbang melintasi tempat itu, sambil mengeluarkan kotoran dan jatuh tepat di atas makanan mereka sehingga mereka tidak dapat melanjutkan makan. Atas peristiwa itu mereka menamakan tempat itu ''pata'ian ko 'ko'''. Mereka menetap disana selama 23 tahun.
Pada tahun 1725, nama Mataluntung berubah menjadi
▲Selama mereka menetap di sana, selalu ada saja hal-hal yang terjadi mengganggu ketentraman mereka, maka rombongan sepakat untuk pindah lagi ke sebelah utara yang jaraknya kurang lebih 500 meter. Disana mereka menemukan air terjun yang tirak henti-hentinya mengeluarkan bunyi "''teng, teng, teng''", yang merupakan paduan bunyi gema air yang jatuh. Karena itu mereka akhirnya menamakan tempat itu ''Matalenteng'' yang artinya "''Bunyi Air Jatuh''".
Pada suatu waktu Dotu Rotti menugaskan Dotu Gerung dan anak buahnya untuk mengawasi wilayah kekuasaanya yang lokasinya terbentang dari
▲Setelah beberapa lama mereka di Matalenteng, Dotu Umboh, Dotu Koloay dan Dotu Runtukahu beserta rombongan masing-masing pergi meninggalkan Matalenteng, menuju ke timur, melewati tempat bernama Wua' kendis dan terus menuju ke Sawangen. Dotu Rotti dan isterinya Karagian, bersama dengan rombongan mereka menetap di Matalenteng selama kurang lebih 50 tahun, kemudian mereka merubah nama Matalenteng menjadi Mataluntung.
== Demografi ==
▲Pada tahun 1725, nama Mataluntung berubah menjadi ''TUMALUNTUNG.'' Pada masa itu banyak perompak-perompak/bajak laut yang datang dari Kema, menelusuri Kali Sawangen, mencari-cari orang dan apabila mereka menemukannya, mereka tangkap kemudian dibawa ke kapal mereka yang berlabuh di Kaburukan (Kema). Perompak-perompak/bajak laut itu adalah orang Loloda, Mangindano dan Tasikela. Pemimpin mereka yag sangat terkenal bernama Santerina.
Desa Tumaluntung memiliki jumlah penduduk sekitar 3300 jiwa yang tersebar di 18 wilayah/jaga. Tumaluntung memiliki penduduk yang sebagian besar beragama Kristen dan sebagian kecilnya beragama Islam. Di Desa Tumaluntung terdapat 6 [[Denominasi Kristen|denominasi]] gereja yaitu: [[Gereja Masehi Injili di Minahasa|GMIM]] (2 jemaat), [[Gereja Katolik Roma|Katolik]] (1 stasi), [[Gereja Pantekosta di Indonesia|GPdI]] (2 jemaat), [[Gereja Bethel Indonesia|GBI]] (1 jemaat), [[Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah|GSJA]] (2 jemaat), dan [[Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh|GMAHK]] (2 jemaat) dan 1 buah masjid.
Sebagian penduduk Tumaluntung memiliki pekerjaan bertani dan yang lainnya berupa Aparatur Sipil Negara, pegawai swasta, dan wirausahawan.{{Kauditan, Minahasa Utara}}
▲Pada suatu waktu Dotu Rotti menugaskan Dotu Gerung dan anak buahnya untuk mengawasi wilayah kekuasaanya yang lokasinya terbentang dari ''Tumaluntung'' (''d/h Mataluntung'') ke timur sampai ke Kema. Di Kayawu yang sekarang Dea Kawiley mereka bertemu dengan para perompak-perompak/bajak laut dari Kema. Pada pertemuan itu terjadilah perkelahian, bahkan perang hebat di antara mereka yang mengakibatkan pemimpin mereka Santerina melarikan diri meninggalkan mayat-mayat anak buahnya.{{Kauditan, Minahasa Utara}}
{{Authority control}}
|