Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Mikhipedia (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k Demografi: Bot: Menambah referensi, removed stub tag
 
(1 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 15:
 
{{Batas_USBT
|utara = [[Gunung Klabat|Gunung Klabat]]
|selatan = [[Marawas, Tondano Utara, Minahasa|Kelurahan Marawas]]
|barat = [[Airmadidi Bawah, Airmadidi, Minahasa Utara|Kelurahan Airmadidi Bawah]], [[Airmadidi Atas, Airmadidi, Minahasa Utara|Kelurahan Airmadidi Atas]], [[Sawangan, Airmadidi, Minahasa Utara|Desa Sawangan]], [[Tanggari, Airmadidi, Minahasa Utara|Desa Tanggari]]
Baris 35:
Sekitar tahun 1665, 37 orang Dotu memboyong keluarga dan kawula mereka berpindah ke Kadimbatu dari negeri Walantakan, Wewuringen, Kembuan (Tonsea Lama), Tinegadan Sikooko (sekarang [[Tanggari, Airmadidi, Minahasa Utara|Desa Tanggari]]), Saduan, Sawangan, dan Koyawas. Pemimpin rombongan besar ini adalah seorang ''Tunduan'' (''Tonaas'', ''Wadian'', ''Teterusan'', ''Kumekooko'', atau ''Kumekomba'') bernama Dotu Rotti, didampingi istrinya yang bernama Karagian.
 
Setelah beberapa tahun menetap di Kadimbatu, Dotu Wagiu, adik Dotu Rotti, meminta diri untuk memboyong keluarga dan kawulanya berpindah ke sebelah selatan Kadimbatu. Dalam perjalanan, rombongan ini berpapasan dengan dua ekor burung yang sedang bertarung. Karena dianggap sebagai suatu pertanda dari alam gaib, rombonganpun menghentikan perjalanan (''dumena''). Setelah memohon petunjuk dari ''Opo Empung Waidan'' (atau ''Yang Maha Mulia''), Dotu Wagiu memberitahukan kepada kawulanya bahwa pertarungan kedua ekor burung itu adalah tanda bahwa mereka harus menunda perjalanan agar terhindar dari mara bahaya. Tiga hari kemudian, mereka didatangi seekor burung [[Celepuk Sulawesi|Celepuk]] (''Manguni Rondor''). Kedatangan dan gerak-gerik burung celepuk itu ditafsirkan sebagai petunjuk untuk melanjutkan perjalanan, bukan ke sebelah selatan melainkan ke sebelah utara Kadimbatu. Rombongan akhirnya turun ke Sungai Dinamunen, melanjutkan perjalanan ke arah utara, dan akhirnya menemukan sebuah mata air setelah menempuh jarak sejauh kurang lebih 150  km. Dotu Wagiu memutuskan untuk berhenti dan mendirikan pemukiman. Mata air yang mereka temukan itu kini disebut ''Doud Tumetenden''.
 
Sepeninggal Dotu Wagiu, Dotu Makalew tergerak untuk berpindah ke arah utara dari Kadimbatu. Setelah mengetahui bahwa alih-alih berpindah ke selatan, rombongan Dotu Wagiu ternyata telah menetap di sebelah utara Kadimbatu, Dotu Makalew memimpin keluarga dan kawulanya berpindah jauh lebih ke utara, menelusuri kali besar Tondano. Dalam perjalanan, seekor ular hitam (''Teken ni Opo'') tiba-tiba keluar dan berbaring melintang di jalan yang akan mereka lalui. Perilaku ular ini ditafsirkan sebagai peringatan dari alam gaib agar tidak melanjutkan perjalanan. Setelah memohon petunjuk dari roh-roh leluhur, Dotu Makalew mengumumkan kepada para pengikutnya, "sudah jauh kita berjalan, sampai di sini kita berhenti". Tempat itu mereka jadikan sebuah pemukiman dengan nama Kinaengkoan (sekarang desa Kawangkoan, Kelawat Bawah).
Baris 55:
 
{{Authority control}}
 
{{Kelurahan-stub}}