Cupat, Parittiga, Bangka Barat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: mengosongkan halaman [ * ]
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k Pranala luar: Bot: PWDI - Merapikan artikel
 
(7 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{desa
| nama = Cupat
| peta =
| provinsi = Kepulauan Bangka Belitung
| dati2 = Kabupaten
| nama dati2 = Bangka Barat
| kecamatan = Parittiga
| kode pos = 33362
| luas = ... km²
| penduduk = ... jiwa
| kepadatan = ... jiwa/km²
}}
'''Cupat''' adalah salah satu [[desa]] yang berada di [[Kecamatan]] [[Parittiga, Bangka Barat|Parittiga]], [[Kabupaten Bangka Barat]], [[Kepulauan Bangka Belitung]], [[Indonesia]].
 
== Pranala luar ==
Desa Cupat merupakan sebuah Desa di Utara Pulau Bangka. Desa tersebut terletak di tepi pantai Teluk Kelabat. Di sebelah Utara Desa ini berbatasan dengan Desa Teluk Limau, di Selatan dengan Desa Kapit, di sebelah Timur dengan Teluk Kelabat dan di sebelah Barat dengan Desa Pelawan. Desa berpenduduk 2.550 jiwa terdiri dari 625 KK dengan mata pencaharian terbesar adalah pekerja tambang timah merupakan Desa persiapan yang sebelumnya adalah dusun dengan Desa induk berada di Teluk Limau (Desa Cupat, 2002).
{{RefDagri|2022}}
Pemerintahan Desa dikelola oleh Kepala Desa dengan dibantu oleh beberapa kepala urusan dan sekretaris Desa. Selain hal tersebut, juga terdapat Badan Perwakilan Desa (BPD), sesuai dengan udara reformasi dan demokrasi saat ini, BPD menjadi wadah masyarakat Desa untuk menyampaikan aspirasi dan tanggapan terhadap pemerintahan Desa yang ada. Di Desa Cupat juga terdapat tokoh-tokoh masyarakat baik dari kalangan agamawan (penghulu) maupun dari kalangan lain yang dihormati dan disegani.
Desa Cupat dahulunya merupakan daerah perumahan PT. Timah dengan fasilitas perumahan yang lengkap. Sejak tahun 1966 Desa ini sudah ditempati oleh karyawan PT. Timah yang berasal dari berbagai etnis seperti Melayu, Batak, Cina, Jawa, Madura, Sunda dan Palembang. Kehidupan masyarakat sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1990 berjalan stabil dan mapan. Kestabilan tersebut terlihat dengan berjalannya semua lembaga masyarakat yang ada seperti lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, kesehatan dan keagamaan.
Perumahan ini, pada massa tersebut memiliki fasilitas rumah sakit, sekolah dasar, kantor telpon, dan penerangan (diesel). Akan tetapi sejak digulirkannya restrukturisasi perusahaan pada akhir dekade 90-an, telah merombak pola kehidupan masyarakat Desa Cupat. Semua fasilitas tersebut di atas ditarik kembali dari Desa. Sehingga masyarakat kehilangan tempat berobat, lembaga pendidikan dan yang paling jelas adalah Desa menjadi gelap gulita di malam hari.
Selain hal tersebut banyak karyawan PT. Timah dirumahkan dengan diberi pensiun muda. Sehingga pada awal tahun 90-an banyak terjadi pengagguran di tempat ini. PT. Timah bekerja sama dengan swasta mengeksploitasi bijih timah. Hampir semua swasta yang ikut serta dalam proses ini adalah etnis Cina. Banyak mantan karyawan PT. Timah bekerja pada perusahaan swasta sebagai buruh dengan upah pada waktu itu sebesar Rp. 100.000,- perbulan. Kehidupan masyarakat Desa Cupat berubah. Semula mereka stabil dan mapan saat masa menjadi karyawan PT. Timah. Kemudian timbul masa stagnasi, dan kemiskinan mulai menjadi bagian sehari-hari dari kehidupan masyarakat.
 
Penambangan Timah di Desa Cupat
Pada tahun 1998 terjadi reformasi di seluruh elemen bangsa. Reformasi ini juga merambah sampai ke usaha penambangan timah di Desa Cupat. Berbondong-bondong masyarakat mengelola sendiri dan mengambil alih usaha penambangan swasta. Kemudian terjadi mengalami peroses perubahan teknologi penambangan. Semula menggunakan dulang dan skop sebagai alat produksi, kemudian pada tahun 2000 timbul inovasi menggunakan mesin hisap untuk memisahkan bijih timah dengan pasir kwarsa. Dan berlanjut dengan penambangan teknis menggunakan mesih diesel.
Pada saat penambangan timah menggunakan dulang dan skop, hasil timah yang mereka peroleh di jual kepada tengkulak. Harga ditentukan secara sepihak. Selain itu banyak diantara mereka yang mendapat modal usaha dari tengkulak tersebut. Pada massa ini usaha penambangan yang dilakukan bersifat tradisional dan dianggap illegal oleh pemerintah. Pendapatan yang diperolah penambang tidak besar bahkan cenderung pas-pasan untuk kebutuhan hidup mereka. Sehngga mereka tetap miskin.
Perubahan penggunaan mekanisasi (mesin hisap) untuk mudahkan poses pemisahan bijih timah dengan pasir telah merubah pendapatan penduduk seiring dengan tidak dilarangnya penambangan yang dikelola secara perseorangan. Seperti halnya pada massa dulang dan skop, tetap saja penambang timah hanya dapat memasarkan hasil yang mereka perolah kepada pengumpul yang merangkap tengkulak bermodal besar yang membiayai peminjaman mesin hisap tersebut. Selain dengan cara meminjam dari tengkulak, terdapat juga usaha patungan / kelompok yang terdiri dari 4 orang dengan satu buah mesih hisap (“robin”). Dengan berkelompok, para penambang timah lebih memperoleh keuntungan. Hasil yang diperoleh dari kelompok lebih besar dari pada meminjam kepada tengkulak. Hasil tersebut setelah dikeluarkan untuk membayar cicilan mesin, dibagi rata kepada semua anggota. Dan kehidupan penambang pada masa ini mulai terdapat perubahan. Desa Cupat juga mulai meningkat pendapatan perorangnya. Akan tetapi karena banyaknya kelompok penambang bermunculan, mengakibatkan lahan ekspolitasi menjadi menyempit dan akhirnya terjadi perebutan wilayah dan berkurangnya deposit timah yang ada. Pengaruh yang langsung dirasakan penambang adalah mengecilnya pendapatan yang mereka terima. Selain hal tersebut, juga disebabkan karena kapasistas alat yang digunakan juga kecil. Hal lain yang tidak kalah mempengaruhi pendapatan penambang adalah harga bijih timah yang ditetapkan secara sepihak oleh pengumpul yang sewaktu-waktu berubah.
Selanjutnya setelah diketahui bahwa banyak tempat di Desa Cupat yang potensial mengandung bijih timah, banyak pemodal-pemodal baru mengembangkan usaha penambangan ini. Pada era ini penambangan telah menggunakan sistem teknis, dengan menempatkan mesin-mesin besar (diesel, eksapator serta terdapat fasilitas pemisah bijih timah – sakan). Metoda ini dikenal dengan istilah tambang inkonvensional (TI) (Damayanti 2003). Dengan menggunakan mesin berskala besar telah meningkatkan jumlah penambang di Desa Cupat. Berdasarkan hasil pendataan aparat Desa Cupat pada tahun 2001, terdapat 40 TI di bibir pantai Cupat sedangkan untuk pulau Bangka sampai dengan pendataan resmi Pemerintah Daerah Bangka pada tanggal 15 September 2001 sebanyak 5 617 buah (Anonim 2001), dengan jumlah pekerja mencapai 200 orang yang tidak saja berasal dari Desa Cupat, bahkan berasal dari Palembang.
Dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2001 banyak terjadi perubahan pendapatan penduduk yang berimplikasi pada perubahan sosial masyarakat. Sebelum adanya TI, penduduk yang menjadi buruh di tambang swasta memperoleh penghasilan Rp. 100.000,- perbulan. Namun dengan menjadi TI ataupun Tambang Rakyat (TR) mereka bisa mendapatkan penghasilan antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 40.000,- perhari. Sehingga terjadi perubahan sosial ekonomi dan budaya yang cepat di Pulau Bangka secara umum dan Desa Cupat pada khususnya. Lalu setelah tahun 2001 sampai saat ini terjadi lagi perubahan struktur dan kebudayaan pada masyarakat Desa Cupat. Di tahun 2010 - 2014, struktur masyarakat Desa Cupat telah lebih mapan, dengan tatan tidak lagi mengikuti pola komplek pertembangan tetapi lebih tepat menjadi desa umum dengan kegiatan utama adalah menambang timah.
{{Parittiga, Bangka Barat}}
 
{{desa-stub}}
{{Authority control}}
 
 
{{desaDesa-stub}}