Piagam Jakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
keterangan ini ada di sumber aslinya (termasuk di risalah rapat BPUPK), jadi tolong jangan sembarangan menghapus hanya karena Anda tidak suka, ini tergolong sebagai vandalisme Tag: Pembatalan |
||
(89 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 14:
| wikisource = id:Piagam Jakarta
}}
'''Piagam Jakarta''' adalah rancangan Pembukaan [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]] (UUD 1945). Rancangan ini dirumuskan oleh [[Panitia Sembilan]] [[Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia|Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan]] (BPUPK){{efn|Nama resmi badan ini sebenarnya adalah "Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan". Nama ini tidak mencakup "Indonesia" karena badan ini pertama kali dibentuk oleh [[Angkatan Darat ke-16 (Jepang)|Angkatan Darat ke-16 Jepang]] yang hanya berwenang di Jawa, dan maklumat yang mengumumkan pendirian badan ini juga hanya menyebut wilayah Jawa. [[Angkatan Darat ke-25 (Jepang)|Angkatan Darat ke-25]] yang berwenang di Sumatra baru mengizinkan pembentukan BPUPK untuk Sumatra pada 25 Juli 1945. Di sisi lain, Angkatan Laut Jepang yang memiliki wewenang di Kalimantan dan Indonesia Timur tidak mengizinkan pembentukan badan persiapan kemerdekaan. Lihat {{harvnb|Kusuma|Elson|2011|pp=196-197, catatan kaki 3}}}}
Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi [[Pancasila]], tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan "tujuh kata", pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]], yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945. Tujuh kata ini dihilangkan atas prakarsa [[Mohammad Hatta]] yang pada malam sebelumnya menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari [[Indonesia Timur]] lebih memilih mendirikan negara sendiri jika tujuh kata tersebut tidak dihapus. Pada tahun 1950-an, ketika UUD 1945 ditangguhkan, para perwakilan partai-partai Islam menuntut agar Indonesia kembali ke Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta kembali memicu perdebatan selama proses amendemen undang-undang dasar pada masa [[Reformasi Indonesia|Reformasi]] (1999–2002). Partai-partai Islam mengusulkan agar "tujuh kata" ditambahkan ke dalam Pasal 29 UUD 1945, yaitu pasal yang mengatur soal kedudukan agama dalam negara dan [[kebebasan beragama]]. Namun, usulan amendemen dari partai-partai Islam tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas di [[Majelis Permusyawaratan Rakyat]] (MPR).<!-- Hingga kini, berbagai kelompok Islam (seperti [[Front Pembela Islam]]) masih memperjuangkan pengembalian Piagam Jakarta.-->
Baris 25:
Pada tahun 1942, [[Kekaisaran Jepang]] menduduki [[Hindia Belanda]]. Semenjak awal [[pendudukan Jepang di Indonesia|pendudukan]], pemerintahan militer Jepang sudah bekerja sama dengan para pemimpin kelompok kebangsaan dengan maksud untuk memenuhi keperluan perang dan pendudukan.{{sfn|Hosen|2007|p=60}} Agar kerja sama dengan kelompok kebangsaan di Jawa dapat dimaksimalkan, Jepang membentuk organisasi [[Hokokai|Jawa Hokokai]] pada awal Januari 1944,{{sfn|Benda|1958|p=153}} dan organisasi ini merupakan pengganti [[Pusat Tenaga Rakyat]] yang telah dibubarkan.{{sfn|Formichi|2012|p=75}} Ketika Jepang mulai mengalami kekalahan dalam [[Perang Pasifik]], [[Perdana Menteri Jepang]] [[Kuniaki Koiso]] [[Janji Koiso|berjanji akan memberikan]] kemerdekaan kepada seluruh bangsa Indonesia pada suatu hari.{{sfn|Anshari|1976|p=14}}
Pada 1 Maret 1945, [[Angkatan Darat ke-16 (Jepang)|Angkatan Darat ke-16
{{cquote2|Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang [[Kristen]] menyembah Tuhan menurut petunjuk [[Yesus|Isa al Masih]], yang [[Islam]] bertuhan menurut petunjuk Nabi [[Muhammad]] [[Selawat|s.a.w.]], orang [[Agama Buddha|Buddha]] menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.{{sfn|Taniredja|Suyahmo|2020|p=245}}}}
Baris 77:
|-
| [[Alexander Andries Maramis]] (1897–1977)
| Kebangsaan,
| [[Perhimpunan Indonesia]]
| [[Berkas:Alexander andries maramis.jpg|60px]]
Baris 112:
</div>
<div style="float:left; width:45%;">
{{Quote|Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
</div>
{{Clear}}
Baris 125:
# Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
# Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dalam Piagam Jakarta, asas "ketuhanan" dijadikan sila pertama, sementara dalam [[rumusan-rumusan Pancasila|rumusan Pancasila]] yang dikemukakan oleh Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, "ketuhanan" merupakan sila kelima.{{sfn|Elson|2009|p=113}} Perbedaan terbesar antara Piagam Jakarta dengan rumusan Pancasila Soekarno adalah keberadaan frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa yang dikenal dengan sebutan "tujuh kata" ini mengakui
=== Sidang Resmi Kedua BPUPK ===
Baris 131:
Sesuai dengan saran dari Panitia Sembilan, BPUPK menggelar sidang resmi keduanya dari 10 hingga 17 Juli 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno. Tujuannya adalah untuk membahas permasalahan terkait undang-undang dasar, termasuk rancangan mukadimah yang terkandung dalam Piagam Jakarta.{{sfn|Schindehütte|2006|p=125}} Pada hari pertama, Soekarno melaporkan hal-hal yang telah dicapai selama pembahasan pada masa reses, termasuk Piagam Jakarta. Ia juga mengabarkan bahwa Panitia Kecil telah menerima Piagam Jakarta secara bulat. Menurut Soekarno, piagam ini mengandung "segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai [BPUPK]".{{sfn|Elson|2009|p=114}}
Pada hari kedua sidang (tanggal 11 Juli), tiga anggota BPUPK menyampaikan penolakan mereka terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Salah satunya adalah [[Johannes Latuharhary]], seorang anggota beragama [[Kristen Protestan|Protestan]] yang berasal dari [[Pulau Ambon]]. Ia merasa bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta akan menimbulkan dampak yang "besar sekali" terhadap agama lain. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tujuh kata tersebut akan memaksa [[
Dua hari sesudahnya, pada 13 Juli, Hasjim menggagas perubahan Pasal 4 Rancangan Undang-Undang Dasar agar Presiden Indonesia harus beragama Islam. Ia juga mengusulkan agar Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar (yang berkaitan dengan agama) diamendemen untuk menjadikan Islam sebagai [[agama negara]] ditambah dengan
Piagam Jakarta kembali dibahas dalam rapat yang digelar pada 14 Juli, salah satunya karena terdapat rencana untuk menggunakan isi dari piagam tersebut dalam deklarasi kemerdekaan Indonesia.{{sfn|Anshari|1976|p=56}} Dalam rapat ini, [[Daftar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah|Ketua Umum Muhammadiyah]] [[Ki Bagoes Hadikoesoemo]] mengusulkan agar frasa "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Soekarno menolak usulan tersebut dengan argumen bahwa tujuh kata merupakan hasil kompromi:{{sfn|Elson|2009|p=116}}
{{cquote2|Jadi panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat
Hadikoesoemo juga
Pada sore hari tanggal 15 Juli, Hadikoesoemo kembali mengajukan usulannya. Karena merasa kekhawatirannya tidak dijawab dengan memuaskan, ia menyatakan penolakannya terhadap kompromi dalam Piagam Jakarta.{{sfn|Salim|2008|pp=65-66}}{{sfn|Elson|2009|p=117}} Kemudian, pada tanggal 16 Juli, Soekarno membuka rapat dengan permohonan kepada kelompok kebangsaan untuk mau berkorban dengan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam batang tubuh undang-undang dasar dan juga
=== Penghapusan tujuh kata ===
Baris 145:
[[Berkas:PPKI.jpg|jmpl|Sidang [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] tanggal 18 Agustus 1945]]
Pada tanggal 7 Agustus 1945, pemerintah Jepang mengumumkan pembentukan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (PPKI). Kemudian, pada 12 Agustus, Soekarno diangkat sebagai ketuanya oleh Panglima [[
Soekarno dan Hatta [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|menyatakan kemerdekaan Indonesia]] pada 17 Agustus. Kemudian, pada pagi hari tanggal 18 Agustus, PPKI berkumpul untuk mengesahkan undang-undang dasar Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Hatta mengusulkan agar tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29 dihapus. Seperti yang kemudian dijelaskan Hatta dalam bukunya ''Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945'', pada malam hari tanggal 17 Agustus, seorang opsir [[kaigun]] (Angkatan Laut) Jepang mendatanginya dan menyampaikan kabar bahwa
Hatta lalu menjabarkan usulan perubahannya: istilah "ketuhanan" akan diganti dengan "ketuhanan yang maha esa",{{sfn|Boland|1971|p=36}} sementara istilah "Mukadimah" yang berasal dari [[bahasa Arab]] diganti menjadi "Pembukaan".{{sfn|Elson|2009|p=120}} Ayat yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus Muslim juga dihapus.{{sfn|Elson|2009|p=121}} Setelah usulan ini diterima, PPKI menyetujui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pada hari yang sama, dan tujuh kata pun secara resmi dihapus.{{sfn|Jegalus|2009|p=45}} Perwakilan [[Bali]] [[I Gusti Ketut Pudja]] juga mengusulkan agar "[[Allah]]" diganti dengan "Tuhan". Usulan tersebut diterima, tetapi saat konstitusi resmi dipublikasi, perubahan tersebut tak dilakukan.{{sfn|Elson|2009|p=121}}
Tidak diketahui secara pasti mengapa PPKI menyetujui usulan Hatta tanpa adanya perlawanan dari golongan Islam.{{sfn|Anshari|1976|pp=42}} Di satu sisi, komposisi anggota PPKI sangat berbeda dengan BPUPK: hanya 12% anggota PPKI yang berasal dari golongan Islam (sementara 24% berasal dari BPUPK).{{sfn|Anshari|1976|pp=65}} Dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta, hanya tiga yang hadir dalam pertemuan tanggal 18 Agustus. Ketiga orang itu pun bukan berasal dari golongan Islam; Hasjim yang datang dari [[Surabaya]] baru tiba di Jakarta pada 19 Agustus.{{sfn|Elson|2009|p=122}} Di sisi lain, Indonesia pada masa itu tengah terancam oleh kedatangan pasukan Sekutu, sehingga yang menjadi prioritas adalah pertahanan nasional dan upaya untuk memperjuangkan aspirasi golongan Islam dapat ditunda hingga situasinya memungkinkan.{{sfn|Anshari|1976|p=64}}▼
▲Tidak diketahui secara pasti mengapa PPKI menyetujui usulan Hatta tanpa adanya perlawanan dari golongan Islam.{{sfn|Anshari|1976|pp=42}} Di satu sisi, komposisi anggota PPKI sangat berbeda dengan BPUPK: hanya 12% anggota PPKI yang berasal dari golongan Islam (sementara
Keputusan untuk menghapus tujuh kata mengecewakan golongan Islam.{{sfn|Elson|2009|p=127}} Mereka merasa semakin tidak puas setelah PPKI pada tanggal 19 Agustus menolak usulan untuk mendirikan [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama]].{{sfn|Boland|1971|p=106}} Hadikoesoemo mengungkapkan kemarahannya dalam pertemuan [[Majelis Tanwir]] Muhammadiyah di [[Yogyakarta]] beberapa hari setelah sidang PPKI selesai.{{sfn|Elson|2009|p=127}} Walaupun begitu, seiring dengan kedatangan pasukan Sekutu, golongan Islam memutuskan untuk memprioritaskan persatuan nasional demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.{{sfn|Elson|2009|p=126}}▼
▲Keputusan untuk menghapus tujuh kata mengecewakan golongan Islam.{{sfn|Elson|2009|p=127}}
== Pembahasan Piagam Jakarta pada masa penangguhan UUD 1945 ==
Baris 158 ⟶ 160:
[[Berkas:ConstitutionalAssemblyBldg.jpg|jmpl|[[Gedung Merdeka]] di [[Bandung]] pernah dijadikan Gedung [[Konstituante]] dari tahun 1956 hingga 1959]]
Pada Desember 1955, Indonesia menggelar [[Pemilihan umum Konstituante Republik Indonesia 1955|pemilihan umum]] untuk memilih anggota [[Konstituante]], yaitu lembaga yang bertugas merumuskan konstitusi baru.
=== Janji pengakuan pada awal 1959 ===
Sementara anggota Konstituante tidak dapat menyepakati undang-undang dasar yang baru, Jenderal [[Abdul Haris Nasution]] menyatakan pada 13 Februari 1959 bahwa [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) "memelopori usaha" kembali ke UUD 1945.{{sfn|Anshari|1976|p=79}}
[[Berkas:Djuanda Kartawidjaja.jpg|jmpl|[[Perdana Menteri Indonesia]] [[Djuanda Kartawidjaja]] (1957–1959). Pada Maret 1959, ia menjelaskan bahwa "pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan."{{sfn|Boland|1971|p=93}}]]
Pada 3 dan 4 Maret 1959, [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia|Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada kabinet terkait dengan Putusan Dewan Menteri, dan pemerintah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tertulis. Sejumlah perwakilan partai Islam meminta penjelasan mengenai Piagam Jakarta. [[Anwar Harjono]] dari Partai Masyumi bertanya apakah Piagam Jakarta akan memiliki kekuatan hukum seperti halnya undang-undang dasar atau hanya diakui sebagai dokumen historis saja. Perdana Menteri [[Djuanda Kartawidjaja]] menjawab bahwa meskipun Piagam Jakarta bukan merupakan bagian dari UUD 1945, piagam tersebut tetap menjadi sebuah dokumen historis yang sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia dan perumusan Pembukaan UUD 1945. [[Achmad Sjaichu]] dari Nahdhlatul Ulama juga bertanya "apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai dokumen historis saja ataukah mempunyai akibat hukum, yaitu perkataan 'Ketuhanan' dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’atnya', sehingga atas dasar itu bisa diciptakan perundang-undangan yang bisa disesuaikan dengan syari’at Islam bagi pemeluknya?" Djuanda menjawab bahwa "pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan."{{sfn|Boland|1971|p=93}}
Kemudian, pada 22 April 1959, Soekarno menyampaikan pidatonya di hadapan Konstituante di Bandung. Dalam pidato tersebut, ia
=== Perdebatan mengenai Piagam Jakarta di Konstituante ===
Pada sidang Konstituante berikutnya, para tokoh Islam kembali mengangkat isu soal Piagam Jakarta.{{sfn|Boland|1971|p=94}} Salah satunya adalah [[Saifuddin Zuhri]] dari Nahdlatul Ulama yang kelak akan menjadi [[Daftar Menteri Agama Indonesia|Menteri Agama]]. Ia meminta agar pemerintah menyatakan bahwa Piagam Jakarta memiliki makna hukum dan dapat dijadikan sumber hukum untuk mengundangkan hukum Islam bagi
[[Berkas:Hadji Zainul Arifin.jpg|jmpl|Perwakilan dari Nahdlatul Ulama [[Zainul Arifin]] mengumpamakan Piagam Jakarta sebagai pelita yang menjadi sumber cahaya UUD 1945 dan menerangi jalan bangsa Indonesia. [[Ayat an-nur|Perumpamaan cahaya]] ini berasal dari [[Surah An-Nur]] 24:35-36]]
Baris 183 ⟶ 185:
Akibat kegagalan Konstituante dalam merumuskan konstitusi baru, Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan [[Dekret Presiden 5 Juli 1959|sebuah dekret]] yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945.{{sfn|Jegalus|2009|p=31}} Di dalam dekret ini juga terkandung pernyataan "Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut."{{sfn|Salim|2008|p=86}} Pernyataan ini muncul salah satunya atas dorongan dari tokoh Nahdlatul Ulama [[Muhammad Wahib Wahab]], yang kemudian diangkat sebagai Menteri Agama.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=130}} Pada 22 Juni 1959, DPR secara aklamasi menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945.{{sfn|Anshari|1976|p=95}}
Pada 22 Juni 1963, hari lahir Piagam Jakarta untuk pertama kalinya dirayakan. Jenderal Abdul Haris Nasution, yang saat itu menjabat [[Daftar Menteri Pertahanan Indonesia|Menteri Pertahanan]],
Selanjutnya, pada 5 Juli 1966, [[Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong]] (DPRGR, salah satu lembaga bentukan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin) mengeluarkan sebuah memorandum mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia. [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara]] (MPRS) lalu "menerima baik" isi memorandum tersebut dalam Ketetapan Nomor XX/MPRS/1966. Di dalam memorandum ini terkandung pernyataan mengenai peranan historis Piagam Jakarta dalam proses penyusunan UUD 1945: "Penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sesungguhnya dilandasi oleh jiwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sedangkan Piagam Jakarta itu dilandasi pula oleh jiwa pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang kini terkenal sebagai 'Pidato Lahirnya Pancasila'." Pada saat yang sama, memorandum ini juga menyatakan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila tidak boleh diubah oleh siapapun, termasuk MPR, karena "merubah isi Pembukaan berarti pembubaran Negara". Menurut cendekiawan Muslim Indonesia Mujiburrahman, bila dibandingkan dengan Pancasila, kedudukan Piagam Jakarta dalam memorandum ini tidak jelas dan lemah, tetapi piagam ini masih disebutkan oleh memorandum tersebut.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=108}}
Baris 189 ⟶ 191:
=== Tuntutan penerapan Piagam Jakarta oleh kelompok Islam ===
[[Berkas:Mohammad_Roem,_Pekan_Buku_Indonesia_1954,_p245.jpg|jmpl|kiri|150px|Menurut [[Mohamad Roem]], kewajiban dalam tujuh kata Piagam Jakarta bukanlah kewajiban hukum, tetapi kewajiban agama yang pelaksanaannya tergantung pada masing-masing individu]]
Pengakuan Piagam Jakarta oleh Dekret 5 Juli 1959 ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai kelompok politik. Di satu sisi, kelompok kebangsaan dan partai-partai non
Politikus dari Nahdlatul Ulama [[Saifuddin Zuhri]], yang diangkat menjadi Menteri Agama pada tahun 1962, mengumumkan pada tahun 1963 saat perayaan hari lahir Piagam Jakarta bahwa piagam tersebut telah memicu [[Revolusi Nasional Indonesia]], memiliki status konstitusional, dan berpengaruh terhadap setiap perundang-undangan dan kehidupan ideologis bangsa.{{sfn|Anshari|1976|p=107}} Sebagai Menteri Agama, ia juga mencoba mengarahkan bawahannya untuk melaksanakan Dekret 5 Juli 1959.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=130}} Pada saat perayaan hari jadi ke-40 Nahdlatul Ulama (31 Januari 1966), diadakan sebuah pawai, dan pesertanya memegang spanduk yang menuntut kembalinya Piagam Jakarta.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=107}} Pada bulan yang sama, [[Majelis Permusyawaratan Ulama]] [[Daerah Istimewa Aceh]] merumuskan sebuah rancangan Pedoman Dasar. Pasal 4 Pedoman Dasar ini menyatakan bahwa tujuan organisasi mereka adalah untuk menyatukan semua ulama dan umat dalam upaya untuk menerapkan Piagam Jakarta dan memberlakukan syariat Islam untuk
Politikus Muslim [[Mohamad Roem]] mengambil sikap yang lebih moderat. Dalam sebuah pidato yang ia sampaikan di Medan pada Februari 1967, ia menegaskan bahwa
=== Perdebatan antara kelompok Islam dan Kristen terkait makna historis Piagam Jakarta ===
Baris 201 ⟶ 203:
Redaksi majalah ''Peraba'' juga menyatakan bahwa pihak yang menuntut pengakuan Piagam Jakarta telah bertentangan dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka juga menegaskan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak ada kaitannya dengan Piagam Jakarta. Mereka merujuk pada sejarah ketika Soekarno dan Hatta [[peristiwa Rengasdengklok|diculik dan didesak oleh para pemuda]] untuk mempercepat proklamasi. Para pemuda ini tidak ingin kemerdekaan Indonesia dikait-kaitkan dengan Jepang, sehingga mereka menolak penggunaan Piagam Jakarta untuk mengumandangkan proklamasi, mengingat piagam tersebut merupakan hasil dari badan bentukan Jepang, BPUPK.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=111}}
Di sisi lain, politikus-politikus Muslim mencoba menunjukkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Piagam Jakarta. Tokoh Muslim [[Hamka]]
Pandangan militer mengenai Piagam Jakarta sendiri terpecah. Abdul Haris Nasution, yang telah menjadi Ketua MPRS, menyatakan di sebuah seminar yang diselenggarakan di [[Kota Malang]], [[Jawa Timur]], pada Juli 1968 bahwa ia menolak gagasan pendirian [[negara Islam]], tetapi ia mendukung keinginan umat
=== Upaya
Semenjak akhir tahun 1960-an, para perwakilan dari golongan Islam mulai mencoba menerapkan isi Piagam Jakarta melalui peraturan perundang-undangan.{{sfn|Jegalus|2009|p=66}} Namun, mereka masih harus menentukan apa makna dari kewajiban menjalankan syariat Islam.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=115}} Seorang mantan pegiat Masyumi yang bernama Mohammad Saleh Suaidy menyatakan bahwa pada akhir 1960-an, Piagam Jakarta dapat direalisasikan dengan: (1) menyelesaikan rancangan hukum perkawinan Islam yang masih dibahas DPR; (2) mengatur pengumpulan dan pembagian [[zakat]] dan jika sistem ini berhasil, rancangan undang-undang mengenai zakat dapat diusulkan ke DPR; (3) menyatukan kurikulum pesantren di seluruh negeri; (4) meningkatkan keefisienan dan koordinasi dakwah; (5) mengaktifkan kembali Majelis Ilmiah Islam untuk mengembangkan konsep-konsep penting dalam agama Islam.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=117}}
Baris 213 ⟶ 215:
=== 1988: pembentukan peradilan agama dan ketakutan akan Piagam Jakarta ===
[[Berkas:
Pada 1988, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama. [[Partai Demokrasi Indonesia]] dan fraksi partai kebangsaan lainnya merasa khawatir bahwa pemerintah melalui rancangan undang-undang ini akan menerapkan syariat Islam.{{sfn|Abdillah|1997|p=33}} Teolog [[Yesuit]] [[Franz Magnis-Suseno]] memperingatkan bahwa tujuan penghapusan tujuh kata dari Pembukaan UUD 1945 dimaksudkan untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok yang dapat memaksakan kehendak mereka kepada kelompok lain.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=195}} Pada awal Juli 1989, [[Konferensi Waligereja Indonesia]] (KWI) dan [[Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia]] (PGI) meminta agar setiap warga Muslim dapat dengan bebas memilih peradilan sipil atau agama, karena menurut mereka perbedaan antara Pancasila dan Piagam Jakarta adalah Pancasila tidak mewajibkan pelaksanaan syariat Islam.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=196}}
Soeharto menjawab kritik dengan pernyataan bahwa rancangan undang-undang ini hanya ingin mewujudkan gagasan Pancasila dan UUD 1945, dan menurutnya rancangan undang-undang ini tidak ada kaitannya dengan Piagam Jakarta.{{sfn|Abdillah|1997|p=33}} Para tokoh Muslim juga menampik keterkaitan antara rancangan undang-undang peradilan agama dengan Piagam Jakarta.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=199}} [[Mohammad Natsir]] menyatakan bahwa kelompok Kristen telah bertindak intoleran terhadap aspirasi-aspirasi umat
Di sisi lain, cendekiawan Muslim [[Nurcholis Madjid]] dapat memahami mengapa kelompok Kristen menyatakan penolakan mereka. Menurutnya, kecurigaan bahwa Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan upaya untuk mewujudkan Piagam Jakarta dipicu oleh trauma politik dari masa lalu. Ia lalu mengajak semua untuk melupakan trauma masa lalu dan memandang rancangan undang-undang tersebut sebagai suatu proses nasional.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=200}} Fraksi [[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]] (ABRI) juga menyatakan bahwa mereka bisa memahami ketakutan masyarakat terkait rancangan undang-undang tersebut dan Piagam Jakarta, karena mereka mengamati bahwa dalam sejarah telah terjadi beberapa upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dengan agama.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=202}}
Baris 222 ⟶ 224:
== Tuntutan pengembalian Piagam Jakarta pada awal Reformasi (1999–2002) ==
=== Desakan partai Islam ===
Setelah [[Kejatuhan Soeharto|tumbangnya Soeharto]] dan pencabutan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat pada tahun 1998, kembali muncul seruan untuk mendirikan negara Islam dan mengembalikan Piagam Jakarta.{{sfn|Jegalus|2009|pp=62, 68}} Pada Oktober 1999, MPR untuk pertama kalinya menyelenggarakan sidang untuk mengamendemen UUD 1945.{{sfn|Elson|2013|p=404}} Kemudian, saat Sidang Tahunan MPR pada tahun 2000, dua partai Islam, yaitu PPP dan [[Partai Bulan Bintang]] (PBB, penerus Partai Masyumi), memulai kampanye untuk menambahkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pasal 29 UUD 1945.{{sfn|Salim|2008|p=95}} Berdasarkan usulan ini, rumusan Pancasila di Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah.{{sfn|Butt|Lindsey|2012|p=232}} Pasal 29 sendiri berbunyi:{{sfn|Jegalus|2009|p=196}}
# Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
# Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Baris 236 ⟶ 238:
=== Penolakan Piagam Jakarta ===
[[Berkas:
[[Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan]] (PDI-P) menentang dimasukannya Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945.{{sfn|Salim|2008|p=89}} Organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga menolak usulan PBB dan PDU tahun 2002 terkait amendemen Pasal 29.{{sfn|Salim|2008|p=93}} [[Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah]] [[Ahmad Syafii Maarif]] menyatakan pada September 2001 bahwa penerapan kembali Piagam Jakarta hanya akan membebankan negara yang baru saja terancam bubar.{{sfn|Hosen|2007|pp=93-94}} Beberapa cendekiawan Muslim lainnya, seperti [[Abdurrahman Wahid]], [[Nurcholis Madjid]], [[Masdar F. Mas'udi]], dan [[Ulil Abshar Abdalla]], juga menolak usulan tersebut.{{sfn|Jahroni|2008|p=69}} Penolakan dari Muhammadiyah sendiri sangat mengecewakan [[Laskar Jihad]] di [[Kota Surakarta]], [[Jawa Tengah]].{{sfn|Hosen|2005|p=426}}
=== Piagam Madinah: usulan alternatif dari Fraksi Reformasi ===
Sehubungan dengan amendemen Pasal 29(1) UUD 1945, fraksi-fraksi berhaluan kebangsaan (seperti Fraksi PDIP, [[Partai Golongan Karya]], [[Kesatuan Kebangsaan Indonesia]], dan [[Partai Demokrasi Kasih Bangsa]]) dan Fraksi [[Tentara Nasional Indonesia]]/[[Kepolisian Negara Republik Indonesia]] (TNI/POLRI) ingin mempertahankan pasal tersebut sebagaimana adanya, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.".{{sfn|Salim|2008|p=90, 104}} Sementara itu, Fraksi PPP, PBB, dan PDU menginginkan agar tujuh kata dimasukkan ke dalam tersebut sehingga menjadi berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".{{sfn|Salim|2008|p=90, 104}} Di sisi lain,
Fraksi PK menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan mengapa mereka mendukung Piagam Madinah alih-alih Piagam Jakarta. Pertama, Piagam Jakarta dirasa masih belum final, dan piagam tersebut bukan dianggap sebagai satu-satunya cara yang sah untuk menjalankan syariat Islam di Indonesia. Kedua, naskah Piagam Jakarta diyakini hanya berlaku untuk Muslim, dan ini dianggap tidak sejalan dengan Islam yang berupa "rahmatan lil alamin" (rahmat bagi seluruh alam). Ketiga, bila dibandingkan dengan Piagam Jakarta, Piagam Madinah dinilai lebih sesuai dengan Islam, karena Piagam Madinah mengakui kebebasan hukum masing-masing agama, sementara Piagam Jakarta hanya memberi keistimewaan hukum bagi satu agama saja.{{sfn|Salim|2008|pp=100}}
Baris 270 ⟶ 272:
Mengingat ketiga alternatif ini tidak ada yang mendapatkan dukungan mayoritas, [[Yusuf Muhammad]] dari PKB mengusulkan sebuah kompromi pada 13 Juni. Ia menggagas agar dalam rumusan tujuh kata, istilah "kewajiban" diganti menjadi "kesungguhan", sehingga rancangan kalimatnya berbunyi "dengan kesungguhan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".{{sfn|Salim|2008|p=102}} Kompromi ini juga gagal memperoleh dukungan mayoritas, sehingga ia mengusulkan agar ayat pertama Pasal 29 dibiarkan sebagaimana adanya, tetapi ayat kedua diamendemen menjadi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya".{{sfn|Salim|2008|p=103}}
Setelah pembahasan panjang yang tak kunjung membuahkan hasil, ketiga alternatif ini diajukan ke Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2002 untuk melalui mekanisme pemungutan suara. Perwakilan dari Fraksi PDU dan PBB sekali lagi menegaskan pentingnya mengembalikan kesatuan Piagam Jakarta dan UUD 1945 dengan memasukkan tujuh kata ke dalam Pasal 29. [[Hartono Marjono]] dari PDU bahkan mengklaim bahwa penentang usulan ini telah dipengaruhi oleh propaganda dan kampanye [[Zionisme|Zionis]].{{sfn|Elson|2013|p=418-419}} Walaupun begitu, usulan ini gagal mendapatkan dukungan mayoritas.{{sfn|Elson|2013|p=418}} Usulan mengenai Piagam Madinah juga ditolak.{{sfn|Salim|2008|p=106}} Fraksi PKB bahkan berubah haluan dan mendukung agar Pasal 29 dipertahankan sebagaimana adanya.{{sfn|Salim|2008|pp=101-102}}
Walaupun kedua usulan partai-partai Islam gagal mendapatkan dukungan mayoritas, usulan-usulan ini masih didukung oleh banyak orang Muslim di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh surat kabar ''[[Kompas (surat kabar)|Kompas]]'' pada Agustus 2002, usulan Piagam Madinah didukung oleh 49,2% responden, sementara usulan Piagam Jakarta mendapat dukungan dari 8,2% responden. Jika keduanya digabung, 57,4% dapat dikatakan mendukung amendemen Pasal 29 UUD 1945, sementara hanya 38,2% yang ingin agar pasal tersebut dibiarkan seperti sebelumnya.{{sfn|Salim|2008|p=174}}
Baris 306 ⟶ 307:
* {{citation|last=Jahroni|first=Jajang|title=Defending the Majesty of Islam: Indonesia’s Front Pembela Islam 1998–2003|publisher=Silkworm Books|location=Chiang Mai|year=2008}}
* {{citation|last=Jegalus|first=Norbertus|title=Das Verhältnis von Politik, Religion und Zivilreligion untersucht am Beispiel der Pancasila|publisher=Herbert Utz Verlag|location=München|year=2009}}
* {{citation|last=Kusuma|first=A.B.|title=Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945|publisher=Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia|location=Jakarta|year=
* {{Citation | last = Kusuma | first = A.B. | last2 = Elson | first2 = R.E. | title = A Note on the Sources for the 1945 Constitutional Debates in Indonesia | journal = Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde | volume = 167 | issue = 2–3 | pages = 196–209| year = 2011|url = http://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:273574/UQ273574_OA.pdf }}
* {{citation|last=Madinier|first=Rémy|title=L’Indonesie, entre démocratie musulmane et Islam intégral: histoire du parti Masjumi (1945–1960)|publisher=Karthala|location=Paris|year=2012}}
Baris 313 ⟶ 314:
* {{citation|last=Schindehütte|first=Matti|title=Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft – Religion als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens|publisher=Abera Verlag|location=Hamburg|year=2006}}
* {{citation|last1=Taniredja|first1=Tukiran|author2=Suyahmo|title=Pancasila Dasar Negara Paripurna|publisher=Kencana|location=Jakarta|year=2020}}
== Bacaan lanjut ==
Baris 323:
{{Pancasila Indonesia}}
{{Authority control}}
{{artikel pilihan}}
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Islam di Indonesia]]
[[Kategori:Piagam Politik]]
[[Kategori:
[[Kategori:Islam dan politik]]
|