Negara Saudi Pertama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bkusmono (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
k membetulkan ejaan
 
(12 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{infobox former country
{{Infobox Former Country
|native_name = Ad-Daulah As-Su'udiyah Al-Ula{{br}}الدولة السعودية الأولى
|conventional_long_name = Negara Saudi Pertama
Baris 5:
|continent = Asia
|region = Timur Tengah
|year_start = 17441727
|year_end = 1818
|event_start = Persetujuan Diriyah
|event_end = [[Perang Utsmaniyah-Saudi]]
|p1=Syekh Diriyah
|p1=Kesultanan Utsmaniyah
|flag_p1=Green Flag.svg
|p2=Eyalet Habesh
|flag_p1flag_p2=Flag of the Ottoman Empire (1453-1844).svg
|p3=Emirat Bani Khalid
|flag_p3=Flag of Bani Khalid Emirate.svg
|p4=Kekaisaran Oman
|flag_p4=Flag of Muscat.svg
|s1=Eyalet Mesir
|flag_s1=Flag of Egypt (1844-1867).svg
|s2=Keimaman Mu'ammarid
|flag_p1=Flag of the Ottoman Empire (1453-1844).svg
|s3=Kekaisaran Oman
|flag_s3=Flag of Muscat.svg
|image_flag = Flag of the First Saudi State.svg
|flag_type =
Baris 22 ⟶ 31:
|title_leader = Imam
|leader1 = [[Muhammad bin Saud]]
|year_leader1 = [[17441727]]–[[1765]]
|leader2 = Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud
|year_leader2 = [[1765]]–[[1803]]
Baris 30 ⟶ 39:
|year_leader4 = [[1814]]–[[1818]]
|religion = [[Islam]]
|today = {{KSA}}{{br}}{{UAE}}{{br}}{{QAT}}{{br}}{{negaranama|Bahrain}}{{br}}{{negaranama|Kuwait}}{{br}}{{negaranama|Oman}}{{br}}{{YEM}}
}}
'''Keemiran Raya Diriyah''' ({{Lang-ar|إمارة الدرعية الكبرى}}), juga di terjemahkan sebagai '''Keemiran Dir'iyah''' dan juga dikenal sebagai '''Negara Saudi Pertama,'''<ref>James Norman Dalrymple Anderson. ''The Kingdom of Saudi Arabia''. Stacey International, 1983. p. 77.</ref> didirikan pada tahun 17441727 (11571139 [[HijriKalender yearHijriah|AHH]]) ketika pemimpin agama [[Muhammad bin Abdul Wahhab]] dan kepala suku [[Muhammad bin Saud]] membentuk aliansi untuk mendirikan gerakan reformasi sosial keagamaan untuk menyatukan negara negara di semenanjung arabia.<ref>{{cite web|title=Reform Movements|url=http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/165516/6/06_chapter%203.pdf|work=Shodhganga|access-date=17 October 2017}}</ref> Pada 1744, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud bersumpah untuk mencapai tujuan mereka.<ref>{{cite book|author=Madawi Al Rasheed|author-link=Madawi Al Rasheed|title=A History of Saudi Arabia|url=https://archive.org/details/historyofsaudiar0000alra_t7c4|year=2010|isbn=978-0-521-74754-7 |ref=Ras10}}</ref> Pada tahun 1818 Negara Saudi Pertama ini dihancurkan oleh pasukan [[Kesultanan Utsmaniyah]] yang berasal dari Mesir.
 
Sejarah berdirinya Kerajaan Saudi tidak terlepas dari peran 2 tokoh utama yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud. Kedua tokoh inilah yang menjadi pondasi berdirinya Kerajaan Arab Saudi.
Baris 38 ⟶ 47:
'''Muhammad bin Abdul Wahab'''
 
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman dilahirkan tahun 1115 H atau 1703 M. BeliauIa berasal dari sebuah keluarga yang sangat agamaisagamis. Bapak beliauBapaknya adalah seorang ''Qadhi'' (hakim syar’i) di Uyainah dan Huramila’, begitu pula Kakek beliauKakeknya Sulaiman adalah seorang ulama yang sempat memiliki sebuah karya tulis yang membahas sebuah permasalahan bertemakan ibadah haji. Di antara kakek-kakek beliaukakeknya yang kesekian yang terkenal sebagai seorang ulama pula adalah yang bernama Abdul Qadir bin Buraid salah seorang ulama hambaliHambali. Begitu pula kakek beliaukakeknya Ahmad bin Muhammad bin Musrif pernah menjadi ''Qadhi'' di Najd.
 
Tumbuhnya beliauia dalam keluarga yang sangat perhatian dengan agama ini memberi pengaruh yang sangat besar terhadap keagamaan dan kepribadian beliauia . Pada usia 10 tahun atau kurang, beliauia telah menghafal Al Quran. Pada usia 13 tahun beliauia menikah. Sehingga kehidupankehidupannya beliau semakin tenang dalam keadaan semangat menuntut ilmu tetap kokoh, sampai-sampai ayah beliauayahnya terkagum-kagum dengan putranya. Bahkan ayah beliauayahnya pernah mengatakan,” Sungguh aku banyak mengambil faedah ilmiah dari anakku.” Dalam keadaan ayah beliauayahnya adalah seorang ulama.
 
Perkembangan keilmuan beliauia terus bertambah. Berbagai buku-buku beliaubukunya baca. Sampai pada akhirnya beliauia mengikuti ibadah haji dan bertemu dengan para ulama di negeri Hijaz. Pada ibadah haji yang pertama beliauia begitu terkesan dengan perkumpulan kaum muslimin yang begitu banyak dan bertemu dengan beberapa ulama, diantaranya adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an Najdiy. BeliauIa begitu terkesan dengan Syaikh bin Ibrahim An Najdiy ini sehingga beliauia pun banyak mengambil ilmu darinya.
 
Sepulang menunaikan ibadah haji, tumbuh rasa rindu beliauia kepada negeri Hijaz (Madinah dan Mekah) sehingga kemudian beliauia pun kembali ke Madinah untuk menuntut ilmu. BeliauIa kembali bertemu dengan syaikh Abdullah bin Ibrahim An Najdiy. Syaikh Abdullah bin Ibrahim adalah seorang ulama yang sangat mumpuni terutama dalam bidang akidah dan sangat mengetahui keadaan negeri Uyainah, asal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. BeliauIa pun sangat menekankan kepada Syaikh Muhammad bin Abdullah Wahab untuk mempelajari bab tauhid dan akidah. BeliauIa mengarahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab muda untuk mempelajari kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim.
 
Suatu saat Syaikh Abdullah bin Ibrahim berkata kepada muridnya ini,” Maukah aku perlihatkan kepadamu persenjataan yang aku persiapkan? Mari masuk!” Maka masuklah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Setelah masuk, maka terlihatlah sebuah perpustakaan yang besar yang berisi buku-buku yang begitu banyak. BeliauIa berkata, “ Inilah senjata. Engkau harus mempelajari buku-buku ini!” Ini menunjukkan betapa semangatnya sang guru; di sisi lain ini juga menjadikan semakin kuat semangat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk terus menuntut ilmu.
 
Di Madinah, beliauia juga bertemu dengan Syaikh Muhammad Hayah al Sindiy seorang ulama hadis yang ahli di bidang hadis dan mempunyai beberapa karya di bidang hadis. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pun banyak mengambil ilmu dari Syaikh Muhammad Hayah al Sindiy. Setelah beberapa saat menuntut ilmu di Madinah kemudian beliauia pulang ke negerinya.
 
Akan tetapi keinginannya untuk menuntut ilmu belum lah pupus. Apalagi ketika melihat betapa banyak kemungkaran-kemungkaran yang terjadi di negeri beliaunegerinya, menjadi tambah kuat keinginan beliaukeinginannya untuk melanjutkan menuntut ilmu. Maka beliauia pun melanjutkan perjalanan menuntut ilmu ke Bashrah. Di sana beliauia belajar dari beberapa guru di antaranya seorang ulama Syaikh Al Majmu’i.
 
Di Basrah ini pulalah beliauia menulis sebuah kitab yang kita kenal sebagai ''Kitabut Tauhid''. BeliauIa menulis kitab ini karena melihat kondisi Irak yang tidak jauh berbeda dengan keadaan di Najd yang saat itu banyak terjadi kesyirikan. BeliauIa menulis kitab ini sebagai bentuk kecemburuan terhadap Islam dan kaum muslimin. Kecemburuan yang memunculkan upaya untuk membenarkan akidah kaum muslimin.
 
Setelah dari Bashrah beliauia pulang kembali ke negeri Najd. Sebelum kemudian kembali melanjutkan rihlahnya dalam menuntut ilmu ke negeri Ahsa’. Di sana beliauia belajar kepada Syaikh Abdullah bin Fairuz sebelum akhirnya pulang kembali ke Uyainah.
 
'''Uyainah dan Sekitarnya'''
 
Keadaan Uyainah dan sekitarnya ketika itu sangat memperihatinkan. Walaupun pada umumnya secara lahiriyah mereka adalah kaum muslimin akan tetapi pada kenyataannya perbuatan kesyirikan demikian merebak. Pada saat itu, ada sebuah kuburan yang sangat diagungkan yaitu kuburan Zaid bin Khaththab saudara Sayyidina Umar bin Khaththab. Zaid meninggal di daerah itu (Yamamah) pada saat berperang melawan Musailamah al Kadzab dan dimakamkan di sana. Akibat dari jauhnya kaum muslimin dari ilmu agama terutama ilmu tauhid maka kuburan ini saat itu menjadi kuburan yang sangat diagungkan.
 
Diterangkan oleh Al Ustadz Mas’ud An Nadwiy penulis kitab ‘''Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab muslihun mazhlum muftara’ alaihi''’ bahwa pada saat itu banyak terjadi kemungkaran di Jazirah Arab, dan ternyata di Najd memiliki kondisi yang lebih jelek dibandingkan daerah sekitarnya. Di daerah Jubailah kuburan Zaid bin Khaththab dijadikan tempat persembahan/ peribadahan. Di daerah Dir’iyyah banyak kubah-kubah di kuburan – yang katanya kuburan para sahabat- yang dijadikan tempat ibadah. Di daerah Huraimila demikian juga terdapat kuburan lain yang diagungkan dan diibadahi. Sedemikian rusaknya keadaan saat itu sampai-sampai jika ada seorang wanita yang tak kunjung mempunyai keturunan, akan datang ke kuburan-kuburan itu untuk berdoa meminta keturunan.
 
Kondisi yang seperti ini tentu sangat memprihatinkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sehingga beliauia sangat berkeinginan untuk mengubah kondisi ini. Pada saat itu beliauia beserta orang tua dan anggota keluarga yang lain sempat pindah dari Uyainah ke Huraimila. Setelah ayah beliauayahnya meninggal di Huraimila, maka beliauia pun pindah kembali lagi ke Uyainah. Pada saat itulah kemudian beliauia bertemu dengan penguasa Uyainah Usman bin Mu’ammar dan menawarkan kepadanya prinsip-prinsip dakwah Islam yang a''lhamdulillah'' kemudian disambut..
 
'''Bersama Penguasa Uyainah'''
 
'''Pertemuan''' Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Penguasa Uyainah -Usman bin Ma’mar- melahirkan sinergi yang kuat. Maka mulai saat itulah terjadi ta’awun, kerjasama saling bantu-membantu berlandaskan syariat dalam dakwah antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan Usman bin Mu’ammar.
 
'''T'''erjadilahTerjadilah kegiatan ''amar ma’ruf nahi munkar'' berpadu antara ulama dan umara. Sampai kemudian mereka berhasil menghilangkan bangunan di kuburan Zaid bin Khaththab yang diibadahi. Hal ini tentu sesuai dengan perintah Rasulullah ketika suatu ketika bersabda kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
 
لَاتَدَعَتِمْثَالًاإِلَّاطَمَسْتَهُوَلَاقَبْرًامُشْرِفًاإِلَّاسَوَّيْتَهُ
Baris 74 ⟶ 83:
''“Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan''.”. ['''H.R. Muslim''' no. 2240, Kitab'' Al-Jana`iz, ''bab Al-Amr bi Taswiyatil Qabr] .
 
Maka ketika itulah Syaikhia bekerjasama dengan penguasa melaksanakan wasiat tersebut. Orang-orang yang mengagungkan kuburan tersebut menunggu-nunggu kecelakaan terjadi terhadap syaikhterhadapnya yang mereka yakini akan menimpa bagi siapa saja yang mengganggu kuburan tersebut. Namun, ''alhamdulillah'' khurafat mereka ini tidak terwujud. SyaikhIa dan para pengikutnya tetap dalam keadaan baik dan sehat.
 
'''Tujuan Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab'''
 
Tujuan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mencangkupmencakup beberapa hal.
 
'''Yang pertama''' dan paling utama adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah inti dakwah beliaudakwahnya. Dan itu pula lah inti dakwah para Rasul sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad .
 
'''Yang kedua,''' menolak kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya. Dan ini juga misi dakwah seluruh para Rasul. Di dalam Al Quran begitu banyak tersebutkan kisah para Rasul yang memberantas kesyirikan dan juga peringatan keras langsung oleh Allah terhadap segala bentuk kesyirikan.
 
'''Yang ketiga''', menutup segala hal yang akan mengarahkan kepada kesyirikan. Ini juga mengikuti Rasulullah yang banyak memberikan perintah untuk menutup segala jalan yang dapat mengantarkan kepada segala bentuk kesyirikan, sebagaimana beliauia melarang para sahabatnya untuk mengatakan “''maasya Allah wa syi’ta”(dengan kehendak Allah dan kehendakmu (wahai Rasulullah))'' dan memerintahkan untuk menggantinya dengan ucapan “''maasya Allah wahdahu (dengan kehendak Allah semata)''”. Ini merupakan upaya untuk menutup jalan-jalan yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan.
 
'''Yang keempat,''' memerangi ''kebid’ahan-kebid’ahan''. Dan ini juga merupakan wasiat Rasulullah sebagaimana dalam sabdanya, ''“wa iyyakum wal muhdatsatil umuur''” ( ''dan berhati-hatilah kalian dari perkara bid’ah'').
Baris 90 ⟶ 99:
'''Ujian pun Datang'''
 
Saat beliauia di Uyainah bersama Penguasa Uyainah melaksanakan syariat Islam semaksimal mungkin, pernah ada suatu kejadian. Datang seorang wanita yang mengaku berbuat zina meminta untuk ditegakkan hukuman syar’i atasnya. Namun demikian, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak lantas bersegera mengiyakan. Akan tetapi menunggu pengakuannya hingga keempat kalinya. Setelah itu pun beliauia masih memperjelas dan menegaskan lagi keadaan wanita tersebut, apakah ia wanita yang sehat pikirannya ataukah tidak, apakah ia melakukannya karena pemerkosaan ataukah tidak. Setelah semuanya jelas, bahwa wanita itu dalam keadaan sehat akalnya dan tidak dalam keadaan dipaksa, maka tidak ada jalan lain, kecuali ketentuan syariat harus ditegakkan. Maka kemudian ditegakkanlah hukum rajam kepada wanita tersebut oleh penguasa.
 
Yang dilakukan Syaikul Islamdilakukannya ini adalah mencontoh persis apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Yakni pada saat Rasulullah didatangi seorang wanita yang mengaku berzina, beliauia pun menunggu pengakuannya hingga yang keempat, kemudian diperjelaskan keadaannya apakah dalam keadaan sehat pikirannya dan tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa, baru kemudian dilakukan hukum rajam. Demikian pulalah yang dilakukan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab. Maka yang beliauia lakukan ini, sama sekali bukan merupakan pelanggaran syariat dan bid’ah, apalagi beliauia tidak melakukannya sendirian akan tetapi atas persetujuan dan bersama penguasa. Bahkan yang mengeksekusi pertama kali adalah penguasa Uyainah, Usman bin Mu’amar sendiri.
 
Akan tetapi ujian dari Allah pun datang tak terelakkan. Semuanya terjadi dengan kesempurnaan hikmah-Nya. Peristiwa penegakkan hukum tersebut sangat memicu penentangan dari berbagai pihak karena pada waktu itu banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui hukum agama akibat tersebarnya kejahilan (kebodohan). Hingga puncaknya kemudian datang tekanan dari penguasa Ahsa’.
 
Sedemikian kuatnya tekanan ini menyebabkan penguasa Uyainah tidak kuasa menahannya. Akhirnya, karena tekanan ini, Usman bin Mu’ammar kemudian meminta Syaikhul Islammemintanya untuk meninggalkan Uyainah. Maka kemudian dengan berjalan kaki, Syaikhia pindah ke daerah Dir’iyyah.
 
'''Negeri Dir’iyyah'''
 
Alasan beliauia memilih daerah Dir’iyyah antara lain adalah karena daerah tersebut merupakan daerah yang terlepas dari pengaruh kekuasaan dari daerah lain. Dir’iyyah tidak seperti Uyainah yang terpengaruh oleh kekuasaan Ahsya’, sehingga terkadang tidak kuasa ketika mendapat tekanan darinya. Dir’iyyah merupakan daerah yang ''independen ''(berdiri sendiri) sehingga tidak ada kekhawatiran untuk mendapat tekanan dari daerah mana pun. Alasan yang kedua adalah bahwa penguasa Dir’iyyah yakni keluarga al Su’ud terkenal sebagai keluarga penguasa yang sangat memerhatikan ilmu syar’i dan menerapkannya. Alasan yang lain adalah karena ada beberapa murid Syaikhmuridnya sendiri yang bertempat tinggal di sana, sehingga sekiranya ada tempat persinggahan sementara.
 
Sesampainya di Dir’iyaah, maka disambutlah beliauia oleh murid-muridnya di sana dan tinggal di salah sebuah rumah di antara mereka. Maka tinggallah beliauia di sana memberikan pengajaran kepada murid-muridnya tanpa menampakkan diri. Dengan izin dari Allah, ternyata dari saudara-saudara Amir Dir’iyyah saat itu -Muhammad bin Su’ud- ada yang telah mengenal Syaikhia sebelumnya dengan perkenalan yang baik. Sehingga yang demikian ini menyebabkan mereka berupaya mempertemukan SyaikhMuhammad bin Abdul Wahab dengan Amir Dir’iyyah. Akhirnya melalui keluarga Amir Dir’iyyah bertemulah kedua tokoh tersebut.
 
Maka disampaikanlah oleh SyaikhMuhammad bin Abdul Wahab tentang berbagai permasalahan syar’i sehingga pemaparan tersebut disambut baik oleh Muhammad bin Su’ud. Hal ini dapat dipahami karena penguasa Dir’iyyah tergolong cukup memiliki perhatian terhadap permasalahan diniyyah. Sehingga pada saat itu terjadilah kesepakatan untuk saling membela Islam di antara keduanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1157 H / 1744 M. Boleh dibilang saat itulah titik awal munculnya Kerajaan Arab Saudi.
 
== Pemimpin Negara Saudi Pertama ==
Baris 124 ⟶ 133:
 
[[Kategori:Sejarah Arab Saudi]]
[[Kategori:Sejarah NejdNajd]]
 
[[de:Saudi-Arabien#Geschichte]]