Sultan Muhammad Syah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: namun (di tengah kalimat) → tetapi |
Wagino Bot (bicara | kontrib) k →Lihat pula: Bot: ProyekWiki Biografi, removed stub tag |
||
(6 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 2:
== Pengakuan dan konsolidasi Aceh ==
Sultan tua [[Sultan Alauddin Jauhar al-Alam|Alauddin Jauhar ul-Alam Syah]] telah memimpin pemerintahan bergolak dan tidak diakui di seluruh Aceh pada saat kematiannya pada bulan Desember [[1823]]. Saking lemahnya ia bahkan tidak mampu mengontrol ibu kota [[Banda Aceh|Bandar Aceh]]. Pada saat kematiannya ia meninggalkan enam anak, dua orang lahir permaisuri utama Puteri Siharibulan dan empat lainnya dari isterinya yang lain. Sebenarnya dalam wasiat (sarakata) sebelum kematiannya ia telah menunjuk seorang putera yang bernama Abdul Muhammad sebagai pengganti. Namun titah ini tidak diterima oleh [[Panglima Polem]] yang memimpin daerah XXII Mukim, salah satu dari tiga wilayah sagi utama Aceh.<ref>Djajadiningrat (1911), p. 306.</ref>
Puteri Siharibulan yang menolak keputusan itu melakukan perlawanan, ia mengajukan permohonan kepada [[Inggris]] di [[Penang]] untuk melakukan intervensi. Tindakan perlawanan Siharibulan kini mengancam munculnya perang saudara di Aceh. Namun pada saat yang sama Inggris tidak tertarik terlibat dalam politik Aceh. Puteri Siharibulan dan anak trinya Alauddin Muhammad Daud Syah akhirnya berdamai melalui mediasi dari Raja Muda. Sultan baru secara bertahap menerima pengakuan dari para panglima sagi (para kepala daerah), bangsawan, dan [[uleebalang]] yang sebelumnya menolak mengakuinya.<ref>Lee (1995), p. 308.</ref>
== Traktat London ==
Keengganan Inggris mencampuri urusan internal Aceh tidak terlepas dari mentaati butir-butir [[Perjanjian London tahun 1824|Traktat London]] antara [[Belanda]] dan [[Kerajaan Britania Raya|Britania]]. Hal ini berkaitan dengan keseimbangan kekuasaan di [[Eropa]], dimana Inggris tidak ingin berseteru dengan Belanda yang mulai menancapkan pengaruh dan kekuasaan kolonialnya di [[Sumatra]]. Disamping itu juga Inggris dan Belanda berkehendak adanya jaminan keamanan bagi pelayaran kapal-kapal dagang Eropa di perairan [[Selat Malaka]] yang selama ini dikuasai bersama oleh Inggris, Belanda bersama kesultanan-kesultanan lain yang merdeka di wilayah maritim utama itu. Perjanjian itu telah mengikat Inggris untuk mengakui kekuasaan Belanda atas beberapa bagian Sumatra sebaliknya Belanda mengakui kedaulatan Inggris di [[Semenanjung Malaya]] dan [[Borneo|Kalimantan]], lalu keduanya juga mengakui kekuasaan Aceh yang merdeka di ujung utara pulau Sumatra. Meski sebenarnya pihak resmi Aceh tidak dilibatkan dalam perjanjian ini, tetapi isi perjanjian telah menjamin kemerdekaan Aceh hingga tahun [[1870]].<ref>Encyclopaedie (1917), Vol. 1, p. 77.</ref>
== Konflik dan insiden dengan Belanda ==
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh sejumlah insiden kekerasan antara Aceh dan negara kolonial tetangganya yang berkedudukan di [[Batava]]. Ketika Belanda melancarkan ekspansi atas sebagai hasil dari ekspansi Belanda di Sumatra. Setelah kemenangan di [[
Sementara itu perang paderi yang berkecamuk di [[Minangkabau]] semakin memperkeruh permasalahan itu, kemajuan yang dialami Belanda dalam perang telah memperluas kekuasaan Belanda hingga ke [[Natal]] di Tapanuli Selatan. Pada tahun [[1831]] kedudukan Belanda di Air Bangis dan Natal diserang oleh kaum Paderi di daratan dan oleh rakyat Aceh (Singkil) dari laut. Serangan itu nyaris memukul mundur Belanda dari pertahanannya atas Natal.<ref>Veth (1873), p. 97.</ref>
Konflik berikutnya terjadi ketika pada tahun [[1836]] sebuah sekunar Belanda '''Dolfijn''' ditangkap oleh Aceh. Pihak kolonial di Batavia mengirim perutusan khusus untuk mengangani masalah ini yang dipimpin oleh Ritter dan Van Loon pada tahun [[1837]]. Temuan perutusan ini di Aceh menemukan bahwa kapal telah dibakar dan muatan serta peralatan kapal telah disita oleh Aceh.<ref>Encyclopaedie (1917), Vol. 1., p. 77.</ref>
== Akhir masa pemerintahan ==
Alauddin Muhammad Daud Syah digambarkan sebagai penguasa yang sangat tidak begitu energik. Dia sakit-sakitan, mengisap opium, dan kekuasaanya dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah bayangan oleh wali nya.<ref>Van Langen (1888), p. 17.</ref>
Sultan meninggal pada tahun [[1838]] mewariskan kesultanan kepada putranya [[Sultan Sulaiman Ali Iskandar Syah|Tuanku Sulaiman]] yang masih muda. Namun kekuasaan secara defacto tetap berada dibawah lembaga perwalian yang dikuasai oleh Raja Muda [[Sultan Mansur Syah|Tuanku Ibrahim]] sampai 32 tahun berikutnya.
Baris 24:
== Pranala luar ==
* Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', ''Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde'' 65, pp.
* ''Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië'' (1917), Vol. 1. 's Gravenhage & Leiden: M. Nijhoff & Brill.
* Langen, K.F.H. van (1888), ''De inrichting van het Atjehsche staatsbestuur onder het sultanaat''. 's Gravenhage: M. Nijhoff
Baris 36:
{{kotak selesai}}
{{Portal bar|Islam|Biografi|Sejarah}}
<!--anda dapat berkontribusi dalam pelacakan artikel biografi tokoh muslim di wikipedia dengan menambahkan templat ini pada halaman tokoh muslim yang belum terhimpun di dalam kategori pelacakan --Kategori:Semua artikel biografi tokoh muslim -- Lihat Templat:Lifetime-Tokoh-Muslim -->
{{Lifetime-Tokoh-Muslim
|sort =
|hari_lahir =
|tgl_lahir_h =
Baris 62 ⟶ 60:
|tempat_makam =
}}
[[Kategori:Sultan Aceh]]
[[Kategori:Kematian 1838]]
[[Kategori:Tokoh Aceh]]
[[Kategori:Kesultanan Aceh]]
|