Muhammad Al-Maghfur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rhmannss (bicara | kontrib)
menambahkan infobox
Wagino Bot (bicara | kontrib)
 
(7 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 4:
|title = al-'Alim al-'Allamah al-Faqih al-Nahwi al-Nazhim al-Murabbi
|native_name= Muhammad Al-Maghfur
|image = Ajengan ahim.jpg
|imagesize=280px
|nasab = Muhammad Al-Maghfur (Cijambe, [[Cibeber, Cianjur]]) bin Haji Sukandi (Nyalempet, [[Cilaku, Cianjur]])
Baris 39:
|jurisprudence = [[Syafi'i]]
|main_interests = [[Nahwu dan Fiqih]]
|influences = Mama Cilaku KH Munawwar<br>[[Ahmad Syathibi al-Qonturi|Mama Gentur]]<br>Mama Gelar Peuteuycondong
|influenced = KH Deden Muhammad Makhyaruddin<br>Syekh KH Abdul Qadir Rozi Cianjur<br>|Dan Murid lainya
}}
 
'''''Al-'Alim Al-'Allamah Al-Syaikh Al-Faqih Al-Nahwi K.H. Muhammad Al-Maghfur bin H. Sukandi Al-Syijambawiy Al-Syibarigbigiy Al-Syibabariy Al-Syanjuriy Al-Jawiy Al-Indunisiy''''' ([[bahasa Arab]] : العالم العلامة الشيخ الفقيه النحوي الناظم كياهي الحاجي محمد المغفور بن الحاج سوكندي الشجمبوي الشبارقبقي الشببري الشنجوري الجاوي الإندونيسي) lahir di kampung Nyalempet, [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]], [[Jawa Barat]], [[Hindia Belanda]] tahun 1928 Masehi dan wafat di Cijambe, [[Cibaregbeg, Cibeber, Cianjur|Cibaregbeg]], [[Cibeber, Cianjur|Cibeber]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]], [[Jawa Barat]], [[Indonesia]] pada Sabtu 2 Dzul Qa'dah 1413 H, atau bertepatan dengan tanggal  25 April tahun 1993.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=3|url-status=live}}</ref>
 
== Nama dan Julukan ==
Baris 49:
 
== Nasab dan Kelahiran ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur lahir tahun 1928. Tidak diketahui tanggal dan bulannya. Berdasarkan perhitungan salah seorang anaknya, Muhammad Nawawi, bahwa K.H. Muhammad Al-Maghfur wafat tahun 1993 pada usia 64 tahun. Jika 1993 dikurangi 64 maka akan muncul angka 1928. Ayahnya bernama H. Sukandi bin H. Mansur. Tidak diketahui silsilah nasabnya setelah H. Mansur. Hanya saja diketahui H. Sukandi berasal dari Cilaku. Bahkan, H. Mansur dikenal sebagai tokoh masyarakat yang ahli bertani padi. Dan, yang disebut beras [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]] pada mulanya berasal dari [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] dan [[Jambudipa, Warungkondang, Cianjur|Jamudipa]]. H. Sukandi wafat  tahun 1958 berdasarkan titimangsa K.H. Muhammad Maghfur, bahwa pada saat itu dia tidak dapat menemani ayahnya yang sedang sakit di [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] karena terdesak pulang ke Cijambe menemani istrinya yang sedang hamil besar mengandung anak pertama. Dia hanya menitipkan ayahnya kepada santrinya yang bernama Jahid. Lalu, sebelum istrinya melahirkan terdengar kabar sang ayah meninggal dunia di pangkuan Mang Jahid. Kemudian, tidak berselang lama, sang istri melahirkan anak pertamanya tahun 1958.<ref name="Makhyaruddin 5">{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=5|url-status=live}}</ref>
 
Ibunya bernama Hj. Umi Kulsum binti H. Nawawi. Dipanggil Nek Ucum. Juga, tidak diketahui silsilahnya setelah H. Nawawi. Tapi, keluarga hafal betul bahwa H. Nawawi adalah Tubagus keturunan Sultan [[Banten]]. Berdasarkan riwayat keluarga, H. Nawawi mengembara dari [[Kabupaten Garut|Garut]] ke [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]], lalu menikah dengan wanita asli Nyalempet. Hal ini sesuai dengan cerita dalam babad [[Banten]] bahwa keturunan [[Kesultanan Banten]] banyak yang pindah ke [[Kabupaten Garut|Garut]], [[Jawa Barat]] dengan menyembuyikan identitasnya untuk menghindari intervensi Pemerintah Kolonial [[Belanda]]. Makam H. Nawawi terdapat di bukit kecil antara kampung Geger dan kampung Nyalempet. Penduduk menyebutnya '''Pasir Pogor'''. Semasa hidupnya H. Nawawi dikenal sebagai orang yang pertama kali naik Haji di daerah itu. Bahkan, banyak membantu ulama berangkat Haji. Di antaranya, adalah Ajengan Noled. Tercatat H. Nawawi sendiri menunaikan Haji sebanyak 17 kali karena selain merupakan seorang ulama dia pun menjabat sebagai Syaikh yang mengurus Haji. Hj. Umi Kulsum wafat tahun 1932 pada saat K.H. Muhammad Al-Maghfur berusia empat tahun. Lalu, sang ayah menikah lagi dengan perempuan asli [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] yang menyebabkan dia pindah dari Nyalempet ke [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]].<ref>{{Cite book|title=Melacak Nasab Ulama Cianjur, K.H. Muhammad Al-Maghfur dari Cianjur ke Banten|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|date=7 Maret 2020|location=Bogor|pages=1-10|url-status=live}}</ref>
 
K.H. Muhammad Al-Maghfur mempunyai adik kandung perempuan bernama Olih. Namun, setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dia ikut ayahnya bersama ibu barunya di Cilaku. Pada saat itu, umur adiknya kurang dari dua tahun. Sementara, K.H. Muhammad Al-Maghfur bertahan di Geger bersama kakak dari ibunya yaitu H. Putoni. K.H. Muhammad Al-Maghfur sering bercerita kepada anak-anaknya tentang sang adik yang sama-sama hidup sebagai piatu yang terpisah jarak antara Geger dan [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]]. Adakalanya, K.H. Muhammad Al-Maghfur kecil datang ke [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] untuk menemui sang adik. Hubungan mereka, seiring menginjak remaja, semakin intens. Ketika K.H. Muhammad Al-Maghfur mesantren, yang selalu menyediakan perbekalan dan kiriman ke pesantren adalah sang adik mengingat kasih sayang dari ibu baru tak kunjung datang menyapanya. Ketika K.H. Muhammad Al-Maghfur mondok di Rajamandala hubungan itu akhirnya terputus karena, tanpa disangka, sang adik begitu cepat dipanggil Yang Mahakuasa di usia 14 tahun. Dan, yang paling memilukan, tidak ada yang mengabarkan kepergiannnya kepada K.H. Muhammad Al-Maghfur. Dia baru tahu sang adik telah tiada saat pulang ke [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] untuk bertemu melepas rindu dengan sang adik. Tapi, dia hanya menemukan pusaranya.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|lastname="Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=5|url-status=live}}<"/ref>
 
== Tumbuh Kembang ==
Baris 67:
 
=== Di Gelar ===
Setelah lulus [[Sekolah Rakyat]] (SR) pada usia kira-kira 13 tahun K.H. Muhammad Al-Maghfur berangkat mondok di Gelar, [[Peuteuycondong, Cibeber, Cianjur|Peuteuycondong]], [[Cibeber, Cianjur|Cibeber]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]]. Belajar kepada K.H. Sopandi bin Husen, ayah dari K.H. Zein Abdul Somad yang dikenal dengan nama Mama Gelar. Di sana dia menetap selama enam bulan. Memang tergolong singkat tetapi dia dapat menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan dengan baik dalam bidang [[bahasa Arab]], ilmu ''<nowiki/>'Arudh'' (العروض) dan ilmu ''Qawafi'' (القوافي) tentang mengarang dan menilai karya nazham (syair) dalam bahasa Arab. Dia pun mahir mengarang dengan [[bahasa Sunda]] dalam bentuk syair sesuai aturan syair Arab. Dia sebenarnya masih betah di Gelar tetapi entah mengapa Kiyai memerintahkan semua santrinya untuk pulang dan berhenti mengajar. Tentu sebenarnya tidak semata-mata membubarkan santri kecuali Kiyai sudah lebih dahulu mengetahui di alam kasyafnya akan maslahat yang ditimbulkan. Salah seorang putri K.H. Muhammad Al-Maghfur, Hj. Maisurah mengatakan, "Saya pernah membaca nazham karangan Bapak tentang kisah mesantren di Gelar." Tapi, sayang naskahnya tidak ditemukan lagi. Namun, sekurang-kurangnya naskah itu masih ada dipada tahun tujuh puluhan.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=8|url-status=live}}</ref>
 
=== Di Gentur ===
Baris 76:
 
=== Di Jamudipa ===
Sepulang dari Rajamandala K.H. Muhammad Al-Maghfur belajar ijazah wirid-wirid, dzikir-dzikir, doa-doa, hizb-hizb kepada K.H. Fakhruddin yang merupakan ayah dari K.H. Aang Endang [[Jambudipa, Warungkondang, Cianjur|Jamudipa]], [[Warungkondang, Cianjur|Warungkondang]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]]. Diceritakan K.H. Muhammad Al-Maghfur pun berguru kepada Aang Endang atau kemudian disebut dengan Ajengan Jamudipa. Di sana dia mondok selama satu tahun. Maka, jadilah dia ulama muda yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu keislaman sebelum usianya sampai 20 tahun. Salah seorang putra K.H. Muhammad Al-Maghfur, Muhammad Nawawi mengisahkan tentang pengalaman  sang ayah menuntut ilmu. Suatu hari pernah berkata: "Aku mondok tidak lama. Hanya tiga tahun saja. Tapi, atas izin Allah dan pertolongan-Nya, aku bisa. Padahal, aku tidak punya kitab karena mahal dan lingkunganku dalam penjajahan Belanda dan Jepang."<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=11|url-status=live}}</ref>
 
== Menikah ==
Ketika mencapai pada umur 21 tahun K.H. Muhammad Al-Maghfur menikah dengan seorang gadis asal Cijambe, [[Cibaregbeg, Cibeber, Cianjur|Cibaregbeg]], [[Cibeber, Cianjur|Cibeber]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]] yang bernama Fatimah Masbarah binti Abdurrohim (H. Zakaria) bin H. Sapandi tanggal 4 Oktober 1949 M bertepatan dengan tanggal 11 Dzul Hijjah tahun 1368 H. Dikisahkan, pada zaman itu, dalam rentang waktu K.H. Muhammad Al-Maghfur mondok, di kampung Cijambe ada tokoh Agama yang bernama Mama Qomar. Dan, Cijambe menjadi pusat transformasi ilmu [[Agama]] ke masyarakat sekitar dalam radius sekira lima kilo meter dari delapan penjuru angin. Mama Qomar mempunyai seorang istri bernama Asiyah. Asiah adalah kakak pertama sekaligus menjadi pengasuh Fatimah Mashbarah karena ditinggal sang ibu ketika masih kecil. Dalam pengasuhan sang kakak, Fatimah mendapatkan tarbiyah yang baik. Dia sangat disayangi oleh Mama Qomar karena kepintarannya dalam mengaji dan kematangannya dalam keshalihahan. Memang Mama Qomar ini mengingkan  lahir seorang ulama di Cijambe. Atau, paling tidak, ada seorang wanita dari Cijambe yang layak dipinang ulama. Pada tahun 1948 Mama Qomar dan istrinya berangkat ke tanah suci untuk menunaikan [[Haji|ibadah Haji.]] Kemudian, dalam rombongan Haji bertemu dengan seseorang yang bernama H. Badrudin dan memiliki istri yang bernama Azizah yaitu adik dari Umi Geger. Umi Geger adalah Istri kiyai Putoni yang mengasuh K.H. Muhammad Al-Maghfur kecil. Dalam pertemuan ini terjadilah diskusi ringan, ngobrol-ngobrol, dan Mama Qomar pun menyampaikan sesuatu bahwa dirinya sedang mencari seorang laki-laki yang bisa mengaji untuk menjadi ulama dan membimbing masyarakat di Cijambe dan untuk dinikahkan dengan seorang gadis yang diurus olehnya sejak kecil. Kemudian, H. Badrudin menyampaikan bahwa ada seorang ulama muda yang belum menikah bernama Ahmad Syahim. Sepulangnya dari tanah suci, obrolannya ditindak lanjuti secara serius. Dan, akhirnya dari Geger, K.H. Muhammad Al-Maghfur didampingi H. Badrudin melamar ke Cijambe. Dan, satu tahun kemudian, tahun 1949 M, di hari tasyriq tanggal 11 Dzul Hijjah 1368 terjadi pernikahan.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=12|url-status=live}}</ref>
 
== Setelah Menikah ==
Baris 85:
 
== Pendirian Pondok Pesantren ==
Kemudian K.H. Muhammad Al-Maghfur mendirikan pesantren di Cijambe, Ciberegbeg, Cibeber, Cianjur setelah beliau menyelesaikan belajar di Cilaku sekitar tahun 1951, dan beliau pada saat itu berumur 23 tahun. Pesantrenya tidak diberi nama, tapi para santri datang dari berbagai penjuru meski tanpa publikasi. Beliau pun masih terus belajar ke Mama Cilaku dengan mengikuti program ngaji mingguan khusus para ajengan setiap malam Jumat. Di antara kitab yang dikhatamkan dalam ngaji mingguan tersebut adalah Kitab Jam'ul Jawami' tentang Ushul Fiqih. Pengajian Mama Cilaku selesai pukul satu (01:00) dini hari. Tapi, khusus K.H. Muhammad Al-Maghfur, Mama Cilaku melanjutkan ngajinya berdua di rumah sampai jam 4 pagi. Pada tahun 1967 K.H. Muhammad Al-Maghfur berkunjung ke Ciomas, Bogor untuk menghadiri Multqo al-Ilmi. Di sana bertemu seorang alim asli Bogor yang bernama K.H. Abdullah yang sebagian putranya dikirim untuk nyantri ke beliau. K.H. Abdullah berkata kepadanya: "Kiyai, beri nama pesantrennya dengan Raudlatul Muta'alimin." Maka, beliau pun memakai nama itu untuk pesantrennya.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=14|url-status=live}}</ref>
 
== Guru-gurunya ==
Baris 100:
 
== Anak-anaknya ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur dari pernikahannya dengan Hj. Fatimah Masbarah dikaruniai 12 orang anak, lima laki-laki dan tujuh perempuan. Tapi, empat orang anak pertama meninggal masih kecil. Yaitu, Sa'diyah, Muhammad, Muflihah, dan Afifah. Kemudian, mulai dari anak yang kelima sampai yang ke 12 Allah berikan umur yang panjang. Mereka adalah sebagai berikut:<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=19 dan 20|url-status=live}}</ref>
 
# Muhammad Nawawi, yaitu putra beliau yang paling besar. Nama Nawawi diambil dari nama sang kakek, yaitu H. Nawawi. Para santri beliau generasi awal menyebutnya Kang Muhammad.
Baris 191:
 
Sedang dari Mama Cilaku, K.H. Muhammad al-Maghfur bersanad kepada Imam al-Syaffi, dalam Fiqih, selain dari Gentur, melalui dua guru Mam Cilaku, yaitu Mama Ilyas, Cibitung Bandung, dan Habib Syaikh bin Salim, Sukabumi. Jalur emas sanad ini adalah dari Habib Syaikh bin Salim langsung ke Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, juga dari Mama Ilyas ke Syaikhana Khalil Bangkalan, Madura, dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, lalu dari Syaikh 'Utsman bin Hasan al-Dimyathi (w. 1265 H.), dari al-Syaikh Abdullah al-Syarqawi (w. 1227 H.). Lalu, al-Syaikh al-Syarqawi sampai keatasanya sama dengan sanad dari Mama Gentur.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=45|url-status=live}}</ref>
 
{{Uncategorized|date=Desember 2023}}