Muhammad Al-Maghfur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k fix
Wagino Bot (bicara | kontrib)
 
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 39:
|jurisprudence = [[Syafi'i]]
|main_interests = [[Nahwu dan Fiqih]]
|influences = Mama Cilaku KH Munawwar<br>[[Ahmad Syathibi al-Qonturi|Mama Gentur]]<br>Mama Gelar Peuteuycondong
|influenced = KH Deden Muhammad Makhyaruddin<br>Syekh KH Abdul Qadir Rozi Cianjur<br>|Dan Murid lainya
}}
Baris 49:
 
== Nasab dan Kelahiran ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur lahir tahun 1928. Tidak diketahui tanggal dan bulannya. Berdasarkan perhitungan salah seorang anaknya, Muhammad Nawawi, bahwa K.H. Muhammad Al-Maghfur wafat tahun 1993 pada usia 64 tahun. Jika 1993 dikurangi 64 maka akan muncul angka 1928. Ayahnya bernama H. Sukandi bin H. Mansur. Tidak diketahui silsilah nasabnya setelah H. Mansur. Hanya saja diketahui H. Sukandi berasal dari Cilaku. Bahkan, H. Mansur dikenal sebagai tokoh masyarakat yang ahli bertani padi. Dan, yang disebut beras [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]] pada mulanya berasal dari [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] dan [[Jambudipa, Warungkondang, Cianjur|Jamudipa]]. H. Sukandi wafat tahun 1958 berdasarkan titimangsa K.H. Muhammad Maghfur, bahwa pada saat itu dia tidak dapat menemani ayahnya yang sedang sakit di [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] karena terdesak pulang ke Cijambe menemani istrinya yang sedang hamil besar mengandung anak pertama. Dia hanya menitipkan ayahnya kepada santrinya yang bernama Jahid. Lalu, sebelum istrinya melahirkan terdengar kabar sang ayah meninggal dunia di pangkuan Mang Jahid. Kemudian, tidak berselang lama, sang istri melahirkan anak pertamanya tahun 1958.<ref name="Makhyaruddin 5">{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=5|url-status=live}}</ref>
 
Ibunya bernama Hj. Umi Kulsum binti H. Nawawi. Dipanggil Nek Ucum. Juga, tidak diketahui silsilahnya setelah H. Nawawi. Tapi, keluarga hafal betul bahwa H. Nawawi adalah Tubagus keturunan Sultan [[Banten]]. Berdasarkan riwayat keluarga, H. Nawawi mengembara dari [[Kabupaten Garut|Garut]] ke [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]], lalu menikah dengan wanita asli Nyalempet. Hal ini sesuai dengan cerita dalam babad [[Banten]] bahwa keturunan [[Kesultanan Banten]] banyak yang pindah ke [[Kabupaten Garut|Garut]], [[Jawa Barat]] dengan menyembuyikan identitasnya untuk menghindari intervensi Pemerintah Kolonial [[Belanda]]. Makam H. Nawawi terdapat di bukit kecil antara kampung Geger dan kampung Nyalempet. Penduduk menyebutnya '''Pasir Pogor'''. Semasa hidupnya H. Nawawi dikenal sebagai orang yang pertama kali naik Haji di daerah itu. Bahkan, banyak membantu ulama berangkat Haji. Di antaranya, adalah Ajengan Noled. Tercatat H. Nawawi sendiri menunaikan Haji sebanyak 17 kali karena selain merupakan seorang ulama dia pun menjabat sebagai Syaikh yang mengurus Haji. Hj. Umi Kulsum wafat tahun 1932 pada saat K.H. Muhammad Al-Maghfur berusia empat tahun. Lalu, sang ayah menikah lagi dengan perempuan asli [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] yang menyebabkan dia pindah dari Nyalempet ke [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]].<ref>{{Cite book|title=Melacak Nasab Ulama Cianjur, K.H. Muhammad Al-Maghfur dari Cianjur ke Banten|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|date=7 Maret 2020|location=Bogor|pages=1-10|url-status=live}}</ref>
 
K.H. Muhammad Al-Maghfur mempunyai adik kandung perempuan bernama Olih. Namun, setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dia ikut ayahnya bersama ibu barunya di Cilaku. Pada saat itu, umur adiknya kurang dari dua tahun. Sementara, K.H. Muhammad Al-Maghfur bertahan di Geger bersama kakak dari ibunya yaitu H. Putoni. K.H. Muhammad Al-Maghfur sering bercerita kepada anak-anaknya tentang sang adik yang sama-sama hidup sebagai piatu yang terpisah jarak antara Geger dan [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]]. Adakalanya, K.H. Muhammad Al-Maghfur kecil datang ke [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] untuk menemui sang adik. Hubungan mereka, seiring menginjak remaja, semakin intens. Ketika K.H. Muhammad Al-Maghfur mesantren, yang selalu menyediakan perbekalan dan kiriman ke pesantren adalah sang adik mengingat kasih sayang dari ibu baru tak kunjung datang menyapanya. Ketika K.H. Muhammad Al-Maghfur mondok di Rajamandala hubungan itu akhirnya terputus karena, tanpa disangka, sang adik begitu cepat dipanggil Yang Mahakuasa di usia 14 tahun. Dan, yang paling memilukan, tidak ada yang mengabarkan kepergiannnya kepada K.H. Muhammad Al-Maghfur. Dia baru tahu sang adik telah tiada saat pulang ke [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] untuk bertemu melepas rindu dengan sang adik. Tapi, dia hanya menemukan pusaranya.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|lastname="Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=5|url-status=live}}<"/ref>
 
== Tumbuh Kembang ==
Baris 191:
 
Sedang dari Mama Cilaku, K.H. Muhammad al-Maghfur bersanad kepada Imam al-Syaffi, dalam Fiqih, selain dari Gentur, melalui dua guru Mam Cilaku, yaitu Mama Ilyas, Cibitung Bandung, dan Habib Syaikh bin Salim, Sukabumi. Jalur emas sanad ini adalah dari Habib Syaikh bin Salim langsung ke Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, juga dari Mama Ilyas ke Syaikhana Khalil Bangkalan, Madura, dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, lalu dari Syaikh 'Utsman bin Hasan al-Dimyathi (w. 1265 H.), dari al-Syaikh Abdullah al-Syarqawi (w. 1227 H.). Lalu, al-Syaikh al-Syarqawi sampai keatasanya sama dengan sanad dari Mama Gentur.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=45|url-status=live}}</ref>
 
{{Uncategorized|date=Desember 2023}}