Ko Kwat Tiong: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Gladius Oceanus (bicara | kontrib)
k Mengganti pernyataan hiperbolis sesuai dengan ketentuan di dalam WP:PEACOCK.
Serigala Sumatera (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(2 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7:
Ko lalu bersekolah di [[Europeesche Lagere School]] (ELS) Magelang dan kemudian di [[Hogere Burgerschool]] (HBS) Semarang. Dua sekolah tersebut hanya menerima murid berlatar belakang Eropa dan sangat selektif dalam menerima murid berlatar belakang non-Eropa.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2012)" /><ref name="Suryadinata (2015)" /> Saat bersekolah di HBS, Ko mendirikan sebuah klub bergaya Barat dengan nama ‘Djien Gie Lee Tie Sien’, sesuai [[Konfusianisme|lima kebajikan Konfusianisme]] yang ia pelajari di terjemahan Barat dari [[klasik Tionghoa]], karena ia hanya dapat berbicara dalam [[bahasa Melayu]], [[bahasa Belanda|Belanda]], [[bahasa Jawa|Jawa]], dan sejumlah bahasa asal Eropa yang lain.<ref name="Suryadinata (2012)" />
 
===Awal karirkarier dan Leiden===
Akibat pecahnya [[Perang Dunia I]], Ko terpaksa menunda rencananya untuk melanjutkan studinya ke universitas di Eropa.<ref name="Suryadinata (2012)" /> Ia lalu bekerja sebagai jurnalis di [[Yogyakarta]] untuk ''Palita'', dan kemudian bekerja di [[Escomptobank]] (pendahulu [[Bank Dagang Negara]]).<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2012)" /> Pada tahun 1920, Ko akhirnya pergi ke [[Belanda]] bersama istrinya, Lie Giok Ing, untuk belajar hukum di [[Universitas Leiden]].<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2012)" />
 
Saat berkuliah di Leiden, Ko bergabung ke ''[[Chung Hwa Hui Nederland]]'', sebuah asosiasi mahasiswa Peranakan, dan bergaul dengan mahasiswa Peranakan kelas atas yang lain.<ref name="Suryadinata (2012)" /> Walaupun begitu, ia juga bergaul dengan mahasiswa [[pribumi Indonesia]], seperti [[Sartono]], [[Sastromoeljono]], [[Besar Mertokusumo|Besar Mertokoesoemo]], Mochamad Soejoedi, dan [[Soenario Sastrowardoyo]], yang kemudian menjadi pimpinan dari [[Partai Nasional Indonesia]], sebuah partai politik berpengaruh selama periode pasca-revolusi di Indonesia.<ref name="Suryadinata (2012)" /> Ko akhirnya lulus pada tahun 1926, dan kemudian kembali ke Jawa.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2015)" />
 
===KarirKarier hukum dan politik===
Tinggal di Semarang, Ko awalnya bergabung ke firma hukum milik teman kuliahnya di Leiden, yakni [[H. K. Jauw]], yang telah menjadi hakim di Pengadilan Eropa Semarang.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2015)" /> Kemudian, bersama keponakannya yang juga berkuliah di Leiden, [[Ko Tjay Sing]], Ko mendirikan sebuah biro hukum bersama sejumlah pribumi Indonesia yang juga berkuliah di Leiden.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2015)" /> Melalui interaksinya dengan pribumi Indonesia, Ko pun menjadi dekat dan bersimpati dengan [[Kebangkitan Nasional Indonesia|gerakan nasionalis Indonesia]].<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2015)" /> Sebagai seorang [[Freemason]], Ko juga percaya pada persaudaraan dan kesetaraan dari semua manusia.<ref name="Suryadinata (2012)" />
 
Baris 19:
Saat [[Liem Koen Hian]] mendirikan [[Partai Tionghoa Indonesia]] pada tanggal 25 September 1932, Ko pun bergabung ke partai tersebut.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2015)" /> Atas inisiatifnya sendiri, Ko lalu mendirikan cabang PTI di Semarang pada tanggal 9 Oktober 1932, dan bertindak sebagai chairman di cabang tersebut hingga tahun 1934, saat ia dipilih sebagai presiden dewan pusat PTI untuk menggantikan Liem.<ref name="Suryadinata (2012)" /> PTI sangat mendukung gerakan nasionalis Indonesia dan melihat bahwa etnis Cina, sebagaimana etnis lain di Hindia Belanda, adalah bagian dari Hindia Belanda.<ref name="Suryadinata (2012)" /> Pada tahun 1935, sebagai perwakilan PTI, Ko berhasil [[pemilihan anggota Volksraad 1935|terpilih]] sebagai anggota Volksraad.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2015)" />
 
Selama menjadi anggota Volksraad mulai tahun 1935 hingga 1939, Ko mengkampanyekan kesetaraan ras di dalam hukum Hindia Belanda dan aturan buruh yang lebih progresif.<ref name="Suryadinata (2012)" /> Pada tahun 1936, bersama [[Soetardjo Kartohadikoesoemo]], [[Ismail Alatas|Sayyid Ismail Alatas]], [[Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono|I. J. Kasimo]], [[Sam Ratulangi]], dan [[Datoek Toemoenggoeng]], Ko menjadi penanda tangan [[Petisi Soetardjo]], yang meminta kepada [[Ratu Wilhelmina]] agar Indonesia dimerdekakan sebagai bagian dari persemakmuran Belanda di bawah [[Monarki Belanda]].<ref name="Klinken (2003)">{{cite book |last1=Klinken |first1=Geert Arend van |last2=Klinken |first2=Gerry Van |title=Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia, a Biographical Approach |date=2003 |publisher=KITLV Press |location=Leiden |isbn=978-90-6718-151-8 |url=https://books.google.com/books?id=fuOwhUwUgScC&q=%22ko+kwat+tiong%22+war&pg=PA106 |accessdate=1 May 2020 |language=en }}{{Pranala mati|date=Juni 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref><ref name="Suryadinata (2012)" /> Pada tanggal 19 September 1936, Ko pun berpidato untuk mendukung petisi yang telah disetujui oleh Volksraad tersebut, tetapi petisi tersebut akhirnya ditolak oleh pemerintah Belanda dan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1938.<ref name="Klinken (2003)" /><ref name="Suryadinata (2012)" /> Pada tahun 1939, Ko terpilih sebagai chairman [[Federasi Perkoempoeloan Boeroeh Tionghoa]].<ref name="Suryomenggolo (2013)">{{cite book |last1=Suryomenggolo |first1=Jafar |title=Organising under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945–48 |date=2013 |publisher=NUS Press |location=Singapore |isbn=978-9971-69-696-2 |url=https://books.google.com/books?id=on3GBgAAQBAJ&q=%22ko+kwat+tiong%22+war&pg=PA186 |accessdate=1 May 2020 |language=en}}</ref>
 
Walaupun progresif, pandangan politik Ko tidak seradikal anggota PTI yang lain, seperti Liem, [[Tan Ling Djie]], dan [[Tjoa Sik Ien]], yang mendukung [[sosialis]] atau bahkan [[komunis]], mengadvokasi nasionalisme Indonesia anti-Belanda, dan menolak bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.<ref name="Suryadinata (2012)" /> Ko juga berselisih dengan Liem mengenai keputusan Ko yang membuka PTI tidak hanya untuk Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda, tetapi juga untuk semua Tionghoa yang ada di Hindia Belanda, termasuk Tionghoa ''[[totok]]''.<ref name="Suryadinata (2012)" /> Menjelang pemilihan anggota Volksraad pada tahun 1939, perselisihan tersebut akhirnya mengemuka dan mengarah pada pemberhentian Ko dari PTI.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2015)" />
 
===KarirKarier pasca perang dan kematian===
Pasca [[pendudukan Jepang di Hindia Belanda]] selama [[Perang Dunia II]], Ko bergabung ke [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI), tetapi ia tidak terlalu terlibat dalam kegiatan politik PNI.<ref name="Suryadinata (2012)" /> Ko justru lebih aktif sebagai kepala dari sebuah [[Balai Harta Peninggalan]] di Semarang hingga pensiun pada tahun 1960.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2012)" /><ref name="Suryadinata (2015)" /> Ia kemudian menjadi dosen di sejumlah universitas, terutama di [[Universitas Diponegoro]].<ref name="Suryadinata (2012)" />
 
Pada tahun 1947, Ko menikahi mantan sekretarisnya, Roemini, dan pindah ke agama [[Islam]], serta mengadopsi nama Muslim, '''Mohamad[[Muhammad Saleh''']].<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2012)" /><ref name="Suryadinata (2015)" /> Ia akhirnya meninggal di Semarang pada tanggal 17 Juni 1970.<ref name="Setyautama (2008)" /><ref name="Suryadinata (2012)" /><ref name="Suryadinata (2015)" />
 
==Lihat pula==