Boenga Roos dari Tjikembang (novel): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Dnberg0503 (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
(22 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 2:
{{Infobox book
| name = Boenga Roos dari Tjikembang
| image =
| image_caption = Cetakan kedua, 1930
| author = [[Kwee Tek Hoay]]
Baris 28:
| followed_by =
}}
'''''Boenga Roos Dari Tjikembang''''' ([[EYD]]: '''Bunga Roos Dari Cikembang''') adalah novel ber[[Bahasa dagang dan kreol Melayu|bahasa Melayu rendah]] tahun 1927 yang ditulis oleh [[Kwee Tek Hoay]]. Buku tujuh belas bab ini menceritakan seorang manajer perkebunan bernama Oh Aij Tjeng ([[EYD]]: Oh
Terinspirasi oleh lirik lagu ber[[bahasa Inggris]] "''If Those Lips Could Only Speak''" ({{lang-id|"Jika Bibir Itu Dapat Berbicara"}}) dan [[sandiwara]] "''[[Impian di Tengah Musim]]''" karya [[William Shakespeare]], ''Boenga Roos Bahasa Dari Tjikembang'' awalnya ditulis sebagai cerita garis besar untuk grup drama panggung Union Dalia. Kwee mencampurkan beberapa bahasa lainnya, khususnya [[bahasa Belanda|Belanda]], [[Bahasa Sunda|Sunda]], dan Inggris; ia memasukkan dua kutipan dari puisi bahasa Inggris dan satu lagi dari lagu bahasa Inggris. Novel ini telah ditafsirkan berbagai sebagai suatu promosi [[teosofi]], sebuah risalah pada konsep [[reinkarnasi]] [[Buddhisme]], panggilan untuk pendidikan, sebuah ode penghormatan untuk para ''[[nyai]]'', dan kecaman terhadap bagaimana mereka diperlakukan kala itu.
Novel ini awalnya diterbitkan sebagai [[cerita bersambung]] di majalah ''Panorama'' milik Kwee; cerita ini segera terbukti menjadi karyanya yang paling populer. Tahun 1930 telah ditemukan beberapa adaptasi drama panggung yang tidak resmi, sehingga membuat Kwee meminta para pembacanya
== Alur ==
Oh Aij Tjeng adalah seorang pria [[Tionghoa Indonesia|Tionghoa]] muda yang mengelola sebuah perkebunan di [[Jawa Barat]]. Dia tinggal di sana dengan ''[[nyai]]''-nya, seorang wanita [[Suku Sunda|Sunda]] bernama Marsiti. Keduanya sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia selamanya. Namun, tidak lama setelah itu, ayah
Tidak lama kemudian Keng Djim memanggil Aij Tjeng dan Gwat Nio menjelang kematiannya, di mana ia mengaku bahwa ia baru-baru ini mengetahui bahwa Marsiti adalah putrinya dari ''nyai''-nya, seorang [[pribumi]] yang dimilikinya saat muda, dan bahwa Marsiti baru saja meninggal. Dengan demikian, ia sangat menyesal bahwa ia dan Pin Loh telah mengusirnya dari perkebunannya. Keng Djim mengisyaratkan bahwa dia mempunyai rahasia lain untuk dibagikan,
Delapan belas tahun kemudian, Lily, putri Aij Tjeng dan Gwat Nio, bertunangan dengan seorang pemuda Tionghoa kaya bernama Sim Bian Koen. Lily, meskipun cantik dan berbakat, terobsesi dengan kematian dan kesedihan; dia sangat mempercayai bahwa dia ditakdirkan untuk mati muda. Dia akhirnya memberitahu Bian Koen untuk menemukan tunangan lain karena ia akan segera meninggalkan dia. Ia jatuh sakit tak lama kemudian, dan dokter tidak dapat menyelamatkannya. Hal ini mendorong Bian Koen mempertimbangkan bunuh diri, sehingga Aij Tjeng dan Gwat Nio mengalami kesedihan dan goncangan psikologis.
Baris 47:
Lima tahun kemudian, Bian Koen dan Roosminah tinggal di Gunung Mulia dengan dua anak mereka. Saat Aij Tjeng dan Gwat Nio mengunjungi, putri mereka, Elsy (dibimbing oleh roh Marsiti) membawakan mereka bunga dari pohon yang telah ditanam Marsiti. Keluarga tersebut menganggapnya sebagai tanda cintanya.
== Penulisan ==
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' ditulis oleh jurnalis [[Kwee Tek Hoay]]. Lahir dari seorang pedagang tekstil etnis Tionghoa dan istri pribuminya,{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=273}} Kwee dibesarkan dalam [[budaya Tionghoa]] dan sekolah yang berfokus pada modernitas. Pada saat ia menulis novel ini, Kwee adalah seorang pendukung aktif teologi [[Buddhisme]]. Namun, ia juga banyak menulis tentang tema yang berkaitan dengan pribumi{{sfn|JCG, Kwee Tek Hoay}} dan adalah seorang pengamat sosial yang tajam.{{sfn|The Jakarta Post 2000, Chinese-Indonesian writers}} Kwee banyak membaca dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Melayu; Ia mendapat banyak pengaruh dari bacaan-bacaan ini setelah menjadi penulis.{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}} Novel pertamanya, ''Djadi Korbannja "Perempoean Hina"'', diterbitkan pada tahun 1924.{{sfn|Sumardjo|1989|p=92}}
Baris 54:
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' dibagi menjadi tujuh belas bab{{sfn|Kwee|1930|p=100}} dan cetakan pertama panjangnya 157 halaman.{{sfn|Sidharta|1989|p=307}} Dengan demikian, novel ini jauh lebih pendek dari beberapa karya lain Kwee. ''[[Drama Dari Merapi]]'' panjangnya 620 halaman, sementara ''[[Drama di Boven Digoel]]'', karya terpanjangnya, adalah 718 halaman.{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=273}} Penterjemah George A. Fowler menulis bahwa, dibandingkan karya tulis yang diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]], buku ini tidak mengalami [[penyuntingan salinan]] profesional sebelum publikasinya; ini adalah umum untuk karya [[sastra Melayu Tionghoa]] kala itu, yang "tidak pernah, atau memang menginginkan filter 'selera sastra' editor Eropa yang korektif dan preskriptif".{{sfn|Fowler|2013b|p=xxix}}
== Gaya penulisan ==
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' ditulis dalam bahasa [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|Melayu rendah]], karena umum untuk karya-karya penulis kontemporer Tionghoa di [[Hindia Belanda]].{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}} Kritikus sastra Indonesia [[Jakob Sumardjo]] menulis bahwa dengan penggunaan bahasa ini oleh Kwee, yang umum dalam masyarakat kontemporer kala itu, karya ini adalah lebih "modern" dibandingkan sebagian besar publikasi Balai Pustaka yang lebih formal, mungkin dengan perkecualian ''[[Salah Asuhan]]'' karya [[Abdoel Moeis]] (yang diterbitkan pada tahun berikutnya): karya ini tetap fokus pada peristiwa penting, yang diperlukan untuk memajukan cerita secara keseluruhan.{{sfn|Sumardjo|1989|p=101}} Buku ini menggunakan kata-kata non-Melayu dengan biasa: Sumardjo menghitung 87 kata-kata [[bahasa Belanda]], 60 dari [[bahasa Sunda]], dan 14 dari [[bahasa Inggris]].{{sfn|Sumardjo|1989|p=120}}
Baris 87:
|}
== Tema novel ==
Dalam kata pengantarnya, Kwee menulis bahwa ''Boenga Roos dari Tjikembang'' dimaksudkan untuk membawa pembacanya untuk mempertimbangkan bagaimana nasib sering bertentangan dengan keinginan-keinginan mereka yang terlibat.{{sfn|Kwee|2001|p=300}} Namun pembacaan secara kritis telah menciptakan beragam pendapat. Sidharta mencatat bahwa buku ini penuh dengan mistisisme yang umum pada waktu itu,{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}} begitu pula ahli kebudayaan Tionghoa John Kwee yang menyebutkan empat contoh: mimpi Marsiti, yang kemudian terbukti menjadi nyata bak ramalan, di mana ia secara paksa dipisahkan dari Aij Tjeng meskipun dia terikat janjinya bahwa mereka tak akan pernah berpisah; sebuah ide tentang bersatu-kembalinya seseorang dengan orang yang dicintai setelah kematian; roh Marsiti yang menghadiri pernikahan putrinya, dan adegan menjelang akhir novel ini di mana roh Marsiti memandu putri Roosminah untuk memetik bunga untuk Aij Tjeng dan Gwat Nio.{{sfn|Kwee|1989|pp=178–179}} Sutedja-Liem, dalam nada yang sama, menekankan kekuatan mistis yang tampaknya dimiliki Marsiti. Dia menyimpulkan bahwa pengabaian [[Realisme sastra|realisme]] ini memberikan buku ini (yang mengandung pesan "modern"), sebagai "anti-modern".{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=269}} [[Nio Joe Lan]], dalam buku sejarah sastra Melayu Tionghoa yang ditulisnya, mencatat bahwa Kwee adalah satu-satunya penulis roman dari etnis Tionghoa di Hindia Belanda yang juga menulis tentang [[filsafat Timur]] (terutama [[filsafat
Berprinsip pada hal ini, Eric Oey dari ''[[University of California, Berkeley]]'', menulis bahwa mistisisme novel ini terbangun menjadi sebuah promosi [[teosofi]] dan idealisme [[Buddhisme]]: Aij Tjeng dan Gwat Nio terjun dalam keduanya, yang kemudian meninggalkan kehidupan materialistik mereka untuk menjadi lebih spiritual. Pada akhirnya, ia menulis, konsep tentang [[reinkarnasi]] diajukan ketika Roosminah ditemukan setelah kematian Lily.{{sfn|Oey|1989|pp=246–247}} Faruk dari [[Universitas Gadjah Mada]] juga mencatat konsep reinkarnasi novel ini, dengan penekanan yang diulang pada hubungan paralel (baik fisik dan psikologis) di antara saudara se-ayah; Marsiti dan Gwat Nio, begitu pula Lily dan Roosminah.{{sfn|Faruk|2007|pp=264–266}} Ahli kebudayaan Tionghoa [[Myra Sidharta]], berdasarkan keterkaitan yang sama antara Marsiti dan Gwat Nio, tidak berpendapat mengenai ide reinkarnasi, melainkan menulis bahwa hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam cinta seorang ''[[nyai]]'' dan seorang istri yang dinikahi secara resmi.{{sfn|Sidharta|1989|pp=75–76}}
Sumardjo menulis bahwa novel ini adalah sebuah [[ode]] penghormatan untuk para ''nyai'', mengutip kesetiaan Marsiti pada Aij Tjeng dan kemurnian tujuan Marsiti dalam hal ini. Ketika kuburan Marsiti di Cikembang dipindahkan ke Batavia, dengan ruang-ruang kosong di kedua sisinya untuk Aij Tjeng dan Gwat Nio, Marsiti pada akhirnya diakui atas pengabdiannya. Sumardjo menemukan kritikan halus kepada orang-orang Belanda dan Tionghoa kala itu yang menyimpan ''nyai'', menunjukkan bahwa pada kala itu perempuan
Sidharta berpendapat bahwa novel ini ditulis sebagai argumen bahwa [[keabsahan (hukum)|anak-anak tidak sah]] dari para ''nyai'' pun mampu berkembang normal layaknya manusia pada umumnya, bila mendapat pendidikan yang layak.{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}} Sutedja-Liem juga menemukan bahwa kebutuhan akan pendidikan (termasuk pemahaman tentang musik) adalah sesuatu yang tersirat dan ditemukan dalam novel ini. Namun, tidak seperti Sidharta, dia menganggap pesan ini diarahkan tidak hanya pada anak-anak para ''nyai'', tetapi wanita pada umumnya.{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=271}} Bahwa hanya dengan mendapat pendidikan dan mengikuti [[etiket]] Tinghoa dan Eropa lah seorang perempuan dapat dianggap benar-benar "modern".{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=273}}
== Sejarah penerbitan ==
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' awalnya diterbitkan pada tahun 1927, sebagai [[cerita bersambung]] di majalah ''Panorama'' milik Kwee, berjalan dari bulan Maret sampai September.{{sfn|Sidharta|1989|p=307}} Cerita ini disusun sebagai buku di akhir tahun tersebut dan diterbitkan oleh ''Hoa Siang In Kiok''.{{sfn|Sidharta|1989|p=307}} Cetakan ini, dengan slogan "Roh manoesia djadi mateng dalem tangis / ''The soul ripens in tears''" di sampulnya,{{sfn|Sumardjo|1989|p=101}} terjual habis.{{sfn|Kwee|1930|p=IV}} Namun, Kwee berpendapat bahwa "pekerjaan mengarang cerita Melayu ... tidak memberi hasil yang cukup untuk hidup" .{{efn|Asli: "''... pakerdjaan mengarang tjerita Melajoe ... tida membri hatsil jang bole dipake idoep.''"}}{{sfn|Kwee|1930|p=II}}
Buku ini kemudian terbukti menjadi salah satu novel Kwee yang paling populer
Beberapa terjemahan novel ini telah dibuat. Pada tahun 2007 ''Boenga Roos Dari Tjikembang'' diterjemahkan ke bahasa Belanda sebagai ''De roos uit Tjikembang'' oleh Sutedja-Liem; edisi ini diterbitkan oleh [[Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde|KITLV]].{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=269}} Pada tahun 2013 [[Yayasan Lontar]] menerbitkan sebuah terjemahan bahasa Inggris oleh Fowler dengan judul ''The Rose of Cikembang''.{{sfn|Kwee|Fowler|2013|p=cover}}
== Tanggapan ==
[[
Pertunjukan panggung dan adaptasi dari ''Boenga Roos dari Tjikembang'' dimulai sebelum novel ini selesai, dimulai dengan penampilan grup sandiwara Union Dalia pada tahun 1927.{{sfn|Kwee|2001|pp=298–299}} Pada tahun 1930 banyak grup-grup sandiwara pribumi dan etnis Tionghoa telah menampilkan cerita ini;{{sfn|Kwee|1930|p=II}} beberapa mendapat bantuan langsung dari Kwee.{{sfn|Kwee|1989|p=172}} Meskipun pertunjukan-pertunjukan panggung ini kadang-kadang diakui sebagai penyebab kesuksesan novel ini, Kwee mengabaikan ide ini, menulis bahwa dua media tersebut adalah berbeda dan, dalam adaptasi-adaptasi, perubahan diperlukan. Dia mencatat kecenderungan kelompok-kelompok pribumi untuk menekankan peran Marsiti sebagai salah satu perubahan tersebut{{sfn|Kwee|1930|p=II}}, begitu pula adaptasi-adaptasi lainnya - kecuali yang ditampilkan oleh [[Dardanella]] - sebagai berkualitas buruk; ia menulis bahwa mereka umumnya tidak membayar dia untuk hak dalam menggunakan cerita tersebut. Pada edisi tahun 1930 Kwee meminta pembaca untuk menginformasikan ''Panorama'' tentang setiap pertunjukan ilegal, untuk membantu dia menegakkan hak ciptanya.{{sfn|Kwee|1930|p=III}} Sandiwara panggung karya ini berlanjut sampai tahun 2000-an.<ref>Lihat,
Novel ini telah dua kali diadaptasi sebagai film layar lebar. Adaptasi pertama, ''[[Boenga Roos dari Tjikembang (film 1931)|Boenga Roos dari Tjikembang]]'' dirilis pada tahun 1931 dan disutradarai oleh [[The Teng Chun]].{{sfn|Filmindonesia.or.id, Boenga Roos}} Ahli kebudayaan Tionghoa [[Leo Suryadinata]] memberikan gelar untuk film ini sebagai [[film suara]] pertama yang [[Daftar film Hindia Belanda|diproduksi di dalam negeri di Hindia Belanda]],{{sfn|Suryadinata|1995|p=43}} meskipun sejarawan film [[Misbach Yusa Biran]] berpendapat ada film suara [[Karnadi Anemer Bangkong|dalam negeri lainnya]] yang dirilis pada tahun 1930.{{sfn|Biran|2009|p=137}} Pada tahun 1975 sebuah adaptasi lainnya dibuat oleh [[Fred Young]] dengan judul ''[[Bunga Roos]]'', mengikuti [[Ejaan Yang Disempurnakan]]. Meskipun garis besar utama ceritanya tetap sama, beberapa nama tokoh Tionghoa di-Indonesiakan. Oh Aij Tjeng, misalnya, berganti nama menjadi Wiranta, sementara Gwat Nio diubah menjadi Salmah.{{sfn|Filmindonesia.or.id, Bunga Roos}}
Nio menguraikan buku ini sebagai "cerita tragis yang indah"{{efn|Asli: "''... tjerita tragis jang indah''"}} yang "menawan hati."{{sfn|Nio|1962|pp=31, 77}} Fowler menulis bahwa cinta antara Aij Tjeng dan Marsiti ditangani dengan "kehalusan dan kelembutan yang tidak biasa" walaupun adanya pengucilan sosial yang dihadapi oleh para "nyai" kala itu.{{sfn|Fowler|2013a|p=xxvi}} Peneliti sastra Indonesia Jakob Sumardjo menulis bahwa, meskipun dalam kebanyakan karyanya, Kwee tampaknya sangat mengedepankan sudut pandangnya pada pembacanya sampai ke titik di mana "merobek keseimbangan struktural novel", cacat ini tidak hadir dalam ''Boenga Roos dari Tjikembang''; melainkan Sumardjo menemukan novel ini "''... benar-benar bagus dalam bentuk dan tekniknya, meskipun dari segi gagasan mungkin tidak begitu besar artinya.''"{{sfn|Sumardjo|1989|p=99}}
Novel ini, seperti halnya dengan semua hasil karya tulis dalam [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|bahasa Melayu rendah]] kala itu, belum dianggap sebagai bagian dari kanon sastra Indonesia.{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}} Dalam tesis doktoratnya, J. Francisco B. Benitez berpendapat mengenai penyebab sosio-politik hal ini. Pemerintah kolonial Belanda kala itu menggunakan [[Bahasa Melayu|bahasa Melayu tinggi]] sebagai "bahasa administrasi", bahasa untuk urusan sehari-hari, sementara kaum nasionalis Indonesia lalu menyesuaikan bahasa ini untuk membantu membangun sebuah budaya nasional. Sastra Melayu Tionghoa, yang ditulis dalam Melayu "rendah" kemudian menjadi kian terpinggirkan.{{sfn|Benitez|2004|pp=82–83}} Namun Sumardjo melihat pertanyaan tentang klasifikasi: meskipun Melayu rendah adalah [[lingua franca]] Hindia Belanda kala itu, bahasa ini bukan bahasa Indonesia, dan karena itu, ia bertanya apakah karya dalam bahasa Melayu rendah harus diklasifikasikan sebagai sastra lokal, sastra Indonesia, atau hanya sastra Melayu Tionghoa.{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}}
== Catatan kaki ==
{{notelist}}
== Referensi ==
{{reflist|30em}}
==
{{refbegin|40em}}
* {{cite thesis
|url=http://sunzi.lib.hku.hk/ER/detail/hkul/3516232
|type=Ph.D. thesis
Baris 131 ⟶ 132:
|year=2004
|ref=harv
}}
* {{cite book
}}
* {{cite web
Baris 152 ⟶ 153:
| location = Jakarta
| accessdate = 22 Juli 2012
| archiveurl =
| archivedate =
| ref = {{sfnRef|Filmindonesia.or.id, Boenga Roos}}
| dead-url = no
}}
* {{cite web
Baris 164 ⟶ 166:
| location = Jakarta
| accessdate = 7 Oktober 2012
| archiveurl =
| archivedate =
| ref = {{sfnRef|Filmindonesia.or.id, Bunga Roos}}
| dead-url = no
}}
* {{cite news
|dead-url=no
}}
* {{Cite book
}}
* {{Cite book
}}
* {{Cite book
}}
* {{cite book
}}
* {{Cite book
}}
* {{cite book
}}
* {{Cite book
}}
* {{cite web
|url=http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1555/Kwee-Tek-Hoay
|title=Kwee Tek Hoay
|language=Indonesia
|accessdate=11 Maret 2013
|archivedate=
|archiveurl=
|work=Ensiklopedi Jakarta
|publisher=Pemerintah Kota Jakarta
|ref={{sfnRef|JCG, Kwee Tek Hoay}}
|dead-url=yes
}}
* {{Cite book
|title=Sastera Indonesia-Tionghoa
|trans_title=
|language=Indonesia
|oclc=3094508
|ref=harv
|publisher=Gunung Agung
|location=Jakarta
|author1=Nio
|first1=Joe Lan
|year=1962
}}
* {{
|last=Oey
|first=Eric
|chapter=Santapan Rohani Tulisan-tulisan Keagamaan Kwee Tek Hoay
|trans_chapter=
|language=Indonesia
|title=100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena
|trans_title=
|editor-last=Sidharta
|editor-first=Myra
|isbn=978-979-416-040-4
|year=1989
|pages=220–253
|publisher=Sinar Harapan
|location=Jakarta
|ref=harv
}}
* {{cite
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/31/remembering-overlooked-auteur.html/
|title=Remembering an overlooked auteur
|work=[[The Jakarta Post]]
|last=Ramsay
|first=Deanna
|accessdate=18 Februari 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/6F2eLivUx?url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/31/remembering-overlooked-auteur.html
|archivedate=2013-03-11
|ref={{sfnRef|The Jakarta Post 2012, Remembering}}
|date=31 Januari 2012
|dead-url=no
}}
* {{cite
|last=Sidharta
|first=Myra
|chapter=Bunga-Bunga di Taman Mustika: Pandangan Kwee Tek Hoay Terhadap Wanita dan Soal-soal Kewanitaan
|trans_chapter=
|language=Indonesia
|title=100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena
|trans_title=
|editor-last=Sidharta
|editor-first=Myra
|isbn=978-979-416-040-4
|year=1989
|pages=55–82
|publisher=Sinar Harapan
|location=Jakarta
|ref=harv
}}
* {{cite book
}}
* {{cite book
|pages=323–348
|title=Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia
|trans_title=
|publisher=Grasindo
|location=Jakarta
|editor1-first=Leo
|editor1-last=Suryadinata
|editor1-link=Leo Suryadinata
}}
* {{cite book
|volume=2
|isbn=978-979-9023-45-2
|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia
|location=Jakarta
|year=2001
|editor1-last=A.S.
|editor2-first=Pax
|editor2-last=Benedanto
|ref=harv
}}
* {{cite book
|title=100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena
|trans_title=
|editor-last=Sidharta
|editor-first=Myra
|year=1989
|pages=89–121
|publisher=Sinar Harapan
|location=Jakarta
|ref=harv
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=ch7pIrYoF3kC
|title=Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches
|isbn=978-981-3055-03-2
|last1=Suryadinata
|first1=Leo
|author1-link=Leo Suryadinata
|year=1995
|publisher=Institute of Southeast Asian Studies
|location=Singapura
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Sutedja-Liem
|first=Maya
|chapter=De Roos uit Tjikembang
|language=Belanda
|pages=269–342
|title=De Njai: Moeder van Alle Volken: 'De Roos uit Tjikembang' en Andere Verhalen
|trans_title=Sang ''Nyai'': Ibu dari Semua Orang: 'De Roos uit Tjikembang'dan Cerita Lain
|year=2007
|ref=harv
}}
{{refend}}
{{artikel pilihan}}
{{Authority control}}
[[Kategori:Novel tahun 1927]]
Baris 441 ⟶ 450:
[[Kategori:Sastra Melayu Tionghoa]]
[[Kategori:Novel oleh Kwee Tek Hoay]]
|