|kepadatan=
}}
'''Atep''' merupakanadalah salah satusebuah [[desa]] yang berada di kecamatanwilayah [[Langowan Selatan, Minahasa|Kecamatan Langowan Selatan]], Kabupaten [[Kabupaten Minahasa|Minahasa]], provinsi [[Sulawesi Utara]], [[Indonesia]].
== Pranala luar ==
{{RefDagri|2022}}
{{Langowan Selatan, Minahasa}}
{{Authority control}}
Desa Atep terletak di kilometer 13 dari kota Kecamatan Langowan dan 13 kilometer dari pantai bagian selatan. Jarak desa terdekat di sebelah utara adalah desa Manembo sekitar 10 kilomter, disebelah Selatan desa Palamba sekitar 3 kilometer, sebelah Barat desa Wongkay dan Desa Wiyaaw sekitar 3,5 kilometer, sebelah Timur desa Temboan sekitar 8 kilometer. Letak kedudukan desa Atep awalnya memanjang diatas perbukitan mengikuti jalur jalan kecamatan dengan panjang sekitar satu kilometer dan diapit oleh dua sungai yang oleh penduduk disini dinamakan Rano Katama disisi Timur dan Rano Palamba disisi Barat (Rano = Air atau Kali atau Sungai), tetapi sekarang ini dengan bertambahnya jumlah penduduk maka telah dilakukan perluasan area desa melebar kesisi kiri (Timur) dan kanan (Barat) dari rumah-rumah yang sudah ada sebelumnya. Sebagian besar rumah-rumah terbuat dari rumah kayu panggung (rumah tradisional) dan hanya sekitar 10 persen rumah yang sudah dibuat dari tembok atau beton atau rumah modrn. Jumlah penduduknya pada saat penulisan ini sekitar 5 ribu jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sekitar 9 ratus KK. Umumnya atau sekitar 80 persen penduduknya bercocok tanam atau bertani, 20 persen selebihnya sebagai guru (TK, SD dan SMP), Pendeta dan pegawai negeri (PNS) serta pegawai Swasta. Pendidikan sebagian besar hanya tamatan SD (30 persen), SMP (30 persen), SMU (20 persen) dan Perguruan Tinggi baru sekitar 20 persen. Pemimpin desa Atep adalah seorang Kepala Desa atau dikenal disini dengan sebuta Hukum Tua, seorang Hukum Tua dipilih oleh masyarakat setempat untuk setiap satu periode masa kerja (biasanya 5 tahun) yang diatur oleh Kepala Kecamatan. Seluruh penduduk desa Atep memeluk agama Kristen Protestan dibawah satu gereja yaitu GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa). Sekolah yang ada terdiri dari satu TK, dua SD (SD Negeri dan SD GMIM), satu SMP Negeri dan SMU belum tersedia sehingga harus melanjutkan di Kota Kecamatan Langowan, masyarakat sangat mengharapkan Pemda Sulut untuk mempertimbangkan adanya Sekolah SMU agar dapat membantu anak-anak usia sekolah di desa Atep dan sekitarnya (Palamba, Temboan, Wiyaaw dan Wongkay) karena setiap tahunnya terus bertambah jumlahnya, hal ini disebabkan biaya kost terlalu mahal bila harus melanjutkan ke SMU diluar desa Atep sehingga setengah dari setiap lulusan SMP tidak dapat melanjutkan ke kejenjang SMU lagi apalagi penghasilan masyarakat rata-rata cuma dari pertanian. Mengingat desa Atep terletak diatas bukit sekitar 30 meter diatas Rano Palamba dan Rano Katama, maka penduduk disini biasanya menggunakan air minum, mandi dan cuci dengan membuat air pancuran dari bambu pada mata air yang keluar disisi kali (Rano Katama dan Palamba). Wadah untuk mengambil airpun menggunakan bambu yang telah dilubangi ruasnya (biasanya tiga ruas) dengan cara dipikul. Tetapi pada tahun 1974 kepala desa (Hukum Tua waktu itu almarhum Wolter Mokalu) berinisiatif menggunakan air yang keluar dari mulut goa (namanya dikenal dengan sebutan goa Pateten), dengan gotong royong masyarakat membuat saluran air yang terbuat dari bambu melalui mulut goa Pateten, bambu yang disambung menyambung akhirnya dapat mengalirkan air bersih ke desa, walaupun hanya di pusatkan di satu tempat. Adanya air bersih ini masyarakat tak perlu lagi turun sekitar 30 meter kepancuran air. Sepuluh tahun kemudian air bersih ini dirubah, mata air yang keluar dari mulut goa Pateten dibendung dengan bak beton berukuran sepuluh kali sepuluh meter persegi dan saluran air yang awalnya menggunakan bambu atas swadaya masyarakat diganti dengan pipa besi sehingga dapat dialirkan kesemua rumah masyarakat. Goa Pateten ini berada sekita 300 meter dari letak desa Atep. Permukaan Gua berbentuk tebing curam setinggi 40 meter dari mulut goa dengan perkiraan besar mulut goa berdiameter 5 meter (bentuk bulat), konon dahulu pernah dijadikan tempat tinggal oleh orang pertama yang bakal menjadi penduduk Desa Atep sekarang ini. Dilorong lubang Gua ini terdapat beberapa rongga disisi kiri dan kanannya dengan kedalaman 6 sampai 10 meter dan ada beberapa rongga-ronga itu dibuat ruangan oleh orang jaman primitif dibuktikan dengan adanya meja dan kursih dari batu walaupun kemungkinan telah dirusak oleh masyarakat yang pernah masuk kedalam, karena tidak dilindungi. Untuk mempertahankan jumlah debit air maka pemerintah desa melalui Hukum Tuanya ditetap menjadi Hutan Lindung karena disekitar Goa Patetan tumbuh pohon-pohon hutan yang telag berdiameter 1 sampai dua meter, sehingga di area ini cocok untuk dijadikan taman rekreasi, mudah-mudahan ada pengusaha sukses yang membaca tulisan ini dan tertarik mencoba memanfaatkan area tersebut sebagai Taman Rekreasi yang pasti menurut penulis laku untuk di jual (secara kebetulan Tanah area ini adalah peninggalan kakek penulis dan diwariskan kepada orang tua penulis. Penghasilan utama dari bercocok tanam desa ini adalah Kelapa dan Cengkeh. Selibihnya Jagung dan Padi ladang serta tanaman lainnya seperti Vanila dan Cabai. Pernah masyarakat desa Atep mendapat penghasilan yang sangat tinggi akibat harga cengkeh cukup tinggi pada waktu itu, tetapi pada jaman Presiden almarhum Soeharto (sekitar awal tahun 1980an) diwajibkan penyaluran penjualan cenkeh pada satu badan yang dinamakan BPPC. Cukup diketahui bahwa melalui BPPC (wajib) harga cengkeh melorot (merosot) sampai ketingkat yang oleh masyarakat disebut tidak cukup ongkos, sehingga dengan rasa tidak puas masyarakat nekad menebang sebagian besar dari pohon cengkeh mereka dan dijadikan kayu bakar. Masyarakat menfokuskan pada tanama kelapa yang dijadikan Kopra (bauh Kelapa yang sudah tua dikeringkan) karena harga kopra tetap stabil. Namun dengan semakin melonjaknya harga-harga khusus sandang pangan, maka hasil pertanian selain cengkeh tidak lagi mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak mereka, sehingga hampir sebagia besar masyarakat beralih membuat Cap Tikus (semacam minuman dari arak). Cap Tikus dihasilkan dari penyulingan air nira (disini disebut Saguer), masyarakat akhirnya beramai-ramai menanam pohon nira (saguer) sampai dikenal sekabupaten bahwa desa Atep penghasil Cap Tikus. Akibat adanya Cap Tikus mulai dari anak-anak sampai orang dewasa (lelaki semuanya) menjadi peminum Cap Tikus dan mabuk-mabuk yang pada akhirnya menimbulkan kejahatan pembunuhan dan pengrusakan fasilitas desa seperti lampu penerangan jalan, tanaman hias dan pagar rumah. Seharusnya penghasilan Cap Tikus dijual ke pabrik pembuat anggur dan minuman keras lainnya sebagai menambah perekonomian desa, tetapi justeru sudah disalah gunakan karena Cap Tikus dapat dikonsumsi oleh peminum tanpa harus dibuat minuman pabrik. Sedikit mengenai cara produksi Cap Tikus yaitu dibuat Drum yang diatasnya atau tutup drum dilubangi dan diletakan bambu yang telah dilubangi ruas-ruasnya, dari bambu yang menempel pada drum disambungakan dengan bambu sebanyak 3 bambu lagi, panjang setiap bambu sekitar tujuh meter setiap sambungan mulai dari drum ditutup rapat tidak boleh ada udara masuk, drum diletakan diatas pembakaran, drum yang sudah siap di isi dengan saguar sebanyak 60 persen dan isi drum, kemudian dimasak dengan menggunakan kayu bakar sampai mendidih dan uapnya mengalir (disuling) melalui bambu yang terhudung pada drum itu, diujung bambu penghubung ditampun pada wadah yang telah disiapkan, setiap kali memasak saguer hanya dapat diambil uapnya sebanyak 15 liter Cap Tikus, sebab jika lebih dari 15 liter ukuran kadarnya kurang dari 40 derajat (bentuk pengukur seperti silinder kecil). Kurang dari 40 derajat tidak laku lagi untuk dijual ke pabrik minuman. Cara pembuatan Cap Tikus sangat tradisional, padahal kalau saja dibuatkan seperti pabrik modern dengan menggunakan penyulingan dari besi seperti pabrik penyulingan bahan-bahan kimia cair yang kita kenal saat ini, tidak perlu menggunakan kayu bakar yang sangat merusak lingkungan. Pabrik penyulingan modern mungkin dapat menggunakan panas listrik atau panas dari Gas. Keuntungan dari pabrik modern tidak merusak lingkungan karena tidak menggunakan kayu bakar dan tidak berasap dan masyarakat tidak perlu membuat sendiri, tetapi cukup dengan menjual saguer yang dipanennya dari pohon nira dan yang paling penting adalah pabrik langsung menjualnya ke tempat-tempat yang di izinkan pihak yang berwajib untuk penjualan minuman keras, sehingga mengurangi masyarakat bermabuk-mabukan (semoga ada pengusaha yang tergerak hatinya)..........bersambung
▲{{ kelurahanKelurahan-stub}}
|