Carok: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Syaf Anton (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(25 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{untuk|makna laindisambiginfo|Carok (disambiguasi)}}
'''Carok''' adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh masyarakat [[Suku Madura|Madura]] untuk mempertahankan harga diri dari pelecehan orang lain.{{Sfn|Djatmiko|2019|p=42}} Penyebab utamanya yaitu terjadinya pelecehan terhadap istri orang lain atau sengketa tanah dan [[sumber daya alam]].{{Sfn|Djatmiko|2019|p=42–43}} Carok dilakukan dengan dua cara, yaitu ''ngonggai'' dan ''nyelep''.{{Sfn|Hastijanti|2005|p=11}} Senjata yang digunakan hanya [[Sabit|celurit]].{{Sfn|Djatmiko|2019|p=41–42}} Persyaratan melakukan Carok yaitu ''kadigdajan'', ''tampeng sereng'', dan ''banda.{{Sfn|Hastijanti|2005|p=11}}''
 
'''Carok''' merupakan tradisi bertarung yang disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan [[harga diri]] kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan <ref>http://www.surya.co.id/2009/06/23/carok-satu-lawan-dua.html Carok Satu Lawan Dua</ref> dengan menggunakan senjata (biasanya [[celurit]]). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan [[kriminal]] serta melanggar hukum. Ini merupakan cara [[suku Madura]] dalam mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik.
 
Biasanya, "carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga)
 
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran [[agama]] meski suku Madura sendiri kental dengan agama [[Islam]] pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok.{{fact}}
 
Pada tanggal [[13 Juli]] [[2006]], tujuh orang tewas dan tiga orang luka berat akibat carok massal di [[Bujur Tengah, Batu Marmar, Pamekasan|Desa Bujur Tengah]], [[Batu Marmar, Pamekasan|Kecamatan Batu Marmar]], [[Kabupaten Pamekasan]], [[Pulau Madura|Madura]], [[Jawa Timur]]. Jumlah korban diduga masih akan bertambah, karena banyak korban yang melarikan diri meskipun dalam keadaan luka.
 
== Etimologi ==
Kata ''carok'' sendiri berasal dari [[bahasa Madura]] yang berarti 'bertarung atas nama kehormatan'.
 
== Sejarah Carok ==
Carok dan [[celurit]] laksana dua sisi [[mata uang]]. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang [[Madura]] sejak zaman [[penjajahan Belanda]] abad ke-18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).
 
Pada zaman [[Cakraningrat]], [[Jokotole]] dan [[Panembahan Semolo]] di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan [[pedang]] atau [[keris]]. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda [[Pak Sakera]], seorang mandor [[tebu]] dari [[Pasuruan]] yang hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.
 
Carok dalam bahasa [[Kawi]] Kuno artinya perkelahian. Pertengkaran tersebut biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan sering terjadi antar penduduk desa di [[Kabupaten Bangkalan|Bangkalan]], [[Kabupaten Sampang|Sampang]], dan [[Kabupaten Pamekasan|Pamekasan]]. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Jokotole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra [[Sunan Kudus]] di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.
 
Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakera tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu.
 
Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum Blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena dia adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri.
 
Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit.
 
Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.
 
== Carok: Hak, Harga Diri dan Wanita ==
 
Tiang penyangga kuatnya tradisi Madura tak lepas dari prinsip “ Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “ maksudnya lebih baik mati daripada menanggung malu. Ungkapan ini berlaku untuk mempertahankan martabat, hak dan harga diri sebagai orang Madura. Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas dari permasalahan lingkungan dan wanita.
 
Dan tentang wanita sendiri, bagi laki-laki Madura mendapat tempat tertinggi, karena dari wanitalah kaum pria di Madura menjadi lebih bersemangat, dan dari kaum wanita pula dapat menimbulkan pembunuhan. Karena tingginya kedudukan wanita Madura, maka kaum wanita khususnya para gadis dikonotasikan dengan perlambang melati. Maka tak heran falsafah melati menjadi pujian bagi orang-orang tua Madura dengan ucapan “duh tang malate”, ta’ gegger polana ojen, ban ta’ elop polana panas are”, artinya; oh melatiku, yang tak gugur karena hujan dan tak layu karena panas matahari.
 
Jadi kalaupun dalam suatu peristiwa carok lantaran wanita hal itu telah merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan linkungan yang dijajah atau diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan permasalahan irigasi yang merupakan penentu kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Karena hanya air yang menjadikan mereka dapat bertahan.
 
Tapi dalam kondisi yang lain, peranan wanita Madura dibandingkan dengan kaum pria belum seluas sebagaimana peran-peran yang dilakukan wanita-wanita kota besar, meskipun pada dasarnya wanita Madura telah mengenal persamaan hak dan kewajiban dengan suami. Atau dengan kata lain bisa disebut semacam emansipasi pembawaan naluri. Seorang istri mampunyai peran dan tanggung jawab yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Mereka bersama-sama turun ke lading membanting tulang dan memeras keringat hingga “ agili pello koneng “ (mengalir keringat kuning), maksudnya bekerja keras sampai tuntas. Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga dimana saja sang suami membanting tulang.
 
Namun satu kelebihan wanita Madura, tugas-tugas yang lain, baik sebagai ibu dari anak-anaknya maupun sebagai pendamping suami dari menyiapkan makan dan minum maupun tetek bengek lainnya, sang istri akan selalu setia melayani. Tetapi di dalam persamaan hak tersebut, wanita Madura menurut tradisi harus selalu hidup dibawah kekuasaan pria (suami). Artinya wanita Madura harus tunduk, patuh, taat dan menyerah pada kemauan suami dan tidak dibenarkan untuk menolak maupun membantah. Bahkan untuk menentukan perkawinan diteruskan atau diputuskan. Dan apabila suami tidak mampu memberikan keturunan, biasanya sang suami mengambil inisiatif untuk menalak atau kawin lagi dengan alas an demi meneruskan keturunan.
 
Demikian pula sebaliknya sang suami tidak akan merestui bila istri berkehendak minta cerai. Kecuali bila suami melepaskan dengan suka rela. Tapi hal itu jarang dan sulit terjadi, karena menyangkut prestise dan harga diri sebagai laki-laki yang harus dipertahankan. Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat buruk dan berkepanjangan, terutama kalau perkawinan terjadi antar keluarga. Hubungan keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain bila suatu ketika bekas istrinya kawin lagi dengan pria lain, maka tak ayal akan terjadi dan timbul permusuhan, cemburu dan sakit hati bekas suaminya. Apalagi dikemudian hari bekas istri menemukan kebahagiaan lain.
 
Pada prinsipnya, suami Madura biasanya bersikap keras dan tegas dalam membela kehormatan dan kesudian istrinya. Dan umumnya pangkal utama timbulnya perselisihan dari kaum wanita. Sehingga tak heran timbulnya carok, kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran bekas istri dilamar atau dikawin dengan laki-laki lain.
 
Terkadang konflik antara dua orang biasanya merembet melibatkan orang lain, antar keluarga, kerabat bahkan sampai melibatkan semua penduduk kampong. Peristiwa carok antar kampong yang cukup mengerikan pernah terjadi beberapa tahun lampau, tepatnya di Bangkalan. Carok missal itu terjadi antara penduduk desa Bilaporah dengan penduduk Jodih saling berhadapan dengan clurit ditangan. Dan akibatnya 5 orang tewas serta beberapa puluh lainnya luka-luka parah. Kejadian ini sempat menggegerkan masyarakat Bangkalan khususnya, hingga membuat Bupati, Polisi, Tentara dan para ulama prihatin dan turun tangan. Dan banyak contoh-contoh lain yang kerap terjadi peristiwa carok di pulau Madura maupun daerah-daerah lain di Jawa yang kebanyakan dilator belakangi oleh adat istiadat yang dibawa dari Madura.
 
Beberapa pendapat mengatakan, pengertian carok sebenarnya duel antara satu melawan satu. Itupun dilakukan dengan unsure sengaja. Artinya kemampuan dan ketinggian ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan diketahui bila tanpa dibuktikan dilapangan. Jadi bila seseorang telah memungkinkan untuk menjajal ketinggian ilmunya, maka biasanya ia dengan sengaja mengganggu ketentraman orang lain, baik mengganggu keluarga maupun istri seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan ilmu yang setara. Bila tak heran akan memancing dan merangsang emosi pihak yang keluarganya diganggu untuk menantang carok. Nah saat itu pula mereka mengadakan perjanjian menetukan waktu dan tempat bertarung dengan disaksikan beberapa orang/tokoh yang lain.
 
Sementara pendapat yang lain mengatakan, carok pada awalnya merupakan suatu bentuk permainan pentas yang dilakukan masyarakat Madura tradisional. Menurut cerita, pentas semacam itu tiap-tiap daerah mempunyai nama tersendiri. Di daerah Sampang menyebut “karja” di Pamekasan menyebut “ salabadan”, sedang di Sumenep disebut “pojian”.
 
Pentas semacam tersebut digelar dalam bentuk teater arena (semacam Lenong Rumpi). Jadi antara pelaku dan penonton tidak ada jarak, mereka bergantian tampil sesuai dengan karakter masing-masing dengan diiringi “saronen”, yaitu sejenis tabuhan yang biasa dialunkan sebagai pengiring kerapan sapi atau hajat lainnya, merupakan jenis music tradisional Madura.
 
Dalam gelar tersebut biasanya menampilkan nama-nama tokoh artificial sebagai pengantar cerita kepahlawanan yang menggambarkan tokoh-tokoh Madura seperti Sakerah, Ke’ Lesap dan sebagainya. Dalam babak tersebut diperagakan suatu bentuk perkelahian sebagai klimaks cerita.
 
Bahkan pernah sampai terjadi perkelahian sungguhan, dan mengakibatkan salah seorang diantaranya tewas. Melihat latar belakang peristiwa tersebut, karena orang-orang Madura telah kadung di klaim sebagai orang yang berwatak keras, bringas dan “mbalelo”. Maka setiap perkelahian dan menjatuhkan korban yang dilakukan orang Madura, dianggap sebagai perkelahian carok.
 
Ironisnya, pada gilirannya masyarakat luar Madura memandang Madura sebagai wujud berindentik kekerasan dan carok. Padahal bila ditelusuri lebih jauh, justru di Madura banyak terkandung nilai-nilai luhur. Baik dari segi social budaya, social masyarakat maupun social ekonomi. Dengan demikian, prospek masyarakat Madura bak mutiara dalam bukit tanah kapur (Syaf Anton Wr).
 
== Wanita: Di Mata Orang Madura ==
 
Adat dan kepribadian orang Madura merupakan titik tolak terbentuknya watak dengan prinsip teguh yang dipengaruhi oleh karakteristik geografis daerahnya. Satu prinsip yang menjadi fenomena orang Madura, ialah dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa solidaritas kepada orang lain.
 
Sikap hidup semacam ini, menjadikan orang-orang Madura di luar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap toleran terhadap sesama. Kadang kontradiktif bila melihat penampilan fisik bila dibandingkan kenyataan hidup yang sebenarnya. Sebagai contoh, bila satu rumah tangga kedatangan tamu (apalagi tamu jauh), dapat dipastikan mereka sangat dihormati. Mereka berani berkorban untuk menjamu sang tamu, meski hanya secangkir air. Kalaupun dapat, mereka berusaha memuaskan dengan jamuan lebih, bahkan berani mencari hutang demi menghormati tamu. Tapi sebaliknya apabila penghargaan itu ditolak atau meski sedikit tidak mau dicicipi suguhannya, maka tamu tersebut berarti dianggap menginjak penghargaan tuan rumah. Dan kemungkinan semacam ini akan tumbuh benih-benih rasa benci dan dendam
 
Sebagai suku yang hidup di kepualauan, orang Madura dijaman dulu kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar. Mereka sangat berhati-hati, dan akibatnya sesuatu yang datang dari luar merupakan ancaman bagi dirinya. Meskipun pada dasarnya mereka konservatif, yakni berusaha memelihara dan menjamin nilai-nilai yang mengakar dalam dirinya. Tapi dalam segi yang lain, orang Madura menunjukkan naluri yang kuat untuk menjamin dan bertahan kelangsungan hidup, karena mereka didorong untuk menerima dan memanfaatkan nilai-nilai yang terserap dari luar.(Syaf Anton Wr)
 
'''Sekep dan Nilai Pusaka Madura'''
 
Salah satu bentuk sekep yang paling
dominan dipergunakan oleh kalangan bangsawan ialah keris pusaka. Kalangan
pencinta pusaka semacam ini terfokus diwilayah Madura bagian timur, khususnya
di Kabupaten Sumenep.
 
Bila membuka lembar sejarah pada
masa kejayaan Madura, saat pertama Prabu Kertanegara dari Singosari mengutus
dan melantik Raden Arya Wiraraja sebagai adipati Sumenep (Madura timur), pada
tahun 1269 M. Maka charisma Madura semakin terangkat ke permukaan khusunya
dimata raja-raja di Jawa. Mulai saat itu, periode kehidupan kalangan keratin
mulai berkembang, sebagai sentral terbentuknya kultur yang mengarah pada
kehidupan feodalisme artistokrat lahan “ilmu”. Dari situlah muncul ilmu-ilmu
kedigdayaan yang antara lain tersebut dalam kekuatan pusaka.
 
Banyak macam pusaka Madura
yang hingga saat masih dimiliki sebagai warisan leluhur keturunan para digdaya
di Sumenep. Antara lain yang cukup dikenal yakni pusaka keris “ si Tambi”,
“Bulu Ayam”, “Banuaju”, “Pamor Pakung”, “Si Jarum”, “Si Punjung”, “Baramma
Batu”, “ Si Banir” dan “ Se Kelap”.
 
“Se kelap”, menurut Maknoen seorang
pecinta pusaka di Sumenep merupakan diantara deretan pusaka yang cukup dikenal
masyarakat Sumenep, karena keris pusaka itu dibuat oleh seorang empu terkenal
dimasa lampau, tapi mudah ditiru oleh para pengrajin keris jaman sekarang.
Sedang “Si Tambi”, menurut riwayat punya daya melumpuhkan serangan, tanpa harus
mengorbankan nyawa. Barang siapa memiliki “Si Tambi”, keris kraton yang bergambar
kepala kuda, maka akan terjamin keselamatannya. Sebab misalnya sedang pergi
jauh dan berada ditempat yang rawan kejahatan, maka para penjahat yang
bermaksud berbuat jahat kepada pemegang pusaka itu, tak akan terlihat. Dan
dengan “Si Tambi” pula pemiliknya lebih mampu mengontrol diri untuk tidak
berbuat gegabah dan emosi.
 
Pada dasarnya tiap benda-benda
pusaka memiliki sejarah tersendiri. Dan dari sejarah itulah, sebuah benda
pusaka dapat dibedakan antara yang asli (kuno) dan tiruan. Lebih awal benda pusaka
itu dibuat, maka lebih tinggi nilai kharismatik dan kesohorannya. Itulah
mengapa para pewaris benda pusaka selalu mempertahankan keberadaannya, karena
merupakan “sangkol” yang tak mungkin dapat dipindah tangan selain kepada sanak
keturunannya kelak.
 
Sebagai contoh, sejarah keris pusaka
“Sangkelap” diciptakan oleh Empu Supo untuk Raja Mataram. Pada suatu ketika
keris pusaka hilang dari tempatnya, padahal telah dijaga ketat oleh prajurit.
 
Dalam buku Adat Budaya Sumenep
sebagai aspek Pembangunan Nyata yang disusun Syamsul Imam, menjelaskan bahwa
keris pusaka “Sangkelap” diketahui dan diincar oleh seorang pencuri sakti
bernama Macan Lurik (caloreng,Madura). Konon keris yang dicuri oleh tangan
saksi Macan Caloreng lalu dibawa lari ke Blambangan. Begitu Raja tahu keris
pusakanya hilang, maka Empu Supo diperintahkan untuk mencari.
 
Alkisah, sesuai dengan petunjuk gaib
yang diterima Empu Supo, keris pusaka itu dibawa lari kearah timur. Dan
pencarian itu segera dilakukan melewati Tuban, Bangkalan, Pamekasan, Sumenep
dan akhirnya menyebrang selat Madura wilayah Besuki Kerajaan Blambangan. Dari
perjalanan pencarian itulah, setiap daerah persinggahan Empu Supo menularkan
ilmunya kepada masyarakat setempat, antara lain disebutkan, di Pamekasan
mencipta keris “ Gerre Manjeng”, di Banuaju (Sumenep) dikenal “ Ki Gariming”,
di Karangduak (kota Sumenep) “ Ki Murkali”.
 
Jadi tak heran, hasi binaan Empu
Supo selama persinggahannya banyak menurunkan keempuannya, diantaranya selain
tempat-tempat diatas, di Aeng Tongtong wilayah Kabupaten Sumenep hingga saat
ini turunan murid-murid Empu Supo masih bertahan dalam kehidupannya sebagai
pande keris yang merupakan pengrajin terkenal di Madura.
 
Jadi tak heran, hasil binaan Empu
Supo sendiri, sesampai di Blambangan ia membuat pisau-pisau sebagai kebutuhan
rumah tangga. Hingga akhirnya didengar oleh raja Blambangan. Singkat kisah
akhirnya Raja bertitah agar dibuatkan keris serupa, setelah diketahui bahwa
keris “Se Kelap” adalah ciptaannya yang saat itu sedang dicari. Proses
pembuatan duplikat “Se Kelap” hanya dalam waktu singkat kemudian dihaturkan
kepada Raja Blambangan, yang sebenarnya adalah Macan Caloreng pencuri keris itu
yang diangkat oleh rakyat menjadi raja karena kedigdayaannya. Sedang “Se Kelap”
asli oleh Empu Supo dimasukkan kedalam paha, sejajar dengan tulang paha, dan
tidak meninggalkan bekas luka dan darah dipahanya. Demikian kisah singkat
tentang “Se Kelap”. Kebenaran atau tidaknya, Wallahua’lam. Namun demikian
sebagian orang Madura berkeyakinan bahwa setiap pusaka memiliki kelebihan yang
tidak ditangkap logika.
 
Selain keris pusaka, masih banyak
bentuk sekep-sekep lain yang juga memiliki kelebihan (kajunilan, Mdr) menurut
pemiliknya. Yang kerap dikenal dalam bentuk batu-batuan,  ayat-ayat (isim)
atau benda-benda lain yang lebih mudah dan praktis bila digunakan setiap saat.
Meski demikian, tokoh-tokoh agama mengahawatirkan, bila suatu saat pemilik
(pencinta) justru terjerumus dalam kepercayaannya pada benda.
 
Beberapa pencinta pusaka menyatakan,
bahwa keris ataupun sekep lainnya memiliki nilai multifunsional. Yaitu
disamping untuk menjaga keselamatan hidup, juga berfungsi sebagai penglaris
dalam berdagang, pertanian, perindustrian, kedudukan, kepangkatan atau
meningkatkan taraf hidup, social maupun status. Untuk itu dalam kancah modern
ini, masih tampak dibeberapa tempat tertentu (keramat) dikunjungi para pejabat
(tertentu) untuk mendapatkan wangsit atau kepada para sesepuh, dukun atau orang
yang berilmu tinggi untuk minta “bekal”, baik berupa benda maupun
amalan-amalan.
 
Keampuhan pusaka sering ditunjukkan
oleh para pelaut Madura ketika terperangkap kedatangan angin puting beliung
(ola’ taon, Mdr) yang menghadang ditengah lautan. “Ola’ taon merupakan pusaran
angin yang membentuk memanjang dari atas kebawah, seperti ular naga yang siap melumat
benda-benda apa saja yang berada dibawahnya.
 
Ola’ taon, biasanya muncul pada
akhir atau awal tahun, yaitu ketika menjelang musim pemghujan turun. Ola’ taon
ini sangat ditakuti oleh para nelayan. Sebab apabila pusaran angin tu menukik
dan menyentuh laut, maka akan terjadi pergolakan gelombang laut yang bakal
memporak-porandakan perahu atau kapal yang berlayar. Meski demikian, para awak
pada umumnya telah membekali diri untuk menghalau pusaran angin “Ola’ taon”
itu. Yaitu apabila tampak benda gas itu menghadang disekitarnya, dengan
kemampuan pusaka (biasanya berbentuk keris) lalu diarahkan pada angin raksasa
itu (tentu dengan amalannya), maka putuslah tubuh “Ola’ taon” dan berpencar
serta menghembus kearah daratan. Suatu keanehan, bila pusaran angin itu pecah,
maka tidak akan menimbulkan bahaya, baik dilaut maupun di darat.
 
Jadi makna sekep, baik dalam bentuk
senjata tajam atau bentuk benda lainnya mengandung arti luhur, bukan untuk
mencelakakan orang lain, namun semata-mata sebagai isyarat agar lebih waspada
dan hati-hati, bukan untuk bersikap sombong, egois atau gagah-gagahan
sebagaimana kerap terlihat visualisasi selama ini.
 
Sebenarnya sekep mempunyai filsafat
tersendiri, yaitu pada umumnya sekep diselipkan dipinggang dalam posisi kebawah
(merunduk), yaitu bagian yang tajam berada dibawah. Hal ini mengisyaratkan agar
pemilik (pemakai) nya selalu memperhatikan kebawah. Namun kenyataan yang sering
terlihat, justru posisi tangkai yang berada diatas, dimanfaatkan untuk
mempercepat proses pencabutan. Hal ini tentu, pihak pemakai hanya kenal wujud
dan fisiknya saja, namun belum mengerti makna dan hakekat senjata disekep.
 
Kalangan orang Madura tradisional,
mengatakan “ Tulang rusuk laki-laki barisan kiri itu kurang jumlahnya, tidak
lengkap seperti barisan tulang rusuk bagian kanan, karena sepotong tulang sudah
diambil dan dijelmakan menjadi perempuan. Untuk memenuhi kekurangan itu,
seorang laki-laki akan utuh setelah dilengkapi sekep (celurit) mirip tulang
rusuk”. (Syaf Anton Wr)
 
== Penyebab ==
Dalam masyarakat Madura, melecehkan istri dan anak orang lain merupakan hal yang memalukan bagi suaminya dan keluarganya. Masyarakat Madura menganggap istri sebagai bagian dari kehormatan laki-laki, sehingga bentuk pelecehan apapun berarti mencari kematian.{{Sfn|Supriyadi, Ardhana, dan Wahyuni|2017|p=89}} Salah satu prinsip hidup masyarakat Madura yaitu membalas sesuatu sama persis dengan perbuatan yang diterimanya. Bila ada anggota keluarga yang terbunuh, maka keluarganya juga akan membalas dengan cara yang sama. Pemenang Carok selalu menyimpan baju dan senjata lawan yang dibunuhnya dan kemudian memberikannya kepada anak dan kerabat dekat pelaku Carok yang terbunuh. Tujuannya adalah untuk membalaskan dendam atas kematiannya. Hal ini membuat Carok menjadi sesuatu yang diwariskan secara turun temurun.{{Sfn|Jufri|2017|p=16}} Dalam perkara sengketa, Carok dijadikan sebagai cara terakhir untuk menyelesaikan masalah. Pihak yang bersengketa akan mengadakan [[musyawarah]] terlebih dahulu untuk mencapai kesepakatan damai. Jika tidak terjadi kesepakatan maka Carok diterapkan.{{Sfn|Jufri|2017|p=15}}
 
== Pemaknaan ==
Dalam masyarakat Madura, Carok dimaknai sebagai bentuk mempertahankan harga diri terutama dalam perkara suami terhadap istrinya. Carok menjadi lambang kekuasaan suami terhadap istrinya sehingga terbentuk budaya berumah tangga terutama pada cara menerima tamu, cara berpakaian, dan pernikahan antar keluarga. Selain itu, Carok juga menjadi pembentuk budaya pemukiman masyarakat Madura. Dari segi [[status sosial]], Carok dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan dan melambangkan kekuatan bagi kerabat dan lingkungan sosial pelakunya. Oleh karenanya, pemenang dalam Carok akan menyimpan senjata yang dipakai untuk membunuh serta mengubur mayat lawannya di pekarangan rumah.{{Sfn|Hastijanti|2005|p=11}} Hal ini dilakukan sebagai bentuk pewarisan dendam kepada keturunan dari pelaku Carok.{{Sfn|Supriyadi, Ardhana, dan Wahyuni|2017|p=90}}
 
== Kontroversi ==
Carok menjadi kontroversial karena tingkat kekerasan yang tinggi dan risiko kematian yang melekat padanya. Pada beberapa kasus, carok tidak hanya melibatkan individu atau keluarga yang berselisih, tetapi dapat memicu pertikaian antar kelompok yang lebih besar. Selain merugikan kehidupan manusia, carok juga menciptakan ketakutan dan ketidakstabilan sosial.
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== PranalaDaftar luarpustaka ==
* A. Latief Wiyata, [http://books.google.co.id/books?id=lucgNEkfuHUC&dq=carok&printsec=frontcover&source=bl&ots=CMfCsXdfYA&sig=E5r0BVgIUnKBEPs78tPKXyTPo7c&hl=id&ei=dbJKSuiWBNK7lAeO0MTGDA&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=13 Carok: konflik kekerasan dan harga diri orang Madura &#91;BUKU&#93;]
 
* {{cite journal|last=Djatmiko, W.P.|first=|date=April 2019|title=Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal|url=https://ejournal.undip.ac.id/index.php/hukum_progresif/article/download/23612/15268|journal=Jurnal Hukum Progresif|volume=7|issue=1|pages=40–63|doi=10.14710/hp.7.1.40-63|issn=|ref={{sfnref|Djatmiko|2019}}|url-status=live}}
* Bangkalan Memory, [http://www.bangkalan-memory.net/content/view/114/147/ Menelusuri Sejarah Carok Dan Celurit ]
* {{cite journal|last=Hastijanti|first=Retno|date=Juli 2005|title=Pengaruh Ritual Carok terhadap Permukiman Tradisional Madura|url=http://dimensi.petra.ac.id/index.php/ars/article/download/16271/16263|journal=Dimensi|volume=33|issue=1|pages=9–16|doi=|issn=|ref={{sfnref|Hastijanti|2005}}|url-status=live}}
* Sejarah Carok Madura, [http://indonesiaindonesia.com/f/15122-sejarah-carok-madura/ Sejarah Carok Madura]
* {{cite journal|last=Jufri|first=Muwaffiq|date=Mei 2017|title=Nilai Keadilan dalam Budaya Carok|url=http://ejournal.unira.ac.id/index.php/yustitia/article/download/200/162|journal=Jurnal Yustitia|volume=18|issue=1|pages=13–22|doi=|issn=|ref={{sfnref|Jufri|2017}}|url-status=live}}
* Lontar Madura, [http://www.lontarmadura.com/carok-hak-harga-diri-dan-wanita//Carok: Hak, Harga Diri dan Wanita ]
* {{cite journal|last=Supriyadi, Ardhana, I.K., dan Wahyuni, A.A.A.R.|first=|date=2017|title=Pergeseran Makna Carok Bagi Masyarakat Pulau Sapudi Kabupaten Sumenep Madura 1970 – 2010|url=https://ojs.unud.ac.id/index.php/sastra/article/download/26496/16819/|journal=Humanis|volume=18|issue=2|pages=88–95|doi=|issn=2302-920X|ref={{sfnref|Supriyadi, Ardhana, dan Wahyuni|2017}}|url-status=live}}
* Lontar Madura, [http://www.lontarmadura.com/wanita-dimata-orang-madura-2/ Carok, Wanita: Harga Diri ]
 
[[Kategori:Budaya Indonesia]]
[[Kategori:Budaya Madura]]
 
[[Kategori:Madura]]
Lontar Madura, '''Sekep dan Nilai Pusaka Madura'''
 
 
{{budaya-stub}}