Kidung Sunda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Laindan (bicara | kontrib)
#1Lib1Ref #1lib1ref #1lib1refid
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(10 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[File:Bali-lontar-kidung-sunda-400ppi.pdf|thumb|Lontar Kidung Sunda.]]
'''Kidung Sunda''' adalah sebuah karya sastra dalam [[bahasa Jawa|bahasa Jawa Pertengahan]] berbentuk ''[[tembang]]'' (syair) dan naskahnya ditemukan di Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu [[Hayam Wuruk]] dari [[Majapahit]] yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian dia menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tidak disebutkan namanya. Namun patih [[Gajah Mada]] tidak suka karena [[Kerajaan Sunda|orang Sunda]]{{Citation needed}} dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit. Kemudian terjadi pertempuran yang tidak seimbang antara rombongan pengantin Sunda dengan prajurit Majapahit di pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda ikut perang sehingga gugur dalam perang.
 
== Versi kidung Sunda ==
Baris 26 ⟶ 27:
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, tetapi mereka tidak berani melawan.
 
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn, untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana dia menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji.{{Citation needed}} Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya [[vazal]]-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.{{Citation needed}}
 
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia menjadi negara bawahan Majapahit. Maka dia berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Baris 37 ⟶ 38:
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
 
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi karena kalah jumlahnya, akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian sesuai ajaran [[Hindu]] mereka melakukan belapati (bunuh diri). Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.{{Citation needed}}
 
=== Pupuh III (Sinom) ===
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
 
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.{{Citation needed}}
 
Setelah dia diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka dia mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan [[yoga]] [[samadi]]. Setelah itu dia menghilang ([[moksa]]) tak terlihat menuju ketiadaan ([[niskala]]).
Baris 49 ⟶ 50:
 
== Analisis ==
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.<ref>{{CitationCite neededbook|last=Achmad|first=Sri Wintala|date=2019|url=https://books.google.co.id/books?id=oaFCEAAAQBAJ&pg=PA200&dq=Kidung+Sunda+%22kemungkinan+besar%22&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjrmLP0ge73AhU38XMBHeLZB7QQ6AF6BAgJEAI#v=onepage&q=Kidung%20Sunda%20%22kemungkinan%20besar%22&f=false|title=PERANG BUBAT (1279) SAKA Membongkar Fakta Kerajaan Sunda Vs Majapahit|publisher=Araska Publisher|isbn=978-623-7537-19-9|language=id|url-status=live}}</ref>
 
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan [[kidung Sunda#Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.)|orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada]] bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca [[kidung Sunda#Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)|terharu]].<ref>{{CitationCite neededweb|last=cahsastrajawa|date=2017-04-17|title=Sastra Pertengahan: Mengupas Kidung Sunda|url=https://cahsastrajawa.wordpress.com/2017/04/17/sastra-pertengahan-mengupas-kidung-sunda/|website=Cah Sastra Jawa|language=id-ID|access-date=2024-01-27}}</ref>
 
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Menurut Nugroho, moksa adalah perlambang kematian.<ref name=":1">{{Cite book|title=Majapahit Peradaban Maritim|last=Nugroho|first=Irawan Djoko|year=2011|title=Majapahit Peradaban Maritim|publisher=Suluh Nuswantara Bakti|yearisbn=2011978-602-9346-00-8|isbnurl-status=9786029346008live}}</ref>{{Rp|208}} Hal ini tidak seperti sumber-sumber lainnya, seperti [[kakawin Nagarakretagama]]. Biasanya naskah Bali (kidung) diturunkan dari generasi ke generasi, secara bertahap kehilangan akurasinya dan juga mengandung hal-hal yang lebih fantastis dan menakjubkan.<ref>{{Cite book|last=Groeneveldt|first=Willem Pieter|year=1876|url=https://archive.org/details/notes-on-the-malay-archipelago/page/31/mode/2up?q=|title=Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources|location=Batavia|publisher=W. Bruining|isbn=|pages=|url-status=live}}</ref>{{Rp|31}}
 
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, sering kali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.{{Citation needed}}
Baris 59 ⟶ 60:
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, tampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan [[Dyah Pitaloka Citraresmi|Dyah Pitaloka]].{{Citation needed}}
 
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara [[Nusantara]] dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang [[Palembang]], orang [[Tumasik]] ([[Singapura]]), [[Sampit]], [[Suku Madura|Madura]], [[Bali]], Koci (?''Kawci''/''[[Jiaozhi]]'', Vietnam; atau ''[[Cochinchina]]'', Vietnam), Wandan ([[Banda, Maluku Tengah]]), Tanjungpura ([[Kabupaten Ketapang]]) dan Sawakung ([[Pulau Sebuku]]?) (contoh bait 1.54b 54dan b.65a). Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.{{Citation needed}}
 
== Penulisan ==
Baris 73 ⟶ 74:
Semua [[naskah]] kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di [[Jawa]] atau di Bali.
 
Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang [[bedil]] (senjata [[bubuk mesiu]] atau [[senjata api]]). Senjata berbasis bubuk mesiu masuk ke Indonesia sejak [[Serbuan Yuan-Mongol ke Jawa|perang Jawa-Mongol Yuan]], dimana pasukan Mongol menyerang Kediri dengan 炮 - "pào" (bahasa China untuk meriam).<ref name="Schlegel">Schlegel, Gustaaf (1902). "On the Invention and Use of Fire-Arms and Gunpowder in China, Prior to the Arrival of European". ''T'oung Pao''. 3: 1–11.</ref>{{Rp|1–2}}<ref>Lombard, Denys (2005). ''Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia''. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halaman 208.</ref><ref>Reid, Anthony (2011). ''Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global''. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Halaman 255.</ref> Meriam yangdan disebutsenjata api ([[cetbangmeriam tangan]] sudah umum) digunakan saat ekspansioleh Majapahit, tahunmeniru 1336-1350senjata Cina.<ref>Dr. J.L.A. Brandes, T.B.G., LII (1910)</ref><ref>{{Cite book|last=Nehru|first=Jawaharlal|year=1934|url=https://archive.org/details/in.ernet.dli.2015.108462/page/n281/mode/2up?q=|title=BudayaGlimpses BahariOf World History|location=New York|publisher=Asia Publishing House}}</ref>{{Rp|269}}<ref>{{Cite book|last=Pramono|first=Djoko|year=2005|url=https://books.google.com/books?id=HihuOBhi1wAC|title=Budaya Bahari|publisher=Gramedia Pustaka Utama|year=2005|isbn=9789792213768|location=|pages=}}</ref>{{Rp|57}}
 
C. C. Berg berpendapat bahwa puisi ini mestinya disusun sekitar tahun 1550 M atau sesudahnya karena ada gambaran tentang kuda patih Anepakěn, patih kerajaan Sunda. Kudanya dibandingkan dengan kuda bernama Anda Wesi milik Rangga Lawe, tokoh terkenal dari puisi Jawa lainnya; ''Kidung Rangga Lawe''. Yang terakhir ini, menurut Juynboll berasal dari tahun 1465 saka, atau 1543 M. Namun Berg terbuka untuk penanggalan lebih awal, karena manuskrip Leiden adalah salinan baru dari tahun yang lebih muda.<ref>Berg, 1927: 5.</ref> Damais berpendapat bahwa ''Kidung Rangga Lawe'' awalnya disusun pada 1334 M, membaca [[Sengkala|sengkalannyasengkala]]nnya sebagai 1256 saka bukannya 1465 saka.<ref>Damais, 1958: 56.</ref> Oleh karena itu, baik ''Kidung Rangga Lawe'' maupun ''Kidung Sunda'' mungkin pada awalnya ditulis pada abad ke-14.<ref>{{Cite journal|last=Jákl|first=Jiří|date=2016|title=The Loincloth, Trousers, and Horse-riders in Pre-Islamic Java: Notes on the Old Javanese Term Lañciṅan|url=http://dx.doi.org/10.4000/archipel.312|journal=Archipel|issue=91|pages=185–202|doi=10.4000/archipel.312|issn=0044-8613}}</ref>{{Rp|192}}
 
Pengaruh Islam sudah terlihat. Kidung Sunda berisi beberapa kata pinjaman [[Bahasa Persia|Persia]]-[[Bahasa Arab|Arab]] seperti ''kabar'' (berita) dan ''subandar'' (bersinonim dengan ''syahbandar'', yang berarti kepala pelabuhan).
Baris 82 ⟶ 83:
{{Unreferenced section|date=Februari 2022}}Di bawah ini disajikan beberapa cuplikan teks dalam [[bahasa Jawa]] dengan alih bahasa dalam [[bahasa Indonesia]]. Teks diambil dari edisi C.C. Berg ([[1927]]) dan ejaan disesuaikan.
 
=== Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.68a) ===
 
:''Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.''
Baris 108 ⟶ 109:
* “Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).
 
=== Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33) ===
 
: ''Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.''
Baris 141 ⟶ 142:
* [[C.C. Berg]], [[1927]], [[iarchive:in.ernet.dli.2015.530847/page/n11/mode/2up|Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen]]. ''BKI'' 83: 1 – 161.
* C.C. Berg, [[1928]], ''Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundāyana).'' [[Surakarta|Soerakarta]]: De Bliksem.
* Damais, Louis-Charles (1958). "[[iarchive:i.-etudes-depigraphie-indonesienne/page/1/mode/2up|I. Études d'épigraphie indonésienne : V. Dates de manuscrits et documents divers de Java, Bali et Lombok]]" ''Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient''. Tome 49, pp. 1-257&nbsp;1–257.
* Sri Sukesi Adiwimarta, [[1999]], ‘Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa)’, ''Antologi Sastra Daerah Nusantara'', kaca 93-121. [[Jakarta]]: [[Yayasan Obor]]. ISBN 979-461-333-9
* [[P.J. Zoetmulder]], [[1983]], ''[[iarchive:kalangwan-sastra-jawa-kuno-selayang-pandang-1983/page/n3/mode/2up|Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang]].'' [[Jakarta]]: [[Djambatan]]. (hal. 528-532)