Kidung Sunda: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k menambahkan Kategori:Literasi Sunda menggunakan HotCat |
#1Lib1Ref #1lib1ref #1lib1refid Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(40 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[File:Bali-lontar-kidung-sunda-400ppi.pdf|thumb|Lontar Kidung Sunda.]]
'''Kidung Sunda''' adalah sebuah karya sastra dalam [[bahasa Jawa|bahasa Jawa Pertengahan]] berbentuk ''[[tembang]]'' (syair) dan naskahnya ditemukan di Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu [[Hayam Wuruk]] dari [[Majapahit]] yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian dia menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tidak disebutkan namanya. Namun patih [[Gajah Mada]] tidak suka karena [[Kerajaan Sunda|orang Sunda]]{{Citation needed}} dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit. Kemudian terjadi pertempuran yang tidak seimbang antara rombongan pengantin Sunda dengan prajurit Majapahit di pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda
== Versi kidung Sunda ==
Seorang pakar [[Belanda]] bernama [[Cornelis Christiaan Berg|Prof Dr.
# Kidung Sunda
# [[kidung Sundayana|Kidung Sundâyana]] (Perjalanan
Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung Sundâyana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi dan versi
== Ringkasan ==
{{Unreferenced section|date=Februari 2022}}Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.▼
▲Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.
=== Pupuh I ===
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka dia mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali,
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Baris 20:
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak dari [[Kerajaan sunda|Sunda]] disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
[[Berkas:Jan Huyghen van Linschoten Ship of China and Java.jpg|jmpl|Kapal [[Jung Jawa|jung hibrida China-Jawa]], digambar van Linschoten pada 1596.]]
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “[[kapal Jung|jung]] bertingkat sembilan campuran [[Tatar]] ([[Mongolia]]/[[Tiongkok]])-Jawa seperti banyak dipakai semenjak perang [[Raden Wijaya|Wijaya]]”<ref name=":32">Lombard, Denys (2005)''. [https://archive.org/details/NJ2JA/mode/2up?q= Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia]''. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Alih bahasa Indonesia dari Lombard, Denys (1990). ''Le carrefour javanais. Essai d'histoire globale (The Javanese Crossroads: Towards a Global History) vol. 2''. Paris: Éditions de l'École des Hautes Études en Sciences Sociales.</ref>{{rp|270}} (bait 1. 43a.).
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah
▲Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong Raja Sunda yang seharusnya menjadi raja bawahan. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini,
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn, untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana dia menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji.{{Citation needed}} Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya [[vazal]]-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.{{Citation needed}}
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia menjadi negara bawahan Majapahit. Maka dia berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Baris 40 ⟶ 38:
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi karena kalah jumlahnya, akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian sesuai ajaran [[Hindu]] mereka melakukan belapati (bunuh diri). Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.{{Citation needed}}
=== Pupuh III (Sinom) ===
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.{{Citation needed}}
Setelah dia diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka dia mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan [[yoga]] [[samadi]]. Setelah itu dia menghilang ([[moksa]]) tak terlihat menuju ketiadaan ([[niskala]]).
Baris 52 ⟶ 50:
== Analisis ==
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.<ref>{{Cite book|last=Achmad|first=Sri Wintala|date=2019|url=https://books.google.co.id/books?id=oaFCEAAAQBAJ&pg=PA200&dq=Kidung+Sunda+%22kemungkinan+besar%22&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjrmLP0ge73AhU38XMBHeLZB7QQ6AF6BAgJEAI#v=onepage&q=Kidung%20Sunda%20%22kemungkinan%20besar%22&f=false|title=PERANG BUBAT (1279) SAKA Membongkar Fakta Kerajaan Sunda Vs Majapahit|publisher=Araska Publisher|isbn=978-623-7537-19-9|language=id|url-status=live}}</ref>
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan [[kidung Sunda#Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.)|orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada]] bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca [[kidung Sunda#Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)|terharu]].<ref>{{Cite web|last=cahsastrajawa|date=2017-04-17|title=Sastra Pertengahan: Mengupas Kidung Sunda|url=https://cahsastrajawa.wordpress.com/2017/04/17/sastra-pertengahan-mengupas-kidung-sunda/|website=Cah Sastra Jawa|language=id-ID|access-date=2024-01-27}}</ref>
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Menurut Nugroho, moksa adalah perlambang kematian.<ref name=":1">{{Cite book|last=Nugroho|first=Irawan Djoko|year=2011|title=Majapahit Peradaban Maritim|publisher=Suluh Nuswantara Bakti|isbn=978-602-9346-00-8|url-status=live}}</ref>{{Rp|208}} Hal ini
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan,
Kemudian ada sebuah hal yang menarik,
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara [[Nusantara]] dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang [[Palembang]], orang [[Tumasik]] ([[Singapura]]), [[Sampit]], [[Suku Madura|Madura]], [[Bali]], Koci (
== Penulisan ==
{{multiple image
| direction = vertical
| total_width = 300
| image1 = Javanese Handcannon from Majalengka.jpg
| image2 = Bedil kuno atau meriam kuno Jawa cetbang.png
| footer = Meriam tangan dari Jawa:<br />
*[[Bedil tombak]] besi dari [[Majalengka]], [[Jawa Barat]]. Meskipun berasal dari daerah Sunda, senjata ini kemungkinan berasal dari Jawa.
*[[Cetbang]] jenis meriam tangan, ditemukan di sungai Brantas, [[Jombang]], [[Jawa Timur]].
}}
Semua [[naskah]] kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di [[Jawa]] atau di Bali.
Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang [[bedil]] (senjata [[bubuk mesiu]] atau [[senjata api]]). Senjata berbasis bubuk mesiu masuk ke Indonesia sejak [[Serbuan Yuan-Mongol ke Jawa|perang Jawa-Mongol Yuan]], dimana pasukan Mongol menyerang Kediri dengan 炮—"pào" (bahasa China untuk meriam).<ref name="Schlegel">Schlegel, Gustaaf (1902). "On the Invention and Use of Fire-Arms and Gunpowder in China, Prior to the Arrival of European". ''T'oung Pao''. 3: 1–11.</ref>{{Rp|1–2}}<ref>Lombard, Denys (2005). ''Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia''. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halaman 208.</ref><ref>Reid, Anthony (2011). ''Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global''. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Halaman 255.</ref> Meriam dan senjata api ([[meriam tangan]]) digunakan oleh Majapahit, meniru senjata Cina.<ref>Dr. J.L.A. Brandes, T.B.G., LII (1910)</ref><ref>{{Cite book|last=Nehru|first=Jawaharlal|year=1934|url=https://archive.org/details/in.ernet.dli.2015.108462/page/n281/mode/2up?q=|title=Glimpses Of World History|location=New York|publisher=Asia Publishing House}}</ref>{{Rp|269}}<ref>{{Cite book|last=Pramono|first=Djoko|year=2005|url=https://books.google.com/books?id=HihuOBhi1wAC|title=Budaya Bahari|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=9789792213768}}</ref>{{Rp|57}}
C. C. Berg berpendapat bahwa puisi ini mestinya disusun sekitar tahun 1550 M atau sesudahnya karena ada gambaran tentang kuda patih Anepakěn, patih kerajaan Sunda. Kudanya dibandingkan dengan kuda bernama Anda Wesi milik Rangga Lawe, tokoh terkenal dari puisi Jawa lainnya; ''Kidung Rangga Lawe''. Yang terakhir ini, menurut Juynboll berasal dari tahun 1465 saka, atau 1543 M. Namun Berg terbuka untuk penanggalan lebih awal, karena manuskrip Leiden adalah salinan baru dari tahun yang lebih muda.<ref>Berg, 1927: 5.</ref> Damais berpendapat bahwa ''Kidung Rangga Lawe'' awalnya disusun pada 1334 M, membaca [[sengkala]]nnya sebagai 1256 saka bukannya 1465 saka.<ref>Damais, 1958: 56.</ref> Oleh karena itu, baik ''Kidung Rangga Lawe'' maupun ''Kidung Sunda'' mungkin pada awalnya ditulis pada abad ke-14.<ref>{{Cite journal|last=Jákl|first=Jiří|date=2016|title=The Loincloth, Trousers, and Horse-riders in Pre-Islamic Java: Notes on the Old Javanese Term Lañciṅan|url=http://dx.doi.org/10.4000/archipel.312|journal=Archipel|issue=91|pages=185–202|doi=10.4000/archipel.312|issn=0044-8613}}</ref>{{Rp|192}}
Pengaruh Islam sudah terlihat. Kidung Sunda berisi beberapa kata pinjaman [[Bahasa Persia|Persia]]-[[Bahasa Arab|Arab]] seperti ''kabar'' (berita) dan ''subandar'' (bersinonim dengan ''syahbandar'', yang berarti kepala pelabuhan).
== Beberapa cuplikan teks ==
{{Unreferenced section|date=Februari 2022}}Di bawah ini disajikan beberapa cuplikan teks dalam [[bahasa Jawa]] dengan
=== Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1.
:''Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.''
Baris 84 ⟶ 95:
Alihbahasa:
* “Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
* Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.
* Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
* Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”
Baris 101 ⟶ 109:
* “Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).
=== Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3.
: ''Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.''
Baris 115 ⟶ 123:
Alihbahasa:
* Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
* Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
* Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin <hamba> masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
* Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
* Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, dia sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga<sup>*</sup>, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
<nowiki>*</nowiki>Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan [[September]], yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.
* [[Perang Bubat|Perang bubat]]
* [[Majapahit#Militer dan Persenjataan|Militer dan pesenjataan Majapahit]]
== Referensi ==
<references />
* [[C.C. Berg]], [[1927]], ‘Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen’. ''BKI'' 83: 1 – 161.▼
== Daftar pustaka ==
▲* [[C.C. Berg]], [[1927]],
* C.C. Berg, [[1928]], ''Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundāyana).'' [[Surakarta|Soerakarta]]: De Bliksem.
* Damais, Louis-Charles (1958). "[[iarchive:i.-etudes-depigraphie-indonesienne/page/1/mode/2up|I. Études d'épigraphie indonésienne : V. Dates de manuscrits et documents divers de Java, Bali et Lombok]]" ''Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient''. Tome 49, pp. 1–257.
* Sri Sukesi Adiwimarta, [[1999]], ‘Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa)’, ''Antologi Sastra Daerah Nusantara'', kaca 93-121. [[Jakarta]]: [[Yayasan Obor]]. ISBN 979-461-333-9
* [[P.J. Zoetmulder]], [[1983]], ''[[iarchive:kalangwan-sastra-jawa-kuno-selayang-pandang-1983/page/n3/mode/2up|Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang]].'' [[Jakarta]]: [[Djambatan]]. (hal. 528-532)
▲== Lihat pula ==
▲* [[Sastra Jawa]]
[[Kategori:Kerajaan Majapahit]]
|