Kwee Thiam Tjing: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Gan 1975 (bicara | kontrib)
Kehidupan: Nama marga Cina bukan berarti ada hubungan keluarga. Jadi penjelasan marga tidak relevant.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(6 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Chinese name|[[Guo (nama belakang)|Kwee]]}}
[[Berkas:Kwee Thiam Tjing.jpg|jmpl|ka|150px|Foto Kwee Thiam Tjing]]
{{Infobox person
| name = Kwee Thiam Tjing
| image = Kwee Thiam Tjing.jpg
| alt =
| caption =
| native_name =
| birth_name = Kwee Thiam Tjing Sia
| birth_date = {{Birth date|1900|02|09|df=y}}
| birth_place = [[Pasuruan]], [[Hindia Belanda]]
| death_date = {{Death date and age|1974|05|28|1900|02|09|df=y}}
| death_place = [[Jakarta]], [[Indonesia]]
| nationality = [[Warga Negara Indonesia|Indonesia]]
| other_names =
| parents = Kwee Tjiong Khing ''[[Sia (gelar)|Sia]]'' (bapak) <br/> Liem Liang Nio (ibu)
| spouse =
| children = Jeanne Kwee
| education = [[Europeesche Lagere School|ELS]] Malang, [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs|MULO]] Malang
| occupation = Penulis, jurnalis, editor dan pemilik koran, dan aktivis politik
| years_active = 1920-an - 1974
| known_for =
| notable_works = [[Indonesia dalem Api dan Bara]], [[Menjadi Tjamboek Bērdoeri]]
| relatives = [[Daftar Kapitan Cina|Kwee Sam Hway, Letnan Cina Malang]] (kakek canggah)<br/> [[Daftar Kapitan Cina|Kwee Sioe Liem, Kapitan Cina Pasuruan]] (kakek buyut)
}}
'''Kwee Thiam Tjing Sia''' (9 Februari 1900 – 28 Mei 1974) atau juga dikenal dengan [[nama pena]] '''Tjamboek Bērdoeri''', adalah seorang penulis, jurnalis, dan aktivis politik sayap kiri terkemuka di [[Indonesia]].<ref name="Suryadinata (2015)">{{cite book |last1=Suryadinata |first1=Leo |title=Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches |date=2015 |publisher=Institute of Southeast Asian Studies |location=Singapore |isbn=978-981-4620-50-5 |pages=118–119 |url=https://books.google.com/books?id=ZO6gCgAAQBAJ&dq=tjamboek+berdoeri&pg=PA119 |accessdate=14 April 2020 |language=en|edition=4th }}</ref><ref name="Anderson (2016)">{{cite news |last1=Anderson |first1=Benedict |title=Benedict Anderson in Search of Tjamboek Berdoeri |url=https://aaww.org/benedict-anderson-tjamboek-berdoeri/ |accessdate=14 April 2020 |work=Asian American Writers' Workshop |publisher=Asian American Writers' Workshop |date=29 April 2016}}</ref><ref name="Savitri & Widianto (2020)">{{cite news |last1=Savitri |first1=Isma |last2=Widianto |first2=Eko |title=Napak Tilas Tjamboek Berdoeri di Malang |url=https://majalah.tempo.co/read/selingan/159852/napak-tilas-tjamboek-berdoeri-di-malang |accessdate=14 April 2020 |work=Tempo |publisher=Tempo |date=5 March 2020 |language=en}}</ref> Ia paling diingat sebagai penulis dari buku '[[Indonesia dalem Api dan Bara]]' dan sebagai salah satu pendiri dari [[Partai Tionghoa Indonesia]] pada tahun 1932.<ref name="Suryadinata (2015)" />
 
==Kehidupan==
'''Kwee Thiam Tjing''' ({{lahirmati|[[Pasuruan]], [[Jawa Timur]]|9|2|1900|[[Jakarta]]|28|5|1974}}) adalah seorang jurnalis [[Indonesia]]. Ia menempuh pendidikannya di [[ELS]] (Europeesch Lagere School) di kota [[Malang]] dan kemudian terjun ke dunia jurnalisme. Ia menguasai [[bahasa Belanda]], [[bahasa Jawa|Jawa]], [[bahasa Madura|Madura]], dan [[bahasa Hokkian|Hokkian]]. Bahan-bahan tulisannya mencakup segala lapisan masyarakat: kawan-lawan, lelaki-perempuan, tua-muda dan lain-lain.
Lahir pada tahun 1900 di [[Pasuruan]], [[Jawa Timur]], orang tua Kwee adalah keturunan ''[[Tionghoa Peranakan]]'' '[[Cabang Atas]]' yang berasal dari kalangan [[Kapitan Cina|pejabat Cina]] di [[Hindia Belanda]].<ref name="Anderson (2016)" /><ref name="Haryono (2017)">{{cite book |last1=Haryono |first1=Steve |title=Perkawinan Strategis: Hubungan Keluarga Antara Opsir-opsir Tionghoa Dan 'Cabang Atas' Di Jawa Pada Abad Ke-19 Dan 20 |date=2017 |publisher=Steve Haryono |location=Utrecht |isbn=978-90-90-30249-2 |url=https://books.google.com/books?id=IoDgswEACAAJ&q=steve+haryono |accessdate=14 April 2020 |language=en}}</ref> Ayahnya, Kwee Tjiong Khing, adalah cucu dari Kwee Sioe Liem, ''[[Kapitan Cina]]'' Pasuruan, dan cicit dari Kwee Sam Hway (1801–1865), ''Letnan Cina'' Malang pertama, serta cucu dari [[tuan tanah]] asal Surabaya, Tan Tong Liep (1831–1907).<ref name="Haryono (2017)" /><ref name="Reid & Alilunas-Rodgers (2001)">{{cite book |last1=Reid |first1=Anthony |last2=Alilunas-Rodgers |first2=Kristine |title=Sojourners and Settlers: Histories of Southeast China and the Chinese |date=2001 |publisher=University of Hawaii Press |location=Hawaii |isbn=978-0-8248-2446-4 |url=https://books.google.com/books?id=YFIGVqZ9ZKsC&dq=tan+tong+liep&pg=PA196 |accessdate=14 April 2020 |language=en}}</ref> Ibu Kwee Thiam Tjing, Liem Liang Nio, adalah anak dari Liem Bong Wan (lahir pada tahun 1856) dan keponakan dari [[keluarga Kwee dari Ciledug|Liem Bong Lien, ''Letnan Cina'' Pasuruan (1855–1918)]].<ref name="Haryono (2017)" /><ref name="Post & Thio (2019)">{{cite book |last1=Post |first1=Peter |last2=Thio |first2=May Ling |title=The Kwee Family of Ciledug: Family, Status, and Modernity in Colonial Java |date=2019 |publisher=LM Publishers |location=Volendam |isbn=978-94-6022-492-8 |url=https://books.google.com/books?id=Ad1JuwEACAAJ&q=kwee+family+ciledug |accessdate=14 April 2020 |language=en}}</ref> Ia pun mendapat gelar '[[Sia (gelar)|Sia]]', karena merupakan keturunan dari pejabat Cina, tetapi ia tidak pernah menggunakan gelar tersebut.<ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson">{{cite book |last1=Berdoeri |first1=Tjamboek |last2=Anderson |first2=Benedict Richard O'Gorman |title=Indonesia dalem api dan bara |date=2004 |publisher=Elkasa |isbn=978-979-98367-1-7 |url=https://books.google.com/books?id=qdxwAAAAMAAJ&q=kwee+tjiong+khing |accessdate=25 April 2020 |language=id}}</ref> Keluarga Kwee di Malang dan Madura ini dapat ditelusuri keberadaannya di Indonesia sejak abad ke-17.<ref>{{Cite web|title=Sekilas Tentang Marga Guo (郭) Dan Tokoh Penyandangnya|url=https://bolong.id/lp/0321/sekilas-tentang-marga-guo-dan-tokoh-penyandangnya|website=bolong.id|language=id|access-date=2023-08-01}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Foo|first=Cynthia|last2=Anderson|first2=Benedict|date=2009-04-01|title=Interview with Benedict Anderson|url=https://urresearch.rochester.edu/institutionalPublicationPublicView.action?institutionalItemId=25808}}</ref>
 
Meskipun hidup relatif nyaman, keluarga Kwee tidak lagi menjadi bagian dari tingkatan teratas pada Cabang Atas, karena ayah Kwee hanya bekerja sebagai penyelia di sebuah pabrik gula di [[Malang]].<ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" /> Walaupun begitu, Kwee tetap dapat bersekolah di sekolah menengah berbahasa Belanda, yakni [[Europeesche Lagere School|ELS]] dan [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs|MULO]] di [[Malang]].<ref name="Suryadinata (2015)" /><ref name="Anderson (2016)" /> Hingga tahun 1902, agar dapat diterima di sekolah berbahasa Belanda, selain memiliki uang yang cukup, siswa non-Eropa harus berlatar belakang aristokrat Jawa atau Peranakan [[Cabang Atas]].<ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" /> Pendidikan Belanda dan latar belakang Peranakan dari Kwee dapat dilihat pada tulisannya, yang menunjukkan bahwa ia familiar dengan bahasa Melayu, Belanda, Jawa, dan Hokkien.<ref name="Anderson (2016)" />
Pada [[1926]] ia dikenai sembilan delik pers, sehingga terpaksa mendekam selama sepuluh bulan di [[penjara Kalisosok]], [[Surabaya]] dan [[penjara Cipinang]], [[Jakarta]]. Kejadian ini dicatat dalam artikel "Tanggal Paling Tjilaka" di Soeara Publiek, Surabaya 5 Januari 1926.
 
Setelah bekerja sebentar di sebuah perusahaan impor-ekspor, Kwee Thiam Tjing beralih ke dunia jurnalistik.<ref name="Anderson (2016)" /> Pada tahun 1925, Kwee bergabung ke dewan editorial dari koran ''[[Soeara Publiek]]'' asal [[Surabaya]].<ref name="Suryadinata (2015)" /> Pada tahun 1926, ia dipenjara selama satu bulan karena menulis dukungan untuk pemberontakan [[Suku Aceh]] di [[Sumatera Utara]], sehingga melanggar hukum pers kolonial.<ref name="Suryadinata (2015)" /><ref name="Anderson (2016)" /> Pada akhir tahun 1929, Kwee menjadi editor di koran ''[[Sin Tit Po]]'' asal Surabaya yang dimiliki oleh [[Liem Koen Hian]]. Pada tahun 1931, ia pun menjadi kepala editor di koran tersebut.<ref name="Suryadinata (2015)" />
Tulisan-tulisannya banyak dimuat di berbagai penerbitan saat itu, seperti [[Pewarta Soerabaia]], [[Soeara Poeblik]] (menjadi Hoofredactuer antra 20 Juni - 12 Juli 1929 baca '''Satoe peladjaran dalem pengidoepan'''), [[Sin Tit Po]], [[Matahari Semarang]]<ref>Radja Goela Oie Tiong Ham, Liem Tjwan Ling, Soerabaia 1979 hal 187</ref> hingga [[Indonesia Raya (surat kabar)|Indonesia Raja]]. Kwee sendiri mengelola langsung [[Pembrita Djember]]. Ia juga menulis karya dengan nama samaran ''Tjamboek Berdoeri''.<ref>[https://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/16/pustaka/1899000.htm "Siapakah Tjamboek Berdoeri?"], ''[[KOMPAS]]'', 16 Juli 2005</ref>
 
Pada tahun 1932, bersama Liem, Kwee mendirikan [[Partai Tionghoa Indonesia]] (PTI), sebuah partai politik sayap kiri yang mengadvokasi partisipasi etnis Cina pada gerakan nasionalis Indonesia.<ref name="Suryadinata (2015)" /> Ia awalnya menjabat sebagai sekretaris PTI.<ref name="Suryadinata (2015)" /> Pada saat itu, politik etnis Cina didominasi oleh partai [[Chung Hwa Hui]] yang konservatif, pro-Belanda, dan dilihat sebagai juru bicara dari [[Cabang Atas|pejabat Cina]], serta didominasi oleh kelompok yang disebut sebagai kelompok ''Sin Po'' yang mengadvokasi kesetiaan ke [[Republik Tiongkok (1912–1949)|Republik Tiongkok]].<ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" /> Melalui PTI, Liem dan Kwee mengajukan alternatif ketiga, yakni bahwa [[Tionghoa Indonesia]] adalah milik Indonesia dan seharusnya berpartisipasi dalam kebangkitan dan pemerdekaan Indonesia dari kolonialisme.<ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" />
Pada pertengahan [[1947]] kota Malang berubah menjadi lautan api. Kwee melaporkan kejadian-kejadian itu dengan cermat hingga [[tragedi Mergosono]] yang mungkin telah banyak dilupakan orang.
 
Mulai tahun 1933 hingga 1934, Kwee pindah ke [[Jember]] dan menerbitkan korannya sendiri, yakni ''[[Pembrita Djember]]''.<ref name="Suryadinata (2015)" /><ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" /> Setelah koran tersebut tutup, Kwee diundang oleh [[Kwee Hing Tjiat]] untuk menulis di ''Mata Hari'', sebuah koran asal [[Semarang]] yang dimiliki oleh [[Kian Gwan]], konglomerat multinasional terbesar di Asia pada saat itu (didirikan pada tahun 1863 oleh [[Oei Tjie Sien]] dan dikembangkan oleh anaknya, [[Oei Tiong Ham|Mayor Oei Tiong Ham]]).<ref name="Suryadinata (2015)" /><ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" /> Walaupun menerima tawaran tersebut, ia tetap tidak yakin dengan koran tersebut, karena koran tersebut berhubungan erat dengan Chung Hwa Hui.<ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" /> Selama bekerja di Mata Hari, Kwee mendapat surat sarkastik dari temannya yang menganggapnya berkolaborasi dengan kapitalis.<ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" /> Pada tahun 1936, Kwee telah keluar dari Mata Hari dan sepertinya telah pindah ke [[Bandung]], [[Jawa Barat]], di mana ia menjadi pekerja lepas di sejumlah koran hingga akhirnya kembali ke [[Jawa Timur]] sekitar tahun 1940.<ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" />
Berbagai kejadian yang diamatinya itu, termasuk masa-masa sebelumnya yang terjadi pada masa paling kacau di Indonesia ([[1939]]-[[1947]]) ditulisnya dalam sebuah buku setebal 200 halaman dengan menggunakan kertas merang, tanpa penerbit (ternyata ''Perfectas Di Petjinan Malang'' sebagai penerbitnya) dan nama pengarang (namun Kwee Thiam Tjing sendiri memberikan pengantar di buku tersebut menggunakan nama aslinya). Isinya adalah sebuah catatan peringatan untuk anak-cucu, sebuah kenangan yang diberinya judul "[[Indonesia dalem Api dan Bara]]".
 
[[Pendudukan Jepang di Hindia Belanda]] (1942–1945) mengakhiri sebagian besar pers dan organisasi politik kolonial.<ref name="Anderson (2016)" /> Kwee lalu ditunjuk menjadi ketua dari sebuah ''Tonarigumi'', yang merupakan pendahulu dari ''[[rukun tetangga]]''.<ref name="Anderson (2016)" /> Selama menjabat, ia berusaha melindungi wanita dan anak asal Belanda dari pasukan pendudukan Jepang.<ref name="Anderson (2016)" /> Pada tahun 1947 di Malang, di tengah [[revolusi Indonesia]], dengan menggunakan [[pseudonim]] Tjamboek Berdoeri, Kwee menerbitkan karyanya yang paling terkenal, yakni ''Indonesia dalem Api dan Bara''.<ref name="Suryadinata (2015)" /><ref name="Anderson (2016)" /><ref name="Savitri & Widianto (2020)" /> Sejarawan [[Benedict Anderson]] pun menyebut bahwa buku tersebut adalah 'buku terbaik hingga saat ini yang ditulis oleh seorang Indonesia mengenai kekacauan tersebut' (Anderson, 2018).<ref name="Anderson (2016)" />
Setelah terbitnya buku kenangan itu, Kwee lama menghilang dari dunia jurnalisme Indonesia. Baru 24 tahun kemudian ia mendadak muncul kembali dalam sebuah tulisan semacam obituari di harian "[[Indonesia Raya (surat kabar)|Indonesia Raya]]" yang dikelola [[Mochtar Lubis]]. Tulisannya muncul dalam 34 judul dengan 91 edisi penerbitan selama [[1971]]-[[1973]].
 
Tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupannya setelah tahun 1946.<ref name="Anderson (2016)" /> Mulai tahun 1960 hingga 1970, Kwee tinggal di [[Kuala Lumpur]], [[Malaysia]] bersama anaknya, Jeanne Kwee, dan menantunya, [[Stanley Gouw]].<ref name="Suryadinata (2015)" /><ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" /> Pada tahun 1970, Kwee kembali ke Indonesia. Mulai tahun 1971 hingga 1973, ia menulis serial otobiografi untuk koran milik [[Mochtar Lubis]], yakni ''[[Indonesia Raya (surat kabar)|Indonesia Raya]]''.<ref name="Suryadinata (2015)" /> Pada tahun 1974, koran tersebut dilarang untuk terbit oleh [[Orde Baru|rezim Soeharto]].<ref name="Anderson (2016)" /> Kwee Thiam Tjing akhirnya meninggal di [[Jakarta]] pada tanggal 28 Mei 1974.<ref name="Suryadinata (2015)" /> Jenazah Kwee lalu dimakamkan di TPU Tanah Abang I di Jakarta. TPU Tanah Abang I kemudian digusur untuk dijadikan [[Taman Prasasti]], sehingga makam Kwee pun digali kembali dan tulang-belulangnya dikremasi agar abunya dapat ditabur di [[Laut Jawa]].
Pada akhir Mei 1974, Kwee meninggal dunia di usia 74 tahun, dan dimakamkan di pemakaman Tanah Abang I (kini [[Taman Prasasti]]) di [[Jakarta]]. Ketika pemakaman Tanah Abang I digusur, makam Kwee digali kembali dan tulang-belulangnya dikremasikan dan abunya ditabur ke [[Laut Jawa]].
 
== Kolom di surat kabar ==
Baris 96 ⟶ 121:
* ''Harian Indonesia Raya'' (22 Juli 1971 – 15 Februari 1972).
 
== Referensi Keturunan==
<ref name="Haryono (2017)" /><ref name="Tjamboek Berdoeri & Anderson" />
{{ahnentafel
|collapsed=yes |align=center
|boxstyle_1=background-color: #fcc;
|boxstyle_2=background-color: #fb9;
|boxstyle_3=background-color: #ffc;
|boxstyle_4=background-color: #bfc;
|boxstyle_5=background-color: #9fe;
|1= 1. '''Kwee Thiam Tjing Sia'''
|2= 2. Kwee Tjiong Khing Sia
|3= 3. Liem Liang Nio
|4= 4. Kwee Ping Kwie Sia
|5= 5. Tan Tiong Nio
|6= 6. Liem Bong Wan (lahir pada tahun 1856)
|7= 7. Kwee Khiam Nio
|8= 8. Kwee Sioe Liem, ''Kapitan Cina'' Pasuruan
|9= 9. Sie Tjan Nio
|10= 10. Tan Tong Liep (1831–1907)
|11= 11. Kwee Bien Nio (1831–1905)
|12= 12. Liem Boen Ping (1831–1891)
|13= 13. Kwee Khin Nio (1838–1878)
|14=
|15=
|16= 16. Kwee Sam Hway, ''Letnan Cina'' Malang pertama (1801–1865)
|17= 17. Yauw Ting Kong
|18=
|19=
|20= 20. Tan Hwa Siang (lahir pada tahun 1806)
|21= 21. Oei Hong Nio
|22= 22. Kwee Yong Hoo
|23=
|24= 24. Liem Ian Kie (1805–1848)
|25= 25. Nio Hoo Nio (1813–1866)
|26= 26. Kwee Sam Hway, ''Letnan Cina'' Malang pertama (1801–1865) (=16)
|27= 27. Yauw Ting Kong (=17)
|28=
|29=
|30=
|31=
}}
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
Baris 110 ⟶ 176:
{{lifetime|1900|1974|Kwee, Thiam Tjing}}
 
{{Authority control}}
 
{{DEFAULTSORT:Kwee, Thiam Tjing}}
[[Kategori:Kelahiran 1900]]
[[Kategori:Kematian 1974]]
[[Kategori:Cabang Atas]]
[[Kategori:Tokoh dari Malang]]
[[Kategori:Wartawan Indonesia]]
[[Kategori:Tionghoa-Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Pasuruan]]