Kesultanan Aceh: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Membalikkan revisi 21403072 oleh Eka Bagus Setiawan (bicara)
Tag: Pembatalan halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
RadityaAnwar11 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
(35 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{lindungidarianon2|small=yes}}
{{Infobox country
| conventional_long_name = Kerajaan Aceh Darussalam<br /><small>''Keurajeuën Acèh Darussalam''<br />كاورجاون اچيه دارالسلام</small>
| common_name = Aceh
| status = Protektorat
| empire = Kesultanan Utsmaniyah
| status_text = Wilayah [[Negara-negara bawahan dan taklukan Kesultanan Utsmaniyah|protektorat]] [[Kesultanan Utsmaniyah]] <small>(1569–1903)
| religion = [[Islam Sunni]]
| GDP_PPPdemonym =
| p1 = Kesultanan Lamuri
| p2 = Kesultanan Samudera Pasai
| flag_p1 =
| flag_p2 = Pasai.jpg
| s1 = Hindia Belanda
| year_start = 1496
Baris 23 ⟶ 24:
| symbol_type =
| flag_s1 = Flag of the Netherlands.svg
| image_map = [[berkas:Aceh Sultanate id.svg|150px300px]]
| image_map_caption = Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-16371608–1637)
| capital = [[Kutaraja]], Bandar Aceh Darussalam (sekarang [[Banda Aceh]])
| common_languages = [[Bahasa Aceh|Aceh]], [[Bahasa Melayu|Melayu Tinggi]], [[Bahasa Arab|Arab]], [[Bahasa Gayo|Gayo]], [[Bahasa Alas|Alas]], [[Bahasa Kluet|Kluet]], [[Bahasa Aneuk Jame|Minang]]
| government_type = [[Monarki]]
Baris 36 ⟶ 37:
| today = {{flag|Indonesia}}<br />{{flag|Malaysia}}<br />{{flag|Singapura}}<br />{{flag|Thailand}}
| footnotes =
| demonym = [[Suku Aceh|Bangsa Aceh]]
| area_km2 =
| area_rank =
| GDP_PPP =
| GDP_PPP_year =
| HDI =
| HDI_year =
}}
 
{{Sejarah Indonesia}}{{Sejarah Malaysia}}
 
'''Kesultanan Aceh Darussalam''' ({{lang-ace|Keurajeuën Acèh Darussalam}}; [[Abjad Jawi|Jawoë]]: كاورجاون اچيه دارالسلام) merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi [[Aceh]], [[Indonesia]]. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau [[Sumatra]] dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah [[Sultan Ali Mughayat Syah]] yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 [[Hijriyah|H]] atau pada tanggal [[8 September]] [[1507]]. Dalam sejarahnya yang panjang itu ([[1496]] - [[1903]]), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.<ref name="melayu">{{Cite web |url=http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= |title=Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com |access-date=2007-06-01 |archive-date=2007-09-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20070927221905/http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20== |dead-url=yes }}</ref>
 
== Sejarah ==
Baris 51 ⟶ 49:
 
=== Awal mula ===
[[Berkas:Sultan Ali Mughayat Syah.jpg|jmpl|Gambar [[Sultan Ali Mughayat Syah]]]]
Kesultanan Aceh didirikan oleh [[Sultan Ali Mughayat Syah]] pada tahun [[1496]]. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah [[Kerajaan Lamuri]], kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup [[Kerajaan Daya|Daya]], [[Kerajaan Pedir|Pedir]], [[Kerajaan Lidie|Lidie]], [[Kerajaan Nakur|Nakur]]. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah [[Kesultanan Samudera Pasai|Pasai]] sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan [[Kerajaan Aru|Aru]].
 
Baris 59 ⟶ 56:
[[Berkas:AMH-6132-NA_Bird%27s_eye_view_of_the_city_of_Atjeh.jpg|jmpl|ki|300px|Lukisan [[Banda Aceh]] pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.]]
 
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. [[Hikayat Aceh]]<ref>{{DubiousCite book|last=Hidayati|first=Noor|last2=Huriyah|date=MaretNovember 2020}}2021|url=https://www.google.co.id/books/edition/MANUSIA_INDONESIA_ALAM_SEJARAHNYA/S-FWEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Meskipun+Sultan+dianggap+sebagai+penguasa+tertinggi,+tetapi+nyatanya+selalu+dikendalikan+oleh+orangkaya+atau+hulubalang.+Hikayat+Aceh&pg=PA292&printsec=frontcover|title=Manusia {{CitationIndonesia, neededAlam & Sejarahnya|datelocation=Maret 2020Yogyakarta|publisher=K-Media|isbn=978-623-316-624-9|editor-last=Ngalimun|pages=292-293|url-status=live}}</ref> menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
 
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.<ref name=":1">{{cite book | last = Reid | first = Anthony | authorlink = | coauthors = | title = Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia | publisher = Yayasan Pustaka Obor Indonesia | date = 2011 | location = Jakarta | pages = 97-99 | url = | doi = | id = }}</ref>
{{multiple image
 
| GDP_PPP_year align = left
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan [[Sultan Iskandar Muda]] ([[1607]] - [[1636]]) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan [[Pahang]] yang merupakan sumber [[timah]] utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas [[Selat Malaka]] dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki [[Kedah]] dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.<ref name=":0">{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
| direction = vertical
| HDI total_width = 220
| image1 = Luís Monteiro Coutinho battling an Acehnese Captain.jpg
| image2 = The death of Luís Monteiro Coutinho.jpg
| image3 = Portuguese martyrs in Aceh.jpg
| footer = Tentara Aceh (kiri) bertempur melawan orang Portugis.
}}
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan [[Sultan Iskandar Muda]] ([[1607]] - [[1636]]) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan [[Pahang]] yang merupakan sumber [[timah]] utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas [[Selat Malaka]] dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki [[Kedah]] dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.<ref name=":0">{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
 
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan [[Ratu Elizabeth I]]. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
 
=== Masa Kemunduran ===
 
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
 
[[Berkas:Diplomat Aceh ke Penang.jpeg|kirijmpl|jmpl300px|Diplomat Aceh di [[Penang]]. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870-an]]
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan [[Sultan Iskandar Tsani]] hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimanadi mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda
 
Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Baris 78 ⟶ 83:
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di [[ibu kota]]. [[Lada]] menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) [[Syiah Kuala|Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily]] melakukan berbagai [[reformasi]] terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya ''tiga sagoe''. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah ''Bibeueh'' (kekuasaan langsung) semata.
 
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah ([[1795]]-[[1824]]), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. [[Perang saudara]] kembali pecah namun berkat bantuan [[Thomas Raffles|Raffles]] dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari [[Penang]] kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitudi situ, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-18701857–1870).
 
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun [[1854]] dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap [[Deli]], [[Langkat]] dan [[Serdang]]. Namun naas, tahun [[1865]] Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng [[Pulau Kampai, Pangkalan Susu, Langkat|Pulau Kampai]].<ref name="asal mula" />
Baris 86 ⟶ 91:
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan [[Habib Abdoe'r Rahman Alzahier|Habib Abdurrahman Az-zahier]] untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India [[Muhammad Tibang|Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad]] untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.<ref name="asal mula">{{cite book | last = Reid | first = Anthony | authorlink = | coauthors = | title = Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19 | publisher = Yayasan Obor | date = 2005 | location = Jakarta | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
 
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan [[Perjanjian Inggris-Belanda 1824|Traktat Sumatra]], dimanadi mana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan [[Traktat London]] 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
 
=== Perang Aceh ===
Baris 113 ⟶ 118:
{{utama|Sultan Aceh}}
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de Sultan van Atjeh TMnr 10001853.jpg|jmpl|ki|Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.|201x201px]]
 
'''Sultan Aceh''' atau '''Sultanah Aceh''' merupakanadalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, [[Banda Aceh|Bandar Aceh Darussalam]] kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
 
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.<ref>{{cite book | last = | first = | authorlink = | coauthors = Ali Hasjmi | title = 20 Tahun Universitas Syiah Kuala | publisher = Percetakan Universitas Syiah Kuala | date = 1980 | location = Banda Aceh, Medan | pages = 376-377 | url = | doi = | id = }}</ref>
Baris 121 ⟶ 127:
 
=== Perangkat Pemerintahan ===
[[File:Sultanate of Aceh.png|thumb|300px|Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan [[Sultan Iskandar Muda]]]]
 
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
* ''Balai Rong Sari'', yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
* ''Balai Majlis Mahkamah Rakyat'', yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira [[File:Sultanate of Aceh.png|thumb|Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan [[Sultan Iskandar Muda]]|195x195px]]semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
* ''Balai Gading'', yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
* ''Balai Furdhah'', yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
Baris 138 ⟶ 146:
 
=== Ulèëbalang & Pembagian Wilayah ===
[[Berkas:Aceh Islamic plate (Ming dynasty).jpg|jmpl|300px|Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh pada abad ke-17 M|150x150px]]
 
{{utama|Ulèëbalang}}
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama ''Nanggroe'', disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap daerah dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 10981088–1098 [[Kalender Hijriyah|H]] = 1678 - 16881678–1688 [[Masehi|M]]) dengan ''Kadi Malikul Adil'' (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan ''Sagoe'' dan kepalanya disebut ''Panglima Sagoe''. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
:* ''Sagoe XXII Mukim'', yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
:* ''Sagoe XXV Mukim'', yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Baris 156 ⟶ 164:
 
== Perekonomian ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gouden haarsieraad voor een bruid TMnr 1698-470.jpg|jmpl|300px|Salah satu kerajinan logam di Aceh.|150x150px]]
 
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
# Minyak tanah dari [[Deli]],
Baris 165 ⟶ 174:
# Sutera di Banda Aceh.
 
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai [[emas]], [[tembaga]], dan [[suasaakik]] yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang [[Pidie]] merupakan lumbung beras bagi kesultanan.<ref>{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = 87 | url = | doi = | id = }}</ref> Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah [[lada]].
 
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, [[Prancis]], dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, [[Teunom, Aceh Jaya|Teunom]], dan [[Meulaboh]].<ref name="asal mula">{{cite book | last = Reid | first = Anthony | authorlink = | coauthors = | title = Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19 | publisher = Yayasan Obor | date = 2005 | location = Jakarta | pages = 155 | url = | doi = | id = }}</ref>
 
== Kebudayaan ==
 
=== Arsitektur ===
[[Berkas:Gunongan_Putroë_Phang.JPG|jmpl|150x150px|[[Taman Putroe Phang|Gunongan]]]]
[[Berkas:Kandang_Taman_Ghairah.JPG|jmpl|150x150px|Kandang (komplek makam) [[Sultan Iskandar Tsani]]]]
 
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain [[Benteng Indrapatra|Benteng Indra Patra]], [[Masjid Tua Indrapuri]], Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan [[Taman Putroe Phang|Gunongan]] dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.<ref name=":0"/>
 
=== KesusateraanKesusasteraan ===
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk [[hikayat]]. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah [[Hikayat Malem Dagang]] yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu [[Hikayat Malem Diwa]], Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, [[Hikayat Pocut Muhammad]], [[Hikayat Prang Gompeuni]], Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan [[Hikayat Prang Sabi]].<ref name="Snouck">{{cite book | last = Hurgronje | first = Snouck | authorlink = | coauthors = | title = Aceh di Mata Kolonialis, jilid II| publisher = Yayasan Soko Guru | date = | location = Jakarta | pages = 111 | url = | doi = | id = }}</ref>
 
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah [[Bustanus Salatin]] (Taman Para Sultan) karya Syaikh [[Nuruddin Ar-Raniry]] disamping [[Tajus Salatin]] (1603), [[Sulalatus Salatin]] (1612), dan [[Hikayat Aceh]] (1606-16361606–1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu [[Hamzah Fansuri]] dengan karyanya antara lain ''Asrar al-Arifin'' (Rahasia Orang yang Bijaksana), ''Syarab al-Asyikin'' (Minuman Segala Orang yang Berahi), ''Zinat al-Muwahhidin'' (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
 
=== Karya Agama ===
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an ''Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil'', karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa [[jawi]].
 
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan ''Risalah'' ''Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi'' yang menjadi kitab pengantar di [[dayah]] sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah ''Sirath al-Mustaqim'', kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.<ref name="Hasjmi">{{cite book | last = Hasjmi | first = Ali | authorlink = | coauthors = | title = 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu| publisher = Bulan Bintang | date = | location = Jakarta | pages = 115 | url = | doi = | id = }}</ref>
 
=== Militer ===
 
[[Berkas:COLLECTIEThree TROPENMUSEUMcannons Kleinof bronzen kanon met inscriptie in Arabisch schrift TMnr 1772-57Aceh.jpg|jmpl|150x150px|Salah satuTiga meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.]]
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh.<ref>{{Cite journal|last=Hartono|first=Hartono|date=2023-01-02|title=DIPLOMASI ACEH DAN TURKI UTSMANI: KERJA SAMA DAKWAH ISLAM DALAM BINGKAI PERDAGANGAN ABAD XVI-XIX MASEHI|url=https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jat/article/view/19253|journal=Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam|volume=19|issue=2|pages=159–166|doi=10.15575/al-tsaqafa.v19i2.19253|issn=2654-4598}}</ref> Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.<ref>''Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia'' Josef W. Meri hal. 465 [http://books.google.com/books?id=H-k9oc9xsuAC&pg=PA465]</ref>
 
=== Foto Bersejarah ===
Baris 216 ⟶ 225:
* {{id}} [http://swaramuslim.net/more.php?id=A495_0_1_0_M Sejarah Islam di Indonesia di swaramuslim.net] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20080502140854/http://swaramuslim.net/more.php?id=A495_0_1_0_M |date=2008-05-02 }}
* {{id}} [http://ricisan.wordpress.com/2007/01/05/sedikit-bercerita-tentang-atjeh/ Sedikit Bercerita tentang Atjeh]
* {{id}} [http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070927221905/http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20== |date=2007-09-27 }}
* {{en}} [http://flagspot.net/flags/id-pra.html#atjeh Bendera-bendera yang digunakan oleh Kesultanan Aceh]
* Johan Wahyudhi (2016) ''[http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/31755 Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI-XVII].'' Jakarta '':'' UIN Syarif Hidayatullah
 
{{Kerajaan di Sumatra}}{{Authority control}}
 
{{DEFAULTSORT:Aceh, Kesultanan}}
[[Kategori:Kesultanan Aceh| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Aceh]]
Baris 230 ⟶ 241:
[[Kategori:Bekas kerajaan di Asia]]
[[Kategori:Aceh]]
[[Kategori:Bekas kesultanan]]
[[Kategori:Negara prakolonial di Indonesia]]