Kesultanan Aceh: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Pineapplethen (bicara | kontrib)
tidak tercatat jika Aceh memiliki Islam sebagai Agama resmi negara, yang tercatat hanyalah mereka Mayoritas Islam dan merupakan Kerajaan Islam pada waktu itu saja.
Tag: Pengembalian manual VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
RadityaAnwar11 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
(22 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{lindungidarianon2|small=yes}}
{{Infobox country
| conventional_long_name = Kerajaan Aceh Darussalam<br /><small>''Keurajeuën Acèh Darussalam''<br />كاورجاون اچيه دارالسلام</small>
| common_name = Aceh
| status = Protektorat
Baris 7:
| status_text = Wilayah [[Negara-negara bawahan dan taklukan Kesultanan Utsmaniyah|protektorat]] [[Kesultanan Utsmaniyah]] <small>(1569–1903)
| religion = [[Islam Sunni]]
| GDP_PPPdemonym =
| p1 = Kesultanan Lamuri
| p2 = Kesultanan Samudera Pasai
Baris 25 ⟶ 26:
| image_map = [[berkas:Aceh Sultanate id.svg|300px]]
| image_map_caption = Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608–1637)
| capital = [[Kutaraja]], Bandar Aceh Darussalam (sekarang [[Banda Aceh]])
| common_languages = [[Bahasa Aceh|Aceh]], [[Bahasa Melayu|Melayu Tinggi]], [[Bahasa Arab|Arab]], [[Bahasa Gayo|Gayo]], [[Bahasa Alas|Alas]], [[Bahasa Kluet|Kluet]], [[Bahasa Aneuk Jame|Minang]]
| government_type = [[Monarki]]
Baris 36 ⟶ 37:
| today = {{flag|Indonesia}}<br />{{flag|Malaysia}}<br />{{flag|Singapura}}<br />{{flag|Thailand}}
| footnotes =
| demonym = [[Suku Aceh|Bangsa Aceh]]
| area_km2 =
| area_rank =
| GDP_PPP =
| GDP_PPP_year =
| HDI =
| HDI_year =
}}
 
{{Sejarah Indonesia}}{{Sejarah Malaysia}}
 
'''Kesultanan Aceh Darussalam''' ({{lang-ace|Keurajeuën Acèh Darussalam}}; [[Abjad Jawi|Jawoë]]: كاورجاون اچيه دارالسلام) merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi [[Aceh]], [[Indonesia]]. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau [[Sumatra]] dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah [[Sultan Ali Mughayat Syah]] yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 [[Hijriyah|H]] atau pada tanggal [[8 September]] [[1507]]. Dalam sejarahnya yang panjang itu ([[1496]]–[[1903]]), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.<ref name="melayu">{{Cite web |url=http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= |title=Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com |access-date=2007-06-01 |archive-date=2007-09-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20070927221905/http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20== |dead-url=yes }}</ref>
 
== Sejarah ==
Baris 58 ⟶ 56:
[[Berkas:AMH-6132-NA_Bird%27s_eye_view_of_the_city_of_Atjeh.jpg|jmpl|ki|300px|Lukisan [[Banda Aceh]] pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.]]
 
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. [[Hikayat Aceh]]<ref>{{DubiousCite book|last=Hidayati|first=Noor|last2=Huriyah|date=MaretNovember 2020}}2021|url=https://www.google.co.id/books/edition/MANUSIA_INDONESIA_ALAM_SEJARAHNYA/S-FWEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Meskipun+Sultan+dianggap+sebagai+penguasa+tertinggi,+tetapi+nyatanya+selalu+dikendalikan+oleh+orangkaya+atau+hulubalang.+Hikayat+Aceh&pg=PA292&printsec=frontcover|title=Manusia {{CitationIndonesia, neededAlam & Sejarahnya|datelocation=Maret 2020Yogyakarta|publisher=K-Media|isbn=978-623-316-624-9|editor-last=Ngalimun|pages=292-293|url-status=live}}</ref> menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
 
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.<ref name=":1">{{cite book | last = Reid | first = Anthony | authorlink = | coauthors = | title = Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia | publisher = Yayasan Pustaka Obor Indonesia | date = 2011 | location = Jakarta | pages = 97-99 | url = | doi = | id = }}</ref>
Baris 67 ⟶ 65:
| image1 = Luís Monteiro Coutinho battling an Acehnese Captain.jpg
| image2 = The death of Luís Monteiro Coutinho.jpg
| footerimage3 = TentaraPortuguese Acehmartyrs bertempurin melawan orang PortugisAceh.jpg
| footer = Tentara Aceh (kiri) bertempur melawan orang Portugis.
}}
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan [[Sultan Iskandar Muda]] ([[1607]]–[[1636]]) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan [[Pahang]] yang merupakan sumber [[timah]] utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas [[Selat Malaka]] dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki [[Kedah]] dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.<ref name=":0">{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
Baris 74 ⟶ 73:
 
=== Masa Kemunduran ===
 
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
 
[[Berkas:Diplomat Aceh ke Penang.jpeg|kirijmpl|jmpl300px|Diplomat Aceh di [[Penang]]. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870-an]]
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan [[Sultan Iskandar Tsani]] hingga serangkaian peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda
 
Baris 119 ⟶ 118:
{{utama|Sultan Aceh}}
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de Sultan van Atjeh TMnr 10001853.jpg|jmpl|ki|Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.|201x201px]]
 
'''Sultan Aceh''' atau '''Sultanah Aceh''' adalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, [[Banda Aceh|Bandar Aceh Darussalam]] kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
 
Baris 127:
 
=== Perangkat Pemerintahan ===
[[File:Sultanate of Aceh.png|thumb|300px|Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan [[Sultan Iskandar Muda]]]]
 
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
* ''Balai Rong Sari'', yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
* ''Balai Majlis Mahkamah Rakyat'', yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira [[File:Sultanate of Aceh.png|thumb|Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan [[Sultan Iskandar Muda]]|195x195px]]semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
* ''Balai Gading'', yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
* ''Balai Furdhah'', yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
Baris 144 ⟶ 146:
 
=== Ulèëbalang & Pembagian Wilayah ===
[[Berkas:Aceh Islamic plate (Ming dynasty).jpg|jmpl|300px|Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh pada abad ke-17 M|150x150px]]
 
{{utama|Ulèëbalang}}
Baris 162 ⟶ 164:
 
== Perekonomian ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gouden haarsieraad voor een bruid TMnr 1698-470.jpg|jmpl|300px|Salah satu kerajinan logam di Aceh.|150x150px]]
 
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
# Minyak tanah dari [[Deli]],
Baris 171 ⟶ 174:
# Sutera di Banda Aceh.
 
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai [[emas]], [[tembaga]], dan [[suasaakik]] yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang [[Pidie]] merupakan lumbung beras bagi kesultanan.<ref>{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = 87 | url = | doi = | id = }}</ref> Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah [[lada]].
 
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, [[Prancis]], dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, [[Teunom, Aceh Jaya|Teunom]], dan [[Meulaboh]].<ref name="asal mula"/>
Baris 178 ⟶ 181:
 
=== Arsitektur ===
[[Berkas:Gunongan_Putroë_Phang.JPG|jmpl|150x150px|[[Taman Putroe Phang|Gunongan]]]]
[[Berkas:Kandang_Taman_Ghairah.JPG|jmpl|150x150px|Kandang (komplek makam) [[Sultan Iskandar Tsani]]]]
 
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain [[Benteng Indrapatra|Benteng Indra Patra]], [[Masjid Tua Indrapuri]], Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan [[Taman Putroe Phang|Gunongan]] dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.<ref name=":0"/>
 
=== KesusateraanKesusasteraan ===
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk [[hikayat]]. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah [[Hikayat Malem Dagang]] yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu [[Hikayat Malem Diwa]], Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, [[Hikayat Pocut Muhammad]], [[Hikayat Prang Gompeuni]], Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan [[Hikayat Prang Sabi]].<ref name="Snouck"/>
 
Baris 195 ⟶ 198:
=== Militer ===
 
[[Berkas:COLLECTIEThree TROPENMUSEUMcannons Kleinof bronzen kanon met inscriptie in Arabisch schrift TMnr 1772-57Aceh.jpg|jmpl|150x150px|Salah satuTiga meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.]]
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh.<ref>{{Cite journal|last=Hartono|first=Hartono|date=2023-01-02|title=DIPLOMASI ACEH DAN TURKI UTSMANI: KERJA SAMA DAKWAH ISLAM DALAM BINGKAI PERDAGANGAN ABAD XVI-XIX MASEHI|url=https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jat/article/view/19253|journal=Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam|volume=19|issue=2|pages=159–166|doi=10.15575/al-tsaqafa.v19i2.19253|issn=2654-4598}}</ref> Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.<ref>''Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia'' Josef W. Meri hal. 465 [http://books.google.com/books?id=H-k9oc9xsuAC&pg=PA465]</ref>
 
Baris 239 ⟶ 242:
[[Kategori:Aceh]]
[[Kategori:Bekas kesultanan]]
[[Kategori:Negara prakolonial di Indonesia]]