Jalur ABG: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Perubahan kosmetik tanda baca |
→Golkar sebagai Penjaga: Penambahan konteks dan referensi. Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(11 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Jalur ABG''' adalah sebuah istilah yang digunakan oleh kelompok [[intelektual]] dalam menyebut unsur atau komponen politik dalam proses dan struktur pemerintahan [[Indonesia]] di masa [[Orde Baru]] yang dipimpin oleh [[Soeharto|Jenderal Soeharto]], yaitu militer ([[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia|ABRI]]), birokrasi, dan [[Golkar]].
== Latar Belakang ==
Baris 14:
Seiring berjalannya sejarah, konsep "Jalan Tengah" gagasan Nasution tidak terdengar lagi pada [[Seminar Angkatan Darat]] Pertama pada April 1965, tetapi justru konsep "Jalan Tengah" itu terpotong pada bagian Dwifungsi ABRI saja, yang akhirnya menjadi landasan ideologi [[neofasis]] dan [[Militerisme|militeristik]] rezim [[Orde Baru]] dibawah [[Soeharto|Jenderal Soeharto]]. dalam Dwifungsi ABRI itu, peran militer sebagai unsur kekuatan sosial-politik tidak memiliki batasan, sehingga militer bisa masuk ke ranah sipil dan ikut terlibat mengurusi hal-hal non-militer.<ref name=":0">Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia'', (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 78</ref>
[[Berkas:Ali Moertopo.jpg|jmpl|Ali Moertopo]]
Konsep [[Dwifungsi ABRI]] itu kemudian semakin dipertegas dalam [[Seminar
[[Berkas:Jenderal TNI Soeharto.png|jmpl|Jenderal Soeharto saat merangkap jabatan sebagai Presiden dan juga Panglima Angkatan Bersenjata]]
<blockquote>"Jangan ada lagi kelompok di dalam masyarakat yang ingin memuaskan kehendaknya untuk mengubah sistem dwifungsi ini. Desakan untuk menghapus Dwifungsi ABRI secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi akan sangat berakibat negatif dan bahkan akan menumbuhkan sentimen ABRI untuk bertindak tidak demokratis."<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia'', (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 78 - 79</ref></blockquote>Di masa [[Orde baru|Orde Baru]], Dwifungsi ABRI menjadi satu kebutuhan politik bagi pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, hal ini dikarenakan militer lebih kompeten untuk menjadi [[modernisator]] dan lebih terikat secara konsekuen kepada proses pembangunan. Menurut [[Arbi Sanit]] kelebihan militer dalam hal menjaga stabilitas politik adalah sebagai berikut:<ref name=":1">Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia'', (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 79</ref>
# Militer terbiasa membandingkan masyarakat sendir dengan masyarakat negara lain, sehingga mereka memiliki data dan riset bagi suatu negara dengan tolok ukur negara lain.
# Militer lebih [[rasional]], [[Efisiensi (Disambiguasi)|efisien]], dan [[
# Militer memiliki jarak dengan masyarakat sipil, yang membuat mereka sering menjadi kekuatan yang ekslusif.
Stabilitas politik diperlukan untuk membangun ekonomi yang lebih baik karena [[Orde lama|Orde Lama]] dibawah [[Soekarno]] meninggalkan warisan sekaligus tantangan bagi negara [[Indonesia]], yaitu berupa inflasi yang tinggi (sekitar 650%) yang mengakibatkan pada kemiskinan yang luar biasa. Kemereosotan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama itu kemudian menjadi tanggungjawab Orde Baru untuk memperbaikinya, maka kemudian Orde Baru lebih mengutamakan kepada pembangunan ekonomi, dan untuk itu kelompok militer dianggap sebagai kelompok yang paling mampu menjaga stabilitas politik agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan baik. Militer mampu menjadi stabilisator karena memiliki sumber daya yang tidak dimiliki sipil, yaitu senjata, sistem komando, dan disiplin yang tinggi.<ref name=":1" />
Militer menjadi salah satu unsur utama di dalam pemerintahan [[Orde Baru]] [[Soeharto|Jenderal Soeharto]]. Peran militer itu selain sebagai stabilisator, juga sebagai fasilitator, sistem [[otoritarianisme]] melalui [[Dwifungsi ABRI]]. ABRI menerapkan doktrin Dwifungsi diseluruh tingkatan dalam pemerintahan, dari yang tertinggi sampai yang terendah. Implementasi Dwifungsi ABRI itu dilakukan dengan cara memasukan personil militer yang aktif maupun yang telah [[purnawirawan]] ke dalam jabatan-jabatan publik, dari presiden, [[gubernur]], [[walikota]], [[bupati]], [[camat]], bahkan [[lurah]]. Tujuan dari memasukkan personil militer aktif kedalam struktur pemerintahan adalah untuk membangun struktur komando seperti halnya stuktur komando teritorial dalam militer, sehingga pemerintah dapat mengendalikan masyarakat. Alasan keamanan dan ketahanan, menjadi alasan pemerintah untuk menempatkan perwira militer yang diangkat menjadi pejabat publik.<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia'', (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 81</ref>
Atas nama pembangunan ekonomi, kemudian pihak penguasa militer atau [[junta militer]] di masa [[Orde Baru]] kemudian menjalankan kebijakan apapun untuk menjaga stabilitas politik, agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung dnegan baik dan sesuai rencana. Salah satu yang dilakukan oleh [[junta militer]] adalah membatasi kebebasan berpendapat, karena kebebasan berpendapat yang tanpa batas akan memunculkan potensi-potensi disabilitas dan ideologi-ideologi yang dianggap destruktif, seperti [[anarkisme]]. Namun, pembatasan yang dilakukan oleh [[Orde Baru]] kemudian bersifat terlalu mengekang, membatasi partisipasi masyarakat, dan cenderung represif. Kebijakan-kebijakan represif yang dilakukan oleh [[Orde Baru]] antara lain; mewajibkan para [[mubalig]] untuk melaporkan tema [[khotbah]] mereka, para [[mahasiswa]] dilarang untuk mengikuti [[organisasi]] yang dianggap bertentangan dengan negara, kekuatan politik [[sayap kiri]] dibungkam, dan [[sayap kanan]], khususnya [[fundamentalisme keagamaan]] mengalami kriminalisasi. Kestabilan politik juga direkayasa oleh pemerintah [[Orde Baru]] kepada peran [[legislatif]] atau [[Dewan Perwakilan Rakyat|Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)]]. Fungsi kontrol dan pengawasan dari DPR kepada pihak [[eksekutif]] atau pemerintah tidak berjalan dengan seharusnya. Setiap anggota DPR yang dianggap terlalu vokal atau terlalu kritis dalam menyerang pemerintah akan dicopot, sehingga kinerja DPR menjadi tidak maksimal, dan
[[Orde Baru]] menggunakan militer dan termasuk badan intelejen untuk membatasi ruang gerak aspirasi masyarakat, banyak kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian bila melakukan aksi protes terhadap pemerintah kemudian akan dilabeli [[subversif]] yang kemudian harus berhadapan dengan pihak militer. Militer menjadi pilar penopang stabilnya rezim Orde Baru dalam mempertahankan [[status quo]] atas nama keberlangsungan pembangunan ekonomi. Akhirnya atas nama menjaga dan mempertahankan itulah, [[ABRI]] tersandung banyak kasus pelanggaran terhadap [[Hak Asasi Manusia]], seperti di [[Aceh]], [[Irian Jaya]] (sekaran [[Papua]]), dan [[Timor Timur]] (sekarang [[Timor Leste]]), selain itu ABRI juga bertanggungjawab atas hilangnya [[aktivis]] dan beberapa tragedi kemanusiaan lainnya, seperti [[Tragedi Semanggi]], [[Tragedi Trisakti]], [[Tragedi Tanjung Priok]], dan masih banyak lagi.
Baris 31:
== Birokrasi sebagai Penggerak ==
Peran birokrasi pada masa pemerintahan [[junta militer]] [[Orde Baru]] menjadi sangat vital, terutama untuk mengontrol aktivitas masyarakat sipil yang tidak memiliki struktur komando dalam militer. Birokrasi kemudian menjalankan perannya dalam pemerintahan [[Orde Baru]] sebagai pembangun jaringan dan struktur yang berfungsi sebagai penjamin terlaksananya kebijakan pemerintah kepada masyarakat agar lebih efektif dan efisien. Peran [[birokrasi]] sebagai pelaksana kebijakan pemerintah berangkat dari teori [[Max Weber]] tentang birokrasi dan peran negara dalam mengendalikan masyarakat.<ref>Kacung Marijan, ''Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,'' (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 17</ref> Max Weber berkata:<blockquote>"Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah."<ref>Miriam Budiardjo, ''Dasar-Dasar Ilmu Politik,'' (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 49</ref></blockquote>Menurut Max Weber, birokrasi bisa menjalanan program pemerintah dengan efektif dan efisien karena memiliki karakteristik yang ideal, seperti pembagian kerja, jenjang
Dalam hal pembangunan ekonomi, [[investasi]] menjadi hal yang penting, khususnya investor asing. Peran birokrasi dalam proses masuknya investasi itu adalah sebagai [[regulator]] atau membuat peraturan-peraturan yang menjamin masuknya investasi tersebut dan termasuk juga jaminan keamanan uang dari investor itu sendiri. Kekuasaan yang dimiliki oleh birokrasi itu kemudian juga berdampak kepada perkembangan organisasi-organisasi lain, tidak hanya pada permasalahan investasi, tetapi juga administrasi dan pelayanan publik masyarakat umum. Pelayanan publik pada dasarnya tidak menyalahi aturan, karena pelayanan publik berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam negara. Namun, permasalahanya adalah, ketika di masa [[Orde Baru]], birokrasi justru menjadi penghambat partisipasi masyarakat, karena birokrasi digunakan untuk menetapkan sederet aturan yang mewajibkan masyarakat agar patuh pada seluruh peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah.<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia,'' (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 83</ref>
== Golkar sebagai Penjaga ==
Pada awal berdirinya, [[Golongan Karya]] atau [[Golkar]] sebenarnya bukan sebuah [[partai politik]], tetapi sebagai sebuah organisasi gabungan yang
▲Pada awal berdirinya, [[Golongan Karya]] atau [[Golkar]] sebenarnya bukan sebuah [[partai politik]], tetapi sebagai sebuah organisasi gabungan yang teridir dari berbagai golongan fungsional yang terdapat dalam [[Dewan Nasional]]. Masuknya Golkar kedalam pemilihan umum adalah ketika dibentuk sebuah Sekretariat Bersama Golongan Karya ([[Sekber Golkar]]) pada Oktober 1964 yang didalamnya terdiri dari berbagai macam kelompok profesi yang berbeda-beda, seperti [[buruh]], [[pegawai negeri]], [[guru]], termasuk [[militer]]. Meskipun pada saat itu militer tidak ikut politik praktis, ide pembentukan Golkar itu sendiri sebenarnya lahir untuk menampung aspirasi politik dari pihak militer yang tak bisa ikut politik praktis secara langsung, sehingga melalui Golkar-lah militer menopang kepentingan politiknya, sekaligus untuk menandingi kekuatan [[Partai Komunis Indonesia|Partai Komunis Indonesia (PKI)]] yang menjadi saingan utama militer pada saat itu.<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia,'' (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 84</ref>
Selain menghimpun kekuatan politik secara vertikal di dalam tubuh birokrasi, Golongan Karya juga membangun hubungan secara horizontal, atau membangun hubungan dengan masyarakat. Dalam setiap pemilihan umum, Golkar selalu menawarkan penghargaan atau "umpan balik" kepada masyarakat bila Golkar menang dalam pemilihan umum di lingkungan tersebut. Masyarakat di lingkungan yang dimenangkan oleh Golkar biasanya akan mendapatkan banyak keistimewaan dan kemudahan, misalkan kemudahan dalam mengurus perizinan, kemenangan tender, membuka kesempatan menjadi rekan pemerintah, pembangunan infrastruktur, dan tentu keuntungan-keuntungan finansial lainnya, hal ini jelas membuat masyarakat tentu akan memilih Golkar. Namun, hal berbeda bila [[PDI]] atau [[PPP]] yang memenangkan pemelihan umum, masyarakat di lingkungan tempat Golkar kalah akan benayak mendapatkan kesulitan, terutama dalam hal administrasi dan pelayanan publik.<ref
▲Selain menghimpun kekuatan politik secara vertikal di dalam tubuh birokrasi, Golongan Karya juga membangun hubungan secara horizontal, atau membangun hubungan dengan masyarakat. Dalam setiap pemilihan umum, Golkar selalu menawarkan penghargaan atau "umpan balik" kepada masyarakat bila Golkar menang dalam pemilihan umum di lingkungan tersebut. Masyarakat di lingkungan yang dimenangkan oleh Golkar biasanya akan mendapatkan banyak keistimewaan dan kemudahan, misalkan kemudahan dalam mengurus perizinan, kemenangan tender, membuka kesempatan menjadi rekan pemerintah, pembangunan infrastruktur, dan tentu keuntungan-keuntungan finansial lainnya, hal ini jelas membuat masyarakat tentu akan memilih Golkar. Namun, hal berbeda bila [[PDI]] atau [[PPP]] yang memenangkan pemelihan umum, masyarakat di lingkungan tempat Golkar kalah akan benayak mendapatkan kesulitan, terutama dalam hal administrasi dan pelayanan publik.<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia,'' (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 85</ref>
== Referensi ==
Baris 50 ⟶ 47:
[[Kategori:Politik Indonesia]]
[[Kategori:Junta Militer]]
[[Kategori:Otoritarianisme]]
|