Patoloan, Bone-Bone, Luwu Utara: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
merapikan isi artikel |
||
(6 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 8:
|kepadatan =205 jiwa/km²
|kode pos=92966|kepala desa=Harianto Basuki, S.Pd, M.Si|luas=23.71 km²}}
'''Patoloan''' adalah sebuah [[desa]] di wilayah
== Wilayah ==
Terdapat 4 [[Pedukuhan|Dusun]] yang terletak di Desa Patoloan, yakni: Dusun Lemahabang, Dusun Legoksari, Dusun Trikora dan Dusun Kanjiro. Di tahun 2017, tercatat penduduknya berjumlah 4.857 jiwa
== Sejarah ==
Asal-usul nama Desa Patoloan merujuk pada kata "Patoloran," yang berasal dari bahasa Bugis. Dalam konteks Bugis, istilah "Patoloran" mengandung makna patok, yang merujuk pada batang kayu yang ditancapkan ke dalam tanah atau tanah di atas bukit. Patok ini digunakan khususnya untuk mengikat hewan ternak seperti sapi atau kerbau.
Berkat penggunaan patok yang sering dan banyak di atas bukit, masyarakat pada masa lalu menyebutnya Bukit Patoloran. Seiring berjalannya waktu, para tokoh masyarakat mengubah namanya menjadi Patoloan untuk memberikan identitas yang lebih jelas dan merefleksikan karakteristik desa tersebut.
Menurut cerita dari masa lampau, disebutkan bahwa jika kerbau atau sapi diikat di tempat tersebut, ternak tersebut akan aman dari segala gangguan karena terdapat penunggu yang tak kasap mata di sekitar bukit tersebut. Tempat yang dimaksud saat ini berada di wilayah Desa Saptamarga, Kecamatan [[Sukamaju, Luwu Utara|Sukamaju]], tepatnya di sebelah bendungan Sungai Kanjiro. Pada awalnya, area ini termasuk dalam wilayah Desa Patoloan. Namun, karena adanya pemekaran wilayah, pada tahun 1970, wilayah ini menjadi bagian dari Desa [[Saptamarga, Sukamaju, Luwu Utara|Saptamarga]], hal ini juga bersamaan dengan pembangunan Perkampungan Militer HOME BASE yang dikenal dengan sebutan Hombes.
Awalnya, Desa Patoloan bermula dari Dusun Lemahabang yang dihuni pada tahun 1938. Penduduk awalnya berasal dari Pulau Jawa, yang datang bersamaan dengan masa kolonial Belanda di bawah pemerintahan Belanda. Saat itu, kampung ini masih berupa hutan belantara dan rawa-rawa yang seolah-olah sulit ditempati karena keberadaan binatang liar yang masih melimpah.
Meskipun kondisinya sulit, tetapi melalui kegigihan dan usaha para penduduk serta leluhur mereka, kampung ini akhirnya dapat dihuni. Awalnya, lokasi yang dapat ditempati terbatas pada daerah pegunungan atau dataran tinggi. Di tempat ini, terdapat tanda-tanda kehidupan, seperti lahan yang cocok untuk bercocok tanam. Saat ini, lokasi tersebut telah berkembang menjadi komplek Perumahan BTN dan sekitarnya.
Dahulu, orang-orang menyebut kampung ini dengan nama Lemahabang. Nama tersebut memiliki makna, di mana "Lemah" mengartikan tanah, dan "Abang" mengartikan merah. Nama Lemahabang yang diberikan oleh para penduduk dulu kala tetap dilestarikan dan digunakan hingga saat ini.
=== Tahun 1938-1952 ===
Pada masa itu, kepemimpinan di kampung belum sepenuhnya terbentuk, dan pemerintahan diawasi langsung oleh AWE (Asisten Wedono), yang kini dikenal sebagai CAMAT. Antara tahun 1938 hingga 1952, perkampungan Lemahabang dipimpin oleh AWE. Setelah periode tersebut, baru muncul jabatan kepala kampung yang pada saat itu disebut Lurah. Pertanyaannya pun muncul: siapakah yang menjadi Lurah pada masa itu?
=== Tahun 1952-1965 ===
Pada saat itu, sosok yang memimpin kampung Lemahabang adalah MBAH WAGIRAH, yang menjabat sebagai kepala kampung mulai tahun 1952 hingga 1965. Di bawah kepemimpinan MBAH WAGIRAH, warga kampung Lemahabang dan Kanjiro masih merasakan ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa itu, kampung Kanjiro bahkan belum memiliki kepala kampung yang ditunjuk.
Masa kepemimpinan Mbah Wagirah berlangsung pada waktu yang kritis, di mana terjadi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Pada masa pemberontakan ini, warga bersama Tentara Siliwangi dan Tanjung Pura bersatu untuk melawan pemberontakan tersebut. Setiap malam, kampung kedengaran gemuruh letusan senjata dan dentuman meriam sebagai bagian dari perjuangan melawan pemberontakan tersebut.
=== Tahun 1959 ===
Pada tahun 1959, terjadi pertempuran sengit antara warga dan pemberontak di kampung Lemahabang, menciptakan suasana yang sangat mencekam. Kondisi tersebut memuncak dengan pembakaran rumah warga oleh para pemberontak, sehingga langit di atas perkampungan Lemahabang diwarnai merah. Peristiwa ini terjadi kurang dari dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, meninggalkan kesan tragis dan sulit dilupakan bagi masyarakat setempat.
Pada awal tahun 1965, pemberontakan DI/TII sudah mulai mereda dan menuju ke akhir. Kondisi tersebut sejalan dengan berakhirnya masa jabatan Mbah Wagirah sebagai Kepala Kampung/Lurah Lemahabang.
=== Tahun 1965-1969 ===
Dari tahun 1965 hingga 1969, kampung Lemahabang dipimpin oleh sesepuh kampung, yaitu Pak Baidi. Selama kepemimpinan beliau, kehidupan masyarakat menjadi lebih tenang, tanpa terjadinya kekacauan dan pembakaran rumah warga seperti sebelumnya. Meskipun demikian, tantangan ekonomi masih cukup besar bagi masyarakat. Pada tahun 1969, masa kepemimpinan Pak Baidi sebagai Kepala Kampung berakhir.
=== Tahun 1969-1974 ===
Setelah kepala kampung dijabat oleh Pak Baidi, kampung Lemahabang dipimpin oleh Pak Tabri. Di bawah kepemimpinan beliau, masyarakat dapat hidup dengan lebih tenang, namun kondisi perekonomian masyarakat masih serupa dan tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Pada tahun 1974, masa kepemimpinan Pak Tabri pun berakhir.
Pada tahun 1974, di Kampung Kanjiro, kepemimpinan dipegang oleh sesepuh kampung, Pak Tohamiah, sementara di Kampung Lemahabang, kepemimpinan diambil alih oleh Pak Kasdin. Meskipun kondisi ekonomi pada periode ini masih menantang, kehidupan bersosial masyarakat tetap rukun dan tenang. Terdapat sedikit perbedaan dibanding masa sebelumnya, yaitu saat turun sawah atau Buka Bumi. Setiap tahunnya, diadakan syukuran bersama yang ditandai dengan pagelaran Wayang Kulit selama satu hari satu malam. Pagelaran tersebut menjadi hiburan yang sangat dinikmati oleh masyarakat.
=== Tahun 1980 ===
Kepemimpinan Pak Kasdin ditandai dengan kepribadian yang ramah, sopan, dan sederhana, sehingga membuat masyarakat sangat menyukai kepemimpinannya. Namun, kepemimpinan beliau berakhir pada tahun 1980.
Tahun 1980 menjadi awal kepemimpinan Bapak Ahmad Shodiq di Kampung Lemahabang, sementara di Kampung Kanjiro, kepemimpinan dipegang oleh Pak Aris. Selama masa kepemimpinan Pak Ahmad Shodiq, terjadi perencanaan untuk mendirikan sebuah desa yang lebih terorganisir. Proses ini melibatkan berbagai tokoh masyarakat, di antaranya Ust. Saing Latif dan tokoh-tokoh lainnya, yang turut berkontribusi dalam memberikan nama untuk desa yang baru akan terbentuk.
== Geografis ==
Luas wilayah Desa Patoloan adalah 23.71
=== Batas Wilayah ===
Baris 48 ⟶ 90:
==== SMP/MTs ====
* [[MTs Al-Falah Lemahabang]]
==== SMA/MA ====
Baris 55 ⟶ 97:
=== Kesehatan ===
Di bidang kesehatan, fasilitas dan sarana kesehatan terdapat 1 [[Pos Kesehatan Desa|Poskesdes]], 2 [[Pos Pelayanan Terpadu|Posyandu]], dan 3 Praktek Dokter.<ref name=":0" />
=== Agama ===
Fasilitas keagamaan yang terdapat di Patoloan, 2 [[Masjid]] dan 10 [[Musala|Musholla]]
== Riwayah Kepala Desa ==
Tahun 1982 menjadi tahun di mana Desa Patoloan resmi menjadi desa definitif. Pada periode tersebut, jabatan kepala desa dipegang oleh Marking DM, dengan masa jabatan dari tahun 1982 hingga 1986. Kemudian, masyarakat Desa Patoloan menyelenggarakan pemilihan kepala desa pertama pada bulan Juni 1986. Tiga calon kepala desa yang bersaing pada waktu itu adalah:
* Marking DM
* Ust. Saing Latif
* Abd. Rauf
Dalam pemilihan kepala desa Patoloan, Marking DM berhasil memenangkan suara. Dalam menjalankan tugas sehari-hari sebagai kepala desa, Marking DM dibantu oleh beberapa perangkat, termasuk kepala dusun, antara lain:
* Dusun Kanjiro dipimpin oleh Akat.
* Dusun Lemahabang dipimpin oleh Hatta Maddu.
Pada masa pemerintahan Marking DM, Desa Patoloan terbagi menjadi lima dusun, yaitu: Dusun Lemahabang, Kanjiro, Tanimba, Rante Malona, dan Muktisari. Batas Desa Patoloan pada saat itu adalah:
* Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukaraya.
* Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Bone-Bone dan Desa Banyuurip.
Setelah pemekaran wilayah, Tanimba akhirnya menjadi bagian dari [[Bone-Bone, Bone-Bone, Luwu Utara|Kelurahan Bone-Bone]]. Seiring berjalannya waktu, Dusun Rante Malona dan Dusun Muktisari menginginkan pemisahan diri untuk membentuk satu desa tersendiri. Usulan ini diwakili oleh tokoh dari kedua dusun tersebut yang kemudian menyampaikannya kepada Camat yang saat itu dijabat oleh Andi Azmal. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti dan disetujui oleh Camat. Akhirnya, pada tahun 1996, kedua dusun tersebut memisahkan diri dari Desa Patoloan dan membentuk [[Muktisari, Bone-Bone, Luwu Utara|Desa Muktisari]].
Selama masa kepemimpinan Kepala Desa Marking DM, ekonomi masyarakat Desa Patoloan mengalami peningkatan yang signifikan berkat adanya pasar sentral yang terletak di dalam desa. Keberadaan pasar sentral ini memberikan dorongan positif terhadap roda perekonomian masyarakat Desa Patoloan. Pada tahun 1998, masa pemerintahan Marking DM berakhir, dan Hatta Maddu mengambil alih sebagai pejabat Kepala Desa Patoloan dari tahun 1998 hingga 2001.
Pada tahun 2001, diadakan pemilihan kepala desa untuk yang kedua kalinya. Peserta pemilihan kepala desa pada waktu itu melibatkan beberapa calon, yaitu:
* Hatta Maddu
* Andi Yusran
* Abd. Kadir
* Muhtaddin, S. Ag.
* Syamsul Alif
Pemilihan ini sangat kompetitif karena diikuti oleh sejumlah calon, dan akhirnya dimenangkan oleh Bapak Muhtaddin S. Ag.
Dalam mengelola pemerintahan desa, Bapak Muhtaddin, S. Ag., dibantu oleh perangkat desa termasuk kepala dusun. Pada masa pemerintahannya, dilakukan pemekaran dusun dengan terbentuknya Dusun Trikora pada tahun 2002 dan Dusun Legoksari pada tahun 2004. Selama periode ini, diberlakukan aturan baru bahwa jabatan kepala desa berlangsung selama 8 tahun.
Pada tahun 2008, diselenggarakan pemilihan kepala desa Patoloan yang ketiga kalinya. Calon peserta pada pemilihan tersebut melibatkan:
* Mashuri
* Muhtadin, S. Ag.
* Mat Solikin
* Nasrun Nonci
Pemilihan keempat dilaksanakan pada tahun 2014 dan menjadi sangat meriah karena diikuti oleh empat calon kepala desa, di antaranya Muhtaddin, S. Ag. yang kembali memenangkan jabatan tersebut dan menyelesaikan masa jabatannya pada tahun 2014.
Pada tahun yang sama, 2014, masyarakat Desa Patoloan kembali menyelenggarakan pemilihan kepala desa yang kelima. Calon peserta pada pemilihan tersebut melibatkan:
* Mat Juari, SP
* Slamat
* Nasrun Nonci
* Muhtaddin, S. Ag
* M. Tajang Noki
Tahun 2021 Desa Patoloan kembali menyelenggarakan pemilihan kepala desa, dan berikut adalah calon peserta pada pemilihan tersebut:
* Slamet
* Mat juari, SP
* Arisman, S.Sos
* Muhtading, S.Ag
* Harianto Basuki, S.Pd, M.Si
== Daftar Kepala Desa ==
Berikut adalah nama-nama yang pernah menjadi kepala kampung dan juga kepala desa di Patoloan:
{| class="wikitable"
|+
!No
!Nama
!Jabatan
!Masa Jabatan
|-
|1
|Wagirah
|Kepala Kampung
|1952-1965
|-
|2
|Baidi
|Kepala Kampung
|1965-1969
|-
|3
|Tabri
|Kepala Kampung
|1969-1974
|-
|4
|Kasdin
|Kepala Kampung
|1974-1980
|-
|5
|Ahmad Shodiq
|Kepala Kampung
|1980-1982
|-
|6
|Marking DM
|Kepala Desa
|1982-1986
|-
|7
|Hatta Maddu
|Kepala Desa
|1986-2001
|-
|8
|Muhtading, S.Ag
|Kepala Desa
|2001-2008
|-
|9
|Muhtading, S.Ag
|Kepala Desa
|2008-2014
|-
|10
|Mat Juari, SP
|Kepala Desa
|2014-2021
|-
|11
|Harianto Basuki, S.Pd, M.Si
|Kepala Desa
|2021-2027
|}
== Referensi ==
{{Reflist}}{{Bone-Bone, Luwu Utara}}
{{Authority control}}
|