Moksa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Arindashifa (bicara | kontrib) k Koreksi |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(8 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{kegunaanlain}}
{{Redirect|Moksha|kelompok etnik di Rusia|Orang Moksha|bahasa yang digunakan kelompok tersebut|Bahasa Moksha}}
{{Hindu}}
'''Moksa''' ([[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]]: ''mokṣa'') juga disebut '''''vimoksha''', '''vimukti''''', dan '''''mukti''''' adalah sebuah konsep agama [[Hindu]], [[Buddha]], [[Jainisme]], dan [[Sikhisme]] untuk segala bentuk emansipasi, pencerahan, kebebasan, dan pelepasan. Dalam pengertian [[soteriologi]] dan [[eskatologi]], ini merujuk pada kebebasan dari [[samsara]], putaran [[reinkarnasi]] atau ''[[Punarbawa]]'' kehidupan. Dalam pengertian [[epistemologi]] dan psikologi, ''moksa'' adalah kebebasan dari penolakan: realisasi diri, aktualisasi diri, dan pengetahuan diri.
Baris 5 ⟶ 6:
Dalam tradisi Hindu, ''moksa'' merupakan sebuah konsep pusat dan tujuan utama hidup manusia yang sepenuhnya; tiga tujuan lainnya yaitu ''[[dharma]]'' (kehidupan yang berbudi luhur, pantas, dan bermoral), ''[[arta]]'' (kemakmuran materi, keamanan pendapatan, sarana hidup), dan ''[[kama]]'' (kesenangan, sensualitas, kepuasan emosional). Secara bersamaan, empat konsep ini disebut sebagai [[Caturpurusarta]] dalam agama Hindu.
Di beberapa mazhab agama India, ''moksa'' dianggap sama dan digunakan secara bergantian dengan istilah-istilah lain, seperti ''vimoksha'', ''vimukti'', ''kaivalya'', ''apavarga'', ''mukti'', ''nihsreyasa,''
== Etimologi ==
Baris 43 ⟶ 44:
Banyak mazhab Hinduisme yang menurut Daniel Ingalls, melihat ''moksa'' sebagai keadaan sempurna. Konsep ini dipandang sebagai tujuan alamiah yang melampaui ''dharma''. ''Moksa'', dalam sastra kuno dan epos agama Hindu, dipandang dapat dicapai dengan teknik yang sama yang diperlukan untuk mempraktikkan ''dharma''. Disiplin diri merupakan jalan menuju ''dharma'', ''moksa'' adalah disiplin diri yang begitu sempurna hingga menjadi sifat alamiah yang tidak disadari. ''Dharma'' dengan demikian adalah jalan menuju ''moksa''.
Mazhab [[Samkhya]] dalam ajaran Hindu, sebagai contoh, menyarankan bahwa salah satu jalan menuju ''moksa'' adalah untuk memperbesar ''sattvam'' seseorang. Untuk memperbesar ''sattvam'' seseorang, seseorang harus mengembangkan dirinya
==== Tantangan Nagarjuna ====
Baris 49 ⟶ 50:
==== Tantangan Adi Shankara ====
[[Adi Shankara]] di abad ke-8 Masehi, seperti Nagarjuna sebelumnya, meneliti perbedaan antara dunia yang kita huni dengan ''moksa'', kebebasan dan pelepasan yang diharapkan. Tidak seperti Nagarjuna, Shankara mempertimbangkan karakteristik di antara keduanya. Dunia yang kita huni membutuhkan tindakan dan juga pemikiran; dunia kita, ucap ia, tidak mungkin terjadi tanpa adanya ''vyavahara'' (tindakan dan keragaman). Dunia saling berhubungan, satu objek bekerja satu sama lain, masukan diubah menjadi keluaran, perubahan itu berkelanjutan dan ada
Cendekiawan, menjawab tantangan Shankara terhadap konsep ''moksa'' yang sejajar dengan tantangan [[Plotinos|Plotinus]] terhadap kaum [[Gnostisisme|Gnostik]], dengan satu perbedaan penting: Plotinos menuduh kaum Gnostik karena menukar sebuah seperangkat [[kebajikan]] [[Antroposentrisme|antroposentris]] dengan seperangkat [[Teosentrisme|teosentris]] dalam mengejar keselamatan; Shankara menantang bahwa konsep ''moksa'' menyiratkan pertukaran seperangkat kebajikan antroposentris ''(dharma)'' dengan keadaan bahagia yang tidak memerlukan nilai-nilai. Shankara melanjutkan jawaban dengan mengatakan bahwa kebajikan antroposentris saja sudah cukup.
Baris 57 ⟶ 58:
== Sejarah ==
Konsep ''moksa'' muncul jauh setelah sastra India kuno daripada konsep ''dharma''. Konsep-proto yang muncul pertama di ayat-ayat Sansekerta kuno dan Upanishad awal adalah ''mucyate'', yang berarti dibebaskan atau dilepaskan. Ini adalah Upanishad pertengahan dan selanjutnya, seperti Svetasvatara dan [[Maitrayaniya Upanishad|Maitri]],
Katha Upanishad, naskah zaman pertengahan Upanishad yang bertanggal sekitar 2500 tahun, adalah salah satu eksposisi paling awal tentang ''samsara'' dan ''moksa''. Dalam buku I, bagian III, legenda tentang anak laki-laki Naciketa bertanya pada [[Yama]], dewa kematian, apa yang menyebabkan ''samsara'' dan apa yang mengarah ke pembebasan. Naciketa bertanya: apa yang menyebabkan kesedihan? Yama menjelaskan bahwa penderitaan dan ''samsara'' dihasilkan dari sebuah kehidupan yang dijalani dengan linglung, dengan ketidakmurnian, dengan tidak menggunakan kecerdasan maupun penyelidikan diri,
Svetasvatara Upanishad, naskah zaman pertengahan Upanishad yang ditulis setelah Kathaka Upanishad, dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa manusia dilahirkan, apa penyebab utama di balik semesta, apa yang menyebabkan kebahagiaan dan kesedihan dalam hidup? Ini kemudian meneliti berbagai teori, yang kemudian ada, tentang ''samsara'' dan pelepasan dari belenggu. Svetasvatara mengklaim, belenggu dihasilkan dari penolakan, ilusi atau delusi; pembebasan datang dari pengetahuan. Yang mahatinggi hidup di semua makhluk, ialah penyebab utama, ialah hukum abadi, ialah esensi dari segalanya, ialah alam, ia bukanlah entitas terpisah. Pembebasan datang dari siapa yang mengetahui Yang Mahatinggi hadir sebagai Roh dan Prinsip Semesta, seperi yang mereka tahu kalau mentega hadir dalam susu. Kesadaran seperti itu, klaim Svetasvatara, datang dari pengetahuan-diri dan disiplin-diri; dan pengetahuan serta kesadaran ini adalah pembebasan dari perpindahan, tujuan utama Upanishad.
Baris 124 ⟶ 125:
Dalam sastra Sāmkhya, pembebasan umumnya dirujuk sebagai ''kaivalya''. Dalam mazhab ini, kaivalya berarti realisasi ''purusa'', prinsip kesadaran, sebagai independen dari pikiran dan tubuh, berbeda dari ''prakrti''. Seperti kebanyakan mazhab dalam Hinduisme, dalam mazhab Sāmkhya dan Yoga, penekanannya adalah pada pencapaian pengetahuan, ''vidyā'' atau ''jñāna'', sebagaimana diperlukan untuk pembebasan yang menyelamatkan, ''moksa''. Tujuan yoga kemudian dipandang sebagai sarana untuk menghilangkan ''avidyā'' – yaitu ketidaktahuan atau pengetahuan yang menyesatkan/salah tentang diri sendiri dan alam semesta. Ia berupaya mengakhiri kesadaran refleksif biasa (''cittavrtti'' ''nirodhah'') dengan kesadaran yang lebih dalam, murni, dan holistik (''asamprājñāta'' ''samādhi''). Yoga, selama mengejar ''moksa'', mendorong latihan (''abhyāsa'') dengan pelepasan (''vairāgya''), yang seiring waktu mengarah pada konsentrasi yang dalam (''samādhi''). Detasemen berarti penarikan diri dari dunia luar dan menenangkan pikiran, sedangkan latihan berarti penerapan upaya seiring berjalannya waktu. Langkah-langkah tersebut diklaim oleh sekolah Yoga sebagai langkah menuju samādhi, suatu keadaan kesadaran mendalam, pelepasan dan kebahagiaan yang disebut ''kaivalya''.
Yoga, atau mārga (berarti "jalan" atau "jalan"), dalam agama Hindu secara luas diklasifikasikan menjadi empat pendekatan spiritual. Mārga pertama adalah [[Jnana Yoga|Jñāna Yoga]], jalan pengetahuan. Mārga kedua adalah [[Bhakti Yoga]], jalan cinta kasih pengabdian kepada Dewa. Mārga ketiga adalah Karma Yoga, cara kerja. Mārga keempat adalah Rāja Yoga, jalan kontemplasi dan meditasi. Mārga ini adalah bagian dari mazhab berbeda dalam agama Hindu, dan definisi serta metode ''moksa'' mereka. Misalnya, mazhab Advaita Vedanta mengandalkan Jñāna Yoga dalam ajaran ''moksa''. Marga tidak harus mengarah pada semua bentuk moksa, menurut beberapa mazhab Hindu. Misalnya, [[Ekasarana Dharma|Ekasarana dharma]] menyangkal bentuk ''sayujya'' dari mukti,
=== Wedanta dan Moksa ===
Baris 131 ⟶ 132:
Mazhab Weda Hinduisme menyarankan langkah pertama menuju moksa dimulai dengan ''mumuksutva'', yaitu hasrat pembebasan. Hal ini berupa pertanyaan tentang diri sendiri, apa yang benar, mengapa melakukan hal-hal atau kejadian-kejadian yang membuat kita bahagia atau menyebabkan penderitaan, dan seterusnya. Kerinduan akan pengetahuan yang membebaskan ini dibantu oleh, diklaim oleh [[Adi Shankara|Adhi Shankara]] Advaita Wedanta, seorang guru, studi pengetahuan historis dan ''viveka'' (berpikir kritis). Ini karena seorang guru dapat membantu seseorang mengembangkan pengetahuan maya (sifat ilusi dunia), sebuah tahap kritis di jalan menuju moksa. Shankara memperingatkan bahwa guru dan pengetahuan historis mungkin terdistorsi, jadi tradisi dan asumsi historis harus dipertanyakan oleh seseorang yang mencari ''moksa''. Mereka yang berada di jalan mereka menuju ''moksa'' (samnyasin), ucap Klaus Klostermaier, pada dasarnya adalah mereka yang terbebas, tanpa mengidamkan apa pun di kehidupan duniawi, dengan demikian tidak didominasi oleh, atau mendominasi siapa pun.
Vivekachudamani, yang secara harafiah berarti "Mahkota Permata Penalaran Diskriminatif", adalah sebuah buku yang dikhususkan untuk ''moksa'' di filsafat Wedanta. Ini menjelaskan perilaku dan pengejaran apa yang mengarah pada ''moksa'', seperti tindakan dan asumsi apa yang menghalangi ''moksa''. Empat keadaan esensial, menurut Vivekachudamani, sebelum seseorang dapat memulai jalan ''moksa'', termasuk (1) ''vivekah'' (diskriminasi, penalaran kritis) antara prinsip abadi dan dunia sekilas; (2) ''viragah'' (ketidakpedulian, kurangnya keinginan) untuk penghargaan
Tradisi Adwaita mempertimbangkan ''moksa'' yang dapat dicapai dengan menghilangkan avidya (penolakan). ''Moksa'' terlihat sebagai pelepasan final dari ilusi, dan melalui pengetahuan (''anubhava'') sifat dasar diri sendiri, yaitu Satcitananda. Advaita berpendapat tidak ada pembedaan wujud/
Tradisi [[Dwaita]] (dualisme) mendefinisikan ''moksa'' sebagai kesatuan yang penuh kasih dan kekal dengan Dewa dan dianggap sebagai kesempurnaan tertinggi dari keberadaan. Mazhab Dwaita menyarankan setiap jiwa menemui pembebasan secara berbeda. Mazhab dualis (seperti [[Waisnawa]]) memandang Dewa sebagai objek kasih sayang, seperti konsepsi monoteistik yang dipersonifikasikan tentang [[Siwa]], [[Wisnu]], atau Adishakti. Dengan membenamkan diri dalam kasih sayang Dewa, [[karma]] seseorang terkelupas, ilusi seseorang memudar, dan kebenaran dijalani. Baik yang dipuja dan yang memuja secara gradual kehilangan rasa keterpisahan mereka yang ilusif dan hanya Satu di luar segala nama yang tersisa. Ini adalah penyelamatan dualis mazhab Hindu. Dwaita Wedanta menekankan [[Bhakti Yoga]] sebagai alat untuk mencapai ''moksa''.
Tradisi Wisistadwaita, yang dipimpin oleh [[Ramanuja]], mendefinisikan avidya dan ''moksa'' secara berbeda dari tradisi Advaita. Bagi Ramanuja, avidya adalah fokus pada diri sendiri, dan vidya adalah fokus pada mencintai dewa. Mazhab Vishistadvaita berpendapat bahwa mazhab lain Hindu membuat sebuah kesalahan rasa keagenan yang salah pada individu, yang membuat individu berpikir diri sendiri sebagai dewa potensial atau realisasi diri. Gagasan-gagasan tersebut,
=== Moksa dalam hidup ini ===
Di antara mazhab Hindu Samkhya, Yoga, dan Wedanta, pembebasan dan pembebasan yang dicapai dalam kehidupan seseorang merujuk ke ''jivanmukti,'' dan individu yang telah mengalami keadaan ini disebut ''jivanmukta'' (seseorang yang memahami-diri). Lusinan Upanishads, termasuk mereka dari periode pertengahan Upanishadic, menyebutkan atau menggambarkan keadaan pembebasan, ''jivanmukti''. Beberapa menentang ''jivanmukti'' dan ''videhamukti'' (''moksa'' dari samsara setelah kematian). Jivanmukti adalah keadaan yang mengubah alam, atribut, dan perilaku seseorang,
* ia tidak terganggu oleh kata-kata yang tidak terhormat dan menanggung kekejaman, memperlakukan yang lain dengan hormat tanpa memandang
* saat berhadapan dengan orang yang marah, ia tidak marah, bahkan menjawabnya dengan kata-kata yang baik;
* bahkan jika sedang tersiksa, ia mengucapkan dan memercayai kebenaran;
Baris 148 ⟶ 149:
* ia nyaman sendiri sama seperti saat di hadapan orang lain;
* ia nyaman dengan sebuah mangkuk, di kaki pohon dengan jubah compang-camping tanpa bantuan, seperti saat ia sedang berada di sebuah mithuna (kesatuan pengemis), grama (desa), dan nagara (kota);
* ia tidak peduli
*
*
Ketika seorang Jivanmukta mati, ia menerima Paramukti dan menjadi Paramukta. Jivanmukta mengalami pencerahan dan pembebasan saat hidup dan setelah mati, yang mana setelah menjadi paramukta, ketika Videhmukta mengalami pencerahan dan pembebasan hanya setelah mati.
Dada Bhagwan mengungkapkan:
{{Blockquote|text=Tahap pertama Moksa adalah saat kamu mengalami rasa netral terhadap masalah dan kesengsaraan. Di tahapan pertama Moksa, seseorang mengalami ketidakpedulian terhadap ketidakbahagiaan duniawi apa pun. Bahkan di ketidakbahagiaan duniawi, seseorang tetap tidak terpengaruh. Di tengah penderitaan dikenakan pada Anda oleh orang lain atau faktor eksternal, kamu mengalami samadhi (bebas dari penderitaan, untuk mengalami keadaan kebahgiaan orang itu sendiri). Itulah tahap pertama Moksa. Tahap kedua Moksa,
=== Moksa dalam Hindu Bali ===
Hindu Bali menggabungkan ''mo''ksa
== Pencapaian ==
Baris 176 ⟶ 178:
== Buddha ==
Dalam mazhab Buddha, istilah "moksa" itu tidak umum, tetapi sama dengan istilah ''vimutti,'' "melepas". Dalam sutta disebutkan dua bentuk pelepasan, yaitu ''ceto-vimutti'', “pembebasan pikiran,” dan ''panna-vimutti'', “pembebasan melalui kebijaksanaan” (pandangan terang). ''Ceto-vimutti'' terkait dengan praktik dhyana, sementara ''panna-vimutti'' terikat dengan pengembangan
Dengan pelepasan datanglah Nirwana (Pali: Nibbana), "meniup", "memadamkan", atau "mematikan" api nafsu dan pandangan diri. Ini adalah "keadaan abadi" di mana tidak ada lagi yang sengsara.
Nirwana mengakhiri putaran [[Dukkha]] dan reinkarnasi di enam alam samsara (Buddhisme). Ini adalah bagian dari doktrin [[Empat Kebenaran Mulia]] mazhab
== Jainisme ==
Dalam mazhab Jainisme, ''moksa'' dan ''nirwana'' adalah satu dan sama.
Jainisme adalah filsafat non-teistik [[Sramana]] yang percaya pada diri atau [[jiwa]] metafisik permanen yang sering disebut ''jiva''. Jaina percaya bahwa jiwa ini adalah apa yang berpindah dari satu ke lainnya pada waktu kematian. Keadaan ''moksa'' dicapai ketika jiwa ([[atman]]) terbebas dari siklus kematian dan reinkarnasi (samsara), berada di puncak, mahatahu, menetap di sana selamanya, dan dikenal sebagai siddha. Di Jainisme, ini diyakini sebagai tahap melampaui pencerahan dan kesempurnaan etika, kata Paul Dundas, karena mereka dapat melakukan aktivitas fisik dan mental seperti mengajar, tanpa menimbulkan karma yang mengarah pada reinkarnasi.
Tradisi Jaina percaya bahwa ''Abhavya'' (tidak mampu), atau golongan jiwa yang tidak pernah bisa mencapai ''moksa'' (pembebasan) itu ada. Keadaan jiwa ''Abhavya'' dimasuki setelah tindakan jahat yang disengaja dan mengejutkan, tetapi
Menurut Jainisme, pemurnian jiwa dan pembebasan dapat dicapai melalui jalan tiga permata: ''Samyak darśana'' (Pandangan Benar), artinya keyakinan, penerimaan kebenaran jiwa (''jīva''); ''Samyak jnana'' (
== Sikhisme ==
|