Moksa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Arindashifa (bicara | kontrib)
k Koreksi
Illchy (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(18 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{kegunaanlain}}
{{Redirect|Moksha|kelompok etnik di Rusia|Orang Moksha|bahasa yang digunakan kelompok tersebut|Bahasa Moksha}}
{{Hindu}}
'''Moksa''' ([[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]]: ''mokṣa'') juga disebut '''''vimoksha''', '''vimukti''''', dan '''''mukti''''' adalah sebuah konsep agama [[Hindu]], [[Buddha]], [[Jainisme]], dan [[Sikhisme]] untuk segala bentuk emansipasi, pencerahan, kebebasan, dan pelepasan. Dalam pengertian [[soteriologi]] dan [[eskatologi]], ini merujuk pada kebebasan dari [[samsara]], putaran [[reinkarnasi]] atau ''[[Punarbawa]]'' kehidupan. Dalam pengertian [[epistemologi]] dan psikologi, ''moksa'' adalah kebebasan dari penolakan: realisasi diri, aktualisasi diri, dan pengetahuan diri.
Baris 5 ⟶ 6:
Dalam tradisi Hindu, ''moksa'' merupakan sebuah konsep pusat dan tujuan utama hidup manusia yang sepenuhnya; tiga tujuan lainnya yaitu ''[[dharma]]'' (kehidupan yang berbudi luhur, pantas, dan bermoral), ''[[arta]]'' (kemakmuran materi, keamanan pendapatan, sarana hidup), dan ''[[kama]]'' (kesenangan, sensualitas, kepuasan emosional). Secara bersamaan, empat konsep ini disebut sebagai [[Caturpurusarta]] dalam agama Hindu.
 
Di beberapa mazhab agama India, ''moksa'' dianggap sama dan digunakan secara bergantian dengan istilah-istilah lain, seperti ''vimoksha'', ''vimukti'', ''kaivalya'', ''apavarga'', ''mukti'', ''nihsreyasa,'' anddan ''nirwana''. Namun, istilah-istilah seperti ''moksa'' dan ''nirwana'' punya arti yang berbeda dan merujuk kepada keadaan yang berbeda dalam ajaran Hindu, Buddha, dan Jainisme. Istilah ''nirwana'' lebih umum dalam mazhab Buddha, sementara ''moksa'' lebih lazim dalam agama Hindu.
 
== Etimologi ==
Baris 43 ⟶ 44:
Banyak mazhab Hinduisme yang menurut Daniel Ingalls, melihat ''moksa'' sebagai keadaan sempurna. Konsep ini dipandang sebagai tujuan alamiah yang melampaui ''dharma''. ''Moksa'', dalam sastra kuno dan epos agama Hindu, dipandang dapat dicapai dengan teknik yang sama yang diperlukan untuk mempraktikkan ''dharma''. Disiplin diri merupakan jalan menuju ''dharma'', ''moksa'' adalah disiplin diri yang begitu sempurna hingga menjadi sifat alamiah yang tidak disadari. ''Dharma'' dengan demikian adalah jalan menuju ''moksa''.
 
Mazhab [[Samkhya]] dalam ajaran Hindu, sebagai contoh, menyarankan bahwa salah satu jalan menuju ''moksa'' adalah untuk memperbesar ''sattvam'' seseorang. Untuk memperbesar ''sattvam'' seseorang, seseorang harus mengembangkan dirinya dimanadi mana ''sattvam''-nya menjadi sifat nalurinya. Banyak mazhab Hindu dengan demikian memahami ''dharma'' dan ''moksa'' sebagai dua titik dari satu perjalanan hidup seseorang, sebuah perjalanan yang ''viaticum''-nya adalah disiplin dan pelatihan mandiri. Sering kali, gagasan-gagasan tentang ''moksa'' ini ditentang.
 
==== Tantangan Nagarjuna ====
Baris 49 ⟶ 50:
 
==== Tantangan Adi Shankara ====
[[Adi Shankara]] di abad ke-8 Masehi, seperti Nagarjuna sebelumnya, meneliti perbedaan antara dunia yang kita huni dengan ''moksa'', kebebasan dan pelepasan yang diharapkan. Tidak seperti Nagarjuna, Shankara mempertimbangkan karakteristik di antara keduanya. Dunia yang kita huni membutuhkan tindakan dan juga pemikiran; dunia kita, ucap ia, tidak mungkin terjadi tanpa adanya ''vyavahara'' (tindakan dan keragaman). Dunia saling berhubungan, satu objek bekerja satu sama lain, masukan diubah menjadi keluaran, perubahan itu berkelanjutan dan ada dimanapundi manapun. ''Moksa'', ucap Shankara, adalah sebuah akhir sempurna, keadaan bahagia di mana tidak mungkin terjadi perubahan, di mana tidak ada keadaan yang beragam. Ini pasti menjadi pemikiran dan kesadaran yang tidak menyertai tindakan. Ia mempertanyakan: "Bagaimana teknik yang berorientasi pada tindakan yang dapat membuat kita mencapai tiga tujuan pertama manusia (''kama, arta,'' dan ''dharma'') bermanfaat untuk mencapai tujuan terakhir, yang disebut ''moksa''?"
 
Cendekiawan, menjawab tantangan Shankara terhadap konsep ''moksa'' yang sejajar dengan tantangan [[Plotinos|Plotinus]] terhadap kaum [[Gnostisisme|Gnostik]], dengan satu perbedaan penting: Plotinos menuduh kaum Gnostik karena menukar sebuah seperangkat [[kebajikan]] [[Antroposentrisme|antroposentris]] dengan seperangkat [[Teosentrisme|teosentris]] dalam mengejar keselamatan; Shankara menantang bahwa konsep ''moksa'' menyiratkan pertukaran seperangkat kebajikan antroposentris ''(dharma)'' dengan keadaan bahagia yang tidak memerlukan nilai-nilai. Shankara melanjutkan jawaban dengan mengatakan bahwa kebajikan antroposentris saja sudah cukup.
Baris 57 ⟶ 58:
 
== Sejarah ==
Konsep ''moksa'' muncul jauh setelah sastra India kuno daripada konsep ''dharma''. Konsep-proto yang muncul pertama di ayat-ayat Sansekerta kuno dan Upanishad awal adalah ''mucyate'', yang berarti dibebaskan atau dilepaskan. Ini adalah Upanishad pertengahan dan selanjutnya, seperti Svetasvatara dan [[Maitrayaniya Upanishad|Maitri]], dimanadi mana kata ''moksa'' muncul dan mulai menjadi konsep penting.
 
Katha Upanishad, naskah zaman pertengahan Upanishad yang bertanggal sekitar 2500 tahun, adalah salah satu eksposisi paling awal tentang ''samsara'' dan ''moksa''. Dalam buku I, bagian III, legenda tentang anak laki-laki Naciketa bertanya pada [[Yama]], dewa kematian, apa yang menyebabkan ''samsara'' dan apa yang mengarah ke pembebasan. Naciketa bertanya: apa yang menyebabkan kesedihan? Yama menjelaskan bahwa penderitaan dan ''samsara'' dihasilkan dari sebuah kehidupan yang dijalani dengan linglung, dengan ketidakmurnian, dengan tidak menggunakan kecerdasan maupun penyelidikan diri, dimanadi mana baik pikiran maupun indra tidak dibimbing oleh ''[[atman]]'' (jiwa, diri) seseorang. Pembebasan datang dari sebuah kehidupan yang dijalani dengan kemurnian batin, pikiran yang awas, dibimbing oleh ''buddhi'' (nalar, kecerdasan), kesadaran akan Diri Tertinggi ''(purusha'') yang tinggal di semua makhluk. Kathaka Upanishad menegaskan pengetahuan itu membebaskan, pengetahuan adalah kebebasan. Kathaka Upanishad juga menjelaskan peran yoga dalam pembebasan diri, ''moksa''.
 
Svetasvatara Upanishad, naskah zaman pertengahan Upanishad yang ditulis setelah Kathaka Upanishad, dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa manusia dilahirkan, apa penyebab utama di balik semesta, apa yang menyebabkan kebahagiaan dan kesedihan dalam hidup? Ini kemudian meneliti berbagai teori, yang kemudian ada, tentang ''samsara'' dan pelepasan dari belenggu. Svetasvatara mengklaim, belenggu dihasilkan dari penolakan, ilusi atau delusi; pembebasan datang dari pengetahuan. Yang mahatinggi hidup di semua makhluk, ialah penyebab utama, ialah hukum abadi, ialah esensi dari segalanya, ialah alam, ia bukanlah entitas terpisah. Pembebasan datang dari siapa yang mengetahui Yang Mahatinggi hadir sebagai Roh dan Prinsip Semesta, seperi yang mereka tahu kalau mentega hadir dalam susu. Kesadaran seperti itu, klaim Svetasvatara, datang dari pengetahuan-diri dan disiplin-diri; dan pengetahuan serta kesadaran ini adalah pembebasan dari perpindahan, tujuan utama Upanishad.
Baris 84 ⟶ 85:
Tidak jelas kapan gagasan inti samsara dan ''moksa'' dikembangkan di India kuno. Patrick Olivelle berpendapat bahwa ide-ide ini kemungkinan besar berasal dari gerakan keagamaan baru di milenium pertama SM. Ide-ide ''mukti'' dan ''moksa'', ungkap J. A. B. van Buitenen, tampak dapat dilacak para yogi dalam agama Hindu, dengan rambut panjang, ia yang memilih untuk hidup di pinggiran masyarakat, diberikan pada keadaan mabuk dan ekstasi yang disebabkan oleh diri sendiri, mungkin diterima sebagai dukun dan "sadhus" oleh masyarakat India kuno. Moksa bagi para pengembang konsep awal ini, adalah pengabaian terhadap tatanan yang sudah mapan, bukan demi anarki, namun demi realisasi diri, untuk mencapai pelepasan dari dunia ini.
 
Dalam perkembangan sejarahnya, konsep ''moksa'' muncul dalam tiga bentuk: Weda, yogi, dan ''bhakti''. Di periode Weda, ''moksa'' bersifat ritualistik. ''Moksa'' dianggap sebagai hasil dari ritual yang diselesaikan dengan benar seperti yangdi sebelumhadapan Agni – dewa api. Makna dari ritual-ritual ini adalah untuk mereproduksi ulang dan membaca peristiwa-peristiwa peciptaan kosmis yang digambarkan dalam Weda; penggambaran pengetahuan dalam tingkatan yang berbeda – ''adhilokam'', ''adhibhutam'', ''adhiyajnam'', ''adhyatmam'' – membantu individu melampauimenuju ''moksa''.
 
Pengetahuan merupakan alat, ritual adalah penerapannya. Di pertengahan hingga akhir periode Upanishad, tekananpenekanan bergeser ke pengetahuan, kegiatan ritual dianggap tidak berhubungan dengan pencapaian ''moksa''. ''Moksa'' [[yoga]] menggantikan ritual Weda dengan pengembangan dan meditasi personal, dengan penciptaan hierarkis pengetahuan tertinggi dalam diri sebagai jalan menuju ''moksa''. Prinsip-prinsip ''moksa'' yoga diterima di banyak mazhab Hinduisme, walaupun terdapat perbedaan. Sebagai contoh, Adi Shankara dalam bukunya tentang ''moksa'' mengemukakan:
 
{{Blockquote|text=<poem>
Baris 93 ⟶ 94:
 
Melalui refleksi, penalaran, dan instruksi para guru, kebenaran diketahui,
Bukan dengan berwudhu, bukan dengan berdonasi, ataupun dengan menunjukkanmelakukan ratusan latihan pengaturan nafas. || Ayat 13 ||
</poem>|author=[[Vivekachudamani]]|source=Abad ke-8 Masehi<ref>See:
* John Richards (Translator), Vivekachudamani, {{ISBN|978-0979726743}} (2011 Edition);
Baris 99 ⟶ 100:
 
== Sinonim ==
Kata ''moksa'', nirwana (''nibbana'') dan kaivalya kadang-kadang digunakan secara sinonim, karena mereka semua merujuk ke keadaan yang membebaskan seseorang dari semua penyebab kesedihan dan penderitaan. Kemudian, dalam literatur di era moderenmodern, konsep-konsep ini memiliki premis-premis berbeda dalam berbagai agama. Nirwana, sebuah konsep umum dalam Buddha, disertai kesadaran bahwa semua fenomena yang dialami bukanlah diri; sementara ''moksa, sebuah'' konsep umum di berbagai mazhab Hindu, adalah penerimaan Diri (jiwa), realisasi pengetahuan yang membebaskan, kesadaran akan Keesaan dengan Brahman, semua eksistensi dan pemahaman semesta alam sebagai Diri. Nirwana dimulai dengan premis bahwa tidak ada Diri, sebaliknya ''moksa,'' dimulai dengan premis bahwa semuanya adalah Diri, tidak ada kesadaran dalam keadaan nirwana, tetapi segalanya adalah Satu kesadaran yang menyatu dalam keadaan ''moksa''.
 
Kaivalya, sebuah konsep yang mirip dengan moksha, bukan nirwana, ditemukan di beberapa mazhab agama Hindu seperti mazhab Yoga. Kaivalya adalah realisasi sikap acuh tak acuh dengan pengetahuan yang membebaskan tentang diri sendiri dan pelepasan dari pikiran dan peralatan kognitif yang kacau. Misalnya, Yoga Sutra [[Patanjali]] menyarankan:
Baris 110 ⟶ 111:
datang penghapusan persekutuan dengan dunia material,
ini adalah jalan menuju Kaivalyam.
</poem>|author=[[Yoga Sutras Patanjali|Yoga Sutra]] (Sadhana Pada)|title=2:24–25<ref>For Sanskrit version: Sadasivendra Sarasvati (1912), [[:iarchive:YogaSutraVritti|Yoga Sutra]]; For English version: Charles Johnston (1912), [[:iarchive:yogasutrasofpata00pata|yogasutrasofpata00pata]] Yoga Sutra of Patanjali; For secondary peer reviewed source, see: Jeffrey Gold, Plato in the Light of Yoga, Philosophy East and West, Vol. 46, No. 1 (Jan., 1996), pp. 17–32; A. Sharma, The Realization of Kaivalya, in Explorations in Australian Literature, {{ISBN|978-8176257091}}, Chapter 18</ref>}}Nirwana dan ''moksa'', dalam semua tradisi'','' mewakili peristirahatan dalam esensi sejati seseorang, bernama [[Purusa]] atau Atman, atau disebut sebagai Nirwana, tetapi dijelaskan dengan cara yang sangat berbeda. Beberapa ulamacendekiawan, kata Jayatilleke, menegaskan bahwa Nirwana dalam Buddha sama dengan [[Brahman]] dalam Hindu, sebuah pandangan yang tidak disetujui oleh para sarjanacendekiawan lain dan dia. Dalam Buddha, nirwana adalah 'meledak' atau 'kepunahan'. Dalam agama Hindu, ''moksa'' adalah 'identitas atau kesatuan dengan Brahman'. Realisasi anatta (anatman) sangat penting bagi nirwana Buddhis. Realisasi atman (atta) sangat penting bagi ''moksa'' Hindu.
 
== Hindu ==
Sastra kuno beragam mazhab Hindu kadang-kadang meng gunakan frasa-frasa berbeda untuk ''moksa''. Sebagai contoh, ''Keval jnana'' or ''kaivalya'' ("keadaan mutlak"), ''Apavarga'', ''Nihsreyasa'', ''Paramapada'', ''Brahmabhava'', ''Brahmajnana,'' dan ''Brahmi sthiti''. Sastra moderenmodern juga menggunakan istilah Buddha nirwana secara bergantian dengan ''moksa'' dalam Hindu. Terdapat perbedaan di antara gagasan-gagasan ini, seperti yang dijelaskan di artikel ini, tetapi mereka semua adalah konsep soteriologis berbadai tradisi religius India.
 
Enam mazhab ortodoks utama Hindu telah melakukan perdebatan bersejarah, dan tidak menyetujui apakah ''moksa'' dapat dicapai semasa hidup, atau hanya setelahnya. Banyak dari 108 Upanishad membahas antara lain tentang ''moksa''. Diskusi-diskusi ini menunjukkan perbedaan di antara mazhab Hindu, kurangnya konsesus, dengan beberapa upaya untuk menyamakan perspektif yang berbeda antara berbagai mazhab. Sebagai contoh, kebebasan dan penyampaian reinkarnasi, pendapat Maitrayana Upanishad, tidak berasal dari doktrin mazhab Wedanta (pengetahuan tentang Diri sendiri sebagai Jiwa Yang Maha TinggiMahatinggi) bukan dari doktrin mazhab Samkhya (membedakan Purusha dari apa yang bukan), tetapi dari studi Weda, pelaksanaan ''Svadharma'' (tugas pribadi), berpegang teguh pada ''Asrama'' (tahapan dari kehidupan).
 
filsafatFilsafat enam mazhab ortodoks utama Hindu ini menawarkan pandangan-pandangan berikut terhadap ''moksa'', masing-masingnya memiliki alasan sendiri: mazhab Hindu Nyaya, Vaisesika dan Mimamsa menganggap ''moksa'' hanya mungkin terjadi setelah kematian. mazhabMazhab Samkhya dan Yoga mempertimbangkan ''moksa'' mungkin terjadi semasa hidup. Dalam mazhab Wedanta, sub-mazhab Advaita menyimpulkan ''moksa'' mungkin terjadi semasa hidup, sementara tradisi sub-mazhab Dvaita, Visistadvaita, Shuddhadvait yakin bahwa ''moksa'' adalah peristiwa yang berkelanjutan, seseorang''moksa'' dibantu oleh pengabdian yang penuh kasih terhadap Dewa, yang meluas dari kehidupan saat ini hingga setelah kematian. MelampauiDi luar enam mazhab ini, beberapa tradisi mazhab heterodoks Hindu, seperi Carvaka, menolak bahwasannya terdapat sebuah jiwa atau kehidupan setelah ''moksa''.
 
=== Samkhya, Yoga, dan Moksa ===
Baris 124 ⟶ 125:
Dalam sastra Sāmkhya, pembebasan umumnya dirujuk sebagai ''kaivalya''. Dalam mazhab ini, kaivalya berarti realisasi ''purusa'', prinsip kesadaran, sebagai independen dari pikiran dan tubuh, berbeda dari ''prakrti''. Seperti kebanyakan mazhab dalam Hinduisme, dalam mazhab Sāmkhya dan Yoga, penekanannya adalah pada pencapaian pengetahuan, ''vidyā'' atau ''jñāna'', sebagaimana diperlukan untuk pembebasan yang menyelamatkan, ''moksa''. Tujuan yoga kemudian dipandang sebagai sarana untuk menghilangkan ''avidyā'' – yaitu ketidaktahuan atau pengetahuan yang menyesatkan/salah tentang diri sendiri dan alam semesta. Ia berupaya mengakhiri kesadaran refleksif biasa (''cittavrtti'' ''nirodhah'') dengan kesadaran yang lebih dalam, murni, dan holistik (''asamprājñāta'' ''samādhi''). Yoga, selama mengejar ''moksa'', mendorong latihan (''abhyāsa'') dengan pelepasan (''vairāgya''), yang seiring waktu mengarah pada konsentrasi yang dalam (''samādhi''). Detasemen berarti penarikan diri dari dunia luar dan menenangkan pikiran, sedangkan latihan berarti penerapan upaya seiring berjalannya waktu. Langkah-langkah tersebut diklaim oleh sekolah Yoga sebagai langkah menuju samādhi, suatu keadaan kesadaran mendalam, pelepasan dan kebahagiaan yang disebut ''kaivalya''.
 
Yoga, atau mārga (berarti "jalan" atau "jalan"), dalam agama Hindu secara luas diklasifikasikan menjadi empat pendekatan spiritual. Mārga pertama adalah [[Jnana Yoga|Jñāna Yoga]], jalan pengetahuan. Mārga kedua adalah [[Bhakti Yoga]], jalan cinta kasih pengabdian kepada Dewa. Mārga ketiga adalah Karma Yoga, cara kerja. Mārga keempat adalah Rāja Yoga, jalan kontemplasi dan meditasi. Mārga ini adalah bagian dari mazhab berbeda dalam agama Hindu, dan definisi serta metode ''moksa'' mereka. Misalnya, mazhab Advaita Vedanta mengandalkan Jñāna Yoga dalam ajaran ''moksa''. Marga tidak harus mengarah pada semua bentuk moksa, menurut beberapa mazhab Hindu. Misalnya, [[Ekasarana Dharma|Ekasarana dharma]] menyangkal bentuk ''sayujya'' dari mukti, dimanadi mana penyerapan sepenuhnya pada Dewa menghilangkan jiva dari manisnya dan kebahagiaan yang terkait dengan bhakti. Madhavadeva memulai Namghoxa dengan menyatakan kekagumannya terhadap penyembah yang tidak menyukai mukti.
 
=== Wedanta dan Moksa ===
Tiga sub-mazhab utama di mazhab Wedanta Hinduisme – [[Adwaita Wedanta]], [[Wisistadwaita]], dan [[Dwaita]] – masing-masingnya memiliki pandangan tersendiri terhadap ''moksa''.
 
Mazhab Weda Hinduisme menyarankan langkah pertama menuju moksa dimulai dengan ''mumuksutva'', yaitu hasrat pembebasan. Hal ini berupa pertanyaan tentang diri sendiri, apa yang benar, mengapa melakukan hal-hal atau kejadian-kejadian yang membuat kita bahagia atau menyebabkan penderitaan, dan seterusnya. Kerinduan akan pengetahuan yang membebaskan ini dibantu oleh, diklaim oleh [[Adi Shankara|Adhi Shankara]] Advaita Wedanta, seorang guru, studi pengetahuan historis dan ''viveka'', (berpikir kritis). Ini karena seorang guru dapat membantu seseorang mengembangkan pengetahuan maya (sifat ilusi dunia), sebuah tahatahap kritis di jalan menuju moksa. Shankara memperingatkan bahwa guru dan pengetahuan historis mungkin terdistorsi, jadi tradisi dan asumsi historis harus dipertanyakan oleh seseorang yang mencari ''moksa''. Mereka yang berada di jalan mereka menuju ''moksa'' (samnyasin), menyarankanucap Klaus Klostermaier, pada dasarnya adalah mereka yang terbebas, tanpa mengidamkan apapunapa pun di kehidupan duniawi, dengan demikian tidak didominasi oleh, atau mendominasi siapa pun.
 
Vivekachudamani, yang secara harafiah berarti "Mahkota Permata Penalaran Diskriminatif", adalah sebuah buku yang dikhususkan untuk ''moksa'' di filsafat Wedanta. Ini menjelaskan perilaku dan pengejaran apa yang mengarah pada ''moksa'', seperti tindakan dan asumsi apa yang menghalangi ''moksa''. Empat keadaan esensial, menurut Vivekachudamani, sebelum seseorang dapat memulai jalan ''moksa'', termasuk (1) ''vivekah'' (diskriminasi, penalaran kritis) antara prinsip abadi dan dunia sekilas; (2) ''viragah'' (ketidakpedulian, kurangnya keinginan) untuk penghargaan materilmateriil; (3) ''samah'' (ketenangan pikiran), dan (4) ''damah'' (pengendalian diri, [[Kesederhanaan (kebajikan)|kesederhanaan]]). ''Brahmasutrabhasya'' menambahkan empat persyaratan di atas, yaitu: ''uparati'' (kurangnyatidak adanya bias, kebosananobjektivitas), ''titiksa'' (ketahanan, kesabaran), ''sraddha'' (keyakinan), dan ''samadhana'' (niat, komitmen).
 
Tradisi Adwaita mempertimbangkan ''moksa'' yang dapat dicapai dengan menghilangkan avidya (penolakan). ''Moksa'' terlihat sebagai pelepasan final dari ilusi, dan melalui pengetahuan (''anubhava'') sifat dasar diri sendiri, yaitu Satcitananda. Advaita berpendapat tidak ada pembedaan wujud/non wujudnonwujud antara ''Atman'', ''[[Brahman]]'', dan ''Paramatman''. Pengetahuan Brahman mengarah pada ''moksa'', dimanadi mana Brahman digambarkan sebagai yang merupakan asal mula dan akhir segala sesuatu, prinsip universal di balik dan sumber segala sesuatu yang ada, kesadaran yang meresap apa pun dan apasiapa sajapun. Advaita Wedanta menekankan [[Jnana Yoga]] sebagai alat untuk mencapai ''moksa''. Kebahagiaan, klaimmenurut mazhab ini, adalah buah ilmu (vidya) dan kerja (karma).
 
Tradisi [[Dwaita]] (dualisme) mendefinisikan ''moksa'' sebagai kesatuan yang penuh kasih dan kekal dengan Dewa dan dianggap sebagai kesempurnaan tertinggi dari keberadaan. Mazhab Dwaita menyarankan setiap jiwa menemui pembebasan secara berbeda. Mazhab dualis (seperti [[Waisnawa]]) memandang Dewa sebagai objek kasih sayang, seperti konsepsi monoteistik yang dipersonifikasikan tentang [[Siwa]], [[Wisnu]], atau Adishakti. Dengan membenamkan diri dalam kasih sayang Dewa, [[karma]] seseorang terkelupas, ilusi seseorang memudar, dan kebenaran dijalani. Baik yang dipuja dan yang memuja secara gradual kehilangan rasa keterpisahan mereka yang ilusif dan hanya Satu di luar segala nama yang tersisa. Ini adalah penyelamatan dualis mazhab Hindu. Dwaita Wedanta menekankan [[Bhakti Yoga]] sebagai alat untuk mencapai ''moksa''.
 
Tradisi Wisistadwaita, yang dipimpin oleh [[Ramanuja]], mendefinisikan avidya dan ''moksa'' secara berbeda dari tradisi Advaita. Bagi Ramanuja, avidya adalah fokus pada diri sendiri, dan vidya adalah fokus pada mencintai dewa. Mazhab Vishistadvaita berpendapat bahwa mazhab lain Hindu membuat sebuah kesalahan rasa keagenan yang salah pada individu, yang membuat individu berpikir diri sendiri sebagai dewa potensial atau realisasi diri. Gagasan-gagasan tersebut, klaimucap Ramanuja, pembusukanmembusuk ke arah materialisme, hedonisme, dan pemujaan diri. Individu melupakan ''Ishvara'' (Dewa). Mukti, bagi mazhab Vishistadvaita, adalah pelepasan dari avidya tersebut, menuju intuisi dan persatuan abadi dengan Dewa.
 
=== Moksa dalam hidup ini ===
Di antara mazhab Hindu Samkhya, Yoga, dan Wedanta, pembebasan dan pembebasan yang dicapai dalam kehidupan seseorang merujuk ke ''jivanmukti,'' dan individu yang telah mengalami keadaan ini disebut ''jivanmukta'' (seseorang yang memahami-diri). Lusinan Upanishads, termasuk mereka dari periode pertengahan Upanishadic, menyebutkan atau menggambarkan keadaan pembebasan, ''jivanmukti''. Beberapa menentang ''jivanmukti'' dan ''videhamukti'' (''moksa'' dari samsara setelah kematian). Jivanmukti adalah keadaan yang mengubah alam, atribut, dan perilaku seseorang, mengklaimmenurut teksnaskah-teksnaskah filsafat kuno Hindu. Sebagai contoh, menurut Naradaparivrajaka Upanishad, seseorang yang merdeka menunjukkan atribut seperti:
 
* ia tidak terganggu oleh kata-kata yang tidak terhormat dan menanggung kekejaman, memperlakukan yang lain dengan hormat tanpa memandang bagaiamanbagaimana yang lain memperlakukannya;
* saat berhadapan dengan orang yang marah, ia tidak marah, bahkan menjawabnya dengan kata-kata yang baik;
* bahkan jika sedang tersiksa, ia mengucapkan dan memercayai kebenaran;
Baris 148 ⟶ 149:
* ia nyaman sendiri sama seperti saat di hadapan orang lain;
* ia nyaman dengan sebuah mangkuk, di kaki pohon dengan jubah compang-camping tanpa bantuan, seperti saat ia sedang berada di sebuah mithuna (kesatuan pengemis), grama (desa), dan nagara (kota);
* ia tidak peduli tentanftentang atau memakai sikha (jumbai rambut di belakang kepala karena alasan agama), maupun benang suci di sekujur tubuhnya. Baginya, pengetahuan adalah sikha, pengetahuan adalah benang suci, pengetahuan sajalah yang tertinggi. Penampilan luar dan ritual tidak menjadi masalah baginya, hanya pengetahuan yang penting;
* Baginyabaginya, tidak ada doa atau pemberhentian dewa-dewa, tidak ada mantra atau non-mantra, tidak ada sujud atau pemujaan terhadap dewa, dewi atau leluhur, tidak lain hanyalah pengetahuan tentang Diri;
* Iaia ramah, bersemangat, dan memiliki pikiran yang jernih dan stabil, terus-terang, penyayang, sabar, acuh tak acuh, berani, bicaranya tegas dan dengan kata-kata manis.
Ketika seorang Jivanmukta mati, ia menerima Paramukti dan menjadi Paramukta. Jivanmukta mengalami pencerahan dan pembebasan saat hidup dan setelah mati, yang mana setelah menjadi paramukta, ketika Videhmukta mengalami pencerahan dan pembebasan hanya setelah mati.
 
Dada Bhagwan mengungkapkan:
 
{{Blockquote|text=Tahap pertama Moksa adalah saat kamu mengalami rasa netral terhadap masalah dan kesengsaraan. Di tahapan pertama Moksa, seseorang mengalami ketidakpedulian terhadap ketidakbahagiaan duniawi apa pun. Bahkan di ketidakbahagiaan duniawi, seseorang tetap tidak terpengaruh. Di tengah penderitaan dikenakan pada Anda oleh orang lain atau faktor eksternal, kamu mengalami samadhi (bebas dari penderitaan, untuk mengalami keadaan kebahgiaan orang itu sendiri). Itulah tahap pertama Moksa. Tahap kedua Moksa, permanen Moksa permanen, dicapai setelah kematian. Tahap pertama Moksa seharusnya dicapai di sini dan sekarang!}}
 
 
 
 
=== Moksa dalam Hindu Bali ===
Hindu Bali menggabungkan ''mo''ksa e''b''agaisebagai satu dari lima ''tattva''. Empat lainnya yaitu: ''brahman'' (satu-satunya kepala dewa tertinggi, jangan bingungberbeda dengan Brahmana), ''atma'' (jiwa atau roh), ''karma'' (tindakan dan timbal balik, kausalitas), dan ''samsara'' (prinsip kelahiran kembali, reinkarnasi). ''Moksa'', dalam kepercayaan Hindu Bali, adalah kemungkinan kesatuan dengan sang ilahi; kadang-kadang dirujuk sebagai nirwana.
 
== Pencapaian ==
Baris 176 ⟶ 178:
 
== Buddha ==
Dalam mazhab Buddha, istilah "moksa" itu tidak umum, tetapi sama dengan istilah ''vimutti,'' "melepas". Dalam sutta disebutkan dua bentuk pelepasan, yaitu ''ceto-vimutti'', “pembebasan pikiran,” dan ''panna-vimutti'', “pembebasan melalui kebijaksanaan” (pandangan terang). ''Ceto-vimutti'' terkait dengan praktik dhyana, sementara ''panna-vimutti'' terikat dengan pengembangan sastrapengetahuan. Menurut Gombrich, pembedaannya mungkin merupakan perkembangan selanjutnya, yang mengakibatkan perubahan doktrin, mengenai praktik ''dhyana'' tidak cukup untuk pembebasan akhir.
 
Dengan pelepasan datanglah Nirwana (Pali: Nibbana), "meniup", "memadamkan", atau "mematikan" api nafsu dan pandangan diri. Ini adalah "keadaan abadi" di mana tidak ada lagi yang sengsara.
 
Nirwana mengakhiri putaran [[Dukkha]] dan reinkarnasi di enam alam samsara (Buddhisme). Ini adalah bagian dari doktrin [[Empat Kebenaran Mulia]] mazhab buddhaBuddha, yang memainkan peran penting dalam Buddhisme Theravada. Nirwana digambarkan sebagai keadaan pelepasan yang ditandai dengan "kekosongan" dan realisasi [[Anatta|tanpa Diri]]. Deskripsi seperti itu, kata Peter Harvey, dibantah oleh para sarjanacendekiawan karena nirwana dalam mazhab buddhaBuddha pada akhirnya digambarkan sebagai keadaan "kesadaran yang terhenti (meledak), tetapi bukan berarti tidak ada", dan "tampaknya mustahil untuk membayangkan seperti apa kesadaran tanpa objek apa pun".
 
== Jainisme ==
Dalam mazhab Jainisme, ''moksa'' dan ''nirwana'' adalah satu dan sama. TeksNaskah Jainisme terkadang menggunakan istilah ''Kevalya'', dan menyebut jiwa yang terbebaskan sebagai ''Kevalin''. Seperti halnya semua mazhab di India, ''moksa'' adalah tujuan spiritual utama Jainisme. Ini mendefinisikan ''moksa'' sebagai pelepasan spiritual dari semua karma.
 
Jainisme adalah filsafat non-teistik [[Sramana]] yang percaya pada diri atau [[jiwa]] metafisik permanen yang sering disebut ''jiva''. Jaina percaya bahwa jiwa ini adalah apa yang berpindah dari satu ke lainnya pada waktu kematian. Keadaan ''moksa'' dicapai ketika jiwa ([[atman]]) terbebas dari siklus kematian dan reinkarnasi (samsara), berada di puncak, mahatahu, menetap di sana selamanya, dan dikenal sebagai siddha. Di Jainisme, ini diyakini sebagai tahap melampaui pencerahan dan kesempurnaan etika, kata Paul Dundas, karena mereka dapat melakukan aktivitas fisik dan mental seperti mengajar, tanpa menimbulkan karma yang mengarah pada reinkarnasi.
 
Tradisi Jaina percaya bahwa ''Abhavya'' (tidak mampu), atau golongan jiwa yang tidak pernah bisa mencapai ''moksa'' (pembebasan) itu ada. Keadaan jiwa ''Abhavya'' dimasuki setelah tindakan jahat yang disengaja dan mengejutkan, tetapi teksnaskah Jaina juga menerapkan kondisi ''Abhavya'' secara polemik kepada mereka yang termasuk dalam tradisi India kuno yang bersaing yang disebut ''[[Ājīvika]]''. Seorang pria dianggap yang paling dekat dengan puncak ''moksa'', dengan potensi mencapai pembebasan, khususnya melalui asketisme. Kemampuan wanita untuk mencapai ''moksa'' masih menjadi perdebatan, dan subtradisi Jainisme tidak mendukungnya. Di dalam tradisi Digambara Jainisme, wanita harus hidup secara etis dan memeroleh pahala karma untuk terlahir kembali sebagai seorang pria, karena hanya pria yang dapat mencapai pembebasan spiritual. Sebaliknya, tradisi Śvētāmbara memercayai bahwa wanita juga dapat mencapai ''moksa'' seperti pria.
 
Menurut Jainisme, pemurnian jiwa dan pembebasan dapat dicapai melalui jalan tiga permata: ''Samyak darśana'' (Pandangan Benar), artinya keyakinan, penerimaan kebenaran jiwa (''jīva''); ''Samyak jnana'' (sastraPengetahuan yang Benar), artinya sastrapengetahuan yang tidak diragukan lagi tentang ''tattva''; dan ''Samyak charitra'' (Perilaku Benar), artinya perilaku yang sesuai dengan Lima Sumpah. TeksNaskah Jaina kadang-kadang menambahkan ''samyak tap'' (Pertapaan yang Benar) sebagai permata keempat, menekankan keyakinan pada praktik pertapaan sebagai sarana menuju pembebasan (moksa). Keempat permata tersebut disebut ''moksa marg''. Menurut teksnaskah Jaina, jiwa murni yang terbebaskan (''Siddha'') naik ke puncak alam semesta (''Siddhashila'') dan berdiam di sana dalam kebahagiaan abadi.
 
== Sikhisme ==