Ki Ageng Enis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Re. suhendar (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Mosmota (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(63 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox person
[[Berkas:Ki Ageng Ngenis.jpg|thumb|right|250px|Makam Ki Ageng Enis Sumber [http://2.bp.blogspot.com/-dNQQmDKc8G8/UGBGLEDFgnI/AAAAAAAAARI/fg0wjjrZRVA/s1600/imagesjjjj.jpeg]]]
| pre-nominals = Ki Ageng
| name = Enis
| post-nominals = {{jav|ꦲꦺꦤꦶꦱ꧀}}
| image =
| caption =
| predecessor before= [[Ki Ageng Sela]] |
| successor = [[Ki Ageng Pamanahan]]
| birth_name = Bagus Anis
| death_date =
| resting_place = Pasarean Laweyan
| residence = [[Laweyan, Surakarta|Laweyan]]
| other_names = Ki Ageng Laweyan
| occupation =
| era = [[Kerajaan Demak|Demak]]
| spouse = Nyai Ageng Enis
| father = [[Ki Ageng Sela]]
| mother = Nyai Bicak / Nyai Ageng Sela
}}
 
'''Ki Ageng Enis''' atau '''Ki Ageng Laweyan''' adalah seorang tokoh dari [[Selo, Tawangharjo, Grobogan|Sela]] yang hijrah ke Pengging. Ia dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan, karena bertempat tinggal di Laweyan. Selama hidup di Laweyan ia pernah menjadi guru spiritual Jaka Tingkir saat belum naik takhta menjadi sultan Pajang atau masih bernama Mas Karebet. Kemudian ia mengabdi kepada [[Sultan Adiwijaya]] setelah Kesultanan Pajang berdiri, sebagai sesepuh dan orang penting di Pajang.
Dalam sejarah [[Pajang]], Pemanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab telah berhasil membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Laweyan.[2] Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.
 
Ki Ageng Enis merupakan putra [[Ki Ageng Sela]]. Keluarga besarnya berasal dari Sela, Kecamatan Tawangharjo, yang terletak kurang lebih berjarak 13 km sebelah timur dari Kota Purwodadi, Ibukota Kabupaten Grobogan. Wilayah Sela masuk dalam administratif [[Kabupaten Grobogan]].
 
== Asal usul ==
'''Ki Ageng Enis''' adalah putra daribungsu [[Ki_Ageng_Sela|Ki Ageng Sela]] dengan Nyai Bicak putri Ki(Nyai Ageng NgerangSela) /putri Sunan Ngerang. IIa keturunanmemiliki Maulanaenam Maghribisaudara, II.di Kimana Agengsemua Enissaudaranya berputraadalah [[Ki_Ageng_Pamanahan|Kiperempuan, yaitu: Nyai Ageng Pemanahan]]Lurung danTengah, KiNyai Ageng PemanahanSaba, berputraNyai [[PanembahanAgeng Senopati|SutawijayaBangsri, atauNyai MasAgeng NgabehiJati, LoringNyai PasarAgeng atauPatanen Senapati]]dan pendiriNyai kerajaan MataramAgeng IslamPakisdadu.
 
Ki Ageng Enis menikah dengan Nyai Ageng Enis, dan berputra [[Ki Ageng Pamanahan]]. Putranya itu kemudian menikah dengan Nyai Sabinah (Nyai Ageng Pamanahan). Dari hasil pernikahan mereka, Ki Ageng Enis dikaruniai seorang cucu yang dalam perjalanan kariernya menjadi raja pertama Mataram, bergelar [[Panembahan Senapati]].
Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara, dimana semua saudaranya adalah perempuan.
 
== SumberPeran Lainawal ==
== Kilas tentang Saudagar Laweyan ==
Pengging dahulu dikenal sebagai peradaban [[Hindu]], masuknya [[Islam]] di tanah Pengging tidak luput dari peran serta Ki Ageng Enis. Laweyan yang saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pengging (sebelum Pajang) masyarakat di sekitarnya masih menganut Hinduisme. Ki Ageng Beluk, teman Ki Ageng Enis, dikenal sebagai tokoh yang berpengaruh bagi masyarakat Laweyan. Ki Ageng Beluk seorang penganut agama Hindu, namun karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Enis di Laweyan, membuat Ki Ageng Beluk tertarik memeluk agama Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyarankan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Enis untuk dibangun menjadi sebuah masjid. Sejak saat itu Ki Ageng Enis mulai bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati).
Laweyan merupakan kampung tradisional yang sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M. Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta – Jawa Tengah merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah.
 
KyaiPada akhir hayatnya Ki Ageng NgenisEnis meninggal dan dimakamkan di pesarean''Pasarean Laweyan (tempat Sunan Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo)''. Rumah tempat tinggal KyaiKi Ageng NgenisEnis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi SutowijayaSutawijaya. Kemudian SutowijayaSutawijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi LoringSaloring Pasar (pasar Laweyan), SutowijayaSutawijaya pindah ke Kotahutan GedeMentaok dan dalam perjalanannya kemudian menjadimendirikan raja pertama Dinastikerajaan Mataram Islam dengandan sebutanmenjadi Panembahanraja Senopatipertama yangdengan kemudiangelar menurunkanPanembahan raja-raja MataramSenapati.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan (sekarang wilayah Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta artefak makam maupun letak geografisnya yaitu setelah dekade Kyai Ageng Ngenis yang bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng dan tutur lisan saja. Letak pasar Laweyan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman).
 
Kyai Ageng Ngenis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga manggala pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M.
 
Kyai Ageng Ngenis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat Sunan Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo). Rumah tempat tinggal Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Kemudian Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede dan dalam perjalanannya kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senopati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram.
 
== Mitos Laweyan ==
 
Ada folklor yang menjadi mitos membentuk kesan komunitas Laweyan teralienasikan. Hal ini mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan Surakarta - alm) menulis dalam upaya meluruskan sejarah.
Wong laweyan pada jaman dahulu, ditengah peradaban dominannya budaya feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo. Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yang praksis dalam dunia ekonomi industri dan perdagangan batik. Wacana prilaku ekonomi perdagangan dan industri batik di Solo ini dianggap kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik kerajaan. Sebagian besar bangsawan kerajaan yang gaya hidupnya lebih mencerminkan pola hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang senang hidup berdampingan dengan wong Laweyan yang mencerminkan gaya hidup sebagai entrepreuner yang dianggap egois, kikir, dan dianggap cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing dalam hal meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat dan pangkat, maka dengan segala cara, orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yang muncul untuk mengalienasikan ethos pedagang dan industriawan batik kaum perempuan ini antara lain,
 
# Eksistensi komunitas dagang Laweyan di jaman Pajang, dialienasikan dalam folklor Raden Pabelan yang melakukan perselingkuhan dengan putri raja Ratu Sekar Kedhaton. Peristiwa itu mengakibatkan dijatuhkannya eksekusi mati atas Raden Pabelan bertempat di Laweyan. Folklor ini seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif orang Jawa dalam Babad minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimasi) bahwa sudah layak dan sepantasnya orang yang melanggar tata-krama adat istana harus di-eksekusi hukum "Lawe" (digantung dengan tali = lawe), dan yang sangat disengaja eksekusi itu dijatuhkan di Laweyan.
# Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius untuk mengklaim bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi cultural kraton, bukan ekologi pedagang lawe yang telah lama ada (Pajang). Konon menurut cerita lokal, asal usul nama tempat “laweyan” sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang, Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal-bakal Mataram. Karena jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, beliau diberi hadiah tanah “perdikan”. Tanah itu diberi nama “luwihan”, folklor ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah berubah sebutan menjadi “laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan” (kesaktian) Kyai Ageng Ngenis.
 
== Kepustakaan ==
* ''[[Babad Tanah Jawi]]''. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
* H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. ''Kerajaan Islam Pertama di Jawa''. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
* Purwadi. (2007). ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu
 
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
== Sumber Lain ==
[[Kategori:Tokoh dari SurakartaGrobogan]]
* [http://javakeris.com/?mode=viewid&post_id=102|Laweyan Laweyan dan Keris]
[[Kategori:SunanTokoh dari Surakarta]]
 
----
{{start box}}
{{succession box |
before=[[Ki Ageng Sela]] |
title=[[Perintis Kesultanan Mataram]] |
years=1478-1556 |
after=[[Ki_Ageng_Pamanahan|Ki Ageng Pemanahan]]
}}
{{end box}}
 
{{islam-bio-stub}}
----
[[Kategori:Sunan Surakarta]]
[[Kategori:Meninggal usia 56]]
[[Kategori:Tokoh dari Surakarta]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
 
[[Kategori:Kesultanan Mataram]]
[[Kategori:Tokoh Yogyakarta]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]