Katu, Lore Tengah, Poso: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adriansa Manu (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Adriansa Manu (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(11 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7:
|luas =5.461,3 hektar
|penduduk =537 jiwa
|kepala desa=Henock Cugeno|foto=Petani Katu.jpg|peta=Peta Wilayah kelola Desa Katu 2023.png|KK=126|BPS_code=7204041008|kode pos=94656|website=-|RT=6}}
'''Katu''' adalah sebuah [[desa]] di kecamatan [[Lore Tengah, Poso|Lore Tengah]], [[Kabupaten Poso|Poso]], [[Sulawesi Tengah]], [[Indonesia]]. Katu bermakna sebagai tempat akhir bagi sebagian komunitas ''Behoa'' yang menjadi korban kolonialisme Belanda di dataran tinggi Poso pada 1908. Pada tahun 2023 penduduk desa Katu telah mencapai 537 jiwa atau 126 Kepala Keluarga.<mapframe latitude="-1.586635" longitude="120.251884" zoom="11" width="280" height="186" />
 
== Sejarah Singkat ==
 
Masyarakat Katu atau yang dikenal dengan masyarakat adat Katu memiliki sejarah pelik terkait keberadaan mereka. Pemerintah kolonial Belanda beberapa kali memindahkan mereka secara paksa. Ketika perang dunia ke-II meledak Tentara Jepang mempekerjakan mereka secara paksa hingga awal pemerintahan Orde Lama.
 
Masyarakat adat Katu merupakan salah satu suku di Sulawesi Tengah yang mendiami sebagian kecil kawasan hutan Taman Nasional Lore Kalamanta (saat ini berubah nama menjadi Taman Nasional Lore Lindu). Mereka dikenal sebagai etnis Behoa. [[Walter Kaudern|Etnolog Swedia Walter Kaudern]], mengklasifikasikan mereka sebagai subsuku Koro-Toraja. [[Albertus Christiaan Kruyt|A.C. Kruyt]] dan [[Nicolaas Adriani|Nicolaus Adriani]] menyatakan, bahwa Behoa merupakan subsuku [[Poso (kota)|Poso]]-[[Kabupaten Toraja Utara|Toraja]]. Kruyt meyakini bahwa suku ini berasal dari [[To Napu|Napu]], arah utara dari wilayah yang mereka tempati saat ini, meskipun teori ini tidak dijelaskannya secara komprehensif.
 
Pada tahun 1910-1918 masyarakat adat Katu tinggal di lereng-lereng gunung tempat mereka berladang. Kala itu mereka hidup berpindah-pindah sesuai dengan siklus ladang di sekitar ''Mapohi'' dan ''Parabu.'' Masyarakat adat Katu tidak membentuk perkampungan yang menetap mereka tinggal berdasarkan rotasi pertanian ladang (Manu 16, -20-21). Kehadiran pemerintah Belanda pada 1918 di lereng-lereng gunung tempat mereka berladang menjadi awal terbentuknya perkampungan baru. Pemerintah Belanda memaksa mereka pindah dari bukit-bukit dengan cara membakar ladang dan membawa mereka turun ke lembah Behoa (Manu 16, 1-2) Pemerintah Belanda membawa mereka untuk membentuk perkampungan baru di sekitar Bariri dan Hanggira. Tujuannya agar Belanda dapat menarik pajak dan memperkenalkan mereka dengan pertanian lahan basah (sawah). Selama di perkampungan baru pemerintah Belanda tidak memperkenankan pembukaan hutan untuk berladang karena dianggap tidak efektif dan cenderung merusak hutan (Manu 16, 20-21).
 
Selama tinggal di perkampungan baru, orang Katu kesulitan karena tidak terbiasa dengan pertanian lahan basah. Sehingga pada tahun 1925 kepala suku orang Katu menemui Raja Kabo di Desa Wanga selaku perpanjangan tangan Belanda untuk memohon agar mereka dapat kembali ke bukit dengan alasan agar mereka mudah membayar pajak (''blasting'') kepada pemerintah Belanda (D'Andrea 2023, 4). Seperti diketahui, wilayah Napu telah ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1905 oleh Letnan Voskuil (lihat Kruyt, 1975:184). Agar raja Kabo mengabulkan permohonan mereka dikabulkan, kepala suku orang Katu berjanji kepada raja Kabo bahwa mereka akan menaman Kopi dan mengumpulkan getah damar untuk diberikan kepada Belanda.
 
Raja Kabo akhirnya memenuhi permintaan orang Katu untuk kembali pindah di lereng gunung. Pada akhirnya mereka membentuk perkampungan baru di sekitar sungai ''Piri''. Pada 19291928, raja Kabo bersama J.W. Wesseldijk meresmikan pemukiman baru orang Katu dan mendirikan sekolah misionaris Protestan dan kepala kampung pertama bernama Marato (D'Andrea 2003, 3-4). Tidak lama setelah Katu resmi menjadi perkampungan, penduduk dari ''Behoa Ngamba'' berdatangan bahkan dengan jumlah yang besar untuk tinggal bersama orang Katu.
 
Pada awal tahun 1949, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) memindahkan penduduk yang tinggal diperbukitan termasuk kampung Katu. Kampung Katu menjadi salah satu tempat yang diluluhlantakkan TKR melawan pasukan Letkol. Kahar Muzakar. Selama perang penduduk Katu ditempatkan bersama penduduk lain di tempat pengungsian. Selama periode ini penduduk Katu mengalami kelaparan, musibah ini membuat mereka kembali dipindahkan ketempat baru yakni ''Bangkeluho''. Selama mereka tinggal di ''Bangkeluho'' orang Katu justru mengalami penderitaan yang lebih rumit terutama sulitnya menemukan kayu untuk membangun rumah dan peralatan rumah tangga lainnya. Mereka juga sering berkonflik dengan orang Bariri yang lebih dulu menempati wilayah itu. Meski demikian, orang Katu sempat tinggal beberapa tahun di ''Bangkeluho''. Kondisi yang rumit ini, membuat mereka tidak bertahan lama sehingga pada akhir tahun 1959 orang Katu kembali ke perkampungan lama dipimpin oleh Humpui Torae. Namun perpindahan ini tidak mendapat restu dari Kepala Distrik bernama M. Bago dengan alasan bahwa saat itu Permesta menguasai dataran tinggi membuat Humpui Torae dilaporkan kepada Mayor Garungan. Atas laporan tersebut, Humpui Torae menemui Mayor Garungan dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang Katu selama tinggal di perkampungan ''Bangkeluho''. Pada akhirnya orang Katu mendapat restu dari Mayor Garungan untuk kembali dan tinggal di perkampungan Katu (Manu 2016, 22).
 
Raja Gembu dan Kepala Distrik M. Bago datang ke Katu membuat upacara resmi orang Katu tetap tinggal di Katu. Upacara tersebut ditandai dengan penanaman pohon beringin dan sumpah (''totowi'') agar orang Katu tetap berada di sana. Sejak itu, orang Katu tetap tinggal di sana hingga saat ini.
Pada tahun 1985 proyek Konservasi Lore Lindu bermaksud memindahkan masyarakat Katu yang ketiga kalinya, tapi masyarakat sudah sepakat dan kembali mengeluarkan sumpah “''Iheana Tauna Toi Katu To Barani Mopelahi Wanua Katu, Ina Nadampangi Daana Nunu Dee''.<nowiki>''</nowiki> (Barang siapa orang Katu yang berani meninggalkan desanya akan ditindis dahan-dahan beringin yang sedang rimbun dan mendapatkan Bala dalam kehidupannya).
 
Ketika pindah ke Katu Humpui Torae juga mengajak para pengungsi dari suku Rampi di Sulawesi Selatan yang terpaksa bermukim di Behoa Ngamba karena peristiwa DI/TII. Orang-orang ini kemudian membangun desa di sebelah desa Katu dengan nama Desa Dodolo.
 
Pada tahun 1985 proyek Konservasi Lore Lindu bermaksud memindahkan masyarakat Katu yang ketiga kalinya, tapi masyarakat sudah sepakat dan kembali mengeluarkan sumpah “''Iheana Tauna Toi Katu To Barani Mopelahi Wanua Katu, Ina Nadampangi Daana Nunu Dee''.<nowiki>''</nowiki> (Barang siapa orang Katu yang berani meninggalkan desanya akan ditindis dahan-dahan beringin yang sedang rimbun dan mendapatkan Bala dalam kehidupannya). Pada tahun 1989, orang Dodolo berhasil dipindahkan ke antara Desa Wanga dan Desa Kaduwaa.
 
== Katu dan Agenda Konservasi Dunia ==
Baris 39 ⟶ 43:
 
* Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan ([[Lore Tengah, Poso|Lore Tengah]]): 26 Km.
* Jarak dari pusat pemerintah Kabupaten ([[Poso (kota)|Poso]]): 351 &nbsp;km
* Jarak dari pusat pemerintahan Provinsi ([[Kota Palu]]): 140 Km
 
Baris 140 ⟶ 144:
'''Tingkat Kemiskinan'''
 
Meski penduduk Desa Katu mayoritas memiliki pekerjaan namun penduduknya tergolong miskin atau dibawah garis kemiskinan. Hal ini terlihat dari pendapatan dan pengeluaran rata-rata rumah tangga penduduknya yang hanya berkisar Rp.300.000 hingga Rp.500.000 per bulan. Selain pendapatan, tingkat pendidikan di desa Katu juga terbilang masih rendah. Pada tahun 2023 penduduk usia 17-19 tahun di Desa Katu yang melanjutkan sekolah menengah atas (SMA) hanya berjumlah 10 orang. Demikian pula penduduk usia 19-24 tahun yang melanjutkan jenjang perguruan tinggi hanya berjumlah 8 orang. Faktor utama penyebab minimnya tingkat pendidikan di Desa Katu disebabkan oleh faktor ekonomi dan pernikahan dini.
 
'''Kondisi Bangunan Rumah'''
 
Rata-rata penduduk Desa Katu telah memiliki rumah pribadi yang didominasi oleh bangunan rumah semi permanen. Sebagian diantaranya merupakan bantuan perumahan dari pemerintah yang diberikan kepada warga yang kurang mampu atau memiliki rumah tidak layak huni. Meski demikian masih banyak bangunan rumah yang belum memiliki jamban. Penduduk setempat biasanya menggunakan jamban di luar rumah yang bersifat sementara atau darurat.
 
'''Kepemilikan Kendaraan'''
 
Kepemilikan kendaraan roda dua di Desa Katu termasuk cukup tinggi. Pada 2023, penduduk yang memiliki kendaraan roda dua di Desa Katu berjumlah 56 orang. Selain kendaraan roda dua, terdapat 5 orang penduduk memiliki kendaraan roda empat. Hal ini kontras dengan tingkat pendapatan mayoritas penduduk Desa Katu yang hanya berkisar Rp.300.000 hingga Rp.500.000 per bulan.
 
'''Aksebilitas'''
[[Berkas:Perbaikan Jalan Desa Katu.jpg|al=Perbaikan Jalan Desa Katu|jmpl|Masyarakat Katu gotong royong membersihkan jalan yang tertimbun longsor pada 17 desember 2022]]
Desa Katu hanya memiliki satu jalan utama berjarak 7 Km dari Desa Rompo. Jalan ini merupakan jalan satu-satunya untuk keluar atau masuk desa Katu. Pada tahun 1980-an hingga 2000-an awal jalan menuju desa Katu masih setapak. Penduduk setempat yang hendak berpergian keluar desa Katu menempuhnya dengan berjalan kaki atau menunggangi kuda (bahasa orang ''Behoa "mopateke").'' Antara tahun 2004, 2005 jalan ke desa Katu mulai dibuka agar penduduk dapat melakukan kegiatan keluar Katu menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Namun pembukaan jalan tersebut hanya sampai pada pembentukan badan jalan. Sehingga untuk melaluinya masih cukup sulit karena jalannya yang berliku-liku, curam, berpasir dan berkerikil. Saat musim hujan beberapa titik jalan sering mengalami longsor dan berlumpur sehingga penduduk setempat sering menghidari perjalanan saat musim penghujan.
 
Salah satu hambatan pembukaan jalan ke desa Katu karena wilayah Katu berada dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, selain karena anggaran yang dibutuhkan cukup besar.
 
== Pemerintah Desa ==
Baris 168 ⟶ 172:
|-
|1.
|'''HumpuiBilotu ToraeToniri''' (Umana Timboka)
|1918
|
|1923
|
|Kepala Kampung
|-
|2.
|'''GaneMarato BagoManu''' (Umana Lampi)
|1923
|1983
|1925
|1988
|Kepala Desa DefenitifKampung
|-
|3.
|'''Makada''' '''Tandei''' (Umana Kalumba)
|'''Lison Rore'''
|1924
|1988
|1927
|1998
|Kepala Deaa DefenitifKampung
|-
|4.
|'''SituGalo PantoliNgkaro''' (Umana Kari)
|1927
|1998
|1928
|2004
|Kepala Desa DefenitifKampung
|-
|5.
|'''JoniNtumu PantoliManu''' (Umana Rudo)
|1928
|2004
|1929
|2009
|Kepala Desa DefenitifKampung
|-
|6.
|'''AliUmbala PantoliMentara'''(Umana Pihika)
|1929
|2009
|1930
|2014
|Kepala Desa DefenitifKampung
|-
|7.
|'''FerdinanRambai LumenoMentara''' (Umana Kalanda)
|1930
| 1932
|Kepala Kampung
|-
|8.
|'''Ntembe Baona''' (Umana Luse)
|1932
| 1934
|Kepala Kampung
|-
|9.
|'''Makulu Pantoli''' (Umana Lajuku)
|1934
|1960
|Kepala Kampung
|-
|10.
|'''Borosa Kapipi''' (Umana Salu)
|1960
|1962
|Kepala Desa Defenitif
|-
|11.
|'''Humpui Torae''' (Umana Dema)
|1962
|1969
|Kepala Kampung
|-
|12.
|'''Gane Bago''' (Umana Seri)
|1969
|1977
|Kepala Desa Defenitif
|-
|13.
|'''Lison Rore''' (Umana Santi)
|1977
|1983
|Kepala Desa Defenitif
|-
|14.
|'''Situ Pantoli''' (Umana Bentunu)
|1983
|2002
|Kepala Desa Defenitif
|-
|15.
|'''Joni Pantoli''' (Umana Epi)
|2002
|2007
|Kepala Desa Defenitif
|-
|16.
|'''Ali Pantoli''' (Umana Minu)
|2007
|2013
|Kepala Desa Defenitif
|-
|17.
|'''Ferdinan Lumeno''' (Umana Linda)
|2014
|2019
|Kepala Desa Defenitif
|-
|818.
|'''Kristiawan Winono''' (Umana Ekris)
|2019
|2021
|2020
|Plt Kepala Desa
|-
|919.
|'''Henok Cugeno''' (Umana Enjel)
|2021
|''Sedang menjabat''
Baris 233 ⟶ 297:
|-
|1.
|'''Joni Pantoli'''
|
|1986
|
|2002
|
|
|
|-
|2.
|
|
|
|
|
|-
|3.
|'''Onesimus Lumeno'''
|2003
|
|''Sedang menjabat''
|
Baris 325 ⟶ 382:
 
== Referensi ==
<references />


{{Desa-stub}}