Kerajaan Larantuka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Made ata (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(13 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 6:
|region = Asia Tenggara
|country = Indonesia
|religion = [[Gereja Katolik Roma|Katolik]]
|image_flag =
|image_coat =
Baris 27:
|image_map = Lokasi Flores.png
|capital = Larantuka
|common_languages = '''Bahasa resmi:''' =[[bahasa Portugis|Portugis]] <br> '''Lainnya:''' [[Bahasabahasa Melayu Larantuka|Melayu Larantuka]]<br>[[bahasa Li'o|Li'o]]
|government_type = Monarki
|title_leader = Lorenzo I
Baris 34:
|today = {{flag|Indonesia}}
}}
 
{{Sejarah Indonesia}}
 
'''Kerajaan Larantuka''' adalah sebuah [[kerajaan]] yang berada di Nusa Nipa yang berarti ''Pulau Naga'' dalam [[bahasa Melayu Larantuka|bahasa lokal]],<ref>Sareng Orinbao (1969), ''Nusa Nipa: nama pribumi Nusa Flores (warisan purba)'', Percetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah, Ende</ref> sedangkan dalam [[bahasa Portugis]]:, ''Cabo de Flores'' <ref>Laan, Petrus. 1962-1968. Larantuka 1860-1918, 9 vols. (deposited in the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands).</ref> yang sekarang disebut sebagai [[Pulau Flores]],<ref>Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis ''Cabo de Flores'' yang berarti ''Tanjung Bunga''. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda [[Hendrik Brouwer]].</ref> dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao <ref>Barnes, R. H., ''The Majapahit dependency Galiyao'', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 138, p. 407-412</ref><ref>Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, ''Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD'' (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29-34</ref> yang disebut sebagai penghasil [[santalum album|kayu cendana]].<ref>Fraassen, Ch. F. van, ''Drie plaatsnamen uit Oost-Indonesië in de Nagara-Kertagama: Galiyao, Muar en Wwanin en de vroegere handelsgeschiedenis van de Ambonse eilanden'', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132, p. 293-305</ref> Wilayah kekuasaannya mencapai [[Kerajaan Adonara|Adonara]],.<ref>Verbaal. 21 April 1906, no. 55. Nationaal Archief, The Hague, Ministerie van Koloniën, 1900-1963, Openbaar verbaal, 1900-1952.</ref> dengan [[rajaRaja]] pertama Larantuka bernama Lorenzo I.<ref>Heynen, F. C. 1876a. Het Christendom op het Eiland Flores in Nederlandsch Indië (Studiën op Godsdienstig, Wetenschappelijk en Letterkundig Gebied 8: 8). The Hague: van Gulick.</ref>
 
== Permulaan ==
Baris 53 ⟶ 52:
 
== Reinha Rosari ==
Sekitar tahun 1665, Raja [[Ola Adobala]] di[[baptis]] dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Secara ritual, ia memprakarsai upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada patung ''Tuan Ma'' ([[Bunda Maria]] Reinha Rosari) sebagai lambang bahwa Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha (Ratu) dan para raja adalah wakil dan abdi [[Bunda Maria]].<ref name="Antara news">{{citation |url=http://www.antaranews.com/berita/304885/prosesi-jumat-agung-nan-abadi-di-larantuka |title=Prosesi Jumat Agung nan abadi di Larantuka |date=5 April 2012 |author=Laurensius Molan |publisher=antaranews.com}}</ref> Dengan demikian menyiratkan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan [[Katolik Roma|Katolik]].
 
Pada tanggal 8 September 1886 Raja [[Lorenzo II dari Larantuka|Don Lorenzo Usineno II DVG]], raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka sehingga Larantuka sejak saat itu umum disebut "Reinha Rosari" (Ratu Rosari).<ref name="Antara news"/>
 
== Referensi ==
Baris 91 ⟶ 90:
Sumber-sumber tradisi lisan, yang sebagiannya masih terpelihara melalui tutu maring usu-asa (cerita asal usul) yang dikeramatkan, kiranya .merupakan bahan berharga yang membantu memberikan penjelasan tentang sejarah, kebudayaan, dan pandangan dunia masyarakat Flores Timur. Beberapa peneliti etnografi telah memanfaatkan dengan baik sumber-sumber tradisi lisan ini (lihat, misalnya Vatter, 1984; Graham, 1985; Petu, .1967; Van Wouden, 1985). Dalam tulisan inii dimanfaatkan sumber tradisi lisan dan. beberapa sumber tertulis.
Sejarah kependudukan masyarakat NTT pada umumnya menunjukkan bahwa propinsi ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnik menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989:12; Mubyarto, 1991:5). Kenyataan ini membawa tantangan tersendiri, terutama jika heterogenitas itu menimbulkan konflik kebudayaan. Khusus dalam masyarakat Flores Timur, gejala heterogenitas terlihat dalam sejarah asal usul, suku, bahasa (dialek), filsafat dan pandangan dunia. Pembicaraan mengenai aspek-aspek tersebut acap kali memunculkan perdebatan sengit antara berbagai orang yang memegang ‘otoritas’ (Vatter, 1984:71). Suatu persoalan yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah, bagaimana masyarakat yang pluralistik seperti itu membangun sebuah komunitas hidup bersama dan mengembangkan semacam ‘lembaga peredam konflik’.
Dari berbagai tradisi lisan, dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli Flores Timur adalah kelompok suku Ile Jadi (yakni suku yang leluhurnya —Wato Wele Oa Dona dan Lia Nurat Nuru Nama— dilahirkan dari dalam gunung Ile Mandiri). Sedangkan suku-suku pendatang/imigran adalah suku Tena Mau (yang datang ke Flores Timur karena perahu (tena) mereka terdampar (mau); kelompok Sina Jawa (adalah kelompok pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian Barat); kelompok Kroko Puken ( kelompok imigran dari Pulau Lepan Batang, pulau yang dipercaya telah tenggelam ke dasar laut). Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah pengaruh Jawa (diduga berasal dad masa Hindu abad ke-13); Bugis Mákassar (diduga bermula dari abad ke-16, terbukti sampai sekarang masih terdapat naskah lontar bertulisan Bugis di Pulau Solor), Ambon/Maluku (terutama dalam zaman pemerintahan Belanda pada awal abad ke-17), Portugis (yang tiba di Solor tahun 1556, disertai migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika Portugis ditaklukkan Belanda tahun 1641 di Malaka) (Soewondo, 1981 : 22-24; Fernandez, 1984; Taum, 1993).
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh ‘pendatang’ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama ‘Pati’ dan ‘Arakiang’ disejajarkan dengan gelar ‘Patih’ dan Rakryan’ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan tokoh legendaris dan mitobogis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka). Sekalipun terdapat pola kekerabatan, ternyata hubungan itu banyak menimbulkan konflik dan pertentangan. Permusuhan dan pertentangan antara kedua kelompok itu bahkan menimbulkan peperangan yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya dan sukarI didamaikan sampai dengan abad ke-19 (Vatter, 1984:23-24). Dalam perkembangan selanjutnya, perang yang terkenal dengan nama Perang Paji Demon itu bergeser menjadi perang antara orang-orang Demon (yakni pengikut raja-raja Kristen dari Larantuka) melawan orang-orang Paji (yakni pengikut raja-raja Islam dari Adonara dan Solor, tanpa melihat apakah mereka Islam, Kristen atau kafir). Selaras dengan itu dibedakan antara ‘tanah Paji’ dan ‘tanah Demon’; Paji Nara dan Demon Nara (Vatter, 1984:24-25; Graham, 1985:59-60).
Dari perkawinan Pati Gob dan Wato Wele, lahir tiga putra yakni : Kudi Lelen Bala (yang kelak menurunkan orang Waibalun), Padu Ile (yang kelak menurunkan raja-raja Larantuka), dan Lahalapan (yang kelak menurunkan orang-orang Balela). Yang dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Larantuka adalah Sira Demon Pagong Molang, karena raja inilah yang meletakkan dasar pemerintahan dan penataan kerajaannya.
 
3. Pembagian Wilayah Teritorial
Baris 120 ⟶ 119:
 
Tulisan ini berasal dari artikel Yoseph Yapi Taum, pernah dimuat dalam Majalah Basis, Yogyakarta, 1994.-->
{{indo-sejarah-stub}}
 
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Larantuka]]