Kerajaan Larantuka: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tian x-way (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(69 revisi perantara oleh 32 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox Former Country
|native_name = Tana Nagi<br />Lamakéra <ref>[[Tomé Pires]] dalam bukunya [[Suma Oriental|Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins]]</ref>
|native_name = Eru Mbinge▼
|conventional_long_name = Ilimandiri Larantuka
|common_name = Larantuka
|continent =
|region =
|country =
|religion = [[
|image_flag =
|image_coat =
|symbol_type =
|p1 = Kerajaan Portugal
|p2 =
|s1 = Hindia Belanda
|s2 =
|flag_p1 = Flag Portugal (1830).svg
|flag_p2 =
|flag_s1 = Flag of the Netherlands.svg
|year_start =
|year_end =
|date_start =
|event1 = Dibeli Belanda dari Portugal
|date_end =
|
▲|event_end =
|image_map = Lokasi Flores.png
|capital = Larantuka
|common_languages = '''Bahasa resmi:'''
|government_type = Monarki
|title_leader = Lorenzo I
|currency =
|footnotes =
|today = {{flag|Indonesia}}
}}
{{Sejarah Indonesia}}
'''Kerajaan Larantuka''' adalah sebuah [[kerajaan]] yang berada di Nusa Nipa yang berarti ''Pulau Naga'' dalam [[
==
Sebelum tahun [[1600]], pedagang Portugis meninggalkan [[Solor]] dan menetap di Larantuka. Para pedagang terlibat dalam konflik dengan Dominikan di Solor, karena mereka lebih tertarik dalam perdagangan daripada kristenisasi. Pada tahun [[1613]], Solor diduduki Belanda dan Dominikan pindah ke Larantuka juga. Kemudian Larantuka menjadi stasiun internal untuk perdagangan kayu cendana dari [[Timor]] dan menjadi pusat perdagangan Portugis di wilayah Indonesia bagian tenggara. Larantuka bahkan menjadi tempat pengungsian bagi desertir dari [[Dutch East India Company]] (VOC).
== Ritus ==
Upacara ritual pengorbanan [[hewan]]
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.▼
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang
== Legenda ==
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan ''Wehale Waiwiku'' dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari [[gunung Ile Mandiri]].<ref name="Barnes">Barnes, R.H., (2008), ''[http://www.iias.nl/article/raja-lorenzo-ii-catholic-kingdom-dutch-east-indies Raja Lorenzo II: A Catholic kingdom in the Dutch East Indies]'', International Institute for Asian Studies, Newsletter #47, pp.24-25</ref>
== Reinha Rosari ==
Sekitar tahun 1665, Raja [[Ola Adobala]] di[[baptis]] dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Secara ritual, ia memprakarsai upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada patung ''Tuan Ma'' ([[Bunda Maria]] Reinha Rosari) sebagai lambang bahwa Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha (Ratu) dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.<ref name="Antara news">{{citation |url=http://www.antaranews.com/berita/304885/prosesi-jumat-agung-nan-abadi-di-larantuka |title=Prosesi Jumat Agung nan abadi di Larantuka |date=5 April 2012 |author=Laurensius Molan |publisher=antaranews.com}}</ref> Dengan demikian menyiratkan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan [[Katolik Roma|Katolik]].
Pada tanggal 8 September 1886 Raja [[Lorenzo II dari Larantuka|Don Lorenzo Usineno II DVG]], raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka sehingga Larantuka sejak saat itu umum disebut "Reinha Rosari" (Ratu Rosari).<ref name="Antara news"/>
== Referensi ==
{{reflist}}
== Kepustakaan ==
* Anderson, B.R.O.G. 1972. ‘The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Hoit. C., ed. Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
* Barlow, Colin, et.al. 1989. Potensi-potensi Pengembangan Soslal Eko-nomi di Nusa Tenggara Timur. Canberra: Australian National University.
* Fernandez, F.K. 1981. Semana Santa: Upacara Devoci Tradisional di Larantuka. Larantuka: Konfrerta Reinha Rosari.
* Galtung, Johan. 1980. The True Worlds: A Transnational Perspectives. New York: MacMillan Co.
* Graham, Penelope. 1985. Issues in Social Structure in Eastern Indonesia. Oxford University Press.
* Kennedy, R. 1955. A Notes on Indonesia: Flores 1949-1950. Human Relations Area
* Mubyarto, et.al. 1991. Etos Kerfa dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rore, Sabu,Timor di WIT. Yogyakarta: P3PK UGM.
* Petü, Piet. 1967. Nusa Nipo: Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa indah.
* Soewondo, Bambang, et.al. 1987. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Depdikbud.
* Soemargono, K. et.al. 1992. Profil
* Taum, Yoseph Yapi. 1993. Tradisi dan Transformasi Cerita Wato Wele-Lia Nurat dalam Cerita Rakyat Flores Timur. Yogyakarta: Tesis Master pada Fakultas Pascasarjana UGM.
* Van Wouden, F.A.E. 1985. Klen, Mitos dan Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur. Jakarta: Grafiti Pers.
* Vatter, Ernst. 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Berguolker Im Tropisehen Holland (1932) oleh S.D. Sjah. Ende Nusa lndah.
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://www.youtube.com/watch?v=BsBn2SAEEpc Trailer film Dokumenter "Bunda Reinha"]
* {{id}} [http://id.scribd.com/doc/40041879/Kekuasaan-Larantuka-Final Struktur birokrasi dan kekuasaan di Flores Timur]
{{Kerajaan di Sunda Kecil}}
<!--DISEMBUNYIKAN KARENA KURANG RAPI
1. Pengantar
Tinjauan terhadap struktur birokrasi dan sistem kekuasaan di Flores Timur ini dimaksudkan sebagal studi awal yang mencoba memahami beberapa tradisi pengalaman bermasyarakat, dalam kaitan dengan artinya sebagai pelaku sosial untuk lebih memahami proses kerja sistem sosial. Tradisi di sini dimengerti sebagai suatu pola atau sistem makna dalam bentuk simbol-simbol yang diwariskan secara historis, suatu acuan wawasan turun-temurun yang melaluinya masyarakat berkomunikasi, meneruskan, dan rnengembangkan pengetahuan dan pola sikap mereka tentang dan atas kehidupan. Dalam berbagal tradisi suku-suku bangsa, peranan ritus dan mitos dalam tatanan sosio-kosmik menduduki posisi penting. Posisi itulah yang terutama disoroti dalam uraian ini.
Baris 61 ⟶ 90:
Sumber-sumber tradisi lisan, yang sebagiannya masih terpelihara melalui tutu maring usu-asa (cerita asal usul) yang dikeramatkan, kiranya .merupakan bahan berharga yang membantu memberikan penjelasan tentang sejarah, kebudayaan, dan pandangan dunia masyarakat Flores Timur. Beberapa peneliti etnografi telah memanfaatkan dengan baik sumber-sumber tradisi lisan ini (lihat, misalnya Vatter, 1984; Graham, 1985; Petu, .1967; Van Wouden, 1985). Dalam tulisan inii dimanfaatkan sumber tradisi lisan dan. beberapa sumber tertulis.
Sejarah kependudukan masyarakat NTT pada umumnya menunjukkan bahwa propinsi ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnik menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989:12; Mubyarto, 1991:5). Kenyataan ini membawa tantangan tersendiri, terutama jika heterogenitas itu menimbulkan konflik kebudayaan. Khusus dalam masyarakat Flores Timur, gejala heterogenitas terlihat dalam sejarah asal usul, suku, bahasa (dialek), filsafat dan pandangan dunia. Pembicaraan mengenai aspek-aspek tersebut acap kali memunculkan perdebatan sengit antara berbagai orang yang memegang ‘otoritas’ (Vatter, 1984:71). Suatu persoalan yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah, bagaimana masyarakat yang pluralistik seperti itu membangun sebuah komunitas hidup bersama dan mengembangkan semacam ‘lembaga peredam konflik’.
Dari berbagai tradisi lisan, dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli Flores Timur adalah kelompok suku Ile Jadi (yakni suku yang leluhurnya —Wato Wele Oa Dona dan Lia Nurat Nuru Nama— dilahirkan dari dalam gunung Ile Mandiri). Sedangkan suku-suku pendatang/imigran adalah suku Tena Mau (yang datang ke Flores Timur karena perahu (tena) mereka terdampar (mau); kelompok Sina Jawa (adalah kelompok pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian Barat); kelompok Kroko Puken ( kelompok imigran dari Pulau Lepan Batang, pulau yang dipercaya telah tenggelam ke dasar laut). Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah pengaruh Jawa (diduga berasal dad masa Hindu abad ke-13); Bugis Mákassar (diduga bermula dari abad ke-16, terbukti sampai sekarang masih terdapat naskah lontar bertulisan Bugis di Pulau Solor), Ambon/Maluku (terutama dalam zaman pemerintahan Belanda pada awal abad ke-17), Portugis (yang tiba di Solor tahun 1556, disertai migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika Portugis ditaklukkan Belanda tahun 1641 di Malaka) (Soewondo, 1981
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh ‘pendatang’ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama ‘Pati’ dan ‘Arakiang’ disejajarkan dengan gelar ‘Patih’ dan Rakryan’ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan tokoh legendaris dan mitobogis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka). Sekalipun terdapat pola kekerabatan, ternyata hubungan itu banyak menimbulkan konflik dan pertentangan. Permusuhan dan pertentangan antara kedua kelompok itu bahkan menimbulkan peperangan yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya dan sukarI didamaikan sampai dengan abad ke-19 (Vatter, 1984:23-24). Dalam perkembangan selanjutnya, perang yang terkenal dengan nama Perang Paji Demon itu bergeser menjadi perang antara orang-orang Demon (yakni pengikut raja-raja Kristen dari Larantuka) melawan orang-orang Paji (yakni pengikut raja-raja Islam dari Adonara dan Solor, tanpa melihat apakah mereka Islam, Kristen atau kafir). Selaras dengan itu dibedakan antara ‘tanah Paji’ dan ‘tanah Demon’; Paji Nara dan Demon Nara (Vatter, 1984:24-25; Graham, 1985:59-60).
Dari perkawinan Pati Gob dan Wato Wele, lahir tiga putra yakni
3. Pembagian Wilayah Teritorial
Baris 71 ⟶ 100:
Kesepuluh distrik kakang digambarkan oleh Graham (1985:127) sebagai ‘vassal state’ (negara jajahan). Masing-masing kakang memiliki sistem administrasinya sendiri tetapi tetap mengakui kekuasaan Raja Larantuka. Dalam situasi perang, negara-negara jajahan itu wajib menyerahkan upeti dan menyumbangkan serdadu.
Selain wilayah kakang yang dihuni oleh kaum Demon, wilayah Flores Timur zaman itu mengenal pula wilayah ‘watan’ (pantai) yang dihuni oleh kaum Paji. Ada lima wilayah Paji, yang disebut Paji Watan Lema, yakni: Lewotolok, Labala, dan Kedang (di Lembata), Lamahala dan Trong (di Adonara), Lamakera dan Lewayong (di Solor), dan Tanjung Bunga (di ujung timur Flores Timur). Wilayah Paji Watan Lema itu dikuasai oleh Raja Adonara sebagai Raja Paji Watan Lema. Dalam pertempuran-pertempuran yang berulang-ulang terjadi antara Belanda dan Portugis dalam abad ke-17, orang-orang Belanda selalu bersekutu dengan raja-raja Islam dari wilayah Paji; sedangkan Portugis bertumpu pada Kerajaan Larantuka yang rajanya dibaptis pada tahun 1645 (Vatter, 1984: 21).
Di Lewayong (Solor) terdapat tradisi kerajaan Islam yang mempunyai supremasi yang mantap terhadap kerajaan-kerajaan Islam lainnya, terutama sekitar tahun 1680 dalam masa pemerintahan Ratu Nyai Chili Muda.
4. Bentuk-bentuk Hierarki Jabatan
Baris 79 ⟶ 108:
5. Bentuk-bentuk Organisasi Pemerintahan dan Aparatnya
▲Upacara ritual pengorbanan hewan menduduki posisi penting dan mernperigaruhi berbagal struktur dan proses sosial pada berbagal lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
▲Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.
▲Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang dan damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.
Berfokus pada makna kedudukan dan fungsi di dalam upacara ritual pengorbanan hewan itu, raja mengidentifikasikan dirinya sebagai ‘Tuan Tanah Besar’ dan menjadi bagian dari keseluruhan sistem tuan tanah asli, karena raja adalah Koten Demon Lewo Pulo (koten artinya kepala dari kerajaannya). Akan tetapi, bagaimanapun, raja bukanlah tuan tanah satu-satunya karena di samping dia ada tuan tanah lain yang merupakan pemilik tanah, atau yang disebut raja tanah. Ada pula Koten yang merupakan pembantu utama raja (po suku lema) yang juga sebenarnya tergolong tuan tanah. Dalam studi Graham (1985:130), disebutkan bahwa istilah 'raja tanah' sesungguhnya mengekspresikan derajat penghormatan raja terhadap tuan tanah pribumi, yang akhirnya diabdikan pula kepada raja. Dalam struktur pemerintahan tradisional, tuan tanah pribumi (tana alant) ini juga menjadi kepala kampung. Dalam kompleks perkampungan pusat kerajaan di Lewonama, tuan tanah pribumi itu pun bertindak sebagai kepala kompleks. Jadi tuan tanah itu berperanan baik dalam hal administrasi kerajaan maupun sebagai imam kerajaan. Dalam pola pandangan seperti ini, Graham (1985:130) menyimpulkan bahwa ‘Raja memiliki kekuasaan temporal tertinggi, tuan tanah memiliki kekuasaan spiritual terbesar, dan dengan demikian relasi timbal-balik yang harmonis terjadi antara agama dan politik kerajaan, pusat dan daerah, urusan jasmani dan urusan rohani..
Baris 90 ⟶ 116:
Jika kita menerima pandangan bahwa mengakomodasikan faktor-faktor budaya lewat perangkat dan praktik kebijaksanaan akan mampu membentuk suatu kekuatan pembebas yang tangguh, maka berbagal entitas budaya dan ‘kemampuan pribumi’ perlu mendapat perhatian. Itu berarti, berbagai kebijaksanaan pengaturan sosial perlu dirancang sedemikian rupa sehingga memberi peluang bagi hidup, gerak, dan berkreasinya kekuatan kekuatan ‘internal’. Kita menyaksikan, bahwa kebijaksanaan pembangunan terkadang berakibat fatal terhadap identitas berbagai kelompok etnik yang ‘terpaksa’ masuk ke dalam arus besar sosial-ekonomi dan teknologi modern.
Dari uraian di muka terlihat bahwa ada perbedaan pola organisasi dan pola kepemimpinan masyarakat Flores Timur dan masyarakat Jawa. Kepemimpinan masyarakat pedesaan di Fores Timur sekaligus memiliki fungsi adat (ritual) dan fungsi formal (administrasi). Sedangkan sifat dasar kepemimpinan desa di Jawa hanya menjadi wakil pemerintah di daerah pedesaan. Raja dan pemimpin-pemimpin masyarakat desa Flores Timur tidak memiliki kekuasaan yang mutlak (otonom) dan permanen. Pemimpin pemimpin itu menjalankan fungsinya bersama dengan wakil-wakil dari suku, kakang, po suku lema, dan lain-lain. Keputusan-keputusan yang diambil masih harus disetujui oleh tetua desa (kelake).
goroh ding
Tulisan ini berasal dari artikel Yoseph Yapi Taum, pernah dimuat dalam Majalah Basis, Yogyakarta, 1994.-->▼
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Larantuka]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusa Tenggara Timur|Larantuka]]
▲Tulisan ini berasal dari artikel Yoseph Yapi Taum, pernah dimuat dalam Majalah Basis, Yogyakarta, 1994.-->
[[Kategori:Pendirian tahun 1600-an]]
[[Kategori:Pembubaran tahun 1904]]
|