Siti Hayinah Mawardi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(46 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox religious biography
'''Siti Hayinah Mawardi''' ([[Ejaan Van Ophuijsen]]: '''Siti Hajinah Mawardi'''; lahir di [[Kauman, Yogyakarta|Kampung Kauman]], [[Yogyakarta]] pada 1906 dan meninggal di [[Kota Yogyakarta]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] pada 27 April 1991) adalah tokoh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-27 dan ke-29–32. Dia adalah anak ketiga dari Mohammad Narju, seorang pengusaha [[batik handel]], sedangkan keluarganya menjadi pendukung gerakan [[Muhammadiyah]].
| honorific_prefix =
| name = Siti Hayinah Mawardi
| native_name =
| native_name_lang =
| image = Siti Hajinah Mawardi.jpg
| image_size =
| image_upright =
| smallimage = <!--If this is specified, "image" should not be.-->
| smallimage_alt =
| alt =
| caption =
| office1 = Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-27 dan ke-29–32
| term_start1 = 1946
| term_end1 = 1950
| term_start2 = 1953
| term_end2 = 1965
| predecessor1 = Siti Aisyah Hilal
| successor1 = Siti Aisyah Hilal
| predecessor2 = Siti Aisyah Hilal
| successor2 = Siti Baroroh Baried
| birth_name = Siti Hayinah
| birth_date = 1906
| birth_place = Kampung Kauman, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda
| death_date = 27 April 1991
| death_place = Kalurahan Ngupasan, Kemantrén Gondomanan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
| death_cause =
| resting_place = Makam Pakuncen
| citizenship =
| nationality =
| spouse = Mohammad Mawardi Mufti
| partner = <!--For those with a domestic partner and not married-->
| relations =
| children = <!-- Kolom ini diisi hanya jumlah anak; hanya nama anak yang secara independen sudah terkenal atau telah memiliki artikelnya di Wikipedia; bila ada rujukan/referensi, uraikan pada artikel -->Tujuh anak, tetapi dua di antaranya meninggal saat kecil
| parents = <!-- overrides mother and father parameters -->
| mother = <!-- may be used (optionally with father parameter) in place of parents parameter (displays "Parent(s)" as label) -->
| father = <!-- may be used (optionally with mother parameter) in place of parents parameter (displays "Parent(s)" as label) -->
| relatives =
| residence =
| education =
| alma_mater =
| occupation =
| profession =
| known_for = Peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama
| salary =
| net_worth = <!-- Net worth should be supported with a citation from a reliable source -->
| cabinet =
| committees =
| portfolio =
| awards = <!-- For civilian awards - appears as "Awards" if |mawards= is not set -->
| religion = <!-- Kosongkan bagian ini; kolom terkait Suku, Agama dan Ras telah dinonaktifkan -->
| denomination =
| movement = Aisyiyah
}}
'''Siti Hayinah Mawardi''' ([[Ejaan Van Ophuijsen]]: '''Siti Hajinah Mawardi'''; lahir di [[Kauman, Yogyakarta|Kampung Kauman]], [[Yogyakarta]] pada 1906 dan meninggal di [[Kota Yogyakarta]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] pada 27 April 1991) adalah tokoh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-27 dan ke-29–32. Dia adalah anak ketiga dari Mohammad Narju, seorang pengusaha [[batik handel]], sedangkan keluarganya menjadi pendukung organisasi [[Muhammadiyah]].
 
Hayinah merupakanmenempuh salah satu wanita generasi awalpendidikan di [[Hindia Belanda]] yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Pendidikan yang diterimanya meliputi ''Neutraal Meisjes School'']] (sekolah umum), ''Hollands [[Hollandsch-Inlandsche School'']] (HIS), dan ''[[Fur Huischoud School'']] (FHS). Pendidikan tersebut memunculkan suatu kesadaran kritis dalam dirinya bahwa adat dalam kehidupan masyarakat saat itu menghambat pola kemajuan wanita. Dia tercatat lima kali menjabat sebagai ketua [[Aisyiyah|Pimpinan Pusat Aisyiyah]], yaitu 1946–1950, 1953–1956, 1956–1959, 1959–1962, dan 1962–1965.
 
Partisipasinya dalam skala nasional adalah menjadi peserta [[Kongres Perempuan Indonesia|Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Pertama]] bersama dengan [[Siti Munjiyah]], yang diselenggarakan di [[Ndalem Jayadipuran]] pada 22–25 Desember 1928. Munjiyah membacakan pidato dengan judul ''Derajat Perempuan'', sedangkan Hayinah menyampaikan tentang ''Persatuan Manusia''. PidatoPersoalan yang disampaikannyadiusungnya merupakanberkaitan respondengan darisemangat gerakan [[feminisme liberal]] yang berkembang saat itu. Dia mengelompokkan derajatpersatuan dan kemuliaankesatuan kaumdalam wanitapenyelenggaraan menjadi tiga bagian, yaitu tinggi budinya, banyak ilmunya, dan baik kelakuannyakongres. Tampilnya dalam forum tersebut membuka pandangan baru bagi para wanita untuk dapat berperan di dalam masyarakat dan menyingkirkan sekat-sekat tradisional.
 
Tema yang diusung oleh Hayinah sendiri begitu kontekstual dengan semangat persatuan yang sedang digadang-gadang dalam penyelenggaraan Kongres Wanita Pertama. Menurut dirinya, persatuan merupakan alat untuk memperoleh tujuan utama, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan. Jalan menghadirkan persatuan ditempuh melalui saling memelihara persaudaraan. Dia menyambut dengan baik usaha untuk mempersatukan perserikatan wanita
 
== Latar belakang ==
 
=== Keluarga ===
Siti Hayinah Mawardi lahir pada 1906 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia merupakan anak ketiga dari Mohammad Narju, seorang pengusaha batik handel. Dia dibesarkan di daerah Kauman yang notabene merupakan kampung para santri dan kaum juragan batik yang melebur menjadi satu komunitas (Mu’arif & Setyowati, 2014).
 
Hayinah lahir pada 1906 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia merupakan anak ketiga dari Mohammad Narju, seorang pengusaha batik handel. Dia dibesarkan di Kauman, yaitu kampung para santri dan kaum juragan batik yang melebur menjadi satu komunitas (Mu’arif & Setyowati, 2014).{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=|ps=}}
Kutoyo (1983) menengarai jika masyarakat yang berada di kampung tersebut memang memiliki ciri-ciri khusus. Penduduknya merupakan keturunan dari para ulama yang awalnya mempunyai suatu pertalian keluarga satu dengan yang lainnya. Sebagai anggota keluarga dari ''abdi dalem'' keagamaan, keluarga Siti Hayinah secara sosio-kultural berasal dari lingkungan keluarga yang tentu mengenal tata kehidupan dan pergaulan di lingkungan kerabat keraton, sedangkan Muhammadiyah yang tumbuh dan berkembang di kampung ini ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan jati diri kepribadiannya (Darban, 2000).
 
Kauman sebagai tempat tinggal Hayinah telah membuat wanita tersebut “mengakrabi” tradisi Jawa yang bersinggungan dengan tradisi Islam. Dia “akrab” dengan tradisi – yang dikesankan seluruhnya oleh logika “feminisme ''mainstream''” – sebagai penindasan, tetapi kehidupanya tidak memperlihatkan ketertindasan tersebut. Ketika berada di dalam “ruang pribadi”, dia merupakan seorang wanita biasa, tetapi di “ruang publik” dia adalah salah satu tokoh Aisyiyah yang aktif (Darban et al, 2010).
Sebagai anggota keluarga dari [[abdi dalem]] keagamaan, keluarganya secara sosio-kultural berasal dari lingkungan yang mengenal tata kehidupan dan pergaulan di lingkungan kerabat keraton, sedangkan Muhammadiyah yang tumbuh dan berkembang di kampung ini ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan jati diri kepribadiannya (Darban, 2000).{{sfnp|Darban|2000||p=|ps=}}
 
Menurut Darban, Kauman menyebabkan dirinya “mengakrabi” tradisi [[Budaya Jawa|Jawa]] yang bersinggungan dengan tradisi [[Budaya Islam|Islam]]. Dia “akrab” dengan tradisi yang dikesankan oleh logika “feminisme ''mainstream''” sebagai penindasan, tetapi kehidupanya tidak memperlihatkan ketertindasan tersebut. Ketika berada di dalam “ruang pribadi”, dia merupakan seorang wanita biasa, tetapi di “ruang publik” dia adalah salah satu tokoh Aisyiyah yang aktif (Darban et al, 2010).{{sfnp|Baha'uddin, dkk|2010||p=|ps=}}
Selain itu, dia juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita yang tumbuh saat itu (seperti Taman Siswa, Jong Java, dan Wanita Oetama) sebagai salah satu wakil dari organisasi Aisyiyah (Suratmin et al, 1991). Realitas itu memperlihatkan jika dia bisa hidup dalam “dua ruang” yang berbeda dan juga tidak mengalami “masalah berarti” dengan tradisi maupun kebudayaan Jawa yang mengelilinginya dikarenakan semua hal yang terus dilakukannya merupakan suatu “dialog” dengan realitas di sekelilingnya.
 
Selain itu, dia juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita yang tumbuh saat itu (seperti Taman Siswa, Budi Utomo, dan Wanita Katolik) sebagai salah satu wakil dari organisasi Aisyiyah (Suratmin et al, 1991).{{sfnp|Suratmin, dkk|1991||p=|ps=}}<ref name=":0">{{Cite web|last=Ma'arif|first=Ahmad Syafi'i|title=Suara Aisyiyah dalam Arus Zaman|url=https://suaraaisyiyah.id/suara-aisyiyah-dalam-arus-zaman/|website=Suara Aisyiyah|access-date=17 Februari 2024}}</ref> Realitas itu memperlihatkan jika dia bisa hidup dalam “dua ruang” yang berbeda dan juga tidak mengalami “masalah berarti” dengan tradisi maupun kebudayaan Jawa yang mengelilinginya dikarenakan semua hal yang terus dilakukannya merupakan suatu “dialog” dengan realitas di sekelilingnya.
Menurut penjelasan dalam buku biografi para tokoh dalam Kongres Wanita Indonesia Pertama, Hayinah mulai mengenyam pendidikan di ''Neutraal Meisjes School'' (sekolah umum) bersama dengan Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Badilah pada 1913. Selanjutnya, dia meneruskan di ''Hollands Inlandsche School'' (HIS) dan ''Fur Huischoud School'' (FHS) (Suratmin et al, 1991).
 
=== Pendidikan ===
FHS merupakan semacam Sekolah Kepandaian Putri (SKP) yang mengajarkan keterampilan memasak, menjahit, dan kegiatan lain dalam berumah tangga. Setelah lulus SKP, Hayinah tidak melanjutkan pendidikan formal. Dia hanya menjalankan pendidikan nonformal dari orang tua dan pengajian yang diselenggarakan oleh Nyai Ahmad Dahlan. Namun, pengetahuan umum maupun agama yang telah diterimanya itu mengantarkannya aktif sebagai anggota Aisyiyah (Mu’arif & Setyowati, 2014).
Menurut penjelasan dalam buku biografi para tokoh dalam Kowani I, Hayinah mulai mengenyam pendidikan di Neutraal Meisjes School (sekolah umum) bersama dengan [[Siti Zaenab]], [[Siti Aisyah Hilal]], [[Siti Dauchah]], [[Siti Dalalah]], [[Siti Busyro]], dan [[Siti Badilah]] pada 1913.<ref name=":1">{{Cite web|last=Wildan|last2=Kurniawan|first2=Nucholid Umam|title=Kesehatan Otak Perempuan dan Para Perempuan Islam Berkemajuan|url=https://web.suaramuhammadiyah.id/2023/04/27/kesehatan-otak-perempuan-dan-para-perempuan-islam-berkemajuan/|website=Suara Muhammadiyah|access-date=17 Februari 2024|last3=Ma’rifah|first3=Farida Ulfah}}</ref> Selanjutnya, dia meneruskan di Hollands Inlandsche School (HIS) dan Fur Huischoud School{{efn|Fur Huischoud School merupakan semacam Sekolah Kepandaian Putri (SKP) yang mengajarkan keterampilan memasak, menjahit, dan kegiatan lain dalam berumah tangga ({{harvnb|Ismail|1997|pp=65–82}}).}} (FHS) (Suratmin et al, 1991).{{sfnp|Suratmin, dkk|1991||p=|ps=}} Setelah lulus dari FHS, dia tidak melanjutkan pendidikan formal. Dia hanya menjalankan pendidikan nonformal dari orang tua dan pengajian yang diselenggarakan oleh Nyai Ahmad Dahlan. Namun, pengetahuan umum maupun agama yang telah diterimanya itu membuatnya dipilih sebagai anggota Aisyiyah (Mu’arif & Setyowati, 2014).{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=|ps=}}
 
=== Pernikahan ===
Pada 1925, Hayinah menikah dengan Mohammad Mawardi Mufti yang berasal dari Banjarnegara. Mawardi adalah putra dari pasangan Muhammad Mufti dan Murtiyah. Dia berprofesi sebagai guru aktif di Muhammadiyah, serta menjadi ketua Majelis Pemuda pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur dan ketua Majelis Pengajaran pada masa kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo. Selain itu, dia juga aktif di bagian tablig dan ketua kepanduan Hizbul Wathan (HW) (Suratmin et al, 1991).
[[Berkas:Keluarga Siti Hayinah Mawardi.jpg|jmpl|262x262px|Keluarga Siti Hayinah Mawardi.]]
Pada 1925, Hayinah menikah dengan Mohammad Mawardi Mufti yang berasal dari [[Kabupaten Banjarnegara|Banjarnegara]]. Mawardi adalah putra dari pasangan Muhammad Mufti dan Murtiyah. Dia berprofesi sebagai guru aktif di Muhammadiyah, serta menjadi ketua Majelis Pemuda pada masa kepemimpinan [[Mas Mansoer]] dan ketua Majelis Pengajaran pada masa kepemimpinan [[Bagoes Hadikoesoemo]]. Selain itu, dia juga aktif di bagian tablig dan ketua kepanduan [[Hizbul Wathan]] (HW) (Suratmin et al, 1991).{{sfnp|Suratmin, dkk|1991||p=|ps=}}
 
Setelah menikah, Hayinah memperoleh tambahan nama suami di belakang menjadi Siti Hayinah Mawardi. Keduanya lantas tinggal di Jalan Agus Salim No. 29A, Notoprajan, Ngampilan. Mu’arif dan Setyowati (2014) mencatat bahwa kedua pasangan itu dikaruniai tujuh orang anak melalui pernikahannya, yaitu Harijadi, Rusdi, Darmadi, Parmadi, Kusnadi (meninggal saat kecil), Hartinah (meninggal saat kecil), dan Darmini.
 
== Amal usaha ==
Hayinah mulai aktif terlibat di Aisyiyah sejak 1925 atau ketika dirinya berusia 19 tahun. Saat itu, dia telah memperoleh kepercayaan menjabat sebagai sekretaris ''hoofdbestuur'' (pimpinan pusat) Muhammadiyah bagian Aisyiyah mendampingi Nyai Ahmad Dahlan. Amanat tersebut dikeluarkan dalam Rapat Tahunan Muhammadiyah tahun 1925 di Yogyakarta yang dipimpin oleh K.H. Ibrahim (Suratmin et al, 1991).
 
=== Aisyiyah dan organisasi lain ===
Dalam perjalanan kariernya, dia tercatat lima kali menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, yaitu 1946–1950, 1953–1956, 1956–1959, 1959–1962, dan 1962–1965. Sebelum mendadapat amanat sebagai ketua umum, dia telah terlibat dalam kepengurusan Aisyiyah sejak kepemimpinan Siti Bariyah, Nyai Ahmad Dahlan, Siti Munjiyah, dan Siti Aisyah Hilal (Setyowati, 2011).
Hayinah mulai aktif terlibat di Aisyiyah sejak 1925 atau ketika dirinya berusia 19 tahun.<ref name=":1" /> Saat itu, dia telah memperoleh kepercayaan menjabat sebagai sekretaris ''hoofdbestuur'' (pimpinan pusat) Muhammadiyah bagian Aisyiyah mendampingi Nyai Ahmad Dahlan.<ref>{{Cite web|last=The Aisyiyah Center|title=Siti Hayinah Mawardi|url=https://aisyiyahstudies.org/siti-hayinah/|website=The Aisyiyah Center|access-date=17 Februari 2024}}</ref> Amanat tersebut dikeluarkan dalam Rapat Tahunan Muhammadiyah tahun 1925 di Yogyakarta yang dipimpin oleh [[Ibrahim bin Fadlil]] (Suratmin et al, 1991).{{sfnp|Suratmin, dkk|1991||p=|ps=}} Sementara itu, Suratmin juga mencatat jika Hayinah juga telah terlibat aktif dalam majalah ''[[Suara Aisyiyah]]'' sejak pertama kali diterbitkan pada 1927. Beberapa tulisannya yang dimuat dalam majalah ''Suara Asiyiyah'' adalah ''Kemajengan'' (''Kemajuan''), ''Kewajiban Kita'', dan ''[https://suaraaisyiyah.id/tulisan-siti-hayinah-mawardi-aisyiyah-menghadapi-kenyataan/ Aisyiyah Menghadapi Kenyataan]'' (Suratmin, 1990).{{sfnp|Suratmin|1990||p=|ps=}}
 
Lebih lanjut, [[Ahmad Syafi'i Ma'arif]] menjelaskan bahwa Hayinah memiliki perhatian khusus terhadap pendidikan bagi kaum wanita. Hal tersebut ditunjukkan dalam kongres Aisyiyah ke-21 tahun 1938 di Medan ketika dia berusaha membangkitkan semangat para anggotanya untuk menghidupkan kembali ''Suara Aisyiyah'', yang saat itu mati suri dengan pidatonya sebagai berikut.<ref name=":0" />
Dia pertama kali memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah dalam Kongres Darurat Muhammadiyah tahun 1946 di Yogyakarta (pimpinan Ki Bagus Hadikusumo). Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, dia ditunjuk kedua kalinya sebagai ketua umum. Selanjutnya, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, Muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Yogyakarta, dan Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah tahun 1962 di Jakarta, dia berturut-turut memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah (Suratmin, 1990).
 
<blockquote>''Marilah Soeara Aisjijah itu kita hidupi betul-betul. Kalau tidak, baiklah kita bunuh saja mati-mati dan kita tanam dalam-dalam. Siapa saja yang menghalang-halangi kaum wanita mendapatkan pendidikan adalah orang jahat dan durhaka'' (PP. Aisyiyah, 1940).{{sfnp|PP. Aisyiyah|1940||p=|ps=}}<ref name=":0" /></blockquote>
Selain di Aisyiyah, Hayinah juga aktif di Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4), Gabungan Wanita Islam Indonesia (GOWII), dan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) (Suratmin, 1990). Jabatan terakhirnya di BP4 adalah sebagai penasihat. BP4 sendiri didirikan untuk mendampingi, menangani, dan tempat konsultasi mengenai permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga. Perceraian yang saat itu banyak terjadi sering kali memunculkan kerugian untuk wanita (Suryochondro, 1984).
 
Saat itu, keadaan internal ''Suara Aisyiyah'' sedang mati suri lantaran kebiasaan membaca di kalangan anggotanya sangat lemah dan rendah. Pidato itu merupakan tanda keprihatinan dari dalam dirinya yang memahami fungsi literatur bagi kemajuan manusia, terutama para anggota wanita di Aisyiyah.<ref name=":0" />
[[Berkas:Ndalem Jayadipuran atau Ndalem Dipowinatan.jpg|jmpl|250x250px|Pendopo Ndalem Jayadipuran, tempat pelaksanaan Kongres Wanita Pertama. Bangunan ini sekarang digunakan oleh kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.]]
[[Berkas:Conggres_aisiyah.jpg|jmpl|250x250px|Aisyiyah diwakili Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tergabung dalam Komite Kongres Wanita Indonesia Pertama tahun 1928.]]
Peran Hayinah yang paling kentara adalah menjadi perwakilan dari Aisyiyah untuk mengikuti Kongres Wanita Pertama bersama dengan Siti Munjiyah. Acara tersebut berlangsung sejak tanggal 22–25 Desember 1928 di Ndalem Jayadipuran (Harnoko & Tashadi, 1987). Menurut laporan kongres yang didokumentasikan oleh Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi (Blackburn, 2007).
 
Dalam perjalanan kariernya, dia tercatat lima kali menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, yaitu 1946–1950, 1953–1956, 1956–1959, 1959–1962, dan 1962–1965. Sebelum mendadapat amanat sebagai ketua umum, dia telah terlibat dalam kepengurusan Aisyiyah sejak kepemimpinan [[Siti Bariyah]], [[Siti Walidah]], [[Siti Munjiyah]], dan [[Siti Aisyah Hilal]] (Setyowati, 2011).
Acara tersebut berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan agenda masing-masing. Setiap-malam berlangsung acara pertemuan dan persidangan tertutup antara utusan tamu, anggota komite pusat, dan subseksi, sedangkan setiap siang hari dilaksanakan persidangan umum dengan pembacaan pidato dari masing-masing utusan (PP. Aisyiyah, 1940). Pokok pembahasan yang dilontarkan adalah seputar berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh kaum wanita saat itu dan cara mengatasinya, yaitu pentingnya kesehatan dan pendidikan modern bagi wanita, nasib anak-anak yatim dan janda, pentingnya persamaan hak antara wanita dan laki-laki, reformasi aturan dalam pernikahan agama Islam (termasuk soal pernikahan anak-anak dan bentuk poligami), dan buruknya pernikahan paksa (Soewondo, 1984).
 
Dia pertama kali memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah dalam Kongres Darurat Muhammadiyah tahun 1946 di Yogyakarta (pimpinan Bagoes Hadikoesoemo).<ref>{{Cite web|last=Pimpinan Pusat Aisyiyah|title=Daftar Ketua Umum PP Aisyiyah dari Masa ke Masa|url=https://suaraaisyiyah.id/daftar-ketua-umum-pp-aisyiyah-dari-masa-ke-masa/|website=Suara Aisyiyah|access-date=17 Februari 2024}}</ref> Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, dia ditunjuk kedua kalinya sebagai ketua umum. Selanjutnya, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, Muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Yogyakarta, dan Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah tahun 1962 di Jakarta, dia berturut-turut memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah (Suratmin, 1990).{{sfnp|Suratmin|1990||p=|ps=}}
Pada acara penyampaian pidato, Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tampil sebagai perwakilan dari Aisyiyah. Munjiyah membacakan pidato dengan judul ''Derajat Perempuan'', sedangkan Hayinah menyampaikan tentang ''Persatuan Manusia'' (Suratmin, 1990). Aisyiyah sendiri melalui keduanya secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain (PP. Aisyiyah, 2000). Soewondo (1984) menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan.
 
Selain di Aisyiyah, Hayinah juga aktif di Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4), Gabungan Wanita Islam Indonesia (GOWII), dan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) (Suratmin, 1990).{{sfnp|Suratmin|1990||p=|ps=}} Jabatan terakhirnya di BP4 adalah sebagai penasihat. BP4 sendiri didirikan untuk mendampingi, menangani, dan tempat konsultasi mengenai permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga. Perceraian yang saat itu banyak terjadi sering kali memunculkan kerugian untuk wanita (Suryochondro, 1984).{{sfnp|Suryochondro|1984||p=|ps=}}
Tema yang diusung oleh Hayinah sendiri begitu kontekstual dengan semangat persatuan yang sedang digadang-gadang dalam penyelenggaraan Kongres Wanita Pertama. Menurut dirinya, persatuan merupakan alat untuk memperoleh tujuan utama, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan. Jalan menghadirkan persatuan ditempuh melalui saling memelihara persaudaraan. Dia menyambut dengan baik usaha untuk mempersatukan perserikatan wanita (Suryochondro, 1984).
 
=== Peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama ===
Usulan lain yang diajukan Hayinah adalah agar kongres menjadi suatu badan perhimpunan perkumpulan wanita se-Hindia Timur dan menjadi perantara persatuan berbagai organisasi (Nashir, 2010). Selain itu, dia juga mendorong kongres untuk mendirikan ''bibliotheek'' (gedung buku/perpustakaan) dan mengusahakan penerbitan surat kabar atau majalah untuk wanita (Mu’arif & Setyowati, 2014). Pendapatnya lantas menjadi salah satu keputusan kongres, yaitu menyepakati pendirian dan permufakatan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) (Hawari, 1979).
[[Berkas:Ndalem Jayadipuran atau Ndalem Dipowinatan.jpg|jmpl|262x262px|Pendopo Ndalem Jayadipuran, tempat pelaksanaan Kongres Wanita Indonesia Pertama. Bangunan ini sekarang digunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah X.]]
[[Berkas:Conggres_aisiyah.jpg|jmpl|262x262px|Aisyiyah diwakili Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tergabung dalam Komite Kongres Wanita Indonesia Pertama tahun 1928.]]
Peran Hayinah yang paling sentral adalah menjadi perwakilan dari Aisyiyah untuk mengikuti Kowani I bersama dengan Siti Munjiyah. Acara tersebut berlangsung sejak tanggal 22–25 Desember 1928 di Ndalem Jayadipuran (Harnoko & Tashadi, 1987).{{sfnp|Harnoko|Tashadi|1987|p=|ps=}} Menurut laporan kongres yang didokumentasikan oleh Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi (Blackburn, 2007).{{sfnp|Blackburn|2007||p=|ps=}}
 
Acara tersebut berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan agenda masing-masing. Setiap-malam berlangsung acara pertemuan dan persidangan tertutup antara utusan tamu, anggota komite pusat, dan subseksi, sedangkan setiap siang hari dilaksanakan persidangan umum dengan pembacaan pidato dari masing-masing utusan (PP. Aisyiyah, 1940).{{sfnp|PP. Aisyiyah|1940||p=|ps=}} Pokok pembahasan yang dilontarkan adalah seputar berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh kaum wanita saat itu dan cara mengatasinya, yaitu pentingnya kesehatan dan pendidikan modern bagi wanita, nasib anak-anak yatim dan janda, pentingnya persamaan hak antara wanita dan laki-laki, reformasi aturan dalam pernikahan agama Islam (termasuk soal pernikahan anak-anak dan bentuk poligami), dan buruknya pernikahan paksa (Soewondo, 1984).{{sfnp|Soewondo|1984||p=|ps=}}
Peran Hayinah tidak berhenti sebatas sebagai panitia kongres, tetapi dia juga ikut aktif menjadi anggota penerbitan surat kabar “organ” PPI berjudul ''Istri.'' Dia termasuk salah satu tokoh yang mengusulkan penerbitan surat kabat ini. Hal tersebut bukanlah hal baru karena dia telah terlibat aktif dalam majalah ''Suara Aisyiyah'' sejak pertama kali diterbitkan pada 1927. Beberapa tulisannya yang dimuat dalam majalah ''Suara Asiyiyah'' adalah ''Kemajengan'' (''Kemajuan''), ''Kewajiban Kita'', dan ''Aisyiyah Menghadapi Kenyataan'' (Suratmin, 1990).
 
Pada acara penyampaian pidato, Munjiyah dan Hayinah tampil sebagai perwakilan dari Aisyiyah. Munjiyah membacakan pidato dengan judul ''Derajat Perempuan'', sedangkan Hayinah menyampaikan tentang ''Persatuan Manusia'' (Suratmin, 1990).{{sfnp|Suratmin|1990||p=|ps=}} Aisyiyah sendiri melalui keduanya secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain (PP. Aisyiyah, 2000).{{sfnp|PP. Aisyiyah|2000||p=|ps=}} Soewondo (1984) menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan.{{sfnp|Soewondo|1984||p=|ps=}}
Ketika duduk dalam kepanitiaan Kongres Wanita Indonesia, Hayinah tidak serta-merta memahami gerakan emansipasi yang diusung oleh kongres sebagai upaya menyamakan kedudukan kaum wanita dengan laki-laki. Reformasi kehidupan wanita harus ditempuh melalui jalur pendidikan dan tidak cukup hanya ''suwarga nunut, neraka katut.'' Kaum wanita memang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka tidak dapat melupakan kodratnya sebagai wanita (Mu’arif & Setyowati, 2014).
 
Persoalan yang diusungnya berkaitan dengan semangat persatuan dan kesatuan dalam penyelenggaraan kongres. Menurut dirinya, persatuan merupakan alat untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Sementara itu, upaya untuk menghadirkan persatuan dapat ditempuh melalui saling memelihara persaudaraan di antara peserta kongres. Dia menyambut dengan baik usaha untuk mempersatukan perserikatan wanita (Suryochondro, 1984).{{sfnp|Suryochondro|1984||p=|ps=}}
Hasil pemikirannya itu dapat ditilik dalam artikelnya berjudul ''Kemajuan'' yang diterbitkan di ''Suara Aisyiyah''. Dia mengkritik pandangan naif dari para pengikut gerakan emansipasi yang telah melupakan budaya sendiri dan mengikuti arus budaya Barat sebagai berikut.
 
Ketika duduk dalam kepanitiaan Kowani I, Hayinah tidak menganggap gerakan [[emansipasi]] yang diusung oleh kongres sebagai upaya menyamakan kedudukan kaum wanita dengan laki-laki. Baginya, reformasi kehidupan wanita harus ditempuh melalui jalur pendidikan dan tidak cukup hanya ''suwarga nunut, neraka katut'' (surga menumpang dan ke neraka pun ikut)''.'' Kaum wanita memang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka tidak dapat melupakan kodratnya sebagai wanita (Mu’arif & Setyowati, 2014).{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=|ps=}}
<blockquote>''Pembaca tidak salah, bahwa bangsa Jawa sekarang senang terhadap kemajuan atau senang maju. Namun, sayangnya mereka belum mengerti benar apa yang dimaksud dengan kemajuan itu. Karena itu, jika mereka dilarang agar tidak bepergian atau berdandan (yang berlebihan), mereka akan menjawab, “Inikah zaman kemajuan?” Jika disuruh menyapu lantai, mereka akan menggerutu, “Sudah maju masih disuruh menyapu”. Jika diberi tahu bahwa ada tingkat lakunya yang tidak pantas, seperti naik sepeda, potong daun dan sebagainya, mereka akan menjawab, “Kolot, kolot!”'' (PP. Aisyiyah, 1940).</blockquote>
 
Hasil pemikirannya itu dapat ditilik dalam artikelnya berjudul ''Kemajuan'' yang diterbitkan di ''Suara Aisyiyah''. Dia mengkritik pandangan naif dari para pengikut gerakan emansipasi yang telah melupakan budaya sendiri dan mengikuti arus budaya Barat sebagai berikut.<ref name=":1" />
 
<blockquote>''Pembaca tidak salah, bahwa bangsa Jawa sekarang senang terhadap kemajuan atau senang maju. Namun, sayangnya mereka belum mengerti benar apa yang dimaksud dengan kemajuan itu. Karena itu, jika mereka dilarang agar tidak bepergian atau berdandan (yang berlebihan), mereka akan menjawab, “Inikah zaman kemajuan?” Jika disuruh menyapu lantai, mereka akan menggerutu, “Sudah maju masih disuruh menyapu”. Jika diberi tahu bahwa ada tingkat lakunya yang tidak pantas, seperti naik sepeda, potong daun dan sebagainya, mereka akan menjawab, “Kolot, kolot!”'' (PP. Aisyiyah, 1940).{{sfnp|PP. Aisyiyah|1940||p=|ps=}}</blockquote>
 
Pandangannya itu memang masih mengacu kepada nilai-nilai budaya sendiri untuk memahami arti emansipasi. Dia tidak ingin para wanita larut dalam budaya bangsa lain yang memang tidak cocok untuk budaya sendiri. Kemajuan wanita yang diinginkannya harus mengikuti atau sejalan dengan budaya bangsa sendiri.
 
Usulan lain yang diajukan Hayinah adalah agar kongres menjadi suatu badan perhimpunan perkumpulan wanita se-Hindia Timur dan menjadi perantara persatuan berbagai organisasi (Nashir, 2010).{{sfnp|Nashir|2010||p=|ps=}} Selain itu, dia juga mendorong kongres untuk mendirikan ''bibliotheek'' (gedung buku/perpustakaan) dan mengusahakan penerbitan surat kabar atau majalah untuk wanita (Mu’arif & Setyowati, 2014).{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=|ps=}} Pendapatnya lantas menjadi salah satu keputusan kongres, yaitu menyepakati pendirian dan permufakatan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) (Hawari, 1979).{{sfnp|Hawari|1979||p=|ps=}} Perannya tidak berhenti sebagai peserta Kowani I, tetapi dia juga ikut aktif menjadi anggota penerbitan surat kabar “organ” PPI berjudul ''Istri.'' Dia termasuk salah satu tokoh yang mengusulkan penerbitan surat kabat ini.
 
== Akhir kehidupan ==
Setelah tidak menjabat sebagai ketua umum, Hayinah sempat menjadi Penasihat PP. Aisyiyah pada masa kepemimpinan K.H. [[Ahmad Badawi]]. Salah satu penghargaan yang diterimanya atas jasanya dalam KongresKowani Wanita IndonesiaI adalah memperoleh kenang-kenangan berupa peniti emas berbentuk bunga melati lambang KOWANIKowani pada 1972 (Hayati, 1985).{{sfnp|Hayati|1985||p=|ps=}}
 
Menurut catatan PP. Aisyiyah (2000), Hayinah menjelang akhir hayatnya banyak menjalankan aktivitas mengajar mengaji di rumahnya karena sudah tidak dapat melakukan aktivitas keorganisasian.{{sfnp|PP. Aisyiyah|2000||p=|ps=}} Dia akhirnya meninggal dunia pada 27 April 1991 di [[Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta]] karena faktor usia. Jenazahnya lantas dikebumikandisemayamkan di [[Permakaman Pakuncen]].
 
== Lihat pula ==
Baris 124 ⟶ 186:
* {{Cite journal|last=Rohman|first=Fandy Aprianto|year=Agustus 2019|title=K.H. Sangidu, Penghulu Penemu Nama Muhammadiyah|url=https://patrawidya.kemdikbud.go.id/index.php/patrawidya/article/view/155|dead-url=yes|journal=Patra Widya|volume=20|issue=2|pages=|doi=|issn=2598-4209|archive-url=https://web.archive.org/web/20210113125838/https://patrawidya.kemdikbud.go.id/index.php/patrawidya/article/view/155|archive-date=2021-01-13|access-date=2020-04-06|ref={{sfnref|Rohman|2019}}}}
* {{Cite journal|last=Seniwati|first=|last2=Lestari|first2=Tuti Dwi|year=Desember 2019|title=Sikap Hidup Wanita Muslim Kauman: Kajian Peranan Aisyiyah dalam Kebangkitan Wanita di Yogyakarta Tahun 1914–1928|url=https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/11|dead-url=yes|journal=Walasuji|volume=10|issue=2|pages=|doi=|issn=2502-2229|archive-url=https://web.archive.org/web/20201216190043/https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/11|archive-date=2020-12-16|access-date=2020-04-06|ref={{sfnref|Seniwati|Lestari|2019}}}}
 
'''Bacaan lanjutan'''
 
* {{Cite book|title=Sang Pencerah: Novelisasi Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah|last=Basral|first=Akmal Nasery|publisher=Mizan Pustaka|year=2010|isbn=978-797-4335-96-3|location=Bandung|page=|ref={{sfnref|Basral|2010}}}}
* {{Cite book|title=100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi|last=Lasa|first=H.S.|publisher=Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah|year=2014|isbn=978-602-1999-82-0|location=Yogyakarta|page=|ref={{sfnref|Lasa|2014}}}}
{{refend}}
 
Baris 129 ⟶ 196:
{{commons category|Siti Hayinah Mawardi}}
* [https://krjogja.com/web/news/read/86697/Angkat_Kembali_Spirit_Kongres_Perempuan_Pertama Angkat Kembali Spirit Kongres Perempuan Pertama] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20181223125831/http://www.krjogja.com/web/news/read/86697/Angkat_Kembali_Spirit_Kongres_Perempuan_Pertama|date=2018-12-23}}
* [https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6407431/mengenal-kongres-perempuan-indonesia-momen-cikal-bakal-hari-ibu Mengenal Kongres Perempuan Indonesia, Momen Cikal Bakal Hari Ibu]
{{start box}}
{{succession box|before=[[Siti Aisyah Hilal]]|title=Ketua Umum Pimpinan Pusat [['Aisyiyah]]|years=1946–1950|after=[[Siti Aisyah Hilal]]}}
{{end box}}{{start box}}
{{succession box|before=[[Siti Aisyah Hilal]]|title=Ketua Umum Pimpinan Pusat [['Aisyiyah]]|years=1953–1965|after=[[Siti Baroroh Baried]]}}
{{end box}}
 
Baris 137 ⟶ 207:
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Yogyakarta]]
{{Sedang ditulis}}