Zainal Sabaruddin Nasution: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Wikify, tone
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Nama Mandailing|[[Suku Mandailing|Mandailing]]|[[Nasution]]}}
{{Orphan|date=Januari 2016}}
 
{{nofootnotes}}{{wikify}}{{tone}}
'''Zainal Sabaruddin Nasution''' atau '''Mayor Sabaruddin''' (lahir di [[Kotaraja]], [[Aceh]], [[Indonesia]] pada tahun [[1922]] - meninggal di [[Madiun]], [[Indonesia]] pada [[24 November]] [[1949]]) adalah seorang pejuang kemerdekaan [[Indonesia]] yang ditakuti karena terkenal kejam dan bengis. Sabarudin pernah mengeksekusi secara terbuka seorang bernama Suryo yang dituduh sebagai mata-mata Belanda. Padahal, Suryo merupakan sesama bekas anggota PETA. Eksekusi itu ternyata di latar belakangi dendam pribadi terkait asmara. Antara Sabarudin dan Suryo pernah terlibat persaingan memperebutkan putri Bupati Sidoarjo yang terkenal cantik. Meski kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya
 
Baris 33 ⟶ 32:
Namun, ternyata Mayor Sabaruddin lebih dulu tiba di markas MBT dengan membawa 11 truk pasukan lengkap. Dengan cerdik, cepat dan rapi, Mayor Sabaruddin langsung menyebar pasukannya di markas MBT, dan melucuti para penjaganya. Saking hebat dan kompaknya pasukan Mayor Sabaruddin, Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Soemohardjo yang sedang mengikuti rapat dengan para staff nya tidak menyadari kalau markas MBT sedang di take over oleh pasukan Mayor Sabaruddin. Mayjen Mohammad yang baru datang dan sedang menunggu giliran untuk menghadap, dihampiri oleh 3 anak buah Mayor Sabaruddin. Sempat menolak untuk angkat tangan ketika ditodong anak buah Mayor Sabaruddin, Mayjen Mohammad dikeroyok serta dipukuli. Ketika sudah tidak berdaya, dia dimasukkan kedalam salah satu truk, dan dengan rapi pasukan Mayor Sabaruddin meninggalkan markas MBT, disaksikan ajudan dan para pengawal Mayjen Mohammad yang tidak berdaya karena sudah dilucuti juga.
 
Letjen [[Oerip Soemohardjo]] dan para perwira yang lain baru menyadari akan kejadian penculikan ini, ketika ada letusan senjata beberapa kali, yang bahkan salah satunya nyaris mengenai Jenderal Soedirman, yang secara sigap langsung tiarap. Ketika situasi reda, para perwira berlarian menuju halaman depan MBT, tetapi pasukan Mayor Sabaruddin sudah keburu pergi.
 
== Operasi Pembebasan ==
Baris 45 ⟶ 44:
== Operasi penangkapan dan Pengadilan Mayor Sabaruddin ==
 
Akibat peristiwa penculikan ini, pusat tidak tinggal diam. DPRI mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerang markas Mayor Sabaruddin di Mojokerto. Pasukan gabungan ini terdiri dari Pasukan Perjuangan Polisi (P3) yang langsung mendapat perintah dari Jenderal [[Soedirman]], Pesindo, Hizbullah dan Laskar Minyak. Walaupun sempat terkepung, Mayor Sabaruddin sempat lolos dengan wakilnya, Ali Umar menggunakan mobil, tetapi akhirnya disergap di simpang empat Mojosari, di antara Mojokerto dan Porong.
 
Inspektur M. Jasin yang dalam penyergapannya tersebut, menemukan 8 wanita eropa dan indo-belanda yang ternyata sedang hamil di bungalow indah yang terletak di lereng utara [[Gunung Arjuno]], bekas peninggalan Belanda. Mayor Sabaruddin ternyata doyan mengumpulkan wanita-wanita eropa untuk dijadikan harem. Selain itu ditemukan juga sejumlah empat karung/besek penuh yang berisi emas batangan, perhiasan, dan berlian. Benda-benda tersebut diperkirakan dirampas oleh Mayor Sabaruddin dari kamp-kamp tahanan Eropa yang masih tersisa sejak ditinggalkan oleh Jepang. Menurut cerita, tidak ada satupun di antara benda-benda berharga tadi yang dikutip oleh Inspektur M. Jasin. Padahal perintah Jenderal Soedirman hanya meminta untuk melucuti persenjataan dan menangkap komplotan Sabaruddin, bukan termasuk mengumpulkan barang-barang bukti hasil kejahatan.
 
Sejalan dengan reorganisasi TRI menjadi tentara yang lebih teratur maka tata disiplin tentara dan hukum tentara mulai ditegakkan. Senapas dengan usaha pembaharuan itulah maka MBT dalam menangani kasus Mayor Sabaruddin menindaknya melalui jalur hukum. PTKR Mayor Sabaruddin dibubarkan, bekas anak buahnya dilebur dalam batalyon Darbi Nasution di Gombong, sedang para perwiranya yang terlibat, diajukan ke Mahkamah Tentara. Mayor Sabaruddin sebagai pelaku utama dalam kasus penculikan itu dipecat dari dinas ketentaraan dan dijatuhi hukuman penjara 7 tahun. Sedang anak buahnya yang perwira, sejumlah 6 orang ditahan di penjara Wirogunan Yogya selama 100 hari. Setelah dibebaskan, mereka dikembalikan menjadi TRI, tetapi hanya diberi pangkat prajurit.Dari penjara di Wirogunan, Yogyakarta, Mayor Sabaruddin dipindah ke penjara Ambarawa, disana dia berkenalan dengan Tan Malaka, yang di akhir cerita nanti, akan menjadi menjadi petualangan terakhirnya.
Baris 53 ⟶ 52:
Semasa dia di penjara, pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan Agresi Militer yang pertama, dan menduduki Ambarawa. Mayor Sabaruddin memanfaatkan situasi gawat ini dengan membujuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta supaya dibebaskan, dan dikabulkan. Dia bahkan ditugaskan membentuk laskar dengan syarat mau ditempatkan di Jawa Barat. Dalam waktu tak lama dia berhasil mengumpulkan kembali sekira 1 kompi yang sebagian besar bekas anak buahnya. Tapi bukannya pergi ke Jawa Barat, Mayor Sabaruddin malah kembali ke Jawa Timur dan mendirikan Laskar Rencong. Dinamakan Laskar Rencong, karena saat dibentuk, persenjataan mereka hanyalah senjata tajam, dan satu buah pistol yang dipegang langsung oleh Mayor Sabaruddin.
 
== Menumpas Gerombolan PDIPKI Madiun 1948 ==
 
Pecahnya peristiwa pemberontakan PDIPKI 1948 di Madiun membuat pemerintahan pusat memperkuat militernya, dan membutuhkan semua sumber yang ada. Adalah Kabinet Hatta yang mencoba memberi Mayor Sabaruddin untuk mendapat peluang baru. Mengetahui Mayor Sabaruddin adalah kawan karib Tan Malaka dan sama-sama membenci PDIPKI, Laskar Rencong Mayor Sabaruddin termasuk yang ikut direhabilitasi. Kesatuannya diakui sebagai Batalyon 38 di dalam sebuah brigade yang dipimpin Letkol Surachmad, dia diangkat menjadi komandan Batalyon 38 dan kembali mendapatkan pangkat Mayor nya. Dalam kedudukan itu bersama kesatuan TNI lainnya mereka aktif beroperasi menumpas pemberontakan PDIPKI di Madiun dari sebelah timur, menjepit salah satu kekuatan PDIPKI, Brigade 29 pimpinan Letkol Dachlan, yang pada saat itu mulai frustasi menghadapi tekanan pasukan Siliwangi dari arah barat.
 
Termakan gertakan Mayor Sabaruddin, Brigade 29 akhirnya menyerah bulat-bulat kepada pasukan Mayor Sabaruddin, lebih dikarenakan karena merasa lebih baik menyerah kepada pasukan yang dia kenal, daripada menyerah kepada pasukan Siliwangi yang dia tidak kenal sama sekali. Ratusan senjata dan perlengkapannya, mereka serahkan pada Mayor Sabaruddin. Sedang Letkol Dachlan sendiri bersama perwira stafnya seperti Mayor Koesnandar dan Mayor Mustafa ditawan Mayor Sabaruddin. Sejak itu persenjataan pasukan Mayor Sabaruddin pulih kembali kekuatannya. Muncul rumor bahwa pada akhirnya Letkol Dachlan dan staff nya dieksekusi mati di Ngantang, Kediri, tetapi Mayor Sabaruddin menolak untuk bertanggung jawab, dan melemparnya kepada Letkol Surachmad, atasannya sendiri.
 
Selesai operasi penumpasan PDIPKI 1948, Mayor Sabaruddin menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Tan Malaka, sahabat barunya yang dia kenal sewaktu mereka berdua sama-sama dipenjara di Ambarawa. Tan Malaka membutuhkan dukungan di kalangan militer sehingga mengira mampu memperoleh peluang pula melalui tokoh Mayor Sabaruddin. Begitu pula Mayor Sabaruddin, Perasaan senasib dalam penjara, menyebabkan dia dengan mudah jatuh di bawah pengaruh Tan Malaka. Sejak itu ia bukan hanya menjadi pengikut, tetapi juga menjadi pengagum Tan Malaka yang fanatik, selalu hadir disetiap pertemuan-pertemuan rahasianya, dan menjadi pengawal pribadinya.
 
== Kembali membuat onar ==
 
Ketika Agresi Militer Belanda yang kedua pecah, Yogyakarta diduduki, dan Soekarno Hatta ditawan. Tan Malaka mencoba untuk mengambil kesempatan untuk mengambil alih pimpinan perjuangan melawan Belanda dengan mencoba menyiarkan kampanye anti Soekarno Hatta melalui radio diwaktu bergerilya bersama Mayor Sabaruddin didaerah [[Gunung Wilis]]. [[Hario Jonosewojo|Mayor Yonosewoyo]], salah satu perwira yang terlibat penculikan Mayjen Mohammad yang ikut ditangkap dan diadili sewaktu peristiwa tersebut, mengaku pernah diajak oleh Mayor Sabaruddin untuk mengikuti rapat rahasia dengan Tan Malaka di Belimbing, dan dijanjikan posisi Menteri Pertahanan, sedangkan Mayor Sabaruddin sebagai Panglima besarnya. Yonosewoyo yang sudah insyaf, menganggap rencana ini sebagai makar, dan secara diam-diam mengadukan rencana tersebut kepada Letkol Surachmad yang langsung diteruskan kepada Komandan Divisi dan Gubernur Militer, Kolonel Sungkono. Walaupun para pendukung Tan Malaka menuduh rencana itu hanyalah hasil rekayasa Yonosewoyo dan Surachmad, tanggal 17 Februari 1949 Kolonel Sungkono selaku Gubernur Militer memutuskan untuk membubarkan Batalyon 38 dan membebaskan Mayor Sabaruddin dari tanggung jawab komandan Batalyon.
 
Namun bukan Mayor Sabaruddin namanya, kalau dia menerima perintah tersebut. Ditolak mentah-mentahnya keputusan tersebut. Sehingga tidak ada jalan lain, jalan kekerasan untuk meringkus Mayor Sabaruddin dimulai. Dipagi hari tanggal 19 Februari 1949, kompi 45 “Macan Kerah” pimpinan Kapten Sampurno mengepung markas Mayor Sabaruddin di Belimbing, Kediri arah utara, dari 4 penjuru. Pengepungan mendadak itu berhasil mengunci dan menjebak pasukan Mayor Sabaruddin. Tan Malaka dan sekitar kurang lebih 100 pasukannya berhasil dilucuti.
 
Dalam perjalanan menggiring para tawanan, Kompi 45 mendadak diserang oleh pasukan Mayor Sabaruddin yang lain, pimpinan Kapten Achmad Ismail didaerah Nganjuk. Akibat serangan itu, para tawanan berhasil meloloskan diri, mereka terbagi dalam 3 rombongan, dua rombongan bersama Mayor Sabaruddin bergerak ke timur menyeberangi [[Kali Brantas]], sedang rombongan yang lain termasuk Tan Malaka bergerak ke selatan menuju ke Trenggalek. Waktu rombongan Tan Malaka tiba di desa Mojo, kurang lebih 10 km di selatan Kediri di tepi Kali Brantas, mereka kepergok pasukan TNI dan di tempat inilah Tan Malaka ditembak hingga tewas. Rombongan Mayor Sabaruddin di sebelah timur Kali Brantas bertemu dengan Mayor Banuredjo, komandan Batalyon 22 beserta dua perwira stafnya Kapten Rustamandji dan Letnan Pamudji. Mayor Sabaruddin menangkap dan menawan ketiga perwira tersebut dan selanjutnya membunuhnya di Malang Selatan.
 
== Akhir Petualangan ==
Baris 79 ⟶ 78:
Usai perundingan, Kolonel Soengkono mengajak Mayor Sabaruddin menuju markasnya di Ngluyu, juga di kabupaten yang sama. Pada kesempatan itu beberapa pengikutnya yang masih bersimpati turut memohon kepada Soengkono supaya Mayor Sabaruddin dimaafkan. Namun, Soengkono sudah mengambil keputusan. Mayor Sabaruddin ditahan.
 
Surachmad yang masih menyimpan dendam kepada Mayor Sabaruddin turut mendengar bahwa Mayor Sabaruddin hendak dihukum tahanan. Dia menganggap hukuman itu tak tak cukup setimpal. Ketika Letkol Surachmad mendengar kejadian tersebut, ia memerintahkan CPM (Corps [[Polisi Militer]]) yang di bawah komandonya untuk mengambil Mayor Sabaruddin dan membawanya ke Madiun untuk diadili.
 
Sekitar 24 November 1949, sesuai kehendak Surachmad, anggota CPM menyeret Mayor Sabaruddin ke Madiun. Dalam perjalanan menuju Madiun, di Wilangan, Mayor Sabaruddin dieksekusi sesudah pengadilan militer di medan perang menjatuhkan hukuman mati. Berakhirlah petualangan Mayor Sabaruddin.
 
Ada versi lain yang mengatakan bahwa sebenarnya Kolonel Sungkono tidak memberikan perintah seperti itu kepada Mayor Sabaruddin, berdasarkan pernyataan H. Abdul Wahab, salah seorang perwira bawahan Mayor Sabaruddin. Sewaktu bergerilya di Malang Selatan, ia pernah diperintahkan Mayor Sabaruddin untuk turun ke Surabaya untuk mengurus sesuatu, dan bertemu dengan seorang perwira utusan Kolonel Sungkono, yang justru membawa pesan untuk Mayor Sabaruddin agar jangan turun ke kota, apabila dilanggar, tahu sendiri akibatnya. Abdul Wahab segera menemui Mayor Sabaruddin di Malang Selatan, menyampaikan pesan tadi. Tetapi reaksi Mayor Sabaruddin justru berbuat sebaliknya. Mula-mula ia turun ke kota Malang terus ke Surabaya. Sebagai seorang “Mayor TNI” ia diperlakukan dengan hormat oleh pihak tentara Belanda, ia ditempatkan di Hotel Oranje dan diberi fasilitas kendaraan mobil sedan segala. Waktu diselenggarakan perundingan gencatan senjata di Gondang Nganjuk, antara militer Belanda dengan TNI, Mayor Sabaruddin turut datang bersama delegasi militer Belanda. Sungkono yang hadir dalam perundingan tersebut, terkejut melihat kedatangan Mayor Sabaruddin yang tak diduga-duga itu. Selesai perundingan, Mayor Sabaruddin mengikuti Sungkono pulang ke Nglayu, Nganjuk markas gerilya Sungkono. Di Nglayu itulah riwayat hidup Mayor Sabaruddin berakhir seperti telah dikisahkan di depan. Menurut penilaian Abdul Wahab dan Letkol Purn. Suradji, ajudan Sungkono tahun 1946-1952, terjadinya eksekusi terhadap Mayor Sabaruddin itu rupanya berada di luar kontrol dan kemauan Kolonel Sungkono. Ia memang memerintahkan penangkapan atas diri Mayor Sabaruddin, tetapi hal itu tak berarti harus mengeksekusinya. Mungkin ia bermaksud menyelesaikannya kasus Mayor Sabaruddin melalui jalur hukum, sebagaimana mestinya. Tetapi anak buah Sungkono yang mengeksekusi Mayor Sabaruddin menilai hukuman tersebut sudah setimpal dengan perbuatan dan dosa Mayor Sabaruddin di masa lampau.
 
== Sumber ==