A.A. Navis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bot5958 (bicara | kontrib)
k Perbarui referensi situs berita Indonesia
k koreksi tanda baca
 
(29 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox tokoh}}
[[Haji]] ''' Ali Akbar Navis''' ({{lahirmati|[[Padang Panjang]], [[Pantai Barat Sumatra|Sumatra's Westkust]]|17|11|1924|[[Padang]], [[SumatraSumatera Barat]]|22|3|2003}}; dikenal dengan nama '''A.A. Navis''') adalah seorang [[sastrawan]], [[budayawan]],kritikus [[pelukis]]budaya, dan [[politisi]]politikus [[Indonesia]] asal [[SumatraSumatera Barat]]. Ia terkenal karena cerita pendeknya ''[[Robohnya Surau Kami]]'' (1956). Novelnya yang berjudul "Saraswati" diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
 
== Biografi ==
Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, [[Padangpanjang]] pada 17 November 1924. Ayahnya bernama Nafis Sutan Marajo, mandor kepala ''[[Staatsspoorwegen]]''. Ibunya bernama Sawiyah. Ia menyelesaikan studi di [[INS Kayutanam|Ruang Pendidik Institut Nasional Syafei]] (INS) di [[Kayu Tanam, 2x11 Kayu Tanam, Padang Pariaman|Kayutanam]] pada tahun 1946.<ref name=Profil200/>
 
Selepas sekolah, Navis pernah bekerja sebagai seorang pegawai pada sebuah pabrik [[porselen]] di Padang Panjang, kota kelahirannya. Ia kemudian menjadi seorang pegawai negeri. Dari tahun 1952 hingga 1955, ia merupakan Kepala Bagian Kesenian pada Jawatan Kebudayaan [[Sumatra Tengah]], berkedudukan di [[Bukittinggi]].<ref name=Profil200/>
 
Pada awal karirnya, Navis aktif di dunia jurnalistik. Ia juga pernah memimpin harian ''Semangat'' sebagai pemimpin redaksi dari tahun 1971 hingga 1972.<ref name=Kemdikbud>[http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/A_A_Navis "A. A. Navis (1924—20031924–2003)"] pada Ensiklopedia Sastra Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.</ref> Dari tahun 1950 hingga 1958, ia juga pernah berperan sebagai penasihat ahli untuk [[RRI]] Studio Bukittinggi. Terakhir, ia bekerja sebagai manajer umum bagi percetakan ''Singgalang'' dari tahun 1982 hingga 1984.<ref name=Profil200/>
 
Selain itu, Navis aktif pula sebagai seorang pengajar dan akademisi. Ia tercatat pernah mengajar sebagai guru gambar di Sekolah Kepanduan Putri Bukittinggi (1955-58)<ref name=Profil200/> dan dosen luar biasa pada Akademi Seni Karawitan Indonesia (kini [[Institut Seni Indonesia Padang Panjang|Institut Seni Indonesia]]) Padang Panjang dan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) [[Universitas Andalas]].<ref name=Profil200/><ref name=Kemdikbud/>
 
Dari tahun 1972 hingga 1982, Navis duduk di [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi SumatraSumatera Barat]] sebagai wakil dari [[Golkar]]. Di partai ini, ia pernah duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar Sumbar periode 1994 hingga 1999.<ref name=Profil200>[{{Cite book|date=1995|url=https://books.google.co.idcom/books?id=5IhwAAAAMAAJ&pg=PA30&lpg|title=PA30&dq=ali+akbar+navis+golkar&source=bl&ots=YPHufaPIhf&sig=ACfU3U3oRgyaqfDq_ri3kF1K1AZpgXBC1g&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiF6IOkirn0AhWC63MBHTJ1DaAQ6AF6BAgMEAM#v=onepage&q=ali%20akbar%20navis%20golkar&f=false "Profil 200Tokoh, tokohAktivis, aktivis &dan pemukaPemuka masyarakatMasyarakat Minang"],|publisher=Permo hlmPromotion|isbn=978-979-8931-00-0|pages=30–32|language=id|access-date=11 30Januari 2024|url-32.status=live|dead-url=no}}</ref>
 
== Kepenulisan ==
A.A. Navis telah menghasilkan 65 karya sastra dalam berbagai bentuk sejak mulai menulis pada 1950, meskipun baru mendapat perhatian media cetak sekitar tahun 1955. Karya-karyanya meliputi 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan Indonesia lain dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah akademis yang dihimpun dalam buku ''Yang Berjalan Sepanjang Jalan''.
{{hiperbola}}
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun [[1950]], namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar [[1955]], itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima [[antologi]] bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku ''Yang Berjalan Sepanjang Jalan''. Novel terbarunya, ''Saraswati'', diterbitkan oleh [[Gramedia]] [[Pustaka]] Utama pada [[2002]].
 
Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul ''Jodoh'', diterbitkan oleh Grasindo, [[Jakarta]] atas kerjasama [[Yayasan]] Adikarya IkapiIKAPI dan The [[Ford Foundation]], sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. ''Jodoh'' berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni ''Jodoh'' (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas [[Radio Nederland Wereldomroep|Radio Nederland Wereldemroep]], [[pada 1975]]), ''Cerita 3 Malam'', ''Kisah Seorang Hero'', ''Cina Buta'', ''Perebutan'', ''Kawin'' (cerpen pemenang majalah ''[[Femina]],'' pada [[1979]]), ''Kisah Seorang Pengantin'', ''Maria'', ''Nora'', dan ''Ibu''. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.
 
A.A. Navis menjadikan menulis sebagai kebutuhan dalam hidup. Baginya, menulis adalah alat yang membantu mencetuskan ide dan gagasan. Dalam setiap tulisan, ia menganggap penting untuk mengajukan topik dengan bahasa yang menarik. Namun, demikian, hal yang paling penting bagi seorang penulis adalah apakah karyanya akan awet atau tidak. Meskipun ada banyak karya yang bagus, beberapa hanya sebatas tren sementara dan cepat dilupakan. Ia mengaku menulis dengan satu visi dan bukan mencari popularitas.
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tetapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan kadang-kadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.
 
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip ''Kompas'', [[Minggu]], [[7 Desember]] [[1997]].
 
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.<ref name=":0" />
Cerpen 'Robohnya Surau Kami' mendapatkan banyak respons pro dan kontra masyarakat. Cerpen ini juga menggaet Hadiah Sastra majalah ''Kisah.'' Berkat cerpen Robohnya Surau Kami (RSK) Navis menjadi terkenal di bidang sastra. Navis mulai mengkritik melalui karya sastra. Pernah ia dikucilkan atasan karena sering berselisih dengan atasannya. Namun, ia mengatakan 'Daripada saya ke luar kantor dan membuat bos saya bertambah marah, daripada saya duduk termenung-menung sambil melihat teman sejawat sibuk dan hati sakit sendiri, saya ambil mesin ketik, saya menulis dan menulis terus”.<ref>{{Cite news|url=https://tirto.id/robohnya-surau-kami-dan-aa-navis-yang-dianggap-mengejek-islam-cMUT|title=Robohnya Surau Kami dan A.A. Navis yang Dianggap Mengejek Islam|work=[[Tirto|Tirto.id]]|language=id|access-date=2020-02-22}}</ref>
 
== Pandangan ==
A.A Navis pernah menyatakan keprihatannya terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Ia mengatakan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, siswa hanya diberi pengajaran untuk menerima pengetahuan tanpa diberikan kesempatan untuk berpikir secara kritis. Anak-anak tidak diajarkan untuk menulis dengan baik, padahal menulis dapat membuka pikiran mereka.
{{hiperbola}}
Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tetapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
 
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai [[perguruan tinggi]], orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.
 
Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu, kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.
 
Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tetapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu, pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.
 
Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.
 
Sementara itu, membaca karya sastra dapat membantu orang berpikir kritis dan memahami konsep hidup. Ia mencontohkan, banyak karya sastra di Indonesia yang menceritakan tentang orang-orang munafik. Hal itu seharusnya diajarkan kepada anak-anak agar mereka dapat mengerti bahwa di tengah masyarakat banyak orang munafik. Tetapi, "pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik."
Perihal orang [[Minang]], dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah "''[[Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar|tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua]]''" (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".<ref name=":0" />
 
== Kehidupan pribadi ==
Navis menikah dengan istrinya, Aksari Yasin, pada tahun 1957. Pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak: Dini Akbari, Lusi Berbasari Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini.<ref name=Kemdikbud/> Putrinya, Gemala Ranti menjabat sebagai Kepala Dinas KebudayaanPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi SumatraSumatera Barat sejak bulanJanuari Agustus 20182022.<ref>https://wwwfikir.sumbarfokus.comid/beritabudaya/f-gemala5407/silahturahmi-rantidisbud-putridan-aabudayawan-navisseniman-resmisumatera-pimpin-disbud-sumbar.htmlbarat/</ref>
 
Navis wafat di Padang pada tanggal 22 Maret 2003, setelah sebelumnya menjalani perawatan di [[Rumah Sakit Jantung Harapan Kita]], Jakarta.<ref name=Kemdikbud/>
Baris 48 ⟶ 33:
[[Berkas:A.A Navis Makam.jpg|right|thumb|256px|Makam Navis di TPU Tunggul Hitam, Padang]]
=== Novel ===
* ''[[Kemarau (novel A.A. Navisroman)|Kemarau]] (1967)''
* ''[[Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi]]'' (1970)
* ''[[Gerhana (novel A.A. Navis)|Gerhana]]'' (2004)
Baris 77 ⟶ 62:
 
=== Cerita rakyat ===
* ''Cerita Rakyat dari SumatraSumatera Barat'' (1994)
* ''Cerita Rakyat dari SumatraSumatera Barat 2'' (1998)
* ''Cerita Rakyat dari SumatraSumatera Barat 3'' (2001)
 
=== Karya tentang A.A. Navis ===
Baris 100 ⟶ 85:
[[Kategori:Dosen Indonesia]]
[[Kategori:Alumni INS Kayutanam]]
[[Kategori:TokohSastrawan Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh SumatraSumatera Barat]]
[[Kategori:Tokoh dari Padang Panjang]]
[[Kategori:Tokoh Angkatan 66]]