Abdul Hamid Pasuruan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
(32 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{kelayakan}}{{tone}}{{bersayap}}
== Riwayat Hidup ==
=== Masa kecil dan remaja ===
Meski [[Pasuruan]] dinisbatkan dalam namanya,
Semasa kecil ia dikenal sebagai anak nakal yang
Akibat kenakalannya, ia
Semasa kecil ia juga sangat jarang berdiam di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang setiap hari, hingga membuat orang tuanya khawatir keselamatan dan kewajiban belajar mengajinya yang sering terbengkalai meski tak sepenuhnya ditinggalkan.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://www.laduni.id/post/read/14659/riwayat-hidup-kh-abdul-hamid-pasuruan.html|title=Riwayat Hidup KH Abdul Hamid Pasuruan|last=DIA|first=Yayasan|date=2016-09-11|website=Riwayat Hidup KH Abdul Hamid Pasuruan|language=en|access-date=2020-04-10}}</ref> Semasa kecil ia juga dikenal dengan panggilan ''bedudul'', pelesetan dari nama panggilannya "Dul" sekaligus menunjukkan betapa nakalnya ia saat itu.
Pada usia 15 tahun (sekitar tahun 1930), Abdul Mu'thi muda diajak kakeknya, KH. Shiddiq menunaikan ibadah haji. Dalam proses berhaji ini, Abdul Mu'thi muda mendapat pengalaman spiritual berjumpa dengan [[Rasulullah]], mendengar tanda-tanda keistimewaan ini, kakeknya kemudian menjodohkannya dengan cucunya yang lain (sepupu Abdul Mu'thi muda dari paman jalur ibunya, KH. Ahmad Qusyairi). Meski demikian ia tak langsung dinikahkan, ia harus kembali menuntut ilmu dahulu ke Tremas, sepulang berhaji Abdul Mu'thi kemudian mengganti namanya menjadi Abdul Hamid.<ref name=":0" />
Di Tremas inilah, Abdul Hamid muda mendapat gemblengan ilmu agama yang mumpuni. Setelah lima tahun menimba ilmu di pesantren ini, ia kemudian dipercaya menjadi lurah pondok, dan empat tahun kemudian ia telah dipercaya untuk mengisi pengajian di masjid. Selain belajar, ia juga sering berkhalwat atau menyendiri di sebuah bukit di dekat pesantren, ia juga jarang keluar kamar hingga dijuluki "''plenthu''".<ref name=":2" />
▲Pada usia 15 tahun (sekitar tahun 1930), Abdul Mu'thi muda diajak kakeknya, KH. Shiddiq menunaikan ibadah haji. Dalam proses berhaji ini, Abdul Mu'thi muda mendapat pengalaman spiritual berjumpa dengan [[Rasulullah]], mendengar tanda-tanda keistimewaan ini, kakeknya kemudian menjodohkannya dengan cucunya yang lain (sepupu Abdul Mu'thi muda dari paman jalur ibunya, KH. Ahmad Qusyairi). Meski demikian ia tak langsung dinikahkan, ia harus kembali menuntut ilmu dahulu ke Tremas, sepulang berhaji Abdul Mu'thi kemudian mengganti namanya menjadi Abdul Hamid<ref name=":0" />.
=== KH Abdul Hamid Menikah ===▼
▲Di Tremas inilah, Abdul Hamid muda mendapat gemblengan ilmu agama yang mumpuni. Setelah lima tahun menimba ilmu di pesantren ini, ia kemudian dipercaya menjadi lurah pondok, dan empat tahun kemudian ia telah dipercaya untuk mengisi pengajian di masjid. Selain belajar, ia juga sering berkhalwat atau menyendiri di sebuah bukit di dekat pesantren, ia juga jarang keluar kamar hingga dijuluki "''plenthu''"<ref name=":2" />. Total ia menghabiskan 12 tahun dalam menuntut ilmu di Tremas, semasa di Tremas ini ia juga bersahabat dengan [[Ali Maksum|KH. Ali Maksum]] yang menjadi Rais Aam Syuriyah PB [[Nahdlatul Ulama]] periode 1980 - 1984 dan [[Mukti Ali]] yang kemudian menjadi Menteri Agama di masa pemerintahan [[Orde Baru]] (1971-1978)<ref>{{Cite web|url=https://aswajamuda.com/kh-abdul-hamid/|title=KH. Abdul Hamid|last=Muhammad|first=Afif|date=2018-11-08|website=Aswaja Muda|language=en-US|access-date=2020-04-10}}</ref><ref name=":2" />.
Setelah 12 tahun menuntut ilmu di [https://pondoktremas.com/ Pesantren Tremas Pacitan], ia kemudian dipinang oleh paman dari jalur ibunya yakni KH. Ahmad Qusyairi untuk dijodohkan dengan putrinya yang bernama Nafisah sebagaimana pesan ayahanda setelah peristiwa berhaji yang lalu. Beliau kemudian menikah pada usia 22 tahun, tanggal 12 September 1940 M / 9 Sya'ban 1359 H, di Masjid Jami' (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan, data didapat dari manuskrip undangan pernikahan yang masih ada.<ref name=":0" />
Acara pernikahan yang telah dijadwalkan waktu itu ternyata harus terlambat karena rombongan pengantin pria yang baru tiba sore hari. Semua undangan yang telah siap berkumpul di Masjid Jami' saat itu urung menyaksikan prosesi pernikahan dan hanya mengikuti acara syukuran saja, akad nikah baru diselenggarakan sore hari ketika rombongan datang dan hanya disaksikan beberapa kerabat saja karena tamu undangan telah pulang.<ref name=":1" />
▲=== Menikah ===
▲Setelah 12 tahun menuntut ilmu di Tremas, ia kemudian dipinang oleh paman dari jalur ibunya yakni KH. Ahmad Qusyairi untuk dijodohkan dengan putrinya yang bernama Nafisah sebagaimana pesan ayahanda setelah peristiwa berhaji yang lalu. Beliau kemudian menikah pada usia 22 tahun, tanggal 12 September 1940 M / 9 Sya'ban 1359 H, di Masjid Jami' (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan, data didapat dari manuskrip undangan pernikahan yang masih ada<ref name=":0" />.
Seusai menikah, keluarga Haji Abdul Hamid ikut tinggal bersama mertuanya, KH. Ahmad Qusyairi di Kebonsari, kompleks Pesantren Salafiyah Pasuruan. Lima tahun kemudian atau sekitar tahun kemerdekaan 1945, KH. Ahmad Qusyairi pindah ke [[Jember]] sehingga keluarga Haji Abdul Hamid harus mulai mandiri, mereka sempat mengalami hidup dalam keprihatinan, untuk menghidupi keluarga, ia kemudian berdagang sepeda, ia juga sempat berdagang kelapa dan kedelai, menyewa sawah, hingga berdagang suku cadang dokar.<ref name=":1" />
▲Acara pernikahan yang telah dijadwalkan waktu itu ternyata harus terlambat karena rombongan pengantin pria yang baru tiba sore hari. Semua undangan yang telah siap berkumpul di Masjid Jami' saat itu urung menyaksikan prosesi pernikahan dan hanya mengikuti acara syukuran saja, akad nikah baru diselenggarakan sore hari ketika rombongan datang dan hanya disaksikan beberapa kerabat saja karena tamu undangan telah pulang<ref name=":1" />. Hal ini karena KH Ma'shum yang saat itu dipercaya menjadi ketua rombongan mengajak rombongan untuk berziarah ke beberapa makam para wali terlebih dahulu.
▲Seusai menikah, keluarga Haji Abdul Hamid ikut tinggal bersama mertuanya, KH. Ahmad Qusyairi di Kebonsari, kompleks Pesantren Salafiyah Pasuruan. Lima tahun kemudian atau sekitar tahun kemerdekaan 1945, KH. Ahmad Qusyairi pindah ke [[Jember]] sehingga keluarga Haji Abdul Hamid harus mulai mandiri, mereka sempat mengalami hidup dalam keprihatinan, untuk menghidupi keluarga, ia kemudian berdagang sepeda, ia juga sempat berdagang kelapa dan kedelai, menyewa sawah, hingga berdagang suku cadang dokar<ref name=":1" />.
=== Mengasuh pesantren dan berdakwah ===
Meski tinggal di lingkungan Pesantren Salafiyah,
Haji Abdul Hamid mulai menjalankan pesantren yang telah ditinggal banyak santrinya karena tak tahan dengan kepemimpinan KH. Abdullah bin Yasin yang sangat keras. Lambat laun santri mulai berdatangan, tahun 1962 jumlah meningkat sekitar 80 orang. Pembangunanpun dilakukan untuk menampung santri yang mulai bertambah.
Selain mengajar di pesantren, ia juga kerap diminta warga untuk mengisi pengajian di kampung-kampung seperti di Rejoso hingga Ranggeh. Ia juga mengadakan pengajian di pelataran rumah pribadinya yang diisi oleh sekitar 10-15 orang.<ref name=":0" />
[[Berkas:Masjid Agung Pasuruan.jpg|kanan|jmpl|Masjid Agung Al-Anwar Pasuruan, di belakangnya terdapat kompleks pemakaman wali dan ulama Kota Pasuruan, termasuk KH. Abdul Hamid.]]
Kamis, 23 Desember 1982 KH. Abdul Hamid dilarikan ke RSI Surabaya setelah mendadak jatuh. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya pembekakan jantung, kondisi ginjal dan liver yang juga parah yang seharusnya sudah diketahui dan diobati sejak lama, namun karena tak ingin merepotkan orang lain KH. Abdul Hamid tak pernah membicarakan kondisi kesehatannya pada siapapun termasuk kepada keluarganya.<ref name=":2" /><ref name=":3" />
Ia kemudian meninggal dalam usia 70 tahun menurut perhitungan kalender Hijriah pada 9 Rabiul Awwal 1403 H atau 25 Desember 1982.<ref name=":0" /> Ia dimakamkan di kompleks pemakaman wali dan ulama Pasuruan di seberang alun-alun tepatnya di belakang Masjid Agung Al-Anwar [[Kota Pasuruan]] bersama puluhan ulama lainnya termasuk gurunya, Habib Ja'far bin Syaikhan Assegaf, kompleks pemakaman ini masih ramai menjadi tujuan wisata religi.<ref>{{Cite news|url=https://jatim.idntimes.com/travel/destination/fitria-madia/berziarah-makam-kh-abdul-hamid-ulama-besar-kota-pasuruan|title=Berziarah Makam KH Abdul Hamid, Ulama Besar Kota Pasuruan|last=Madia|first=Fitria|last2=Madia|first2=Fitria|work=[[IDN Times]]|language=id|access-date=2020-04-10}}</ref>
▲Haji Abdul Hamid mulai menjalankan pesantren yang telah ditinggal banyak santrinya karena tak tahan dengan kepemimpinan KH. Abdullah bin Yasin yang sangat keras. Lambat laun santri mulai berdatangan, tahun 1962 jumlah meningkat sekitar 80 orang. Pembangunanpun dilakukan untuk menampung santri yang mulai bertambah.
Setiap tahun, agenda ''haul'' atau peringatan hari kewafatan KH. Abdul Hamid di Pasuruan selalu menjadi acara besar yang dihadiri ribuan jamaah dari berbagai penjuru. Tak jarang acara haul ini juga dihadiri tokoh-tokoh besar dari organisasi [[Nahdlatul 'Ulama]], tokoh-tokoh politik nasional hingga kepala-kepala daerah di Jawa Timur.<ref>{{Cite web|title=Jelang Haul KH. Abdul Hamid Ke-42, Rakor Persiapan Pengamanan Digelar|url=https://pasuruankota.go.id/2023/09/19/jelang-haul-kh-abdul-hamid-ke-42-rakor-persiapan-pengamanan-digelar/|website=Pasuruankota.go.id|language=en-US|access-date=2024-01-29}}</ref>
▲Selain mengajar di pesantren, ia juga kerap diminta warga untuk mengisi pengajian di kampung-kampung seperti di Rejoso hingga Ranggeh. Ia juga mengadakan pengajian di pelataran rumah pribadinya yang diisi oleh sekitar 10-15 orang<ref name=":0" />. Karirnya sebagai pendakwah mulai bersinar di kalangan masyarakat Pasuruan dan sekitarnya, ia tak lagi dipanggil "Haji" namun "Kiai" oleh banyak orang, rumahnya kerap didatangi orang-orang yang meminta nasihat dan konsultasi soal kehidupan religius, terlebih setelah Habib Ja'far bin Syaikhan wafat pada tahun 1954<ref name=":1" />.
▲=== Wafat ===
== Referensi ==
<references />
|