Silsilah Penguasa Kerajaan Panjalu Ciamis: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di hari + pada hari) |
Angayubagia (bicara | kontrib) Tag: Suntingan visualeditor-wikitext |
||
(10 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{rapikan}}
Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu-Budha yang terletak di ketinggian 731 m dpl dan berada kaki Gunung Sawal [[Jawa Barat]].
Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.
Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.
Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan, Gunung Sawal.
Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung Sawal Panjalu.
Baris 17:
Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.
Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.
Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:
# Sanghyang Lembu Sampulur II
# Sanghyang Panji Barani
# Ratu Mamprang Kancana Artaswayang
# Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda)
Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.
Baris 62 ⟶ 55:
Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat ''Nyangku'' yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.
Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka [[Gunung Tampomas]] (Sumedang).
Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:
# Rahyang Kuning, dan
# '''Rahyang Kancana.'''
Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding.
Baris 78 ⟶ 69:
Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung ([[Kabupaten Sukabumi|Sukabumi]]), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).
Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali .
Baris 85 ⟶ 76:
Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja Sukardja,2007):
# Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng Gunung Ciremai.
# [[Bratalegawa]] (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.
# Ratu Banawati.
# Ratu Mayangsari yang diperisteri [[Niskala Wastu Kancana]].
Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).
Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika Sanjaya (723-73# hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-71# .
Sementara itu jika dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman dengan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun, bukti-bukti cenderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan Pandai Besi di Nusantara.
Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu menghilang beserta seluruh pengikutnya di ''Leuweung Sancang'' (hutan Sancang di daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut.
Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.
Baris 134 ⟶ 119:
Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda istilah ''rompang'' menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi ''rompang'' karena dipakai bertempur terus-menerus.
Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah
1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
Baris 177 ⟶ 162:
Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis.
Rahyang Kuning atau Hariang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.
Baris 192 ⟶ 177:
Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, [[Kertamandala, Panjalu, Ciamis|Desa Kertamandala]], [[Panjalu, Ciamis|Kecamatan Panjalu]].
Rahyang Kancana atau Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.
Baris 198 ⟶ 183:
Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:
Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.
Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana.
Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.
Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.
Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu. di makam di hujungwinangun
Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu
Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati ([[1586]]-[[1601]]) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu dan Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618.
Baris 233 ⟶ 218:
Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.
Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-
Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.
Baris 249 ⟶ 234:
Dua belas di antara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:
7) '''Raden Arya Wiradipa''' (Maparah, Panjalu),
Baris 269 ⟶ 254:
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),
Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 ''Ajeg''; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram.
Baris 279 ⟶ 264:
Pangeran [[Arya Sacanata]] menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran [[Arya Sacanata]] wafat dan dipusarakan di Nombo, [[Kecamatan Dayeuhluhur]], [[Kabupaten Cilacap]], [[Jawa Tengah]].
Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa ([[1645-1677]]) pada sekitar tahun [[1656-1657]] wilayah ''Mancanagara Kilen'' (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas ''Ajeg'' (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: [[Kabupaten Sumedang|Sumedang]], Parakan Muncang (PrianganTimur), [[Kota Bandung|Bandung]], Sukapura ([[Kota Tasikmalaya|Tasikmalaya]]), [[Kabupaten Karawang|Karawang]], Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), '''Wirabaya''' (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih ([[Kabupaten Majalengka|Majalengka]]), [[Kabupaten Banyumas|Banyumas]], Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur).
Baris 287 ⟶ 272:
Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis
Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu sekarang.
Baris 293 ⟶ 278:
Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis.
Salah seorang putera Pangeran Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para ''kawula-balad'' (abdi dan rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu:
Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon (1706-
Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya Wirabaya) sebagai ''garwa padmi'' (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:
Sementara dari ''garwa ampil'' (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:
Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.
Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja.
Baris 333 ⟶ 318:
Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari ''garwa padmi'' dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:
7) Nyi Raden Puraresmi,
Baris 353 ⟶ 338:
10) Nyi Raden Janingrum,
Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.
Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari'' garwa padmi'' (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.
Baris 379 ⟶ 364:
Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:
7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),
Baris 399 ⟶ 384:
10) Nyi Raden Kuraesin,
'''Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.'''
Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu:
# '''Raden Aldakusumah'''
# Nyi Raden Asitaningsih
# Nyi Raden Sumaningsih
Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.
Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia menikahi Nyi Raden Wiyata (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan mempunyai empat orang anak, yaitu:
Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang [[Indramayu]]) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. '''Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu'''.
Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama '''Raden Kertadipraja''' tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu karena Panjalu kemudian dijadikan salah satu desa/kecamatan yang masuk kedalam wilayah kawedanaan Panumbangan Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.
Baris 437 ⟶ 419:
Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menikahi Nyi Mas Shinta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan menurunkan empat orang anak yaitu:
Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) mempersunting Nyi Raden Dewi Hunah Murtiningsih (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) puteri dari Kuwu Cimuncang (sekarang Desa Jayagiri Kecamatan Panumbangan Ciamis) yang bernama Raden Nitidipraja, penulis '''catatan sejarah & silsilah Panjalu''' dalam bahasa Sunda dengan aksara arab dan latin (makamnya di Puspaligar, Panjalu), dan dari pernikahannya itu menurunkan lima orang putera-puteri:
# '''H. Raden Muhammad Tisna Argadipraja''',
# '''Hj. Nyi Raden Siti Maryam-H.Encur Mansyur''',
# Nyi Raden Siti Rukomih-Raden Sukarsana Sadhi Pasha.
Sedangkan adik Raden Hanafi Argadipraja, yakni '''Raden Ahmad Kertadipraja''' (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menurunkan empat orang anak:
# H. Raden Afdanil Ahmad,
# Raden Nasuha Ahmad,
# Nyi Raden Nia Kania, dan
# Raden Ghia Subagia.
Hj. Nyi Raden Siti maryam(Panumbangan) menikah dengan Eyang Mad Syahri(Panumbangan, Cibonteng) dan melahirkan sembilan orang anak, yaitu:
# Raden Sasmita,
# Raden Elon Dahlan,
# Nyimas Raden Ipoh Saripah,
# Raden Endah Dahri,
# Nyimas Raden Erum Atikah,
# Nyimas Raden Zaenab Sukarsih,
# Nyimas Raden Khotimah,
# '''Nyimas Raden Aisyah Rukmanah''',
# Raden Rosyadi,
Nyimas raden Aisyah Rukmanah (Panumbangan), menikah dengan Raden Ade Sutisna (Desa Golat). Dan melahirkan lima orang putra-putri, Yaitu:
# '''Nyimas Raden Djohar Sry Kantini''',
# '''Nyimas Raden Nina Tursina Irania''',
# Raden Tepi Nugraha Jayaprana,
# Nyimas Raden Rika Gartika Gumilar,
# Raden Taufik Fitra Jaya Burnama,
Nyimas Raden Djohar Sry Kantini(Desa Golat) menikah dengan Raden Muhammad Syafe'i (Cianjur), dan melahirkan dua orang putra-putri, Yaitu:
# Nyimas Raden Gitta Fenny Sari,
# Raden Panji Fenitra,
# Raden Fandi
Nyimas Raden Nina Tursina Irania(Desa Golat) menikah dengan Hassan Ridwan(Jakarta) dan melahirkan tiga orang putra-putri, yaitu:
# Raden Aldy Agustiar Ridmansyah
# Nyimas Raden Annisa Septiani Nur Faridah
# Nyimas Raden Azizah Zahra Ulfah
== Referensi ==
Baris 529 ⟶ 483:
* {{cite book|last='''Argadipraja'''|first='''R. Duke'''.|title=Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda|year=1992|publisher=Mekar Rahayu|location=Bandung}}
* ''Atlas Indonesia & Dunia Edisi 33 Propinsi di Indonesia''. (2000). Jakarta. Pustaka Sandro.
* {{cite book|last='''Ayatrohaedi'''. (
* ''Babad Tanah Jawi'' (terj). 2007. Yogyakarta: Narasi.
* {{cite book|last='''Ekadjati'''|first='''Edi S'''.|authorlink=Edi Suhardi Ekadjati|title=Wawacan Sajarah Galuh|year=1977|publisher=EFEO|location=Bandung}}
Baris 536 ⟶ 490:
* {{cite book|last='''Iskandar'''|first='''Yoseph'''|title=Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa|year=1997|publisher=Geger Sunten|location=Bandung}}
* '''Muljana, Slamet'''. (1979). ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara.
* '''Munoz, Paul Michel'''. (
* '''Suganda, Her'''.'' Situ Lengkong dan Nusalarang, Wisata Alami yang Islami''. Artikel Harian Kompas, 21 Juni 2003.
* '''Suganda, Her'''. ''Naskah Sunda Kuno Antara Sejarah dan Nilai Sakral''. Artikel Harian Kompas, 24 Mei 2008.
* '''Sukardja, H.Djadja'''. (
* '''Sutarwan, Aam Permana'''. ''Gus Dur "Merevisi" Sejarah Situ Lengkong Panjalu, Air Situ Lengkong berasal dari Mekah''. Artikel Harian Pikiran Rakyat, 10 Juli 2000.
* '''Sumaryadi, Sugeng/Eriez M Rizal'''. ''Menengok Rahasia Sukses Warga Panjalu''. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
|