Sekaten: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Fachrian Muzaqi (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Memperbaiki tanda baca
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
(8 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 9:
== Asal-usul ==
=== Istilah ===
Kebanyakan pustaka bersepakat bahwa nama "sekaten" adalah adaptasi dari istilah [[bahasa Arab]], ''syahadatain'', yang berarti "persaksian (syahadat) yang dua". Perluasan makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah ''Sahutain'' (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng), ''Sakhatain'' (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan), ''Sakhotain'' (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), ''Sekati'' (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), dan ''Sekat'' (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan)<ref>Handipaningrat, KRT. H. ''Perayaan Sekaten''. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta. Hal. 3.</ref>
 
=== Perayaan ===
Baris 15:
 
Tradisi arak-arakan semacam sekaten, menurut satu cerita rakyat yang digali oleh Saddhono, telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari "wahyu" kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari [[Wali Sanga]].<ref>[http://kundharu.staff.uns.ac.id/dunia-diksastrasia/tradisi-sekaten-surakarta/ Saddhono, K. tanpatahun. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta: Kajian Alternatif Pengembangan Bahan Ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. ''Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan'']</ref>
 
Masuknya Belanda ke kedua keraton turut mempengaruhi jalannya prosesi sekaten. Pemerintah Belanda menambahkan pergelaran [[pasar malam]] dan pameran seni budaya bersamaan dengan prosesi sekaten pada awal abad ke-20. Digelarnya pasar rakyat dalam prosesi sekaten adalah strategi Belanda untuk memecah perhatian masyarakat terhadap Masjid Agung.<ref>[https://bacajogja.id/2022/08/29/pasar-malam-dan-tradisi-sekaten-keraton-yogyakarta/ Pasar Malam dan Tradisi Sekaten Keraton Yogyakarta]</ref>
 
== Prosesi ==
Baris 23 ⟶ 25:
Di Keraton Yogyakarta, acara ''kondur gangsa'' diawali dengan kedatangan Sri Sultan di Masjid Gedhe untuk menyebar ''udhik-udhik'' kepada rakyat di depan bangsal pagongan. Setelah ditebar, Sultan akan masuk ke dalam masjid untuk kembali menyebar ''udhik-udhik'', yang kali ini ditebar untuk para abdi dalem. Setelah itu, Sultan akan duduk bersama dengan para abdi dalem di serambi masjid untuk mendengarkan pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, yang dibacakan dalam bahasa Jawa oleh abdi dalem ''kanca kaji''. Disini Sultan menggunakan Sumping Melati pada telinga kirinya. Hal ini bermakna bahwa Sultan senantiasa mendengar aspirasi dan pendapat rakyat serta melaksanakan harapan tersebut. Setelah pembacaan riwayat selesai, Sri Sultan bersama rombongan kembali ke keraton, diikuti dengan pengembalian gamelan sekati.
 
[[Berkas:Gunungan being blessed Pj DSC 1897.jpg|thumb|300px|right]]
=== Numplak Wajik ===
Dua hari sebelum acara ''Grebeg Muludan'', suatu upacara ''Numplak Wajik'' diadakan di halaman [[istana]] Magangan pada jam 16.00. Upacara ini berupa ''kotekan'' atau permainan lagu dengan memakai kentongan, ''lumpang'' (alat untuk menumbuk padi), dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara ''Grebeg Muludan'' nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara ''Numplak Wajik'' ini adalah lagu [[Jawa]] populer seperti: ''Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, ''atau lagu-lagu rakyat lainnya.
 
=== Grebeg Maulid ===
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan ''Grebeg Muludan'' yang diadakan pada tanggal 12 (persis pada hari ulang tahun Nabi [[Muhammad]]) mulai jam 08.00 hingga 10.00 WIB. Dengan dikawal oleh bermacam-macam ''bregada'' (kompi) prajurit Kraton. Sebagai contoh, Grebeg Maulud di [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] dikawal seluruh bregodo Prajurit [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|Keraton Yogyakarta]], yakni: ''Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, Bugis,'' dan ''Korps Musik''. Sedangkan Grebeg Maulud di [[Kota Surakarta|Surakarta]] dikawal seluruh bregodo Prajurit [[Keraton Surakarta Hadiningrat|Keraton Surakarta]], yakni: ''Tamtama, Jayeng Astra, Prawira Anom, Sarageni, Baki, Jayasura, Dwarapati, Jayataka, Panyutra,'' dan ''Korps Musik.'' Di Yogyakarta, biasanya gunungan dibuat menjadi tiga yang akan dibagikan di
[[Masjid Gedhe Kauman|Masjid Agung]], Kepatihan dan [[Pura Pakualaman]].
 
Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan tersebut dikawal dan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan [[Mataram]] ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
 
Pada tahun Dal dalam penanggalan Jawa, keraton biasanya mengeluarkan lebih banyak gunungan. Di Keraton Yogyakarta, salah satu gunungan tersebut adalah Gunungan Bromo, gunungan yang dihadirkan oleh keraton pada tahun Dal saja. Gunungan Bromo kelak akan dibawa kembali ke dalam keraton setelah didoakan, kemudian diperebutkan oleh para keluarga keraton dan para ''sentana dalem''.
 
=== Prosesi pada Tahun Dal ===
Tahun Dal dalam penanggalan Jawa terjadi tiap delapan tahun sekali. Pada tahun Dal prosesi sekaten biasanya diadakan lebih besar, khususnya di Keraton Yogyakarta. Perayaan sekaten pada tahun Dal dibuat lebih besar karena dalam perhitungan penanggalan Jawa, tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW (571 Masehi) jatuh pada tahun Dal.

Keraton memiliki beberapa tradisi sekaten dan grebeg yang hanya dilakukan pada tahun Dal. Salah satu tradisi khusus tersebut adalah ''njejak banon'' atau ''njejak beteng'' yang dilakukan oleh Sri Sultan sekembalinya dari Masjid Gedhe. Dalam tradisi ini, Sultan tidak melewati regol Masjid, melainkan melewati jalan lain untuk ''njejak'' atau menjebol sebuah tembok. Tradisi ''njejak beteng'' diilhami oleh kisah Sultan [[Hamengkubuwana II]] yang tidak bisa keluar melalui pintu gerbang utama pada peristiwa [[Geger Sepoy]], sehingga untuk meloloskan diri kemudian menuju arah selatan dengan cara menjebol beteng.
 
Selain tradisi tersebut, terdapat pula upacara ''Bethak'' dan ''[[Pisowanan]] Garebeg Dal''. ''Bethak'' merupakan prosesi pembuatan nasi oleh para kerabat perempuan Sultan di bangsal Keputren. Biasanya upacara ''Bethak'' dilakukan sehari sebelum acara ''Pisowanan'', dimana nasi tersebut akan diserahkan kepada Sultan ketika ''Pisowanan'' berlangsung.
 
PadaJatuhnya tahun Dal dalamjuga penanggalanmempengaruhi Jawajumlah gunungan yang akan dibawa. Pada tahun Dal, keraton biasanya mengeluarkan lebih banyak gunungan. Di Keraton Yogyakarta, salah satu gunungan tersebut adalah Gunungan Bromo, gunungan yang dihadirkan oleh keraton pada tahun Dal saja. Gunungan Bromo kelak akan dibawa kembali ke dalam keraton setelah didoakan, kemudian diperebutkan oleh para keluarga keraton dan para ''sentana dalem''.
 
== Lihat pula ==
Baris 53 ⟶ 59:
 
{{Topik Yogyakarta}}
{{budaya-stub}}
 
[[Kategori:Upacara adat di Indonesia]]