Tafsir Al-Qur'an: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
 
(11 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Quran|tafsir}}
{{islam}}
'''Tafsir Al-Qur'an''' ({{lang-ar|تفسير القرآن}}) adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan [[Al-Qur'an]] dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan [[Muslim|umat Islam]] terhadap tafsir Al-Qur'an, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah [[Allah]] (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.{{sfn|Mir}}
 
Baris 10 ⟶ 9:
''Tafsīr'' ({{lang-ar|تفسير}}) adalah kata berakar [[triliteral]] ''f-s-r''. ''F-s-r'' ({{lang|ar|ف-س-ر}} bermakna (1) ''tampak dan jelasnya sesuatu''; (2) ''penyingkapan makna yang samar''.{{sfn|Ath-Thayyar|1993|p=11}} Secara istilah, tafsir (Qur'an) adalah penjelasan firman [[Allah (Islam)|Allah]] yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Muhammad.{{sfn|Ath-Thayyar|1993|p=11}} [[As-Suyuthi]] menukil dari az-Zarkasyi, menjelaskan pengertian tafsir sebagai "ilmu untuk memahami kitab [[Allah]] yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya."{{sfn|As-Suyuthi|p=187}}
 
Sedangkan menurut istilah, ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian tafsir menurut istilah.
== Urgensi tafsir Al-Qur'an dalam Islam ==
Al-Qur'an diturunkan kepada [[Muhammad|Nabi Muhammad]] {{SAW}} melalui [[Malaikat Jibril]] dalam [[bahasa Arab]] dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar [[aqidah]], kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur'an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.
 
=== Abu Hayyan dalam Kitab A-Bahru Al-Muhith ===
Mempelajari tafsir Al-Qur'an adalah kewajiban berdasarkan firman Allah swt yang artinya sebagai berikut.
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana mengucapkan lafadz Al-Qur’an (ilmu qira’at), madlulnya (ilmu bahasa arab), hukumnya baik yang bersifat tunggal atau dalam untaian kalimat (ilmu sharaf, ilmu I’rab, ilmu bayan, dan ilmu badi’), dan makna-maknanya yang terkandung dalam tarkib (ilmu hakikat dan majaz) serta terkait dengan itu (termasuk di dalamnya ilmu nasakh, mansukh, asbabun-nuzul dan lainnya).<ref>{{Cite book|last=Sarwat|first=Ahmad|title=Ilmu Tafsir Sebagai Pengantar|url-status=live}}</ref>
<ul>
<li>"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." ([[Surah Sad|QS Sad]] [38]: 29)
 
=== Az-Zarkashi dalam kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an ===
Allah swt menjelaskan bahwa hikmah diturunkannya Al-Qur'an yang penuh dengan berkah adalah agar manusia men-''tadabbur''-i ayat-ayatnya dan meneliti ayat-ayat itu. ''Tadabbur'' adalah merenungi lafal-lafal Al-Qur'an untuk memahami maknanya. Jika tidak ada tadabbur, maka manusia akan kehilangan hikmah tersebut dan lafal-lafal Al-Qur'an tidak akan memberi pengaruh.
Tafsir adalah ilmu yang mengenal Kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
 
Dapat disimpulkan, tafsir adalah ilmu yang mempelajari inti kandungan kitab Al-Qur’an yang diturunklan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta penjelasan maknanya.
</li>
<li>"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" ([[Surah Muhammad|QS Muhammad]] [47]: 24)
 
== Urgensi tafsir Al-Qur'an dalam Islam ==
Allah swt mencela orang-orang yang tidak men-''tadabbur''-i Al-Qur'an serta menyebutkan tentang terkuncinya dan tidak adanya kebaikan pada hati mereka.
Al-Qur'an diturunkan kepada [[Muhammad|Nabi Muhammad]] {{SAW}} melalui [[Malaikat Jibril]] dalam [[bahasa Arab]] dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar [[aqidah]], kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur'an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.{{sfn|Al-Utsaimin|2001|p=23}}
 
Tujuan pewahyuan Al-Qur'an adalah tadabbur. ''Tadabbur'' adalah merenungi lafal-lafal {{nowrap|Al-Qur'an}} untuk memahami maknanya. Allah berfirman, "Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran."{{Cite quran|38|29}} Jika tidak ada tadabbur, maka manusia akan kehilangan hikmah tersebut dan lafal-lafal Al-Qur'an tidak akan memberi pengaruh. Firman Allah yang lain, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"{{Cite quran|47|24}} Allah mencela orang-orang yang tidak men-''tadabbur''-i Al-Qur'an serta menyebutkan tentang terkuncinya dan tidak adanya kebaikan pada hati mereka.{{sfn|Al-Utsaimin|2001|p=23}}
</li></ul>
 
Ulama-ulama terdahulu berpendapat atas wajibnya mempelajari tafsir Al-Qur'an. Mereka mempelajari lafal dan makna Al-Qur'an sehingga mereka bisa melaksanakan amal yang Allah maksudkan dalam Al-Qur'an. Tidak mungkin melakukan suatu amal yang tidak diketahui hakikat maknanya.{{sfn|Al-Utsaimin|2001|p=23}}
 
Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang mengajari kami Al-Qur'an, seperti [[Utsman bin Affan]] dan [[Abdullah bin Mas'ud]], ketika belajar sepuluh ayat dari Al-Qur'an kepada Nabi {{SAW}}, mereka tidak meminta tambah sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Al-Qur'an sekaligus ilmu dan amal.'"{{sfn|Al-Utsaimin|2001|pp=23-24}}
 
== Sejarah tafsir Al-Qur'an ==
Baris 129 ⟶ 127:
 
=== Tafsir bi al-Ma`tsur ===
Dinamai dengan nama ini (dari kata ''atsar'' yang berarti [[sunnah]], [[hadits]], jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang [[mufassir]] menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, terus sampai kepada [[Nabi SAW|Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam]]. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang [[shahih]] yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas [[Kitabullah]], dengan perkataan sahabat. karenaPara merekalahsahabatlah yang dianggap paling mengetahuimemahami Kitabullah,. atauSetelah denganitu barulah perkataan tokoh-tokoh besar [[tabi'in]], karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
 
Menurut Al-Zarkasyi istilah tafsir Bil Al-matsur merupakan gabungan dari tiga fakta tafsir, bi, dan al-ma’tsur. Secara bahasa tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Bi berarti dengan. Sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil. Sedangkan secara etimologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu :
 
“Tafsir bi al-ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.
 
Diatas telah dibahas tentang perbedaan dalam memaknai tafsir bi al-ma’tsur. Pertama adalah pendapat yang meyakini tafsir bi al-ma’tsur dengan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat, dan tabi’in. kedua, tafsir yang berupa kompilasi penafsiran nabi, shahabat, dan tabi’in. sekilas redaksionalnya berdekatan, namun hakikat dari kedua definisi ini sangat jauh berbeda.
 
Tidak diragukan lagi, tafsir bi al-Ma’tsur yang berasal dari Sahabat mempunyai nilai tersendiri. Jumhur `ulama berpendapat, tafsir Sahabat mempunyai status hukum marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah) bila berkenaan dengan asbab al’nuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’yu. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra’yu maka statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah.
 
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: [[Tafsir al-Tabari|Tafsir Ibnu Jarir]], [[Tafsir Abu Laits As Samarkandy]], [[Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur]] (karya [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin As Sayuthi]]), [[Tafsir Ibnu Katsir]], [[Tafsir Al Baghawy]] dan [[Tafsir Baqy ibn Makhlad]], [[Asbabun Nuzul]] (karya [[Al Wahidy]]) dan [[An Nasikh wal Mansukh]] (karya [[Abu Ja'far An Nahhas]]).
Baris 141 ⟶ 147:
 
Kata ''{{'}}alaq'' disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ''{{'}}alaqah'' yang berarti segumpal darah yang kental.
 
Adapun istilah ''tafsir bir-ra’yi'' dijadikan sebagai lawan dari ''tafsir bil ma’tsur'', dengan makna ra’yu adalah logika, pendapat, akal dan opini. Maksudnya sumber penafsiran suatu ayat bukan didasarkan pada riwayat dan sanad yang sampai ke shahabat atau Rasulullah SAW, melainkan penjelasannya datang dari diri sang mufassir sendiri. Kadang juga diistilahkan dengan tafsir bid-dirayah dimana maknua dirayah itu sama saja dengan makna ra’yu, yaitu yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Bahkan menurut Syekh Muhammad Ali As-Shobuni yang dimaksud ra’yu adalah al-ijtihad.
 
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi juga demikian adanya. Ada yang dianggap benar yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.
 
Misalnya ketika menjelaskan makna bahasa suatu kata dalam Al-Quran, sang mufassir menjelaskan bahwa secara makna bahasa, kata yang dimaksud itu punya akar kata terentu dan juga dijelaskan bagaimana penggunaannya oleh orang Arab. Tentu penjelasan secara kebahasaan seperti ini tidak datang dari Nabi SAW, para shahabat atau tabi’in, melainkan datang dari diri sang mufassir sendiri yang mana dia memang ahli di bidang bahasa Arab. Atau misalnya ketika seorang mufassir menjelaskan pelajaran yang bermanfaat yang didapat dari suatu ayat, tentu saja ini pun tidak ada penjelasan dari Nabi SAW atau atsar para shahabat. Sebab menguraikan pelajaran serta hikmah apa yang bisa didapat dari suatu ayat tentu bisa dilakukan oleh setiap orang.
 
Dan di masa modern para ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan seringkali mengaitkan informasi di dalam suatu ayat dengan apa-apa yang mereka temukan dalam fakta-fakta ilmiyah. Tentu temuan mereka ini juga tidak bersumber dari atsar, melainkan dari hasil pengamatan mereka sendiri serta fakta-fakta dalam ilmu pengetahuan sendiri. Maka semua hal itu oleh kebanyakan ulama masih dianggap sebagai bagian dari bentuk penafsiran Al-Quran, dan dinamakanlah dengan istilah tafsir ''bir-ra’yi'', sebagai antitesis dari tafsir ''bil ma’tsur''. Dalam implementasinya, tafsir bir-ra’yi ini oleh para ulama dibagi menjadi dua macam, yaitu tafsir dengan logika yang terpuji dan tasfir dengan logika yang tidak terpuji. Memang begitulah istilah yang digunakan, yaitu terpuji dan tidak terpuji. Nampaknya penggunaan istilah ini ingin menghindari klaim benar atau salah
 
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: [[Tafsir Al Jalalain]] (karya [[Jalaluddin al-Mahalli|Jalaluddin Muhammad Al Mahally]] dan disempurnakan oleh [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi]]),[[Tafsir Al Baidhawi]], [[Tafsir Al Fakhrur Razy]], [[Tafsir Abu Suud]], [[Tafsir An Nasafy]], [[Tafsir Al Khatib]], [[Tafsir Al Khazin]].
Baris 190 ⟶ 204:
* '''Corak Tasawuf''' : akibat munculnya gerakan-gerakan [[sufi]] maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak [[tasawuf]].
* '''Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan''': corak ini dimulai pada masa [[Muhammad Abduh|Syaikh Muhammad Abduh]] yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan [[masyarakat]], usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam [[bahasa]] yang mudah dimengerti dan enak didengar.
* '''Corak pendidikan :''' penafsiran Al-Quran dengan pendekatan pendidikan biasa disebut dengan Tafsir tarbawi<ref>{{Cite web|title=Azania Journal|url=https://www.azaniajournal.com/|website=www.azaniajournal.com|access-date=2023-02-27}}</ref>.
 
== Perkembangan ==